Dan semesta menjatuhkan bola itu dari langit. Di atas jalanan aspal yang kasar dan penuh dengan batuan-batuan tajam, bola kecil itu menggelinding tanpa arah dan tujuan. Hujan membasahi permukaan bulatnya, membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran hitam yang menjijikkan dan mengungkap warnanya yang asli. Putih bersih, sama seperti warna langit yang dulu. Di belakang, puing-puing bangunan terhempas ke segala arah. Itu melayang-layang di udara dengan kecepatan tinggi, seolah semesta sendiri dengan segala kekuatannya yang melemparkan puing-puing bangunan tersebut.
Ledakan besar itu kemudian mengirimkan sebuah potongan tangan ke sebelahnya. Darah mengucur deras dari bagian lukanya, jatuh membasahi jalanan beraspal kasar itu seperti air terjun jatuh ke perairan di bawahnya. Deras.
Sudah entah berapa lama bola itu tetap berada di sana. Ia tidak memiliki mata, namun menyaksikan sang mentari yang terbit. Dia tidak memiliki telinga, namun selalu mendengar gemuruh sekitarnya. Dia tidak memiliki mulut, tapi masih berteriak karena 'air terjun' di sekitarnya. Dia hanya 'seorang' pelancong yang baru datang entah dari mana, dan semua ini, semua kekejian ini, sudah harus dialaminya. Langit memang putih dan airnya jernih, namun dirinya adalah satu-satunya yang ternoda oleh darah. Kemerah-merahan. Amis. Menyengat. Menjijikkan. Bulan yang selalu menyaksikan keberadaannya dari atas mungkin dalam hatinya berkata, “Tidak ada yang akan datang mengambilnya. Dia terlalu menjijikkan.” Namun bulan bukanlah penenun takdir. Masih ada tangan yang ingin mengambilnya dan membersihkannya. Masih ada sepasang kaki yang ingin menggunakannya dan memainkannya. Masih ada orang, yang 'menganggap' dan menerimanya.
Sepasang tangan itu meraih ke bawah. Terlepas banyak noda yang mewarnai permukaannya, kedua tangan itu tidak segan-segan untuk memegangnya dan mengangkatnya bersama dengannya, membawa bola itu pulang ke 'rumah'. Mungkin bola itu tidak memiliki 'telinga', namun ia masih mendengar orang tersebut mengatakan,“Elna, ini untukmu.” saat sesampainya ia berada di 'rumah' nya.
Namanya Elna. Dia adalah seorang gadis kecil yang awalnya tidak punya jalan untuk kembali ke 'rumah' nya. Padahal dia seharusnya sudah mati sejak di dalam kandungan, dan dia mungkin akan lebih senang jika takdirnya memang seperti itu sejak awal. Tanpa alasan dan tujuan jelas semesta mendorongnya keluar dengan paksa dari 'ruang tersembunyi' itu, membuatnya terlahir ke dunia yang meresahkan ini. Awalnya masih ada yang menemani dirinya, walau hanya 'sepotong' saja. Namun kemudian, semesta seolah melemparkannya keluar dari satu-satunya zona aman miliknya, yang bahkan tidak seaman itu juga. Matahari terbit dan terbenam dia lihat. Suara-suara riuh ia dengar. Dan kesengsaraan yang ia rasakan. Dia pernah berjalan tanpa arah dan tujuan di luar sana, menyaksikan puing-puing berjatuhan dan tubuh-tubuh berserakan. Bau amis darah diciumnya. Menyesakkan. Cairan merah kental selalu jatuh dengan deras, seperti air terjun di sekitarnya. Menjijikkan.
Sejauh dia berjalan tanpa henti, tidak ada seorangpun yang ingin 'mengangkat' nya dan 'membawa' nya pulang ke 'rumah'. Setiap kali dia harus mengarungi kegelapan malam melalui hutan-hutan, ia selalu berpikir. Berpikir bahwa pasti tidak akan ada yang ingin mengangkatnya. Berpikir bahwa dirinya adalah 'tidak berguna' dan 'tidak bernilai'. Padahal ia hanyalah seorang 'pelancong' yang baru datang entah dari mana dan siapa orang tuanya, namun semua ini, semua kekejian ini, sudah harus dirasakannya. Lecet adalah kulitnya, dan koyak adalah dagingnya. Ia tidak merasa lagi bahwa dirinya masihlah sama seperti seorang 'manusia'. Namun perasaannya dan traumanya itu bukanlah sang penenun takdir, dan ia tidak pernah tunduk begitu saja kepadanya. Mungkin dia pernah merasa bahwa dirinya sebagai seorang 'manusia' terlalu menjijikkan untuk diterima sekawannya, namun pada kenyataannya, masih ada kaki yang berjalan menghampirinya, dan sepasang tangan yang terjulur ke depan menerimanya. Kedua tangan itulah yang merawatnya, dan kedua kaki itulah yang membawanya ke pada jalan pulang menuju 'rumah'.
Sinar matahari menyelinap masuk lewat celah-celah tembok kayu 'rumah' itu. Bola tersebut tidak memiliki kesadaran akan waktu, namun dirinya masih menganggap bahwa dia hanya menjadi 'hiasan' di rumah ini. Pikirannya, bagaimanapun, bukanlah sang maha penenun takdir. 'Dia' tidak punya kuasa akan bagaimana dirinya yang asli akan menjadi di masa depan nanti. Riuh terdengar dari luar sana. Anak-anak bermain dengan riang, berlarian menginjak-injak genangan air di atas tanah lapang mengejar sesamanya. Mereka tertawa, dan mereka bahagia. Namun tidak untuk satu yang ada di pojokan sana. Namanya Elna, dan dia adalah seorang gadis kecil yang tidak punya jalan kembali ke 'rumah'. Dia adalah sebuah perbedaan di antara yang lain-lainnya. Hanya termenung sendirian di pojokan sana membuatnya mulai jenuh. Dia ingin ikut bergabung dengan mereka-mereka yang ada di sana, namun kedua kakinya seolah menempel lekat dengan lantainya saat ia ingin berdiri. Perasaan itu mengingatkannya akan siapa dirinya yang dulu. Tidak mungkin ada yang ingin menerimanya, bukan ? Seorang yang lecet kulitnya dan koyak dagingnya ? Yah, 'trauma' bukanlah seorang penenun takdir. 'Dia' tidak bisa menentukan akan jadi apa tuannya di masa depan nanti.
Jauh dari apa yang diduganya, pria yang membawanya pulang ke 'rumah' itu menghampiri kumpulan anak-anak di lapangan itu. Di tangannya adalah si bola lepuh dan kasut yang dibawanya pulang sebelumnya. Anak-anak itu kelihatan senang menerimanya sepertinya, tidak sekalipun menghiraukan bentuk bulatnya yang sudah cacat dan hina. Namun bukan itu yang paling mengejutkan dirinya, karena tidak lama kemudian, satu bocah berbalik kepadanya, dan kemudian berteriak dari kejauhan.
“Oi, Elna !! Mau main bareng !??”
Dengan wajah polos dan bahagianya yang dibuat si bocah itu, sudah pasti dia tidak ingin bermaksud apa-apa kepadanya. Apalagi, 'orang' itu jelas ada di dekatnya.
Benar. Mereka tidak mempedulikan tentang cacat ataupun cela di tubuhnya sama sekali.
Elna memang sebuah perbedaan di antara gadis-gadis kecil yang lain di sekitarnya. Di saat mereka yang seumurannya hanya berdiam di dalam rumah dan membantu orang tuanya, Elna justru sebaliknya. Dia bermain bersama bocah laki-laki yang pertama kali mengajaknya bermain hari itu, dan sampai sekarang pun, ia masih sama seperti itu. Dia liar, ceroboh dan gampang marahan, namun bukan juga berarti dia adalah seorang berandalan sepenuhnya. Kuasa kekang dari 'ketakutan' nya di masa lalu itu sudah mulai menghilang sepenuhnya. Dia mengubahnya menjadi sebuah 'kekuatan' dan juga 'mimpi', memberinya sebuah tujuan di sepanjang jalan kehidupannya yang sebelumnya, adalah sebuah kehampaan belaka. Sama seperti bola itu yang akhirnya dikelilingi oleh banyak orang dan memiliki tujuannya kembali sebagai sebuah 'bola', Elna pun juga begitu. Dia penuh cacat dan noda, namun kekuatan tersembunyi di dalamnya.
Dan kuat bukan berarti tidak punya air mata. Semesta lagi-lagi melemparkan segalanya ke cakrawala. Matahari bersembunyi karena bising yang ada di permukaan bumi. Langit kembali memudar, dan tanah penuh dengan noda. Memang, 'kekotoran' tidak akan pernah pergi dari muka bumi, saat kekotoran itu sendirilah sang penghuni aslinya. Riuh dari luar terdengar begitu keras, seolah dengan kekuatannya sendiri sudah begitu cukup untuk membelah tirai dari surga, dan menurunkan satu malaikat untuk menjamahnya. Bukan riuh anak-anak yang bermain dengan ceria seperti biasanya, melainkan gemuruh kaki para 'penyelamat' dan getaran roda dari kendaraan para patriot. Mereka datang untuk menyelamatkan, membebaskan negeri ini dari kesengsaraan. Namun kesengsaraan hanyalah sebuah konsep dan tidak memiliki tubuh untuk ditembak, kulit untuk dipotong, dan daging untuk dikoyak, jadi 'penghapusan' tidak akan pernah bisa menyelesaikan. Daripada begitu, jauh lebih baik jika orang-orang yang malang inilah yang 'pergi' meninggalkan 'kesengsaraan' itu sendiri, bukan ? Apapun demi masa depan yang jauh lebih baik, katanya.
Dan semesta melemparkan bola itu ke langit. Di atas jalanan aspal yang kasar dan penuh dengan batuan-batuan tajam, bola kecil itu menggelinding tanpa arah dan tujuan. Hujan membasahi permukaan bulatnya, membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran hitam yang menjijikkan dan mengungkap warnanya yang asli. Putih bersih, sama seperti warna langit yang dulu. Di belakang, puing-puing bangunan terhempas ke segala arah. Itu melayang-layang di udara dengan kecepatan tinggi, seolah semesta sendiri dengan segala kekuatannya yang melemparkan puing-puing bangunan tersebut.
Barulah Elna menyadari bahwa 'manusia', tidak akan pernah ada yang sama dengan 'penyelamat' nya dan juga teman-temannya. Satu orang tidak akan pernah bisa mewakili seluruh dunia. Tidak semua orang menginginkan 'bola' itu di sisi mereka, karena....... Ada yang jauh lebih berharga daripada sekedar 'bola', cacat, dan cela.
****
Bocah laki-laki itu berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dia seharusnya kuat dan sangatlah kuat, namun bukan berarti dia tidak punya air mata. Melangkah bukan satu-satunya hal yang dia lakukan, melainkan menangis pun juga. Air matanya jatuh begitu deras sama seperti air terjun yang mengalir ke sungai di bawahnya. Awalnya, bumi yang dia kenal itu selalu dianggapnya sebagai 'lukisan yang paling indah'. Namun sekarang, ia akhirnya menyadari bahwa bumi tidak akan pernah lagi indah jika semua medannya adalah bekas luka dari peperangan, dan saat 'kekotoran' adalah makhluk yang menempatinya. Cacat dan cela adalah bumi yang dikenalnya sekarang. Tidak akan ada lagi 'rumah' ataupun 'zona aman' jika para pembunuh dalam topeng 'penyelamat dunia' ini masih berkeliaran bebas di atasnya.
Dia sendirian dan tidak pernah menemukan seseorang dalam perjalanannya yang tanpa ujung ini. Dia sempat berpikir bahwa mungkin tidak akan ada yang ingin menerimanya dengan segala dendam yang dia simpan dalam hatinya, dan dia sepertinya memang tidak butuh satupun di sisinya. Dendamnya adalah kekuatannya, dan juga mimpinya. Namun keinginannya bukanlah sang penenun takdir. Dia tidak akan bisa melewati hidupnya berdasarkan sekedar 'keinginan' itu seolah apapun yang dia pikir benar memang akan sepenuhnya terjadi.
Entah dari mana, sepasang tangan meraih ke bawah, dan membawanya pulang bersama ke zona amannya, tempat perlindungan satu-satunya, 'rumah'. Di rumah itu, dia menemukan sebuah bola, hanya sekedar bola semata, yang penuh cacat dan cela. Lecet adalah warnanya, dan koyak adalah permukaannya. Perempuan itu kemudian mengatakan bahwa “Bola ini milikmu.”
Ketika ia bertanya dengan kebingungan dan juga penuh waspada “Kenapa ?”, wanita itu justru hanya menjawabnya dengan senyuman lembut sambil membelai kepalanya.
Satu orang memang tidak akan bisa mewakili seisi dunia, namun satu orang itu, bisa membuat dirinya berguna bagi seluruh dunia.
Takdir melahirkan seseorang ke dunia bukan hanya untuk menonton mereka tersiksa seperti sedang berada dalam sebuah sinema. Bumi sudah terluka sejak lama, namun waktu yang terus berjalan ini mengatakan bahwa ini belum saatnya bagi planet biru itu mati. Memang luka dan cela itu tidak bisa dipulihkan, namun masih banyak orang di sana yang bisa mengubah 'luka' dan 'cela' itu menjadi sesuatu yang indah dan berharga. Roda sejarah yang terus berguling ini dipenuhi hitam dan putih, kejatuhan dan kebangkitan, kehancuran dan perbaikan. Itulah luka dan cela bumi, dan itu jugalah yang memberikan semua penghuninya sebuah 'tujuan' dan 'mimpi'.
Rumah kalian adalah bumi ini, sebuah sekedar 'bola' yang melayang-layang di kehampaan semesta dan penuh dengan luka dan cela. Apapun 'kekotoran' yang terjadi di dalamnya tidak akan pernah cukup untuk membunuhnya ataupun mengakhirinya. Roda waktu masih berjalan, dan 'kesempatan' itu masih ada di sana untuk memperbaikinya, terlepas dari cacat dan cela yang menjadi isinya.