Jam menunjukan pukul 19.33 dan aku masih terbaring di gang sempit antara gedung-gedung yang menjulang di kota.
Aku hanya bisa memandang tanah yang berisikan noda-noda dan debu yang terbaring sama seperti diriku.
Sebuah tetesan air jatuh tepat di dahi ku, aku berpikir itu adalah kencing dari anjing-anjing liar di kota.
Tak kusangka tetesan air nya semakin deras mengenai seluruh tubuhku, rupa nya air mata tuhan yang turun. Sepencundang itukah diriku sampai menganggap itu sebagai kencing hewan.
Langit begitu gelap sampai tak kukira kalau hujan akan turun. Tubuh ku mendadak bisa kembali bangkit dari tanah seakan memerintah untuk segera berteduh, Nampaknya ia tidak ingin dirasuki sesuatu yang disebut demam.
Aku berjalan dengan tangan yang tak bisa mengepal dan kaki-kaki yang tak bisa menopang tubuh dengan maksimal.
Seiring aku berjalan, aku sadar ternyata ada hal kedua yang aku sukai selain diri nya, yaitu suasana hujan malam di Kabukicho.
Jika seseorang bertanya mengapa aku menaruh itu di urutan kedua, Entahlah, aku pun ingin itu ada di urutan pertama.
Setiap dirinya muncul di pikiran ku, aku selalu melihatnya sebagai taman bunga ditengah melankolis ruang hampa kekosongan pikiranku.
Bagai pelita di tengah gelap, sebuah bar menyala di mataku seakan memancing ku untuk berteduh dan meneguk segelas minuman Gin.
Percaya lah dulu aku sangat benci dengan alkohol, namun dirinya selalu meminum alkohol ketika ombak besar menerpanya. Semenjak dirinya pergi, alkohol menjadi pengingatku tentang indah dirinya.
Sambil menikmati Gin, badan ku terasa mulai menggigil. Rokok adalah solusi untuk menghangatkan tubuh ini namun brengsek rokok ku basah kehujanan.
Barista melihat tubuhku yang bergetar menggigil lalu ia memberikan ku sebuah handuk. "Aku tau hatimu sakit dan setidaknya tubuh mu jangan ikut sakit juga" tutur kata yang terlempar dari mulut barista.
Barista sangat pengertian sekali, jika saja aku jadi perempuan, aku dengan senang hati akan memberikan seluruh hidupku padanya.
Apa mungkin jiwa seseorang bisa tertukar? Aku tersadar kalau apa yang barista lakukan sama seperti pertama kali aku bertemu dengan diri nya.
Apa mungkin diri nya meninggalkan ku karena jiwa nya tertukar dengan barista ini? Apa jiwa diri nya sekarang terjebak di tubuh barista ini? Aku bergumam dalam hati ku.
Aku berdiri dari kursi ku lalu bertanya dengan lantang pada barista apakah dia adalah wanita yang meninggalkan ku.
"Sepertinya kau sudah mabuk ya haha." sambil tertawa kecil barista itu menjawab. Aku kembali duduk dan memegang wajah ku. Apa yang barusan aku lakukan, aku merasa sangat malu sekarang.
Sepertinya memang aku belum bisa berpaling dari rasa kehilangan dirinya, sampai membuatku memikirkan hal yang tidak masuk akal.
Terdengar suara orang-orang yang tertawa di belakang ku, saat menoleh, aku melihat ada empat laki-laki bajingan sampah yang kurasa sedang menertawakanku.
Di tengah keempat bajingan itu aku melihat ada seorang wanita dan sudah pasti wanita itu adalah pelacur, mana ada wanita baik-baik yang mau berkumpul bersama para sampah yang berpenampilan dekil.
Aku berjalan dengan amarah yang bermain bagai orkestra yang melantunkan simfoni di pikiranku, ku ambil kursi di meja yang kosong lalu berjalan menuju para bajingan itu.
Simfoni yang dimainkan oleh amarahku, sudah memasuki bagian puncaknya. Bangku itu ku layangkan ke wajah salah satu orang di meja itu.
Kursi menghantam dengan sangat keras sampai gigi orang itu melayang di udara, seakan sedang menonton konser orkestra yang sedang dimainkan oleh emosi di kepalaku.
Tak hanya gigi yang berterbangan, kepalan tangan juga seperti sedang mendengar konser itu karena mereka mulai berterbangan mengarah ke panggung utama yaitu kepalaku.
Aku berhasil membuat satu orang tumbang dan terbaring dengan debu-debu lantai bar, namun aku lupa kalau sisa nya masih berdiri tegak. Mereka memukuli dengan sangat keras sampai-sampai orkestra itu terpaksa berhenti.
Tubuhku di gotong ke luar bar dan di lempar di gang samping bar itu berada. Kukira sudah selesai, ternyata mereka baru saja menaikan level serangan mereka.
Berbeda dari sebelum nya, kali ini yang menghiasi tubuhku adalah cairan merah yang terdorong keluar dari mulut ku, padahal aku harap air tuhan lah yang menghiasiku.
Tubuhku bersandar pada dinding yang penuh dengan lumut. Aku harap seseorang tak melihatku dengan kondisi menyedihkan seperti ini.
Gelap mulai mengisi pandanganku yang kosong dan aku tahu jika gelap mulai datang nantinya akan ada ladang bunga yang bisa kulihat diantara melankoli gulita. Oleh karena itu aku tidak pernah menolak gelap merasukiku.
Aku menutup mataku, mempersilahkan gelap untuk merasukiku. Namun, entah kenapa aku tidak kehilangan kesadaranku. Aku tidak pingsan kali ini.
Kali ini gelap tidak datang, aku membuka kedua mataku dengan perlahan. Ada sesuatu di depanku saat ini.
Itu bukan padang bunga, aku lihat sesuatu yang lebih indah tetapi aku masih tidak bisa melihat jelas apa yang ada di hadapanku karena pandanganku masih memburam.
Untuk pertama kali nya aku mulai menolak gelap dan memfokuskan pikiran ku untuk mengembalikan kesadaranku.
Kulihat senyum seorang wanita dan sepertinya aku kenal bentuk itu, oh iya itu adalah pelacur yang bersama keempat bajingan itu, memangnya mau apa dia dengan diriku.
Dengan reflek, aku dorong wanita itu untuk menjauhi diriku dan ia terpelanting menabrak tembok di belakang nya.
Dengan kesadaran yang sudah kudapatkan, aku akan segera melanjutkan perjalanan untuk pulang kerumah. Namun, sayang seperti nya tubuh ini tidak bisa menopang keinginanku.
Pada akhirnya aku hanya bisa terbaring untuk kedua kalinya bersama noda-noda dan debu yang terbaring di tanah sama seperti diriku.
Sambil menatap langit yang damai dan sunyi, gemerlap bintang-bintang menari-nari dengan gemilangnya, menciptakan pemandangan yang memukau.
Membuatku sadar mengapa dirinya meninggalkanku, jadi karena aku seorang pecundang ya... lucu sekali hidupku ini.
Pemandangan itu seketika tertutup oleh wanita lacur yang sudah aku dorong tadi, ia berdiri di atas tubuhku.
Sebuah tetesan air jatuh tepat di dahiku, Aku berpikir itu adalah air tuhan, namun aku sadar kalau hujan telah usai, rupanya tetesan air mata wanita itu.
Ia tiba-tiba menjatuhkan badan nya di atas tubuhku dan menempelkan wajahnya di dada ku.
Aku tak tau tapi mengapa aku merasa jadi jahat sekali kalau sudah menganggapnya sebagai seorang jalang pelacur.
Wanita itu mulai mengangkat kepalanya dari dadaku dan menunjukan layar ponselnya.
"Terima kasih telah menyelamatkan ku"
Tulisan yang terpampang dilayar ponselnya itu membuatku tersadar akan sesuatu.
Untuk sekian lama akhirnya aku menemukan hal yang kurasa sangat indah, bukan suasana hujan malam Kabukicho apalagi dirinya yang sudah aku anggap sebagai ladang bunga.
Melainkan seorang wanita yang terdiam dengan air mata membasahi pipinya, menyatu dengan gemerlap bintang yang menghiasi langit gelap Kabukicho.