Hania. Seorang gadis kecil berumur tujuh tahun, terlihat sedang bermain di depan halaman rumahnya. Hania mengenakan kerudung yang di atasnya terdapat telinga kecil, persis seperti telinga seekor kucing. Membuat dirinya menjadi terlihat imut sekaligus menggemaskan. Sampai beberapa menit berlalu, Hania masih asyik bermain dan sibuk dengan dunianya sendiri. Hingga Hania tidak menyadari, ada seorang gadis kecil yang nampak seumuran dengannya tengah menatapnya dari luar pagar. Gadis itu sama seperti Hania, mengenakan kerudung. Hanya saja pakaiannya agak sedikit lusuh, membuatnya terlihat berbeda dari Hania.
Gadis itu tersenyum dan dilihat dari sorot matanya, dia sangat ingin ikut bermain dengan Hania. Tetapi kemudian dia merasa ragu, karena dia sendiri baru pernah melihat Hania dan tentunya juga tidak mengetahui namanya. Memang beberapa hari yang lalu, keluarga Hania baru saja pindah. Kebetulan rumah yang mereka tempati, tepat berada di samping rumah gadis yang saat ini tengah menatap Hania.
Beralih ke Hania, karena sudah merasa cukup bermain, dia pun mulai membereskan mainannya. Di tengah kegiatannya, Hania tak sengaja menoleh ke depan. Lalu saat itulah dia baru melihat kehadiran gadis kecil yang sedari tadi berdiri di luar pagar rumahnya, dan sedang menatap dirinya seraya tersenyum. Namun seketika senyum di wajah gadis tersebut memudar, karena dirinya yang sudah ketahuan oleh Hania. Tanpa berbicara lagi, dia pun berlari pergi meninggalkan Hania yang terlihat kebingungan akan tingkahnya.
Karena penasaran, Hania juga berlari ke pagar dan menatap arah gadis tadi berlari. Hania berpikir jika dia cepat berlari, maka dia dapat melihatnya. Namun nihil, sepertinya gadis tersebut sangat cepat berlari. Menyebabkan Hania tidak menemukan keberadaannya lagi, dan hal itu membuat dirinya kembali kebingungan.
“Siapa dia? Kenapa dia berlari saat aku melihatnya?”
“Hania.”
Segera dia menoleh saat seseorang memanggil namanya. “Iya, Ummi.”
Annisa- ummi Hania, tersenyum mendengar sahutan putrinya. “Apa kamu sudah selesai bermain, sayang?”
Hania mengangguk. “Hania sudah selesai bermain, Ummi.”
“Kalau begitu. Kenapa kamu masih berada di situ, sayang? Seharusnya kamu cepat masuk rumah, apalagi sebentar lagi Maghrib.”
Tanpa menjawab terlebih dahulu, Hania bergegas menghampiri umminya yang berada di ambang pintu. “Tadi, Hania tidak sengaja melihat, ada anak perempuan yang melihat Hania dari luar pagar, Mi.”
“Oh ya? Lalu, apakah kamu mengajaknya bermain tadi?”
Hania menggeleng cepat. “Jangankan mengajak bermain. Baru saja Hania menatapnya, dia sudah pergi dengan sangat cepat. Seperti orang ketakutan.”
Tersenyum manis, kemudian Annisa mengelus pipi gembul putrinya itu. “Tidak apa-apa, sayang. Mungkin dia masih malu bertemu langsung denganmu, sebab itulah dia langsung berlari pergi saat kau melihatnya. Tidak usah khawatir, siapa tahu besok dia ke sini lagi. Dan do’akan saja, semoga dia tidak berlari lagi.” Mendengar ucapan umminya, senyum pun terbit di wajah Hania. “Baiklah, sayang. Kalau begitu, mari kita ke dalam. Sebentar lagi Maghrib. Jadi, cepatlah mandi.”
“Iya, Ummi.” Setelah itu keduanya pun masuk ke dalam rumah.
*****
Hari berikutnya, Hania kembali bermain seperti biasanya. Namun kali ini, tidak sepenuhnya Hania ingin bermain saja. Tetapi dia juga berharap, gadis yang kemarin kembali lagi. Agar dia dapat mengajak gadis tersebut ikut bermain dengannya. Setelah beberapa menit dibuat menunggu, usaha Hania pun membuahkan hasil. Gadis kecil itu kembali berdiri di luar pagar rumahnya, dan persis seperti kemarin dia menatap Hania sambil tersenyum.
Perlahan Hania menghampiri gadis tersebut seraya ikut tersenyum manis, bermaksud agar tidak membuat gadis itu takut terhadapnya. “Aku mohon, jangan pergi dulu!” Hania segera bersuara saat melihat gadis itu ingin pergi dari tempatnya. “Kamu tidak perlu takut! Aku hanya ingin mengajakmu, bermain.”
Mendengar permintaan Hania, gadis itu pun tidak jadi pergi. Dia hanya berdiri diam seraya menundukkan kepalanya. Namun, jauh dalam lubuk hatinya. Dia sangat bahagia, karena keinginannya untuk bisa bermain dengan Hania akhirnya tercapai.
“Bisakah, kamu menunggu sebentar di sini?” Gadis itu mengganguk pelan menyetujui. Seketika Hania pun tersenyum lebar. “Baiklah. Tunggu sebentar, ya!” Setelah itu, dia bergegas berlari masuk ke dalam rumah.
Tanpa membutuhkan waktu lama, Hania pun keluar dari rumah. Namun kali ini, dia tidak sendirian. Di belakangnya adanya Annisa yang terlihat berjalan tersere-seret, akibat dirinya yang ditarik Hania.
“Hania, berhati-hatilah. Tidak perlu terburu-buru, sayang.”
“Tidak bisa, Ummi. Nanti anak itu pergi lagi, jika Hania terlalu lama.” Hania terus menarik Annisa dengan tergesa-gesa. “Ini dia, Ummi.” Serunya setelah sampai di depan pagar.
Annisa pun menatap ke arah gadis kecil yang nampaknya seperti ketakutan, setelah melihat keberadaan dirinya. “Kamu tidak perlu takut, sayang.” Setelah itu, dia membuka pagar. “Ayo, masuklah! Mari bermain bersama, Hania.”
“Iya. Ayo, cepatlah masuk!”
Gadis itu mengangguk, dan perlahan melangkahkan kakinya masuk ke halaman rumah Hania. Setelah itu dia kembali terkejut, karena tangannya tiba-tiba ditarik oleh Hania, dan sesaat kemudian dia sudah tiba di tempat biasanya Hania bermain. Sedangkan Annisa hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat putrinya yang begitu bahagia karena kehadiran gadis tersebut.
“Perkenalkan, namaku Hania. Kalau namamu, siapa?”
“Namaku Syifa.”
Hania refleks tersenyum. “Syifa. Aku harap, kita bisa berteman baik, ya.”
Syifa pun mengangguk seraya ikut tersenyum, membuat gadis di hadapannya berseru bahagia. Setelah perkenalan singkat itu, keduanya pun mulai bermain bersama-sama dengan canda tawa yang mereka ciptakan.
*****
“Hania.”
“Iya, Ummi.”
“Besok sudah mulai berpuasa, sayang. Apakah kamu akan berpuasa?”
Hania yang tengah menonton televisi, menoleh cepat dengan mata berbinar. “Tentu saja Hania akan berpuasa, Ummi. Dan Hania akan berusaha, tahun ini Hania akan berpuasa satu bulan penuh.”
Annisa pun tersenyum tulus, dia turut berbahagia dengan keantusian putrinya itu untuk ikut berpuasa. “Kalau begitu. Malam ini, jangan lupa bangun untuk bersahur, ya!” Hania mengangguk antusias seraya ikut tersenyum lebar. “Oh, iya. Besok, jika kamu bermain dengan Syifa. Undang dia dan keluargnya, untuk ikut berbuka puasa bersama kita, ya sayang!”
“Iya, Ummi. Nanti Hania sampaikan kepada Syifa.”
*****
Setelah berpuasa seharian penuh, waktu berbuka puasa pun sebentar lagi akan tiba. Di rumah kediamannya Hania, sudah ada Syifa bersama ibunya yang sebelumnya sudah diundang untuk berbuka puasa bersama.
“Terima kasih, Bu Annisa. Sudah berkenan mengundang kami.” Ucap Sarah- ibunya Syifa seraya tersenyum. “Dan sebelumnya, saya meminta maaf. Karena suami saya tidak bisa ikut.”
“Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa memaklumi. Suami saya juga tidak ikut kita hari ini, karena dia masih ada pekerjaan di kantornya.”
Di saat Annisa dan Sarah sedang berbincang, Hania dan Syifa malah sibuk bermain di ruang keluarga.
“Syifa, apakah kamu hari ini berpuasa?”
Syifa refleks mengangguk. “Berpuasa. Tapi hanya setengah hari.”
“Kenapa hanya setengah hari?”
“Aku tidak tahan. Saat tengah hari tadi, aku sangat kelaparan.”
Mendengar jawaban tersebut, Hania terkekeh kecil. “Jadi hanya karena itu. Aku juga kelaparan tadi, tapi aku berusaha untuk menahannya. Karena aku sudah bilang kepada Ummi, aku akan berusaha. Seharusnya kamu juga berusaha seperti itu, Syifa. Karena seperti kata Ummi, jika kita bisa berpuasa seharian penuh, maka kita akan mendapat pahala yang lebih besar lagi.”
Syifa mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti dan setelahnya dia tersenyum. “Baiklah. Mulai besok, aku akan berusaha untuk berpuasa seharian penuh. Agar sama seperti, Hania.”
*****
“Sekali lagi, saya sangat berterima kasih kepada Ibu.” Sarah berucap seraya menunduk dan tersenyum.
“Sama-sama, Bu. Saya juga berterima kasih, terutama kepada Syifa. Karena sudah mau berteman dengan Hania.” Setelah itu, Annisa menyodorkan sebuah kotak makanan. “Ini, silakan diambil, Bu. Lumayan, untuk bersahur nanti!”
“Ah, mengapa Ibu harus repot-repot seperti ini.” Sarah menyambut kotak makanan itu sambil tersenyum. “Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu, saya dan Syifa pamit pulang ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan!”
“Ummi.” Hania memanggil Annisa setelah Syifa dan ibunya sudah berjalan keluar pagar.
“Iya, sayang.”
“Kenapa Ummi memberikan makanan tadi? Bukankah nanti, makanan kita akan habis.”
Annisa tersenyum dan menekuk lutut mensejajarkan tingginya dengan Hania. “Tidak apa-apa, sayang. Justru itu adalah hal yang sangat bagus, dan juga kita akan mendapat pahala dari Allah SWT.”
“Kenapa bisa seperti itu, Ummi?”
“Karena kita sebagai muslim, tidak boleh membazir makanan. Dan juga kita diharuskan untuk saling berbagi kepada orang-orang, terutama kepada sesama muslim.” Hania pun membulatkan mulutnya tanda mengerti. “Dan, apakah kamu tahu?” Putrinya itu menggeleng cepat. “Sungguh. Berbagi itu sangatlah indah, sayang.”