“Namanya, ‘Jeruk’?”
Aku menoleh ke asal suara yang datang tiba-tiba, sama sekali tidak mengharapkan kehadiran seseorang untuk “berbicara” tentang kucingku yang telah hilang selama seminggu. Tapi apa yang kulihat bukan orang iseng yang datang hanya untuk tanya-tanya, melainkan anak kecil dengan permen lolipop sebesar kepalanya. Memandang wajah polosnya saat menatap poster di dinding membuat hatiku merasa sedikit lebih baik.
“Iya,” jawabku dengan suara pelan. Sebenarnya dalam hati, aku merasa sedikit kagum. Anak ini kemungkinan besar hanya berusia lima atau enam tahun, tapi dia sudah berhasil membaca poster yang aku buat dan bahkan mengambil informasi paling dasar dari sana. Sedangkan untuk “orang dewasa” lainnya yang aku temui, tak usahkan mengetahui nama, mereka bahkan harus kuberi tahu dulu kalau kucingku sedang hilang.
Anak laki-laki itu menjilat permennya, membalas tatapanku, lalu kembali bertanya, “Kenapa kucing Kakak bisa hilang?”
Kali ini, kekagumanku mencapai ke tingkat selanjutnya. Awalnya kupikir aku menulis dengan bodoh, sehingga orang-orang tidak bisa mengerti poster sederhana yang diisi foto Jeruk, informasi bahwa dia hilang, berserta namanya dan nomor ponselku. Tapi sepertinya, adik kecil ini membantuku memastikan kalau orang yang salah jelas bukan aku. Hal ini lantas membuat suasana hatiku membaik setelah menerima berbagai jenis panggilan telepon yang konyol.
Aku menunduk untuk menyeimbangi tinggi badannya, mencoba untuk melihat anak ini lebih dekat. Matanya juga mengikuti gerakanku, dan hanya berhenti ketika tatapanku berhadapan dengannya.
Atas pertanyaan anak itu, aku sebenarnya tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Mungkin aku bisa mendongeng tentang awal mula aku menemui Jeruk, sebelum akhirnya “kehilangan” dia. Tapi aku tahu ceritanya tidak sesingkat itu; kisahnya lebih rumit dari sekedar “menghilang”. Namun, seandainya aku mengoceh tentang semua yang terjadi padaku dan Jeruk--kepada anak kecil yang tidak lebih dari lima tahun ini--aku merasa itu akan membuat kepalanya meledak dengan informasi tidak berguna. Terlebih, aku juga tidak punya banyak waktu untuk berleha-leha di sini.
Sebagai gantinya, aku menjawab sejelas dan sepadat mungkin, berharap dia mengerti, “Seseorang di rumah tidak suka dengan kucing. Jadi, ketika kakak sedang di sekolah, kucing itu dibawa pergi dan belum kembali sampai sekarang.”
Mata anak itu membola, dia terlihat sangat terkejut, yang membuatku merasa aneh. Apakah ini mengingatkannya akan sesuatu? Atau dia hanya tidak menyangka dengan jawabanku? Aku bertanya-tanya mengapa anak ini tampak seperti telah mengetahui sesuatu yang luar biasa, seolah-olah informasi yang barusan dia terima adalah rahasia negara.
Kemudian, aku diberi jawaban yang tak kuharapkan setelahnya.
“Kakakku,” ujarnya sambil menunjuk dirinya sendiri, “Mama bilang tidak suka kakak, dan keesokan harinya kakak dibawa pergi. Belum pulang sampai sekarang.”
Aku menatap mata bulat anak itu, memastikan bahwa dia belum mengerti apa yang dia katakan sendiri. Tapi aku lupa kalau anak ini memahami posterku dan bahkan menanyakan informasi yang tertera dengan mudah. Bagaimana mungkin hal sejelas “kakaknya dibawa pergi” bisa tak ia mengerti?
Ada rasa sakit dan sedih di matanya saat dia memegang lolipop itu dengan kedua tangan, yang membuat dadaku sesak bukan main.
Mungkin bukan hanya aku yang berhadapan dengan orang tua semacam “ini”. Yang bisa “mengorbankan” sedikit nyawa demi kepentingan mereka sendiri. Mungkin aku beruntung, semenyebalkan apapun kehadiranku di rumah, ayah dan ibu belum memiliki keinginan untuk mengusirku keluar. Sayangnya, kakak dari anak kecil di depanku tidak seberuntung itu.
Pada saat ini pula, aku menyadari sesuatu yang tidak aku perhatikan sejak tadi. Di balik baju tangan panjangnya, aku melihat memar yang jelas di sana; sesuatu yang sangat aku kenal hingga bisa kulihat meski menutup mata. Memar itu terlihat baru, mungkin dia mendapatkannya tak lama setelah datang ke sini. Stereotipku untuk anak kecil hancur berantakan. Aku memandang wajah anak ini, yang aku duga berusia enam tahun, tapi sekarang aku menarik ucapanku sendiri.
Mungkinkah dia terlalu kurus sehingga tubuhnya lebih kecil dari anak seumurannya?
“Berapa umurmu?” Aku tidak suka menebak dan pertanyaan itu keluar dari mulutku tanpa beban.
Aku bisa melihat anak di depanku kebingungan--dia bahkan memiringkan kepalanya--tapi aku tetap diam dan menunggunya menjawab.
Anak itu melihat ke jari-jari tangannya, menghitung dengan cerdik usianya. Sebelum diangkatnya kedua tangan kesusahan karena permennya dan berseru gembira, “Delapan!”
Aku tersenyum padanya, membalas senyum imut yang dia tunjukkan padaku. Semua kesedihan di hatiku sudah agak tersapu, menyisakan rasa pahit yang agak sulit diabaikan. Baik itu karena Jeruk yang masih belum kembali, ataupun karena anak di depanku yang berbicara dengan sangat jujur.
Dalam hati, aku merasa miris, bahkan terkadang ironis terhadap hidupku sendiri. Setiap kali aku mengadu pada orang lain, mengatakan kalau ibu tidak menyukaiku dan memukulku setiap hari, mereka akan bilang aku adalah anak durhaka yang tidak mematuhi orang tua. Lalu ibu akan menangis dengan sedih, seolah aku telah menghinanya di hadapan keluarga besar. Tapi ketika sampai ke rumah nanti, tubuhku akan kembali ditutup memar biru jelek yang tidak suka kulihat, sambil menahan perihnya yang menyiksa, aku selalu berharap semua itu hanya mimpi dan aku akan bangun di surga.
Aku tiba-tiba iri dengan kakak dari anak di depanku. Meskipun dia “dibawa pergi” entah kemana dan dipisahkan dari apa yang dia sebut “keluarga”, tapi dia bebas dari neraka yang paling menyiksa. Dia tidak perlu menghadapi keluarga semacam ini yang akan memukulnya setiap hari.
Dengan pikiran yang melayang, aku mengelus rambut berantakan bocah di depanku. Memandangnya menikmati lolipop besar yang seolah-olah tak berubah sejak awal kami bertemu.
Aku pikir percakapan kami akan usai di sini, dan aku bisa pulang dengan tumpukan poster yang belum ditempel ke dinding. Tapi anak itu tiba-tiba meraih ujung bajuku saat aku berdiri dan menatapku dengan mata bulatnya yang jernih.
“Kakak, ikut denganku.”
Dia menarik ujung bajuku berulang kali, sepertinya ingin membawaku ke suatu tempat. Tapi hari sudah mulai petang; kalau ibu tahu aku belum pulang, aku yakin amarahnya akan disalurkan padaku lagi. Sayangnya, hatiku luluh saat mata anak itu tampak berkaca-kaca, dan pada akhirnya, aku mengikuti ke mana anak ini membawaku pergi.
Dia membawaku tidak jauh. Hanya beberapa belokan dari tempat kami semula berdiri. Ketika dia berhenti, kami berada di pinggir jalan raya yang tidak begitu sepi. Aku melihatnya melepas tangan yang menarik bajuku, lalu mendekati tempat sampah yang mengeluarkan aroma tak sedap, seolah-olah ingin membongkar isi di dalamnya. Sebelum aku sempat melarangnya untuk melakukan sesuatu yang tidak-tidak, anak itu sudah mundur ke belakang dan menunjukkan apa yang ada di tangannya.
Sebuah gelang—
Bukan. Itu adalah kalung. Kalung yang kucingku kenakan sebelum dia hilang entah kemana. Kalung ini juga terlihat dipakai oleh Jeruk dalam foto yang dipampang dalam poster. Aku sangat ingat benda apa yang aku pasangkan pada kucingku sendiri; warnanya, bentuknya dan teksturnya. Semua itu sangat mirip dengan apa yang saat ini berada di depanku, kecuali noda darah yang hampir menutupi permukaannya.
Itu benar, darah.
Tanganku bergetar saat mengambil alih benda itu dari tangan anak di depanku, ingin melihat lebih dekat apakah itu benar-benar kalung yang dipakai oleh Jeruk. Mungkin karena aku terlalu emosional, atau karena semua ekspektasi burukku akhirnya benar-benar menjadi kenyataan, air mata menutupi pandanganku, menghalangiku melihat lebih jelas. Aku bisa merasakan hidungku sakit dan dadaku sesak, bahkan napasku mulai tak beraturan saat imajinasiku melayang ke Jeruk.
Apa yang dilaluinya saat aku tidak ada? Apakah dia akan menyalahkanku karena datang terlalu lambat? Memikirkan bagaimana kendaraan mungkin melindasnya, menewaskan kucingku yang telah aku rawat hampir satu tahun—
Aku tahu aku bertingkah terlalu kekanak-kanakan ketika aku menangis di pinggir jalan. Bahkan aku tidak tahu ke mana tumpukan poster yang semula ada di tangan. Sekarang, yang tersisa di pikiranku hanyalah kesedihan yang bercampur lega setelah tahu kalau Jeruk benar-benar pergi dan aku mungkin tidak akan bisa melihatnya lagi. Hanya kalung ini yang akan menjadi satu-satunya kenanganku bersamanya.
"Mayatnya sudah dikubur." Anak itu menatapku. "Dia sudah di tempat yang lebih baik." Mendengarnya membuat tangisku semakin kuat. Tenggorokanku sangat sakit, dan wajahku sudah basah, tapi dengan sekuat tenaga, aku mencoba tersenyum.
“Terimakasih,” kataku padanya, sambil melepas tangis yang sudah kutahan selama satu minggu. Dia hanya mengangguk, tidak berbicara lagi, namun jari-jarinya yang hangat menyentuh milikku, diam-diam memberikan bantuan spiritual yang paling kubutuhkan saat ini.
Senyum perlahan kembali ke wajahku, saat aku membalas genggaman tangannya.
Sekilas, aku berpikir untuk membelikannya es krim atau makanan ringan apalah yang mungkin bisa dia santap sebagai bentuk terimakasihku. Namun, melihat permen yang belum juga habis karena tak sempat dia makan, aku mengurungkan niat, dan berpikir untuk datang lebih sering ke tempat ini untuk menemuinya kapan-kapan.
Aku mungkin kehilangan Jeruk untuk selamanya, yang kehadirannya seperti pelita dalam hidupku yang gelap. Tapi aku tidak melupakan persahabatan yang kami jalin bersama. Dengan adanya Jeruk, aku merasa hidup yang begitu-begitu saja agak berubah dan perlahan menjadi sempurna. Kalau aku bisa, aku ingin menjadi Jeruk untuk anak di depanku dan membiarkannya menikmati apa yang pernah aku rasakan.
Dengan lambaian sampai jumpa, itu adalah pertemuan pertama kami yang akan disambut oleh pertemuan berikutnya. Dan aku akan tahu kalau anak itu selalu membawa makanan apapun di tangannya saat bertemu denganku. Tapi kisahku belum selesai.
Aku kembali ke jalan yang aku dan anak itu lalui, sambil memegang kalung Jeruk dan tumpukan posternya yang mungkin akan kujadikan rangkaian bunga kertas dan kupajang di atas meja. Ibu mungkin akan marah jika tahu aku melakukan “hal aneh” lagi, tapi aku lebih suka tidak peduli daripada takut hanya karena satu dua pukulan yang tidak bisa menyakiti hati. Hidupku sudah rumit, aku tidak perlu membuatnya bertambah rumit.
Pada saat itu, langkahku berhenti. Ini adalah jalan kecil yang menjadi tempat pertemuan pertamaku dengan anak laki-laki itu. Ada poster Jeruk yang menempel di salah satu dinding, dan jalan di depannya tidak kosong; seorang pemuda yang lebih tinggi dariku, membawa anjing kecil yang terikat oleh harness, berdiri di depan poster sambil memandang dalam diam.
Aku sudah menemukan Jeruk, jadi seharusnya poster itu sudah tidak berguna lagi. Sekarang, tugas paling sulit adalah melepas semua posternya, jika aku tak mau orang asing menelponku dengan modus tak terhingga. Dengan pikiran seperti itu, aku melangkah maju, menuju pemuda yang berada di depanku.
Di saat yang sama, pemuda itu juga menoleh. Dari jauh, aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi semakin dekat kami, aku entah kenapa langsung terpikir bahwa dia adalah anak orang kaya yang jalan-jalan di sore hari karena bosan.
Aku melihatnya menoleh ke tumpukan kertas di tanganku, lalu pada wajahku yang mungkin membengkak karena menangis. Kemudian, aku mendengarnya bertanya, “Namanya, ‘Jeruk’?”
Sejenak, aku terdiam. Entah kenapa aku merasa hari ini agak terlalu hebat; bertemu dua orang di hari yang sama, yang menanyakan pertanyaan yang juga serupa. Mungkin akan ada kejutan lainnya jika aku pulang ke rumah? Tentu saja, aku harap itu selain amarah ibu yang meledak-ledak.
Aku tidak membiarkannya menunggu terlalu lama--mungkin karena anak kecil sebelumnya meninggalkanku dengan kenangan yang baik--dan menjawab dengan senyum kecil, “Iya.” Dia melihat ke arah poster lagi, dan dalam sekali lihat, aku tahu kalau dia sedang memastikan sesuatu yang kebanyakan orang lewatkan meski sudah memandangi foto Jeruk berulang kali. Tanpa menunggunya bertanya, aku mengambil inisiatif untuk memuaskan rasa penasarannya, “Matanya berwarna oranye seperti jeruk. Oleh karena itu—
“Namanya, Jeruk.”