Dhita berjalan dengan senyum mengembang di wajahnya. siang ini ia akan mengantarkan bekal makanan ke tempat kerja sang suami walaupun Barry sang suami selalu cuek padanya.
Dhita sengaja tak memberitahukan kedatangannya pada sang suami karena ia ingin memberi kejutan pada Barry walau besar kemungkinan Barry tidak akan senang.
Saat Dhita tiba di depan ruang kerja sang suami ia membuka pintu, seketika mata Dhita melotot kala melihat Barry sedang bercinta dengan seorang wanita di atas meja kerjanya. bahkan Dhita bisa melihat milik Barry yang keluar masuk pada milik si wanita itu.
"Brengsek!!!" Dhita berteriak kencang sontak membuat aktifitas panas keduanya berhenti.
"sh*t.." Maki Barry bahkan wajahnya tak menampakan raut bersalah sedikitpun.
"Kenapa kamu lakukan ini hah?" Dhita kalap, ia langsung melempar bekal yang a
u, ia bawa ke atah Barry hingga nasi, sayur dan lauk pauk tercecer.
Wanita yang barusan di gauli Barry buru-buru membenarkan pakaiannya lalu ia pergi membiarkan kedua manusia yang ada di hadapannya bertengkar.
"Bukan urusanmu! lagipula aku menikahimu hanya ingin anak saja tidak lebih" Barry akhirnya berkata jujur tentang tujuan dirinya menikahi Dhita.
"Kau benar-benar pria terjahat yang pernah aku temui" Dhita berkata sembari menangis.
"Pulang lah aku muak melihat wajahmu, istirahatlah jaga kehamilanmu karena bayi itu adalah penerus perusahaan Lingga group" Barry mengusir sang istri.
Dhita pun pergi dari hadapan Barry dengan perasaan yang kacau.
Dhita merasa ia menjadi wanita yang rendah dan hina di mata Barry dan Dhita sudah tidak tahan lagi.
Dirinya terus berjalan dengan langkah gontai sampai ia tidak menyadari jika ada sebuah motor yang melaju kencang hingga akhirnya tubuh Dhita terhempas dan ia langsung tak sadarkan diri.
Beruntungnya ada ambulance kosong yang melewati tempat Dhita kecelakaan.
Ia pun segera di bawa kerumah sakit.
Sesudah sadar, Dhita melihat tak ada siapapun menungguinya. Ia merasa seorang diri di dunia ini.
"Malam Bu, maaf sebelumnya kami akan mengatakan bahwa janin yang ibu kandung tidak bisa di selamatkan karena mengalami benturan yang sangat keras" Ungkap dokter.
Mendengar itu air mata Dhita langsung luruh. Tetapi tak lama ia menatap sang dokter.
"Apakah jenazah janin saya masih ada, dok?" Tanya Dhita.
"Ada Nyonya. Rumah sakit masih menyimpan jenazah janin anda di lemari pendingin di ruang mayat" Jawab sang dokter.
"Saya minta jangan dulu di kuburkan dok, simpan saja di lembari pendingin, jika kondisi saya sudah sembuh, saya akan membawa dia pulang" Pinta Dhita.
"Baiklah Nyonya, kami akan menjalankan pesan Nyonya" Balas sang dokter.
Dokter itu pun pamit menyisakan Dhita seorang diri. kini ia benar-benar menangis sembari meremas dadanya.
Rasa sakit yang Barry berikan sungguh tidak bisa termaafkan. Andaikan Barr tidak melakukan itu dengan wanita lain mungkin hal ini tidak akan terjadi.
"Arghhhhhhhhhhhhh.. kau jahat Barry, kau menghancurkan hidupku" Jerit tangis Dhita terdengar menyayat hati.
Di tempat lain, Barry malah sibuk dengan para wanita penghibur sembari meminum minuman beralkohol.
"Dady mau nambah lagi, sayang?" Tawar salah satu wanita penghibur itu.
"Isi lagi gelas punya dady, baby!" Balasnya.
Tidak ada rasa penyesalan setelah tertangkap basah sudah bercinta dengan wanita oleh Dhita bahkan untuk sekedar khawatir saja tidak ada dalam benak Barry.
Hingga tiga hari kemudian, Dhita sudah di perbolehkan pulang oleh dokter, ia pulang sembari membawa kotak kesuatu yang sudah ia berikan pita. Sebelumnya ia sudah bercerita pada suster yang merawatnya tentang kepedihan yang ia rasakan, suster itu pun lalu membantu Dhita merias kotak yang ternyata di dalamnya ada janin miliknya.
Sesampainya di rumah, Dhita tidak menampakan kesedihan apapun pada semua pembantunya. Ia tetap terlihat bahagia seperti biasanya.
"Tuan sudah pulang Bi?" Tanya Dhita.
"Tuan tidak pulang sudah tiga hari, Nyonya" Jawab Inah, pembantu di rumah itu.
"Bi, ini ada kotak kue, tolong Bibi simpan di dalam lemari pendingin, berikan pada Tuan kalau ia sudah pulang" Pesan Dhita.
"Baiklah Nyonya" Balas Inah patuh.
Sesampainya di kamar, Dhita segera membereskan pakainnya kedalam koper beserta barang berharga miliknya. Ia sudah bertekad akan pindah ke Swiss dan tak akan kembali lagi ke Indonesia. Ia benar-benar ingin menutup kisah dengan Barry.
Jiwa dan hatinya sudah terlalu remuk dan tak akan mungkin bisa utuh lagi.
Dhita pun keluar dari kamar, pamit pada Inah.
"Ini uang buat Bibi, jika Tuan menanyakan saya bilang saja tidak tahu ya. saya pergi dulu, dan jangan lupa Bibi kasih bingkisan itu pada Tuan" Pesan Dhita lalu pergi dari rumah itu.
Sore hatinya Barry baru pulang, ia heran karena tidak melihat keberadaan Dhita.
"Bi, Nyonya kemana?" Tanya Barry.
"Nyonya pergi Tuan, tetapi beliau tidak bilang mau pergi kemana. Oh ya Tuan, sebelum Nyonya pergi beliau menitipkan bingkisan pada saya. Sebengar saya ambil di lemari es" Ucap Inah lalu berjalan mengambil bingkisan yang di berikan Dhita.
"Ini Tuan" Inah memberikan bingkisan itu pada Barry.
Barry segera menerima bingkisan itu, la langsung membukanya. Tetapi sedetik kemudian bukan kue ataupun barang lainnya melainkan satu gumpal daging yang sudah terlihat membentuk makhluk tergeletak miris di atas kotak itu. seketika tangan Barry bergetar memandang benda lumak yang terlihat sudah mempunyai garis mata dan bibir.
Barry pun lalu meraih selembar kertas di bawah janin itu, disana terlihat kertas dari sebuah rumah sakit atas nama Dhita Purnamasari.
Hati Barry semakin mencekam, ada hal yang ia tidak tahu apa yang sudah Dhita alami ketika ia bersenang-senang di luar sana.
"Dhita.. arghhhhhhhh" Barry merasa kacau sekarang.
Kemudian ia meraih satu lembar surat lagi yang tertulis oleh Dhita sendiri.
"Barry, kau adalah suami yang sangat jahat dan sangat Dzolim padaku. Kau menginginkan aku hamil, aku sudah turuti kemauanmu tetapi Tuhan lebih mencintai anak itu.Tuhan tahu jika nanti anak ini lahir maka akan mempunyai ayah yang problematik dan jika dia lahir maka ia akan melihat ibunya tersiksa sepanjang waktu.
Barry, semoga kamu bahagia setelah aku dan anakmu pergi. kau bebas melakukan apapun yang kau mau" Barry membaca surat itu dengan lelehan air mata yang deras. Rasa menyesal pun menyusup kedalam hatinya. Dhita yang selama ini ia selalu kasari, sakiti, dan ia hina sudah pergi membawa berjuta luka di hatinya.
Anak yang selalu ia harapkan pun sudah tak bernyawa lagi tergeletak pada sebuah kotak di hadapannya. Barry merasa semua sudah hilang di hadapannya.
"Arghhhhhhhhh Dhita maafkan aku Dhita" Erang Barry sembari menangis.
..
2 tahun kemudian....
Setelah kejadian itu Barry menjadi depresi. Ia selalu menyebut nama Dhita namun yang di sebut sudah hidup tenang seorang di di Swiss dengan bekerja sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak disana. Dhita sudah memutuskan untuk tidak menikah karena ia masih trauma dan ia tidak punya akta cerai.