"Lila, buruan..." Suara Mama menggema dari dapur.
Dengan langkah terburu-buru aku menuju tempat Mama berada. Sarapan pagi sudah tersedia di atas meja, lantas aku mengambil tempat dan segera melahap sarapan buatan Mama.
"Kamu ini loh, kenapa malah telat? Sandy udah nungguin." Rutinitas pagi mama adalah mengomel.
"Ma, Sandy itu lebih telat dari Lila," aku membantah dengan mulut penuh.
Benar saja. Saat aku keluar rumah, Sandy belum terlihat batang hidungnya.
Kalau bukan kebetulan hari ini Papa di luar kota, aku mah ogah nebeng si Sandy. Sandy adalah tetangga samping rumah yang selama masa hidupku terus bersamanya. Kami berteman sejak kami masih kecil dan itu sangat melelahkan.
"Buruan San!" Aku berseru saat moncong motor barunya keluar dari pekarangan rumah mereka.
Funfact. Sandy mendapatkan motor baru itu setelah merengek pada ayahnya selama sebulan penuh. Ayahnya menyerah dan membelikan motor sport keinginannya itu. Itulah Sandy yang ku kenal, pantang menyerah pada keinginannya.
"Naik!" Sandy memberi perintah sambil nyengir lebar. Bertindak angkuh dengan motor baru itu.
Aku kesulitan naik motor dengan rok pendek. Mau tak mau aku harus meremas jaket Sandy agar tak jatuh. "Jangan ngebut." Aku menepuk punggungnya.
Sandy berdecak. "Orang tampan dan gentleman kaya aku nggak bakalan bikin cewek terluka."
"Halah!" Aku tak setuju pada pernyataan 'tampan' dan 'gentleman'.
By the way, hari ini ada yang berbeda darinya. Sulit untuk kuakui. Ia sedikit lebih tampan dari biasanya. Hanya sedikit sih.
Ia yang biasanya berpenampilan urak-urakan terlihat lebih rapi dengan baju seragam yang dimasukkan dalam celana. Biasanya ia harus kena hukuman guru dulu baru rapi. Bahkan hari ini ia memakai parfum, padahal selama ini pakai deodoran pun kalau ingat. Belum lagi tampilannya yang mau tak mau kuakui terlihat lebih keren dengan motor sport yang mengkilap ini.
Aku membuyarkan pikiranku. Tak ingin memuji pria ini. Palingan cuma sehari ia berpenampilan rapi. Esok pasti sudah kembali ke wujud asli.
Perjalanan kami memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Ada perbaikan jalan dan kami harus memutar arah. Jalanan macet tak bisa dihindari. Suara klakson kendaraan memekikkan telinga. Belum lagi lampu merah yang entah bagaimana membuat kami tertahan lebih lama.
"La," Sandy memanggilku sambil membawa motor dengan pelan, memepet kendaraan lain.
"Apa?" Aku mengangkat kaca helm-ku, memajukan kepalaku.
"Mau nggak jadi pacarku?"
Aku langsung membuang muka. Bukan sekali dua kali Sandy memintaku menjadi pacarnya. Saat kami SMP, ia sering mengungkapkan perasaannya padaku yang langsung kutolak mentah-mentah. Siapa yang akan mau pacaran sama pria dekil dan bau keringat sepertinya. Saat kami duduk di bangku SMA pun ia beberapa kali kembali menanyakan hal itu. Jawabanku masih sama. Tidak.
"Padahal aku udah punya motor baru loh." Sandy tak menyerah dengan penolakanku barusan. Ia sempat-sempatnya pamer.
"Emangnya kenapa? Ngerasa keren ya?" ledekku.
"Emang keren." Ia tak mau kalah. "Aku nanya untuk yang terakhir kalinya, mau nggak jadi pacarku?"
Mendengar kata 'terakhir kali', aku terhenyak. Ada yang berbeda dari intonasi ucapannya. Biasanya ia hanya menjawab dengan tawa garing setiap kali aku memberi penolakan.
Aku memandang lampu lalu lintas berwarna hijau yang kemudian beralih warna kuning lalu merah. "No is no." Aku memantapkan hati, terhipnotis dengan nyala lampu yang menghentikan gerak kendaraan.
Sesampainya di sekolah, kami memilih untuk tak membahas lebih jauh tentang masalah tadi. Kami mengunci mulut dan masuk ke kelas masing-masing.
Namun tak kusangka, di hari yang sama aku mendapatkan kabar lain tentang Sandy. Ia dan Tania, gadis cantik teman sekelas Sandy, resmi berpacaran. Aku merasakan suatu perasaan amarah yang tak ku kenal.
Mungkin aku merasa kesal karena Sandy tadi pagi menembakku dan siangnya malah berpacaran dengan orang lain. Seolah ia mempermainkanku. Aku tahu aku tak punya hak untuk marah, tetap saja api di hatiku terus membara.
Hubunganku dengan Sandy masih sama, walau sedikit canggung. Ia lebih sering menghabiskan waktunya dengan Tania, dan aku sebagai perempuan tak mau mengganggu hubungan mereka. Lagipula aku merasa tak nyaman saat mereka bersama, mungkin karena ini pertama kalinya Sandy berhubungan dengan wanita selain aku.
Saat lulus SMA, keluarga Sandy pindah ke kota lain. Rumah yang biasanya jadi tempat main kami berpindah tangan ke pemilik baru. Sementara aku dan keluargaku masih berada di tempat yang sama untuk tahun-tahun seterusnya.
Semenjak kepergian keluarga itu aku merasakan perasaan hampa. Mama juga sering mengeluh merindukan ibu Sandy. Bayangan tengil dan urak-urakan Sandy selalu tergiang di kepalaku dan aku melakukan banyak cara untuk mencoret kenangan itu.
Namun, bayangan wajah Sandy yang ceria dengan mudah muncul setiap kali aku melihat lampu merah. Bahkan aku pernah menangis tersedu-sedu di balik kaca helmku saat momen beberapa tahun silam itu berputar dalam benakku.
Aku berandai-andai.
Jika saja aku menuruti kata hatiku saat itu, mungkin saat ini yang nangkring di story media sosial Sandy adalah wajahku. Nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa menyalahkan lampu merah yang menyala terang dan kuanggap sebagai pertanda kala itu.
'La.'
Begitu pesan singkat yang kudapatkan dari Sandy. Hatiku terasa sesak dan berdebar-debar. Jemari yang meremas kasar daster rumahanku kupaksakan mengetik balasan.
Aku dan Sandy tak berhubungan selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun pertama kepindahannya, kami masih berbagi pesan dan berkabar. Tahun-tahun berikutnya semakin jarang.
'Kami nanti datang ke acara wisudamu'
Pesan di layar handphone membuatku beku di tempat. Jantungku seperti akan meledak. Setelah bertahun-tahun lamanya, aku akan bertemu lagi dengannya.
Hari wisudaku pun datang. Sandy dan keluarganya tak terlihat selama acara. Sampai acara selesai, hanya orang tua dan teman-temanku yang memberi selamat.
Kami pulang ke rumah bertepatan dengan datangnya mobil hitam dibelakang kami.
"Maaf, jeng. Tadi macet." Ibu Sandy keluar dari mobil hitam itu langsung memeluk Mama dan aku, serta menyalami Papa. Di belakangnya, ayah Sandy dan Sandy menyusul.
Sandy, pria dekil yang kukenal, sudah berubah total. Tubuhnya berisi dan kulitnya lebih cerah. Aku hampir tak mengenalinya. Ia terlihat jauh lebih baik empat tahun terakhir ini.
"Selamat, ya," ucap Sandy menyerahkan buket bunga peony dan boneka beruang berwarna beige. Setidaknya ia masih ingat apa yang kusukai.
Setelah mencari waktu agar bisa berduaan dengannya, aku mendapatkan peluang. Orang tua kami berkumpul di ruang tengah sementara Sandy menemaniku cuci piring di dapur.
Kelakarnya masih sama. Garing dan asbun. Kami bertukar kabar kehidupan, dan itu melegakan hatiku.
"La, aku bulan depan mau menikah." Perkataan Sandy yang tiba-tiba itu meruntuhkan kebahagiaan yang baru saja aku rasakan.
"Selamat, ya." Aku berucap, menahan tangis di sudut mata.
"Makasih," sahutnya datar.
"Sama-sama." Aku menunduk, tak sanggup menatapnya.
Ia tertawa kecil dengan suara baritonnya. "Dulu, aku berpikir tak ada yang mau kunikahi selain dirimu. Sekarang, semuanya telah berubah."
"Namanya juga bukan jodoh," ucapku menahan getaran dalam suaraku. Sangat sulit menahan tangis saat hatimu hancur berkeping-keping.
Aku mendengarkan helaan napas berat dari Sandy. Refleks aku menoleh.
"Kamu masih nggak mau buka hatimu buatku, ya."
Aku tertegun, hendak membantah.
Sandy bangkit dari tempat duduknya, tak membiarkan ucapan yang tercekat di tenggorokanku keluar. Ia dan keluarganya pamit pulang, tak memberiku kesempatan untuk mengungkapkan rasa terpendam dihatiku.
Dan malam tanpa bintang itu adalah terakhir kalinya aku bertemu Sandy.
~~~
Halo semuanya, terimakasih sudah membaca karyaku ini. Semoga kalian suka yaa...
Perkenalkan, namaku Lisa dengan nama pena XO_Love. Aku senang menulis dan baru-baru ini menyeriusi hobiku dalam dunia penuh imajinasi ini. Masih banyak hal yang perlu aku pelajari untuk mengembangkan bakatku.
Cerita ini terinspirasi dari hidup penulis yang terlalu banyak menimbang-nimbang sebuah keputusan. Mau ini takut ini dan begitulah seterusnya. Sampai akhirnya bingung sendiri.
Terima kasih juga untuk Ruang Author yang memberikan challenge ini. Semoga GC-nya terus berkembang dan bermanfaat bagi para penulis-penulis sepertiku.
Sekian pesan dan kesan dari penulis.
Akhir kata, izinkan penulis memberikan sebuah quote yang mungkin berguna untuk kita semua.
"Tak ada lain kali dalam sebuah kesempatan, pastikan pilihanmu tak membuatmu menyesal kemudian hari."