Cerita orang biasa dalam perang kemerdekaan.
Kisah pejuang di garis depan sering kali terlupakan dalam sejarah. Mereka ikut ambil bagian perjuangan mempertahankan kemerdekaan tanpa ingin dikenang sebagai pahlawan.
Seperti halnya Kakek ku yang bernama Soetomo. Usianya hampir menginjak 100 tahun, tapi beliau masih mengingat bagaimana perjuangan nya melawan pendudukan tentara jepang waktu itu.
***
Hari ini aku dan keluargaku menghabiskan waktu libur panjang ke rumah Kakek ku yang berada di desa, tepatnya di desa Gunungsari kecamatan Beji.
"Kakek!" Seru ku keluar dari mobil, ketika melihat sosok renta yang kini tengah duduk di kursi roda menyambut kedatangan kami.
Aku berlari tak sabar ingin memeluk pria yang tak jauh dari pandangan mataku itu.
"Oh...Cucu ku, Calista." Mengelus punggungku. Mungkin beliau pun rindu pada ku yang lama tak bertemu.
"Aku merindukan Kakek." Ucapku dengan wajah yang masih di dalam tangkupan kedua tangan keriputnya.
Sangat jelas kerinduan yang terpancar dari sorot matanya yang sedikit sayu, mengingat usianya yang memang sudah sepuh.
Di sepanjang hari, aku habiskan waktu ku bersama Kakek, sedangkan orang tuaku tengah sibuk berkunjung ke rumah sanak saudara famili yang ada di desa.
Di ruang tamu, Aku duduk berhadapan dengan Kakek ku sambil melihat album foto usang yang berisikan bukti sejarah perjuangan beliau di masa lampau. Aku cukup terkejut dengan lembaran setiap lembaran foto hitam putih tersimpan rapi di dalam album foto kecil tersebut. Karena ini kali pertama diriku di perlihatkan foto menakjubkan itu.
"Di foto ini Kakek?" tanyaku penasaran menuntut penjelasan.
Dan beliau mengangguk membenarkan sembari mengulas senyum ke arahku.
Pada akhirnya Kakek pun menceritakan perjuangan nya. Bagaimana dirinya berjuang melawan para tentara Jepang yang ternyata lebih kejam dari tentara Belanda waktu itu, dalam perang gerilya.
Dari balik suaranya yang terdengar berat dan bergetar, aku bisa merasakan bagaimana Kakek ku menceritakan kisahnya penuh bangga.
Sudah pasti sebagai cucu, sangat bangga dan bergetar hati ini, kala sosok Kakek yang selama ini aku kenal ternyata adalah mantan pejuang yang pemberani.
Seorang petani biasa yang harus mengangkat senjata demi mempertahankan tanah airnya. Mencurahkan segala jiwa, raga serta harta yang di miliki untuk memperjuangkan kemerdekaan yang telah lama di gaungkan oleh pejuang bangsa ini.
Sampai pada akhirnya kemerdekaan pun di dapat setelah perjuangan panjang yang berdara-darah. Di tambah peristiwa besar bom Nagasaki dan Hiroshima yang menenggelamkan negara jepang dalam kekalahan telak oleh negara Amerika waktu itu. Menjadi suatu kesempatan bangsa ini untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Cerita dari Kakek ku menjawab semua rasa penasaranku. Hingga waktu liburan kami pun berakhir dan aku dan orang tua ku harus kembali ke kota.
"Kek, Calista harus pulang" ucapku sambil memeluk tubuh renta nya dalam tangisan karena harus berpisah.
"Iya, hati-hati di jalan." Suara berat kakek ku yang mulai melepaskan pelukan nya.
Dan akhirnya aku pun kembali pulang ke kota.
Sekembalinya ke kota, aku beraktifitas seperti biasa layaknya anak-anak lain. Namun cerita Kakek ku masih terngiang di kepala ku. Entahlah...
Setiap melihat foto pahlawan yang terpampang di dinding kelas ku, aku selalu bertanya-tanya? Bukankah kakekku juga layak mendapatkan penghargaan seperti pahlawan yang lain, yang fotonya di abadikan dalam bingkai dan layak di kenal oleh masyarakat yang menikmati kemerdekaan saat ini.
Tapi yang seperti Kakek ku bilang waktu itu. Apa pun yang kamu perjuangkan untuk negeri ini haruslah ikhlas dan jangan merasa berat untuk melakukannya.
Mungkin karena berperang adalah sebuah keharusan dan tanggung jawab baginya, Kakek ku tidak mempermasalahkan itu semua.
"Calista." Tiba-tiba suara panggilan Bu Erika, wali kelas ku yang terdengar hingga membuyarkan lamunan ku.
"Ya, ada apa Bu?" Tanyaku santai.
"Ikut ibu sebentar."
Aku pun mengikuti wali kelasku. Dan aku di ajak di ruang kantornya, di mana sudah ada Mama ku di sana.
Aku mulai curiga dengan raut wajah Mama yang sembab, seperti habis menangis.
Aku mendekati Mama, menanyakan alasan kedatangan nya datang ke sekolah.
Dan ternyata berita duka yang menjadi alasan Mama ku menemui ku saat ini.
"Calista...Kakek berpulang, Nak."
Kabar dari Mama membuatku terhenyak sesaat.
Baru se hari lalu dia menghabiskan waktu singkat bersama kakeknya, namun yang dia dapatkan saat ini adalah kabar meninggalnya Kakek.
Aku ingin menangis tapi tidak bisa. Karena pada dasarnya aku sulit menangis di depan banyak orang, apalagi di lingkungan sekolah seperti ini.
Tanpa menunggu lama, aku dan Mama masuk mobil setelah izin pulang di berikan pihak sekolah. Dan di dalam mobil itu lah tangis ku pecah. Aku menangis sejadi-jadinya karena merasa kehilangan atas sosok yang teramat aku sayangi, namun sangat singkat diriku menghabiskan waktu dengan nya.
Mama menenangkan ku, namun Mama ku pun tak juga sanggup menyembunyikan kesedihannya atas kehilangan Ayah kandungnya. Kami semua berduka.
Di hari itu juga, kami berangkat ke desa. Mengantarkan Kakek ke peristirahatan nya yang terakhir.
Di depan pusara nya, aku masih mengingat bagaimana Kakek ku menceritakan kisahnya dengan bangga. Saat itu bagiku beliau bukan hanya sekedar kakek, tapi seorang pahlawan perjuangan kemerdekaan, meski tidak banyak orang yang tahu tentang itu.
Dari kisah Kakek, aku menyadari. Bahwa semua ini bukan lah hanya soal kemerdekaan negeri ini, tapi di balik sebuah perjuangan seluruh lapisan masyarakat yang tak gentar dan rela mati demi negaranya.
Dari sekian banyak veteran perang, sejarah hanya mencatat lakon para pucuk pimpinan. Sedangkan bawahan yang berjuang mati-matian di garis terdepan berjuang menyambung nyawa, lantas terlupakan begitu saja. Mereka hanya di kenang dengan sebutan PARA PEJUANG
Aku mengingat sebuah kutipan sederhana namun syarat akan makna.
"Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu."
John Fitzgerald Kennedy