Di dunia ini, selalu ada dua sisi yang berlawanan. Baik dan jahat, gelap dan terang, dingin dan panas. Ini adalah hukum mutlak di dunia ini, tidak terkecuali untuk kami, manusia.
Dunia kurasakan berputar di mataku, kegelapan menyelimuti pandangan, atau lebihnya kabut kemerahan menyelimuti mataku saat rasa perih kurasakan membakar kelopak mataku. Darah menetes dari kening dan tubuhku, mungkin salah satunya menetes sampai mengenai mataku, membuatku seperti sekarang ini. Terkapar tidak berdaya di tanah yang dingin ini berusaha meraih pedangku yang patah, pandanganku terkunci padanya, pada seorang pria yang saat ini tengah berhadapan dengan sosok yang selama ini menghantui kerajaan ini.
"Hehe..."
Senyumannya, senyuman yang terlihat ramah namun juga hangat, sama sekali tidak pernah terbayangkan bisa tercipta darinya. Sejauh yang aku tahu, dia hanya membawa malapetaka bagi semua yang ada di sekitarnya. Namun apa yang aku lihat sekarang adalah senyuman tulus dari seorang wanita pada seseorang yang dicintainya.
"Tidak mungkin, jelas tidak mungkin..." Pikirku menyaksikan semua hal tidak masuk akal ini. Seorang iblis tersenyum tulus pada seorang manusia, jelas hal yang mustahil terjadi. Terlebih, padanya, pada pria itu.
Namaku Alcina, anggota korps ksatria yang mengabdi pada kerajaan Lynbaum. Dan yang ada di sana adalah rekanku, anggota korps ksatria yang sama denganku, Edward. Kami berakhir di sini, berhadapan dengan sosok yang dikenal sebagai iblis agung, awal mula dari semua iblis yang menyerang kerajaan ini sejak 20 tahun terakhir.
Ini terjadi beberapa bulan yang lalu, saat kami mendapatkan informasi mengenai pergerakan aneh bangsa iblis yang belakangan ini berkurang. Saat itu, aku diutus oleh ksatria kudus, komandan dari seluruh korps ksatria untuk menyelidiki hal ini. Dan terpilihlah beberapa orang untuk ikut dalam ekspedisi ini bersamaku, termasuk di dalamnya adalah Edward.
Jujur, aku tidak menyukainya saat pertama kali bertugas dengannya. Dia tidak banyak bicara dan sangat sulit untuk diajak bicara. Namun, bukan hal itu yang membuatku tidak menyukainya. Ada rumor mengatakan bahwa Edward bisa melewati seleksi ksatria berkat bantuan seseorang, dengan kata lain dia adalah pecundang yang mengandalkan kekuasaan dari orang dalam koneksinya untuk menggapai tujuannya. Orang-orang sepertinya adalah yang paling kubenci.
Singkatnya, kami pun memulai misi kami menuju selatan, menuju tempat yang diyakini menjadi sarang utama para iblis. Dalam perjalanan, kami menghadapi beberapa iblis, namun iblis tingkat rendah bukan menjadi lawan bagi korps ksatria sepertiku. Dalam penyelidikan ini, sedikit demi sedikit kami mengumpulkan banyak kejanggalan dari tingkah para iblis. Namun, yang menggangguku adalah kenyataan bahwa Edward lah yang mendapatkan semua informasi itu.
Terlintas di benakku mengenai bagaimana caranya mendapatkan semua informasi itu. Dia yang selama ini kukenal pendiam dan cenderung pasif justru yang paling banyak berkontribusi dalam misi kami. Ironis memang, namun baik aku dan anggota yang lain kalah jauh darinya jika menyangkut tentang iblis.
Malam itu, untuk menjawab rasa ingin tahuku, aku memutuskan untuk mengajaknya bicara. Di hadapan api unggun, aku menghampirinya, duduk di sampingnya pada potongan batang kayu utuh yang digunakannya sebagai bangku.
"Sebaiknya kau tidak duduk sedekat itu denganku."
Ujarnya dengan ekspresi yang sama seperti biasanya.
Ia bahkan tidak menoleh ke arahku, membuatku semakin terganggu dengan sikapnya. Apa dia tidak bisa membaca suasana?
Aku mencoba sabar menghadapinya, lalu mengajukan apa yang selama ini mengganggu pikiranku.
"Kau tahu banyak mengenai iblis, apa kau pernah memburu mereka?"
Tanyaku, serius menatap matanya.
Edward hanya diam, memandangi nyala api dari api unggun yang ada di hadapannya. Pandangannya sangat hampa, hampir tidak bisa kubaca apa yang tengah ada dipikirannya.
Seperti yang kuduga, dia memang tidak akan bicara semudah itu. Namun, bagaimana pun juga, aku harus membuatnya mengatakan apa yang disimpannya dalam pikirannya.
"Kudengar kau dipungut oleh seorang ksatria saat kampung halamanmu dihancurkan oleh iblis. Apa itu yang mendasarimu bergabung dengan korps ksatria?"
Dengan nada lembut aku berusaha menyentuh hatinya.
Namun, sama seperti sebelumnya, ia bahkan tidak menoleh maupun bergeming. Ini membuatku semakin kesal hingga akhirnya kehabisan kesabaran.
"Aturan mengatakan bahwa aku kapten di sini, dan sesuai perintah, kau harus mengikuti instruksiku! Camkan itu!"
Aku berdiri membelakangi api unggun, mengarahkan telunjukku padanya sebagai ancaman.
Namun, meski begitu, dia sama sekali tidak bergeming dan hanya mengangguk, membuatku semakin frustasi padanya.
Ada apa dengannya? Aku baru bertemu orang semacam ini dalam hidupku dan aku sudah tidak tahan.
Pada akhirnya, dia tidak mengatakan apa-apa hingga perjalanan kami menemui tujuannya.
Mendekati lokasi utama, kami berhadapan dengan beberapa iblis yang menjaga tempat tersebut. Namun, berbeda dari iblis yang lain, mereka jauh lebih kuat. Sebagian dari pasukanku dihabisi, menyisakanku seorang bersama dengan Edward yang masih mampu meneruskan pertarungan.
"Hah... Hah... Tidak bagus..."
Pikirku dengan tubuh lemas bertumpu pada pedangku.
Dadaku terasa nyeri saat mengambil nafas. Sekujur tubuhku gemetaran sebagai dampak luka yang terukir di tubuhku. Iblis itu ada di hadapanku saat ini, namun aku sudah kehabisan tenaga untuk bertarung. Benar-benar keadaan yang memalukan.
Dalam keadaan terpuruk ini, Edward berjalan menghampiriku. Ia berdiri di hadapanku, menghalangi pandangan iblis itu dariku.
"Edward?"
Aku menatap punggungnya kebingungan.
"Pergilah. Misi kita sudah tercapai. Satu dari kita harus sampai untuk menyampaikan pesan ini."
"Pesan apa? Apa yang sedang kau bicarakan?"
Edward menoleh ke arahku, kali ini matanya bertemu langsung denganku.
Aku terkesima untuk sesaat begitu menatap matanya. Aku dengan pasti meyakininya meski aku tidak mengenalnya dengan baik, tapi matanya saat ini adalah tatapan sejatinya. Tatapan yang sungguh tajam, mengisyaratkan keinginan yang membara untuk hidup. Untuk pertama kalinya, aku mengetahui siapa Edward yang sebenarnya.
"Sampaikan pesan ini, para iblis akan bertambah kuat setelah gerhana matahari. Pergi, aku akan memberimu waktu."
"Eh?"
Edward berlari meninggalkanku untuk menghadapinya seorang diri.
Seketika itu pula aku sadar bahwa apa yang selama ini ia sembunyikan bukanlah sikap angkuh, melainkan perasaan bersalah serta kehilangan. Aku tidak yakin kenapa, namun entah bagaimana kesimpulan ini masuk begitu saja dalam benakku saat aku memikirkan tentang dirinya.
Orang yang selama ini kubenci ternyata adalah orang yang menahan semua perasaannya untuk satu momen ini. Dia mengorbankan dirinya untuk memberikanku waktu untuk melarikan diri. Sebuah tindakan yang tidak pernah bisa kuduga akan dilakukan olehnya.
"Edward!"
Putus asa, aku hanya bisa memanggil namanya, tidak kuasa menghentikannya. Terlepas dari kenyataan mengenai bagaimana dia bisa mengetahui informasi itu, tindakannya membuatku takjub. Tidak salah lagi bahwa dia adalah orang yang berjiwa ksatria sejati.
Belum sempat hatiku dibuat terguncang oleh tindakan Edward, secara mengejutkan kilatan cahaya menyambar dan membutakan mata untuk sesaat. Layaknya petir yang menyambar di siang hari yang cerah, dia muncul tepat setelah aku meneriakkan namanya.
"A-Apa?!"
Bingung dan terkejut, aku hanya bisa terperanga menyaksikan kemunculan sesosok wanita muda itu di hadapanku. Kemunculannya sudah cukup untuk membuatku syok, namun itu belum termasuk dengan penampilannya yang membuat bahu bergidik.
"Ed... Ternyata itu benar kau... Senangnya..."
Ujar sang wanita dengan senyum sayu di wajahnya.
Suaranya benar-benar halus dan lembut terlepas dari tanduk mengerikan yang ada di kepalanya. Penampilannya sungguh menawan, terbalut dalam gaun hitam yang indah dengan hiasan bunga aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kulitnya putih dan lembab, memancarkan aura kecantikan yang kental. Bahkan meski aku adalah wanita, aku tidak akan ragu menyebutnya sebagai orang paling cantik yang pernah kutemui yang bisa dijajarkan dengan tuan putri kerajaan ini.
Sang wanita berjalan menghampiri Edward yang ikut tertegun oleh pesonanya mengabaikan iblis yang ada di hadapannya. Rambut pirangnya yang panjang menjuntai bergoyang setiap kali ia melangkahkan kakinya. Matanya yang merah delima seolah menyambut hangat Edward yang ada di hadapannya dengan perasaan yang menggebu.
"Ah. Kau benar-benar tumbuh menjadi sosok pria, Ed... Penantian panjangku membuahkan hasil... Bahkan manisnya madu tidak bisa menggantikan perasaan manis ketika aku memandang wajahmu..."
Ia mengulurkan kedua tangannya, meraih pipinya layaknya seorang kekasih yang merindukan belahan hatinya.
Jelas ini sangat aneh. Keadaan ini benar-benar aneh. Siapa sebenarnya wanita bertanduk itu? Dan bagaimana dia bisa mengenal Edward? Dan yang lebih penting, kenapa Edward tidak menolak atau pun merasa risih pada sikapnya?
Normalnya orang akan merasa jijik sekaligus marah jika ada orang asing yang tiba-tiba muncul dan membuat kontak fisik denganmu. Tapi, yang aku lihat di sini tidak jauh berbeda dari apa yang biasa terjadi di opera. Aneh sekali, sampai-sampai membuatku berpikir bahwa aku mungkin sudah gila karena nyawaku yang berada di ujung tanduk. Namun sepertinya aku salah, tidak satu pun dari semua ini palsu. Semuanya yang aku lihat kenyataan.
Mengesampingkan kemesraan mereka berdua, sang iblis justru yang membuatku merasa aneh. Sejak kedatangan wanita misterius itu, dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Seolah bersatu menjadi suasana, dia menunjukkan ekspresi yang bahkan tidak pernah bisa terbayang olehku.
"Dia hanya mematung? Tidak, itu lebih seperti dia tidak ingin mengusik mereka berdua?" Pikirku selagi pandanganku terpaku padanya.
Sang wanita lalu membelitkan lengannya pada bahu dan tengkuk Edward, memeluknya dengan isyarat menggoda. Ia berbisik padanya, sebelum akhirnya ia mengendusnya.
"Ah. Aku selalu merindukan bau ini... Bau sejati dari seorang dengan jiwa yang membara oleh keinginan sejati untuk hidup dalam dunia yang penuh duri yang selalu menusuk hatinya... Aku selalj menyukai rasa ini..."
Sang wanita tersenyum puas selagi membelai Edward dengan lembut. Dia menjadi lebih manja dari sebelumnya yang membuatku merasa tidak nyaman menyaksikannya.
Setelah membiarkannya dirinya dalam permainannya untuk beberapa saat, akhirnya Edward mengangkat mulutnya untuk bicara.
"Lama tak bertemu, Alicia... Tidak, atau harus kupanggil asal mula dari semua iblis... Iblis agung Alicia..."
Ucapan Edward sontak membuatku terperanga. Jantungku nyaris berhenti berdetak begitu mendengarnya mengatakan namanya. "Iblis agung? Wanita itu?!" Pikirku dengan perasaan syok menyelimuti hati dan pikiranku.
"Tidak masuk akal!", awalnya aku ingin mengatakan itu. Tapi, setelah melihat penampilan serta kemunculannya yang tidak wajar, aku mulai berpikir kalau apa yang dia katakan masuk akal. Tidak akan ada wanita normal di dunia ini yang memiliki tanduk di kepalanya, kecuali jika dia adalah iblis. Tapi, yang menjadi pertanyaan di sini adalah kenapa dia bisa mengenal Edward. Dan jika dilihat dari caranya memperlakukannya, jelas dia memiliki perasaan istimewa padanya.
Alicia tertawa, lalu perlahan melepaskan pelukannya.
"Ya ampun. Itu bukan cara yang benar untuk menyapa orang yang selalu menunggu dan mencarimu..."
Edward menarik nafas dalam, secara mengejutkan melepaskan pedangnya dari genggamannya.
"....?!"
Dan tanpa ragu, Edward memeluknya.
"Ah..."
Alicia terkejut untuk sesaat sebelum akhirnya ia kembali tersenyum dan membalasnya dengan memeluknya balik.
Tunggu sebentar... Hah? Apa yang aku lihat ini? Pertunjukkan konyol macam apa ini?! Dia memeluknya? Apa pikirannya sudah hilang?
Aku marah tanpa henti dalam pikiranku begitu menyaksikan Edward dengan suka rela memeluknya. Jelas ini tindakan yang tidak bisa dipercaya. Rasa kagumku padanya hilang seketika mengetahui dirinya berhianat.
"Dasar tidak berguna...! Dari awal aku tahu kalau aku membencimu...!"
Aku meluapkan amarahku dan berlari menuju ke arahnya dengan sebilah pedang dalam genggamanku. Pertunjukkan memuakkan ini akan kuakhiri bersama dengan teror para iblis.
Namun, belum sempat mendaratkan ujung pedangku pada mereka, iblis itu secara mengejutkan mendaratkan cakarnya ke arahku.
"Guh...!"
Sontak, aku terlempar ke udara hingga sejauh beberapa meter. Pandanganku hampa, hanya melihat seluruh dunia berputar di mataku sebelum akhirnya rasa sakit yang luar biasa memukulku begitu tubuhku menghantam tanah.
Darah mengalir dari lukaku, membasahi tangan dan rambutku dengan warna merah serta bau amis. Aku hanya bisa terkulai lemas setelah menerima serangan itu darinya. Kekuatan fisik iblis memang tidak bisa diragukan lagi memang.
Dalam ketidakberdayaan, aku mengarahkan mataku pada mereka, pada Alicia yang saat ini tengah membelai Edward dengan kedua tangannya. Ia tersenyum untuk sekali lagi mengabaikan semua hal yang terjadi padaku seolah aku hanya lalat yang mengganggunya.
"Terkutuk..."
Darah meluap keluar dari mulutku saat aku berusaha meraih kembali pedangku yang tergeletak tak jauh dariku. Dia patah, namun hanya dia saat ini yang bisa kuandalkan.
Saat aku berusaha keras mencoba meraih kembali pedangku, suara Edward datang untuk bicara padaku.
"Alcina, sudah cukup... Kaulah orang terakhir yang ingin kujadikan korban untuk semua hal ini..."
Ucapnya dengan nada datar yang sama seperti biasanya.
Untuk sesaat aku menghentikan usahaku untuk menatapnya balik, kebingungan dengan apa yang dia maksud sebelum aku menyaksikan apa yang jauh lebih mengejutkan dari pernyataannya.
Bersambung...