Mungkin tak pernah ada yang tau, bahwa keputusan untuk tidak menikah sudah ia buat sejak masih SMA. Entah bagaimana bisa terlintas seperti itu dan hingga akhirnya ia yakin untuk tidak akan meni3kah. Namun, seiring berjalannya waktu keputusan itu mebulatkan tekadnya dan meyakinkan dirinya untuk tidak akan pernah menikah.
"Aku bahagia walau sendiri" begitulah yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri.
Ia seakan tidak begitu tertarik pada percintaan dan hubungan. Seperti sudah pasrah dan bahagia dengan hanya hidup seperti ini.
"Apa itu cinta?"
"Bagaimana merasakannya?"
"Apakah cinta itu ada?"
"Kenapa harus menikah?"
"Apa tidak boleh kalau tidak menikah?"
Selalu menjadi pertanyaan di dalam dirinya yang seakan hilang arah dan tak tau makna cinta yang sesungguhnya.
"Semua itu.. bermula dari ayah" ucapnya yang mengingat kembali awal mula ia tak percaya akan cinta.
Sebuah kenangan yang menyakitkan dan membuatnya membenci sang ayah.
"Gara-gara ayah, aku takut untuk berkomitmen dengan seseorang" begitulah pandangan seorang perempuan bernama Nivea. Perempuan yang kini memasuki usia 30 tahun dan sekarang sedang berperang melawan trauma dan pandangan orang-orang terhadap dirinya yang masih belum menikah.
Ia tak bisa berkomitmen dengan seseorang karena takut pasanganya akan seperti ayahnya. Ia menyimpan trauma dan trust issue terhadap hubungan maupun pernikahan. Ia terlalu kecewa pada sang ayah yang telah memberinya luka, hingga membuatnya hidup dalam kehampaan dan ketidakpercayaannya terhadap sosok laki-laki maupun cinta.
"Orang-orang tidak akan tau, bagaimana kerasnya aku mencoba untuk berdamai dengan trauma itu"
Trauma itu menggerogotinya, yang pada titik dimana ia akhirnya menyerah pada percintaan. Setidaknya ia sudah berusaha, walau keputusannya tak selalu mendapat sambutan yang baik dari orang-orang disekelilingnya, termasuk ibunya sendiri.
Dengan dalih ingin melihatnya bahagia, banyak yang ingin menjodohkanya, dan terus mendorongnya untuk segera menikah termasuk sang ibu, yang hal itu membuatnya sedikit kecewa karena orang yang harusnya mendukungnya malah terus mendorongnya untuk menikah seperti orang-orang.
"Aku capek terus disuruh menikah" ucapnya penuh rasa marah.
"Harusnya ibu mengerti kenapa aku tidak mau menikah, ini karena ibu, karena aku tidak mau seperti ibu yang berakhir dikhianati ayah" menahan tangis, ia mencoba memberitahu sang ibu tentang alasan mengapa ia tak mau menikah, dengan harapan sang ibu berhenti menyuruhnya menikah dan menjodohkanya.
Hanya satu hal itu Nivea tidak bisa memahami dan satu suara dengan sang ibu. Ibu yang dihianati oleh orang tercintanya yang juga ayahnya malah justru terus mendorong anaknya untuk segera menikah.
"Padahal dia gagal dalam pernikahanya, tapi ia malah menyuruhku untuk segera menikah?"
Nivea menghela nafas panjang, mencoba menenangkan hati dan perasaanya yang sedang dilema. Ia ingin mempertahankan keputusanya, namun disatu sisi ia harus berdebat dengan sang ibu yang menentang keputusannya. Ia menyayangi ibunya, namun untuk hal ini ia tidak bisa satu suara dengan sang ibu. Mengingat bagaimana pertimbanganya sebelum membuat keputusan.
"Maafkan anakmu yang pada akhirnya harus membuat keputusan seperti ini, bu. Berat rasanya, namun ini jalan satu-satunya yang membuatku bahagia. Jadi, aku berharap ibu mau mengerti" tuturnya penuh harap.