Aku menarik napas Ku dalam-dalam, tiba-tiba saja atmosfer di sekitar Ku terasa berat untuk di hirup. Hawa dingin menusuk tulang-tulang Ku saat suasana hening menyelimuti ruangan yang Aku tempati.
"Al..."
Kepala Ku yang tertunduk segera terangkat, menatap sosok tegap dengan garis rahang tajam yang kini tengah berada di hadapan Ku. Seorang pria yang kerap Ku panggil dengan sebutan 'Papa', itu duduk sambil menatap lembut ke arah Ku.
"Pilihan ada di Kamu, mau ikut saya atau dia?"
Suara lembut nya yang hangat, sukses menyayat hati kecil Ku. Suara yang biasa nya selalu menguatkan itu kini berubah menjadi suatu yang menegangkan.
Aku meneguk ludah Ku kasar, perlahan bola mata Ku bergerak melirik ke arah yang berlawanan, di mana seorang wanita paruh baya, yang Ku sebut sebagai 'Mama' kini duduk diam.
Wajah lembut nya terlihat serius saat Papa mulai menanyakan pertanyaan yang sangat sangat membuat Ku bingung.
"Aku..." Suara Ku terdengar serak, jelas sekali jika sekarang Aku sedang menahan isak tangis yang sudah meluap, membakar tenggorokan Ku yang mulai terasa kering.
"Aku tidak tahu," Aku meremas celana jeans yang aku kenakan. "Al mau Mama sama Papa, Al gak mau kalau harus pilih satu, Al gak bisa... " Tangis Ku pecah, air mata mulai mengalir deras membasahi pipi Ku.
Mama berjalan mendekat, wajah lembut nya terlihat panik, dia memeluk Ku dengan erat. Jelas jika dia juga tidak mengharap kan hal ini.
"Kaka..." Aku mendengar suara lembut Mama di telinga Ku, tangan lembut nya mengelus punggung Ku. "Kalau bisa, Mama juga mau."
"Bisa, itu bisa Mama. Tidak ada yang tidak bisa pasti bisa!"
"Alcia," Suara Papa kembali terdengar di sela sela isak tangis Ku.
"Berhenti menangis."
"Gimana? gimana biar bisa berhenti nangis Papa?" Suara Ku terdengar serak, dengan air mata yang terus bercucuran. Mama terlihat sedih, hati nya jauh lebih terasa sakit.
"Al juga pengen berhenti nangis, tapi air matanya gak mau berhenti!"
Mama menggeleng pelan, tangan nya terangkat mengelus lembut jejak air mata di wajah Ku. "Kaka..." Suara lembut Mama kembali terdengar, kali ini terdengar parau dan lemah. "Jangan siksa Mama ya, hati Mama lebih sakit kalau lihat Kamu kaya gini sayang..."
Aku terisak, terus terisak. Tidak peduli dengan perkataan mereka, rasanya dada Ku begitu penuh dan sesak, membuat Ku tidak bisa berhenti bahkan untuk sejenak. Sampai akhirnya sosok mungil yang terlihat lemah berdiri di depan pintu, mengintip ragu, tubuh nya bergetar takut, mata nya berlinangan air mata.
Aku mengelap wajah Ku, menarik napas dalam-dalam, sesaat Aku tersadar, Aku ini seorang kaka.
.
.
.
"Kaka cia," Suara mungil itu terdengar mengalun lembut, "Kita sekarang tinggal di sini?"
Aku tersenyum, lantas mengangguk, tangan Ku terangkat mengelus lembut surai hitam nya. "Rion gamasalah kan kalau tinggal bareng Kaka?"
Rion, menganggukkan kepala nya. Dia tersenyum senang lantas memeluk pinggang Ku, "Asal bersama Kaka, itu bukan masalah." Dia tersenyum lalu berjalan memasuki bangunan minimalis itu.
"Wahh, ini beneran rumah kita?" Mata Rion berbinar, wajah nya berseri-seri. Aku kembali menganggukkan kepala Ku, tersenyum lalu menuntun nya memasuki sebuah ruangan dengan nuansa biru tua.
"Ini kamar Rion.."
Binar di mata nya semakin jelas, Sesaat Aku terdiam, tersadar akan takdir malang yang harus Ku jalani bersama nya.
"Rion sayang Kaka Ciaa!"
Aku tersadar dari lamunan Ku, saat tubuh mungil Rion kembali memeluk Ku erat. Aku tersenyum mengelus kepala nya lembut, "Kaka juga..."
.
.
.
.
Aku menghela napas Ku frustasi, dengan lemah membuka pintu rumah yang kini Ku tempati. Ternyata menjadi orang dewasa tidak seseru dan seasik yang Ku bayangkan.
"Kaka!" Seruan Rion membuat Ku sedikit terkejut, dia memeluk Ku lalu menuntun Ku berjalan menuju sofa. "Kaka lelah? ada yang sakit? Kaka udah makan belum? Mau Rion masakin apa?"
Aku duduk di atas sofa, tersenyum saat merasakan tangan mungil nya yang mulai memijit lengan Ku. "Tapi jangan yang susah-susah ya Kaka... soal nya Rion cuma bisa masak telor aja."
Aku kembali tersenyum, teringat beberapa hari lalu dapur di penuhi kepulan asap hitam tepat saat Aku baru memasuki rumah. Sesaat Aku panik, sebelum akhirnya tertawa keras saat melihat wajah Rion yang hitam, mata nya berair dengan sepiring nasi gosong di tangan nya.
'Kaka... nasi goreng nya gosong' Ucap nya lemah, Aku bahkan bisa mendengar isakan kecil di sana.
"Kaka udah makan, Kamu gimana?"
"Rion juga, hari ini di sekolah makanan nya enak-enak!"
"Jangan jajan sembarangan," Aku menghela napas Ku panjang, "Makan makanan yang sehat, Kaka kasih kamu uang jajan lebih bukan karna pengen lihat Kamu sakit."
Rion tersenyum lebar, dia menggeleng lalu kembali berseru "Tidak kok, makanan nya sehat, semuanya sehat."
Aku tersenyum, lalu memeluk nya, sesaat Aku bisa merasakan jika membawa Rion bersama Ku adalah pilihan yang tepat.
.
.
.
"Kaka jangan telat makan, jangan lupa pakai jaket, jangan males mandi, jangan tidur tengah malam. Ingat ya uang bisa di cari tapi kesehatan gak bisa di beli!"
Aku menganggukkan kepala ku pelan, menanggapi ocehan yang Rion keluarkan. Dia menarik narik baju Ku, mengikuti kemana pun Aku pergi.
"Kaka bakal jaga kesehatan kan? Kaka gak pergi lama-lama kan?" Tanya nya, suara nya melembut dan terdengar manja layak nya anak seusia nya.
Aku mengelus kepala nya, "Hanya dua hari, jangan lakukan hal yang aneh dan berbahaya saat Kaka tidak di sini, Kamu mengerti kan?"
Rion mengangguk, Aku bisa melihat raut wajah nya yang sedih, saat Aku mengatakan akan pergi keluar kota dalam beberapa hari untuk perjalanan bisnis.
"Rion bakal jadi anak baik," Dia menarik baju Ku pelan, wajah nya cemberut dengan mata yang mulai berair. "Jadi Kaka jangan tinggalin Rion ya, janji?"
Aku terdiam, hati Ku terasa tersayat saat mendengar ucapan nya. Dia bukan takut karna Aku akan pergi keluar kota, dia takut Aku meninggalkan nya sendiri, dia hanya takut Aku tidak akan kembali.
Aku mendekap nya erat, mencium pipi nya. "Kaka janji, Rion kesayangan Kaka, mana tega kaka ninggalin Kamu..."
Dia tersenyum, senyuman lebar, senyuman bahagia yang mungkin akan sangat Aku rindukan. Membuat Ku merasa bersalah.
.
.
.
Aku berlari dengan kencang, tidak peduli dengan kaki Ku yang mulai lecet akibat sepatu dengan hak tinggi yang Aku kenakan.
Jantung Ku berdebar tidak beraturan, wajah Ku pucat, napas Ku tersenggal-senggal, pikiran dan penampilan Ku kacau.
Aku memasuki rumah sakit dengan tergesa-gesa, menabrak beberapa orang yang berada di lorong membuat cibiran kasar dan makian terdengar keluar dari mulut mereka.
Aku berhenti saat melihat sebuah pintu dengan nomor '56' tertulis di atas nya, Aku menghela napas Ku, tangan Ku terangkat menyeka kiringat, dan mulai merapikan rambut Ku.
Perlahan Aku mendorong pintu tersebut, napas Ku tercekat saat melihat sosok mungil yang tengah terbaring lemah tak berdaya, wajah nya pucat dan penuh lebam.
Aku berjalan mendekat, langkah Ku terasa berat, mata Ku tidak sanggup menatap tubuh nya yang penuh luka.
Bagai mana Aku bisa seceroboh ini, bagai mana Aku bisa melakukan kesalahan sebesar ini. Bagaimana bisa Aku baru mengetahui kenyataannya, jika adik yang Aku jaga ternyata menjadi objek dari bully?
Aku meremas telapak tangan Rion yang terasa begitu dingin, detak jantung nya sangat lemah, membuat Ku semakin frustasi.
Ketukan di pintu membuat lamunan Ku buyar, Aku melihat seorang pria dengan seragam polisi berjalan memasuki ruangan. Dengan sebuah amplop coklat di tangan nya.
"Dengan Nona Alicia Lengkara?"
Aku menganggukkan kepala Ku, wajah Ku tertunduk lesu.
Dia melirik Rion yang terbaring lemah di atas kasur, lalu tersenyum pahit sebelum akhirnya memberikan amplop itu kepada Ku.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi di keluarga anda, tetapi sedikit saran untuk membesarkan seorang anak bukan hanya tentang uang." ucap nya lalu tersenyum, kali ini lebih lembut.
"Seseorang dapat di katakan orangtua bukan hanya karena dia melahirkan, atau menafkahi orang tersebut. Tetapi juga hadir dalam setiap tumbuh kembang seorang anak, ketika kita menjadi orangtua itu artinya kehidupan ini bukan hanya tentang kita, tetapi juga tentang mereka, saya tahu Anda masih muda, dan nasib juga tidak berpihak pada kalian berdua, tetapi ketika Kamu menarik dia untuk berada di sebelau mu, maka hidup nya adalah tanggung jawab Kamu."
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Perkataan pria itu benar-benar menyadarkan Ku akan betapa lalainya diri Ku selama ini.
Setiap hari, setiap waktu yang Rion miliki bersama Ku dia selalu menanyakan keadaan Ku, selalu ingin tahu tentang kegiatan yang Aku lalui, menanyakan perasaan Ku, apa Aku lelah, apa Aku lapar, apa Aku merasa kesakitan. Lalu apa Aku melakukan hal yang sama? Tidak.
Pria itu terdiam beberapa saat, dia menatap Rion lalu kembali menatap Ku. "Saya harap, Anda bisa belajar dari kesalahan. Di sini ada beberapa bukti, dan surat permintaan maaf dari pelaku, bagaimana pun kuasa hukum tidak dapat menjerat dan menyeret mereka lebih dalam karena usia mereka yang masih jauh dari kata dewasa."
Pria itu berjalan menuju pintu keluar. "Nomor ponsel Saya tertulis di belakang amplop, jika butuh bantuan jangan ragu untuk mengatakan nya."
Setelah kepergian pria itu, aku berjalan perlahan menuju kursi, duduk dengan lemas di sana.
Tangan ku bergerak membuka amplop tersebut, seketika tubuh dan jiwa Ku terasa sakit, amarah memuncak, dada Ku terasa menggebu-gebu saat melihat sabuah foto dengan gambar meja di sana, meja yang di tempati Rion saat berada di sekolah. Banyak coretan yang memenuhi meja tersebut, dengan tulisan yang sama.
'Anak Haram'
.
.
.
Aku meringkuk di atas sofa, baju hitam yang Ku kenakan tidak bisa mengalahkan gelap nya raut wajah Ku saat ini. Air mata tidak dapat berhenti mengalir dari mata Ku, dada Ku terasa sesak, hati Ku terasa perih, seolah ada pisau tajam yang menyayat daging Ku.
Rion tidak bisa selamat, dokter bilang racun yang dia minum menyebar ke seluruh tubuh nya.
Aku mengigit bibir bawah Ku, menarik-narik rambut Ku sekeras yang Aku bisa, menjerit, menangis, dan mulai merintih. Bagai mana bisa mereka yang merupakan saudara dari seseorang, melakukan hal sekeji ini pada saudara Ku?
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih, setelah mendengar kenyataan jika mereka memasukkan cairan pemutih pakaian ke dalam mulut Rion secara paksa, lalu meninggalkan nya dengan mulut berbusa di kamar mandi sekolah begitu saja.
Rasanya ingin sekali Aku mengambil sebuah pisau, lalu menyayat nya tepat di tangan-tangan kotor mereka.
Pintu terbuka, menampilkan Matt seorang polisi yang mengurus kasus Rion tempo hari. Dia berjalan ke arah Ku, napas nya terdengar berat, wajah nya terlihat sedih, sorot matanya menatap nanar tubuh Ku yang terlihat sangat tidak berdaya.
"Keluar, Aku ingin sendiri..."
"Makan lah sesuatu, Aku bisa membelikan makanan lain jika Kamu ingin sesuatu yang lain."
Aku menatap nya sinis, "Apa Aku terlihat seperti seorang yang sedang kelaparan?"
"Al.."
"Keluar!"
Dia mendengus lalu duduk di samping Ku. "Kenapa kamu seperti ini? tidak bisakah berhenti menyiksa diri mu sendiri, ini sudah sebulan setelah kematian nya. Kamu tidak seharus nya berlarut-larut dalam kesedihan."
Aku menatap nya penuh amarah, seakan ada sesuatu yang meledak di dalam diri Ku, Aku berdiri menampar pipi nya berulang kali, lalu mulai menangis terisak.
Matt menghela napas nya, seolah sudah terbiasa dengan tamparan tiba-tiba yang Aku layang kan.
"KENAPA KENAPA KENAPA?!" teriakan Ku memenuhi ruangan. "KENAPA DIA? DARI SEKIAN BANYAK NYA MANUSIA KENAPA HARUS DIA, KATAKAN PADA KU MATT KENAPA HARUS RION, APA KESALAHAN NYA? DIA HANYA INGIN HIDUP, DIA BAHKAN TIDAK INGIN LAHIR KE DUNIA INI TAPI KENAPA TUHAN MENGHUKUM NYA? KENAPA ORANG-ORANG MENGHAKIMI NYA SESUKA HATI!!"
Matt mencoba menangkap bahu Ku, tetapi Aku menepis nya. "Aku bahkan tidak pernah menyalahkan nya atas kelahiran nya, yang membuat perpecahan di keluarga Ku. Aku bahkan tidak pernah membenci nya, Aku merawat nya dengan baik, menyayangi nya, memberikan nya banyak cinta, Aku bahkan rela berkerja sampai tubuh Ku remuk, untuk memenuhi kebutuhan nya." Aku terisak, suara Ku mulai terdengar serak seakan-akan bisa menghilang kapan saja.
"Tapi kenapa," Aku menjeda kelimat Ku beberapa saat, wajah polos Rion kembali menghantui pikiran Ku, membuat amarah Ku semakin menumpuk, dan tumbuh semakin tinggi. "TAPI KENAPA MEREKA YANG BUKAN SIAPA-SIAPA MENGHAKIMI NYA SESUKA HATI? ADIK KU SALAH APA, KATAKAN PADA KU MATT APA KESALAHAN RION!?"
Aku terdiam saat tamparan keras Matt mendarat di pipi Ku, perasaan sakit dan perih mulai menyebar dengan cepat di wajah Ku.
Matt menangkap bahu Ku, mencengkram nya erat, dia menatap Ku dalam, wajah nya terlihat begitu serius sekarang.
"Tenang Al, jangan kehilangan kendali. Kamu tidak akan mendapat kan apapun jika seperti ini." Matt berucap seolah ada api yang menyala di dada nya, membuat nya sangat bersemangat.
"Lantas apa yang harus Aku lakukan?" Isakan ku kembali terdengar, Matt mendekap Ku dengan erat, dia memeluk Ku hangat lalu mendorong tubuh Ku sedikit untuk kembali menatap wajah Ku.
"Balas dendam..." ucap nya pelan, seolah sebuah bisikan maut yang menghipnotis jiwa dan raga Ku. "Aku akan membantu mu, meluap kan semua yang ada di dalam diri Kamu."
Aku terdiam, seakan kewarasan Ku telah hilang, Aku menatap Matt yang kini tengah menyeringai, sosok nya terasa sangat asing sekarang.
Dia menangkup wajah Ku dengan kedua tangan nya "Bergabung lah dengan Ku, Al."
Aku meneguk kasar ludah Ku, sebelum akhirnya mengangguk pelan. Membuat seringai di bibir Matt semakin jelas, dia tertawa, tertawa dengan sangat keras hingga suara nya menggema di seluruh ruangan. Membuat tubuh Ku merinding untuk beberapa saat.
"Benar, begitu Al, nyawa memang harus di balas dengan nyawa."