"Zoey, ayo kita putus."
Ucapan Damian bagai petir disiang bolong, apa katanya tadi putus? Gadis yang bernama Zoey tersenyum tipis. Tak menanggapi ucapan kekasihnya.
"Zoe." Panggilnya, kini Damian membalikan tubuh Zoe agar menghadap padanya.
"Ada apa? Jangan bercanda deh, gak lucu." Cetusnya.
"Aku gak bercanda, Zoe. Ini semua murni ingin ku, aku sudah lelah dengan hubungan ini. Hubungan yang berjalan hampir tujuh tahun." Kata Damian, menatap gadis di depannya yang hanya diam.
Mereka pacaran dari zaman putih biru, Zoey selalu mendukung apapun keputusan Damian. Sampai pada akhirnya, Damian ingin mengikuti kelas model dan menjadi model atau artis. Dan kini, semua keinginannya tercapai. Tapi, agency melarang Damian pacaran. Lebih tepatnya bosnya ilfil melihat Zoey, yang mondar mandir di manapun Damian berada.
"Kenapa? Kenapa, Dami? Apa salahku?" Zoey menahan laju air matanya.
"Kamu tidak salah, Zoey. Kita sudah tidak cocok saja."
"Dami..."
Damian mengangkat tangan, enggan Zoey berbicara lagi. Hingga pada akhirnya, Zoey mengerti bahwa Damian tidak butuh dirinya lagi.
"Baiklah, jika itu keputusanmu. Semoga kamu bahagia," ucap Zoey, dengan tulus. Walau dalam hatinya hancur berantakan, hubungan tujuh tahun berantakan dalam beberapa hari.
Zoey meninggalkan tempat pemotretan Damian, tanpa pamit dia keluar begitu saja mencoba tak menangis didepan semua orang.
"Akhirnya, dia sudah pergi?" tanya Manager Damian, bernama Max.
"Sudah." Jawab Damian dengan dingin. Namun, dia merasakan pelukan hangat yang melingkar di perutnya.
"Jangan khawatir, ada aku!" Bisiknya dengan manja. Tidak ada tanggapan apa pun dari Damian, bohong jika dia baik-baik saja. Kenangan selama tujuh tahun tidak mungkin hilang dalam satu hari.
"Maafkan aku, Zoe."
"Sudahlah, Dam. Masih banyak cewek yang lain, contohnya Niki gitu. Lagian kenapa bisa lo jatuh cinta sama cewek kampung," cibir Max, "malu-maluin, dibawa ke pesta aja."
"Max, jaga bicara lo." Geram Damian, dia melepaskan pelukan gadis yang memeluknya. Lalu pergi begitu saja.
Sementara itu, Zoey pulang dengan taxi online yang dia pesan. Hatinya hancur dan sakit.
"Kenapa Damian? Kenapa kamu tega, sama aku? Apa salah dan kurangnya, aku?" isak Zoey, didalam mobil mengalun merdu lagu milik penyanyi Indonesia yaitu Mahalini.
Refleks, Zoey mengikuti lirik lagu tersebut. Namun, saat reff dia menangis lagi.
Jika kau minta, aku menjauh hilang dari seluruh memori indah mu. Kan kulakukan semua, walau ku sanggup bohongi hatiku.
Tangis Zoey pecah, supir yang mengerti pun menepikan mobilnya.
"Minum dulu, mbak. Tenangkan diri anda," si supir memberikan botol air yang masih tersegel.
"Makasih, Pak." Ucap Zoey, dengan suara sumbang.
Setibanya di kontrakan, Zoey hanya menatap kosong. Kontrakan yang penuh kenangan dengan Damian.
"Aku harus kuat, aku harus move-on." Lirih Zoey.
****
Tiga tahun berlalu, tidak terasa Zoey benar-benar pergi dari hidup Damian. Bahkan saat Damian diam-diam, datang ke kontrakan Zoey yang ada hanya orang lain. Menurut si pemilik, Zoey sudah pergi 3 tahun lalu.
"Zo, dimana kamu?" tanya Damian dalam hati, jujur dia merindukan Zoey.
Dia pernah mencari ke kampung halaman mereka, tapi menurut tetangga Zoey tidak pernah datang kesana. Bahkan kedua orang tua Zoey tidak tahu dimana anak mereka, terakhir memberi kabar bahwa dia akan pergi ke suatu tempat.
"Melamun lagi?" Max mengejutkan Damian, tidak ada jawaban dari Damian membuat Max mendengus kesal.
"Kenapa harus mikirin, cewek itu? Dia aja gak pernah mikirin lo. Lebih baik lo nikah aja sama Niki," usul Max, membuat Damian menatapnya tajam.
"Gue gak akan pernah, nikah sama Niki. Dia sudah hamil duluan, dan gue gak tau siapa bapaknya. Lo aja sono, lo kan tiap menit, detik sama dia." Cetus Damian dengan enteng, membuat Max sedikit salah tingkah.
"Ogah gue, enak aja gue harus ngasih biaya sama anak orang."
"Nah lo tau itu." Balas Damian, membuat Max memutar bola mata malas. Damian beranjak dari duduknya dia menepuk pundak managernya tersebut.
"Kalo lo, mau gue masih kerja sama lo. Dengerin kata gue dan ikutin aturan gue mulai sekarang, gue tau kartu AS lo." Bisik Damian.
"Jangan ikut campur urusan gue." Lanjutnya lagi, lalu dia keluar dari ruangan milik Max. Tujuannya satu yaitu, cafe miliknya. Cafe yang sudah dibesarkan sejak dua tahun yang lalu. Cafe yang didirikan dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Sementara itu jauh dari keramaian, Zoey bertahan hidup dengan berjualan di salah satu tempat wisata. Walau tidak seberapa, jualannya selalu ada yang beli.
"Bunda," pekik bocah perempuan berusia 3 tahun, yang Zoey beri nama Dinara.
Zoey tersenyum dan melambaikan tangannya, dia menatap anaknya yang asik berenang. Ya Zoey berjualan di area berenang. Jadi anaknya bebas berenang jika anak bosan.
"Hati-hati ya, jangan jauh-jauh." Pesan Zoey.
"Iya Bunda," jawabnya dengan berteriak, dia sangat senang karena banyak anak kecil yang sedang berenang disana.
3 tahun lalu, setelah pergi dari hidup Damian. Zoey dinyatakan hamil, dia tidak berani pulang ke kampung halamannya di Bandung. Sehingga dia memutuskan pergi ke tempat dimana siapapun tidak mengenalnya, beruntung dia bertemu dengan Nenek baik yang mau mengakuinya sebagai cucu. Dan kini Nenek tersebut sudah pergi selamanya.
"Damian." Gumamnya, dia selalu mengingat lelaki yang telah menorehkan luka di hatinya. Bagaimana tidak ingat, jika wajah anaknya tidak jauh beda dengan Damian bagai pinang dibelah dua.
"Sudah berenangnya?" tanya Zoey, saat melihat anaknya naik.
"Belum, aku lapar Bunda. Mau makan," katanya dengan antusias.
"Ya sudah tunggu, Bunda bawakan makan."
Nara nama panggilannya mengangguk antusias, dia duduk di kuris yang biasa pembeli duduki. Beruntung hari ini pengunjung tidak terlalu ramai, karena bukan hari libur. Jika hari libur Zoey tidak mengizinkan anaknya berenang.
"Ayo Bunda suapi."
"Ayam kecap? Aku suka," serunya, Zoey tersenyum makanan kesukaan Dinara sama dengan Damian.
"Astaga, kenapa harus mengingat lelaki itu terus." Gerutu Zoey dalam hati.
"Bunda kenapa?"
"Ehh, maaf sayang Bunda gak apa-apa kok. Maaf ya, ayo makan lagi." Zoey menyuapi Nara dengan sabar.
"Nara, jika Ayahmu tau. Apa dia mau menerimamu? Bagaimana jika istrinya tidak menerima mu, sebagai anak dari Ayahmu." Lirih Zoey dalam hati, dia selalu memikirkan jika suatu saat nanti Dinara bertemu Damian.
"Bunda jangan sedih, kalo Bunda sedih. Nara, ikutan sedih juga."
"Nggak sayang, Bunda gak sedih. Bunda senang dan bersyukur punya kamu." Zoey merentangkan tangannya dan anaknya masuk kedalam pelukannya.
"Bunda sayang, Nara. Jangan pernah tinggalkan Bunda yah!"
"Iyaa, aku gak akan tinggalin Bunda."
Merek berpelukan cukup lama, saat melepaskan pelukan masing-masing.
"Baju Bunda jadi basah, maaf." Kekeh Nara.
"Gak papa, nanti bisa ganti baju." Balas Zoey.
"Aku udah kenyang, Bun. Boleh main lagi?" tanya Nara dengan wajah penuh permohonan.
"Huh! Anak ini benar-benar mirip Damian." Ucap Zoey dalam hati.
"Iya, tapi sekali lagi ya. Abis itu mandi udah."
"Yeay!! Oke Bunda," pekik gadis kecil itu dengan girang.
***
Keesokan harinya, Damian ada jadwal pemotretan di desa tempat Zoey berada.
"Sudah selesai, kan?" tanya Damian pada Max.
"Sudah, kamu free sampe sore. Nanti malam kita ada pemotretan lagi," beritahu Max.
"Oke, gue cari angin dulu."
Damian pergi begitu saja, dia memilih pergi dengan motor yang ada di sekitar penginapan.
"Mau kemana, Mas?" tanya tukang ojek.
"Ke mana saja, boleh lah."
"Oke, saya akan bawa anda ke suatu tempat. Dijamin Mas akan suka," kata tukang ojek tersebut.
Selama perjalanan Damian berdecak kagum, dengan keindahan alam sekitar. Dimana kebun teh, pohon karet dan pohon Jati masih mengelilingi kota tersebut.
"Punya villa satu disini, enak kali yah!" gumam Damian, masih didengar oleh tukang ojek. Mereka mengobrol seputaran kota tersebut, hingga berpuluh menit kemudian mereka sudah sampai.
"Pak tunggu yah, nanti saya bayarnya double."
"Siap Mas," jawabnya antusias.
Damian sendiri menatap danau yang sangat luas, suasananya nyaman. Terdapat banyak villa dan rumah di sekitar danau. Namun, pandangannya terusik akan sosok gadis kecil yang duduk hanya menatap satu keluarga di depannya.
"Hei, kenapa gak ikut main?" tanya Damian, merasa ada yang memanggil gadis kecil itu menoleh dan.
Deg! Jantung Damian hampir berhenti berdetak, bagaimana tidak ada anak kecil yang mirip dirinya.
"Kamu..."
"Kenapa Om, ada apa? Apa Nara jelek?" tanya Nara dengan polos.
"Nara."
"Iya nama ku, Dinara Om. Bunda selalu panggil Nara," kata Nara dengan lancar, Zoey tidak pernah mengajarkan bicara cadel pada anaknya.
Makanya Nara sangat lancar berbicara dan benar pengucapannya, Damian hanya mengangguk sekali lagi dia menatap wajah gadis kecil tersebut.
"Manis dan cantik." Gumam Damian dalam hati.
"Ohh ya, kenapa gak ikut main sama keluarganya?" Damian melihat apa yang Nara lihat.
"Keluarga, yang mana?"
"Yang itu, mereka keluarga kamu bukan?" tanya Damian
"Bukan Om, aku cuma tinggal sama Bunda. Aku ... Aku gak ada Ayah. Om," lirih Nara dengan sedih.
Damian tertegun, dia menatap gadis kecil di depannya. Dan mengusap lembut kepalanya.
"Kamu mau ikut, Om?"
"Kemana Om, Om gak akan culik aku kan?" tanya Nara dengan polosnya, pasalnya Zeo sering melarang Nara ikut atau bicara dengan orang asing.
"Om gak akan culik kamu, sayang. Om mau ajak kamu ke toko mainan," kata Damian.
Tanpa pikir panjang Nara mengangguk, Damian pun mengajak Nara terpaksa Nara duduk di tengah karena kalau didepan pasti kena angin.
Damian bisa melihat keceriaan terpancar di wajah cantik Nara.
****
Tunggu part.2 nya ☺️