"Sayang, tolong ambilin kartu apartemen di tas Bunda dong." Erika mengangkat lengan kirinya, membiarkan Azril mengambil kunci di dalam tas kantornya itu.
Anak lelaki berusia 8 tahun itu bergegas menuruti perintah bundanya. Ia merogoh tas kantor berwarna hitam itu, dengan segera Azril menemukan kartu yang dimaksud.
Ditempelkan kartu itu ke mesin akses yang berada di samping pintu apartemen mereka. Tak berselang lama, pintu apartemen itu terbuka. Erika dan Azril lalu bergegas masuk.
Erika lalu menaruh barang-barang belanjaan yang sedari tadi memenuhi kedua tangannya. Sementara itu, Azril langsung menuju kamarnya, menaruh tas sekolah yang tampak begitu besar dibanding tubuh mungilnya itu. Anak lelaki itu tampak kelelahan setelah diajak bundanya berkeliling supermarket sepulang sekolah.
Hari ini memang berbeda dari biasanya. Di hari-hari biasa, setelah menjemput Azril, mereka akan langsung pulang ke apartemen. Namun, karena besok teman-teman Erika hendak berkunjung ke apartemen, perempuan itu memutuskan mampir berbelanja terlebih dahulu ke supermarket di dekat sekolah Azril.
Erika lalu sibuk membereskan sekaligus mengecek ulang belanjaannya, siapa tahu ada bahan makanan yang belum terbeli atau tertinggal di mobil. Ia membuka ponselnya, membuka catatan bahan-bahan apa saja yang harus ia beli. Catatan itulah yang ia gunakan saat berbelanja tadi.
"Bunda, aku boleh nonton kartun dulu kan? Soalnya kan besok hari Sabtu." Azril berdiri di hadapan Erika yang sedang sibuk mengeluarkan bahan makanan dari tas belanja.
Erika melirik ujung layar ponselnya, terlihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia terdiam sebentar. Saat hari biasa, perempuan dengan rambut pirang itu tidak akan membolehkan Azril tidur larut malam. Ia khawatir anak lelakinya itu mengantuk di sekolah. Selain itu, tentu saja karena ia tidak ingin dimarahi Anton, suaminya.
Mengingat besok adalah hari Sabtu, ditambah sang suami juga sedang lembur, Erika lantas membolehkan Azril untuk menonton kartun di televisi.
"Yaudah boleh, tapi sebentar aja ya, sebelum jam sepuluh harus udah tidur. Nanti kalau ketahuan Papa bisa dimarahin," jawab Erika yang masih sibuk dengan belanjaannya.
"Yeay! Makasih Bunda!"
Belum sempat Erika menjawab, Azril sudah berlari menuju ruang tengah dan menyalakan televisi di sana. Erika hanya menggeleng pelan melihat tingkah anaknya yang menggemaskan itu.
Erika lalu melanjutkan pengecekan belanjaannya. Ia memberi tanda centang ulang untuk bahan yang sudah ia beli dan ada di tas belanjanya. Setelah mengeluarkan seluruh isi tas belanjanya, ia baru menyadari ada beberapa bahan makanan yang belum diberi tanda centang ulang, padahal bahan-bahan itu sudah dibeli.
Baru teringat bahwa masih ada beberapa bahan yang tertinggal di bagasi mobilnya. Erika menepuk jidat atas keteledorannya itu. Ia lalu mengambil kunci mobil lalu bersiap untuk turun.
Sebelum itu, Erika mendekati Azril yang sedang asyik menonton televisi.
"Azril."
"Iya, Bun?"
Azril mengalihkan pandangannya ke samping, setelah menggeser tubuhnya karena sang bunda hendak duduk di sebelahnya.
"Dengerin bunda, bunda mau turun sebentar ke parkiran, soalnya ada bahan-bahan yang ketinggalan di bagasi. Kalau ada orang asing atau siapapun yang minta dibukain pintu, jangan mau ya?" Erika mengelus kepala anak laki-lakinya itu dengan perlahan.
Azril mengangguk, memberi jawaban atas permintaan bundanya. Erika berkata seperti itu bukan tanpa sebab. Akhir-akhir ini di apartemen mereka sering terjadi laporan aneh dari anak-anak sekitar mengenai sosok manusia yang menyerupai orangtua atau saudara mereka.
Sayangnya, saat ditelusuri pihak keamanan apartemen lebih lanjut, tidak ditemukan keberadaan sosok-sosok itu. Hal ini membuat mereka berasumsi bahwa ini hanya akal-akalan atau imajinasi anak-anak semata, sehingga laporan-laporan ini tidak ditindaklanjuti.
Meskipun begitu, Erika tetap mewaspadai hal-hal seperti itu. Setelah memberi pesan kepada Azril, ia bergegas mengambil kunci mobil dan ponselnya lalu keluar dari ruang apartemennya.
Lorong apartemen malam ini terlihat sepi. Erika dengan segera menuju ke depan lift, ia merasa tidak tenang meninggalkan Azril sendirian. Lift menunjukkan angka delapan, lantai apartemen saat ini Erika dan keluarganya tinggal.
Tak berselang lama, pintu lift terbuka. Seorang wanita paruh baya terlihat hendak keluar dari sana.
"Loh, Bu Maya baru pulang?"
"Iya Bu Erika, ibu sendiri mau ke mana?"
Perempuan bernama Maya itu lalu keluar dari lift. Erika lalu menekan tombol buka pintu di lift untuk menahan lift agar tidak turun terlebih dahulu.
"Oh ini Bu, saya mau ke parkiran, lupa ada barang yang ketinggalan di mobil."
"Oalah ya sudah Bu, saya duluan dulu, hati-hati." Maya lalu menepuk pundak Erika sebelum ia berjalan meninggalkannya.
"Iya Bu, silakan." Erika lalu masuk ke dalam lift dan menekan tombol untuk menuju ke basement.
Di dalam lift, terbesit dalam ingatan Erika tentang Maya yang menepuk pundaknya tadi. Seingatnya, perempuan yang tinggal tepat di seberang kamarnya itu selalu memberi pelukan saat mereka bertemu. Ia merasa sedikit aneh dengan sikap Maya yang tidak seperti biasanya. Namun, ia menepis pikiran buruk itu, mungkin karena dirinya kelelahan sehingga berpikiran yang aneh-aneh.
Azril yang masih sibuk menonton kartun dikejutkan dengan suara bel pintu apartemennya. Ia bergegas menuju ke pintu untuk melihat siapa yang ada di luar.
"Duh, siapa sih itu? Ganggu aku lagi nonton kartun aja deh," gerutu Azril.
Beberapa meter sebelum Azril sampai di depan pintu. Ia teringat pesan bundanya, tentang jangan asal membukakan pintu, terutama pada orang asing. Seketika jantungnya berdegup dengan kencang.
"Si-siapa ya?!" tanya Azril dengan setengah berteriak.
Namun, tak ada jawaban dari luar. Ia perlahan mendekati monitor di mesin akses dengan maksud untuk melihat siapa yang ada di luar.
Langkah kakinya terasa sangat berat. Setiap langkah ia merasa semakin dekat dengan sesuatu yang menakutkan. Dalam kekalutannya itu, ia jadi teringat cerita teman-temannya yang mengaku melihat sosok-sosok aneh dimana menyerupai orangtua atau saudara mereka.
"Bun.... " Mata anak lelaki itu berkaca-kaca.
Semakin dekat dengan layar monitor, semakin kuat rasa takut menguasainya. Sampai-sampai tak hanya cairan bening yang mengalir di pipinya, melainkan cairan hangat juga membasahi sebagian besar celananya saat ini.
Jaraknya hanya tersisa beberapa jengkal dari monitor itu. Azril memberanikan diri melihat ke arah monitor, memastikan siapa gerangan yang memencet bel apartemennya sedari tadi.
"Bu-bunda?"
Ia merasa lega. Seluruh beban dan rasa takut di tubuhnya terasa menguap entah ke mana. Terlihat bundanya berada di luar apartemen saat ini. Azril lalu bergegas membukakan pintu apartemen.
"Azril, kok lama banget bukain pintunya?"
"Maaf Bun, tadi Azril kira orang lain. Kan tadi bilangnya jangan bukain pintu buat orang asing gitu." Azril langsung memeluk perempuan itu sembari terisak.
"Ya udah nggak apa-apa. Masuk aja yuk, udah malem gini."
Azril mengangguk. Mereka lalu masuk bersama. Melihat celananya yang sudah basah, Azril lalu memutuskan untuk mengganti celananya. Sedangkan Erika langsung masuk ke kamarnya.
Setelah berganti celana, Azril berencana untuk mematikan televisi yang ia tonton tadi. Ia khawatir papanya pulang lalu memergokinya masih menonton kartun selarut ini.
Saat ia mematikan televisi, tiba-tiba terdengar bel apartemennya lagi. Jantungnya berdegup kencang kembali. Namun, kali ini ia berusaha untuk tidak takut seperti tadi. Siapa tahu itu ternyata papanya, pikir Azril.
"Bun, itu ada yang mencet bel." Azril memanggil Erika. Namun, tak ada sahutan dari dalam kamar.
Ia mengira bundanya sudah tidur karena kelelahan. Dengan memberanikan diri didekati monitor itu. Berbeda dengan sebelumnya yang ketakutan, kali ini Azril tampak lebih tenang.
Namun, rasa tenang itu sirna seketika ketika ia melihat bundanya saat ini berada di luar apartemen. Pikirannya menjadi kacau, jika bundanya ada di luar, maka siapa perempuan yang masuk bersamanya tadi.
Azril sekali lagi memastikan penglihatannya tidak salah. Dicek sekali lagi tampilan monitor itu, tapi tetap tidak ada yang berubah. Monitor itu tetap menampilkan sosok bundanya yang berdiri dengan membawa beberapa bahan makanan di luar.
"Bunda?" Azril memencet tombol mikrofon di layar monitor itu.
Dari luar, Erika dapat mendengar perkataan anaknya itu.
"Azril? Tolong bukain pintunya dong, tadi bunda lupa bawa kunci apartemen."
Azril semakin bingung yang mana sebenarnya bundanya yang asli. Di tengah kebingungan itu, terdengar suara pintu kamar terbuka.
"Azril? Kok belum tidur?"
Azril menatap takut ke perempuan itu. Erika yang saat ini berada di ambang pintu kamar sepertinya paham tentang apa yang dipikirkan Azril.
"Kamu kenapa, Nak?"
"Itu di depan, a-ada bunda." Azril sedikit memiringkan kepalanya ke arah monitor.
Erika memasang wajah bingung.
"Bunda di sini loh, Nak. Apa maksudnya bunda ada di luar?"
Saat itu juga, Azril baru menyadari sesuatu. Benar. Bundanya tidak pernah memanggil ia dengan panggilan nak, melainkan selalu memanggil dengan panggilan sayang.
Nafasnya berderu kencang. Dengan perlahan ia meraba monitor untuk memencet tombol guna membuka pintu apartemen. Namun, gerak-geriknya sangat terlihat mencurigakan.
"Oh, jadi kamu sudah tahu mana yang benar-benar bundamu?"
Perempuan itu menyeringai tajam. Dalam sekejap, terjadi perubahan drastis yang membuat Azril panik dan ketakutan. Sampai-sampai ia tak sadar sudah terduduk di bawah monitor, belum sempat dipencetnya tombol untuk membuka pintu apartemen.
Azril berusaha setengah mati untuk kabur dari sana. Penampilan perempuan itu benar-benar membuatnya ketakutan. Bagaimana tidak, dalam sekejap, rambut perempuan itu berubah menjadi kusut dan panjang. Kulit yang semula mulus menjadi keriput. Satu hal lagi yang menjadikan perempuan itu semakin mengerikan adalah perubahan pada lehernya. Dimana lehernya saat ini menjadi panjang dan meliuk-liuk secara bebas di ruangan itu.
"Kan sudah bunda bilang, jangan bukain pintu buat orang asing. Iya, kan?"
Perempuan itu menyeringai kembali. Kali ini menampakkan deretan giginya yang runcing dan penuh darah. Tak berselang lama, kepala perempuan itu melesat menuju Azril, bahkan sebelum anak lelaki itu sempat untuk berteriak.
Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka. Erika terlihat kesal karena tak dibukakan pintu sedari tadi.
"Azril, kamu daritadi tuh ngapain sih? Bunda tungguin kok nggak buruan dibuka pintunya." Erika bergegas masuk sambil terus mengomel.
Azril yang diomeli hanya terdiam sambil menutup pintu. Setelah menaruh bahan-bahan makanan yang tertinggal tadi, Erika menatap anak laki-lakinya itu, berniat untuk memarahi. Sementara yang ditatap hanya tersenyum cengegesan.
"Kamu habis makan apa? Selai strawberry ya? Kok mulutmu ada belepotan merah-merah gitu?"
Menyadari itu, Azril bergegas menyeka mulutnya dengan lengan baju. Membersihkan sisa-sisa noda merah di mulut. Ia lalu menggeleng, memberi jawaban atas pertanyaan bundanya.
"Terus kalau bukan selai apa dong?" Erika mengerutkan dahinya, memasang ekspresi kebingungan.
"Ada deh, Bun. Rahasia." Azril menempelkan jari telunjuknya di mulut sembari tersenyum tipis.
Tamat.
