Setiap orang pasti mendambakan pernikahan yang bahagia dan sempurna. Begitu pun aku, yang bermimpi memiliki seorang suami penyayang, mapan, dan pengertian.
Tetapi, tak semua orang bisa mendapatkan apa yang diharapkan. Aku, Adriana Bellova, termasuk diantaranya.
Aku menikah karena perjodohan orang tua, karena orang tuaku khawatir jika anaknya tak laku di usia yang sudah menginjak kepala tiga.
Farel Restiawan, nama lelaki yang dipilihkan untuk menjadi pendamping hidupku.
"Ana, Farel itu keponakannya Om Johan, sahabat mendiang Papa kamu. Pasti dia layak jadi suami kamu. Dia mapan, gagah, dan dari keluarga terpandang. Seimbang lah buat jadi pendamping seorang manajer seperti kamu." Begitu ucap Mama ku, saat berencana menjodohkanku dengan Farel.
Hari pertemuan pun tiba. Aku menurut saja apa kata orang tuaku, mengikuti rencana perjodohan yang dulu sangat ku hindari.
Farel dan keluarganya datang ke venue yang sudah disepakati bersama. Kuakui dari penampilannya, dia memang tipe lelaki idaman kaum hawa. Selain mapan dan rupawan, ia juga tipikal orang yang supel dan tidak kaku dalam berkomunikasi.
"Oke juga nih pilihan Mama, gue kasih rating 5/5 deh." batinku mulai memuji Farel.
Setelah obrolan panjang, kami pun sepakat menikah tanpa ada proses lamaran. Alasannya, keluarga kami sama-sama tak mau membuang waktu.
Jadilah, pernikahan kami dihelat dalam waktu persiapan yang cukup singkat. Namun, semua berjalan lancar dan cukup meriah. Banyak decak kagum dan pancaran mata yang turut bahagia mengiringi acara pernikahan kami.
Aku sangat bersyukur waktu itu, karena menikah di usia yang dibilang telat namun mendapat orang yang tepat. Akan tetapi, rasa syukur itu berubah hanya dalam waktu beberapa bulan setelah pernikahan kami.
"Kamu mau ke mana, Mas? Aku udah siapin makan malam kesukaan kamu nih." ucapku, saat mendapati Farel berjalan cepat menuju pintu.
"Kamu makan aja, aku ada perlu." sahutnya, ketus.
Aku terdiam. Benakku berpikir keras, apa ada masalah? Atau aku yang salah?
"Tapi aku maunya makan bareng kamu, Mas." ucapku kemudian.
Farel berhenti di ambang pintu lalu menoleh ke arahku, "Jangan manja!" tukasnya dengan sorot mata tajam.
Jantungku bak ditusuk parang, terkejut sekaligus sakit.
Kamu kenapa sih, Mas? batinku terus bertanya-tanya.
Tak terasa, air mata mulai menitik di pipi. Aku merasa jadi istri paling nelangsa karena mendengar kalimat ketus dari mulut suaminya.
Aku memilih masuk ke dalam kamar tanpa menyentuh makanan yang sudah capek-capek aku buat.
Apakah setiap pernikahan bakal ngerasain begini? tanyaku dalam hati.
Air mata makin deras kala terbayang dan terngiang raut wajah dan kalimat pedas dari Farel tadi. Akhirnya aku pun tertidur karena terlalu lama menangis.
Pagi hari, aku terbangun tanpa melihat Farel di rumah. Entah dia sudah pulang lalu pergi lagi, atau malah tidak pulang sama sekali.
Sialnya aku terlambat bangun, hingga membuatku harus terburu-buru pergi ke kantor. Rasa panik menyergap saat melihat wajahku yang sembab.
"Waduh, muka bengep begini, pasti pada nanyain nih di kantor." gumamku sembari becermin.
Aku pun berupaya agar sembabnya sedikit memudar, supaya tidak memantik banyak pertanyaan dari rekan kerja.
Aku bekerja seperti biasa, namun belum sampai jam makan siang tiba-tiba perutku terasa sangat perih dan mual.
"Kenapa, An?" tanya Yuyun, rekan kerjaku.
"Perut gue, Yun. Kambuh." sahutku sambil meringis menahan rasa tak nyaman di perut.
"Asam lambung ya? Tadi sarapan gak?"
Aku menggeleng, "Gak sempet tadi."
Yuyun geleng-geleng kepala, "Udah tau punya piaraan asam lambung yang ngambekan gitu, tapi gak hati-hati jaga pola makan. Istirahat duluan aja deh sana, terus minum obat." omelnya seperti nenekku.
"Lo gak papa?" tanyaku yang merasa tak enak jika harus istirahat sebelum waktunya.
"Gak papa, santai kok. Udah sana duluan aja."
Aku tersenyum lalu bangkit dari kursi, "Thank's ya, Yun." ucapku.
"Eh, tapi gue nitip pempek dong. Boleh gak?" pintanya sambil cengar-cengir.
"Pempek apa? Kapal selam apa kapal tongkang?" kelakarku.
"Haish, Titanic boleh lah." sahut Yuyun dengan candaan, kemudian menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan kepadaku.
Aku pun beranjak keluar ruang kerja menuju kantin kantor. Namun belum jauh dari ruang kerja, tiba-tiba mataku berkunang-kunang, kepala terasa berat, tubuh terasa lemas dan dengan cepat semua berubah gelap.
Sayup-sayup ku dengar suara rekan kerja dari divisi lain berteriak memanggil namaku, diiringi banyak suara orang berlari mendekat.
*
Tubuhku terasa lemah saat mata ini mulai terbuka. Kulihat langit-langit ruangan yang asing, dilengkapi tirai warna hijau muda menggantung di jendela.
"Kamu udah sadar, An?" terdengar suara mamaku bertanya dari arah samping.
Aku menoleh dan menatapnya, "Kok Ana ada di sini, Ma?" tanyaku.
"Kamu pingsan di kantor, terus dibawa ke sini sama teman-teman kamu." sahut mamaku.
Otakku masih mencerna situasi, lalu aku dikagetkan oleh Farel yang keluar dari bilik toilet di ruang perawatanku.
"Eh, Sayang, kamu udah sadar? Syukurlah, aku khawatir banget sama kamu." ucapnya dengan wajah semringah, seolah tak terjadi apa-apa semalam.
Aku terdiam, dan menatapnya heran. Farel bergegas memelukku dan mengusap-usap rambutku dengan lembut.
"Kamu pasti gak sarapan ya tadi pagi? Makanya asam lambungnya kambuh lagi." Farel berujar seolah bicara dengan anak kecil.
"Kenapa sampai gak sarapan sih, An? Kamu harus bisa jaga kondisi dong... Kasian suami kamu, siapa yang ngurusin kalo istrinya di rumah sakit begini." imbuh mama, bernada menyalahkanku.
"Mungkin Ana bete, Ma, soalnya sarapan sendirian." ujar Farel, coba meledekku untuk mencairkan suasana.
"Lho...suamimu kan juga sibuk, jadi kalo kalian gak bisa makan bareng ya harus tetap makan." ujar mamaku.
Aku memilih diam. Hatiku masih merasa pedih saat menerima kalimat nyelekit dari Farel semalam.
Beruntung, dokter memperbolehkan aku untuk rawat jalan. Jadi, sore itu juga aku bisa pulang.
Aku ditemani Mama dan Farel pulang ke rumah. Mama memutuskan untuk menginap malam itu, dan pulang esok harinya.
Selama mamaku di rumah, Farel tak pernah keluar tiba-tiba tanpa alasan. Ia juga selalu bersikap manis dan memanjakanku di depan Mama.
Tapi semua berubah ketika di rumah hanya ada aku dan dia.
"Dasar penyakitan! Lagi pengin santai tiba-tiba ditelepon dan harus nengokin orang pingsan gara-gara gak makan!" hardiknya padaku sore itu, ketika mamaku sudah pulang.
Aku tercekat saat hendak menelan obat. Hatiku sangat sakit mendengar kata-katanya.
Santai? Kemarin-kemarin kamu lagi santai di mana, Mas? Sama siapa?. Begitulah rangkaian pertanyaan yang spontan tercipta dalam benakku.
Butiran-butiran obat yang sedianya harus kutelan, urung masuk ke rongga mulut. Seketika hilang gairahku ingin sembuh, yang ada hanya rasa nelangsa yang menyeluruh.
Farel tampak masuk ke dalam kamar, entah mau apa. Fokusku teralih dengan dering ponselnya yang tergeletak di dekatku.
Rupanya ibu mertuaku yang menelepon anaknya. Aku bingung, mau ku jawab langsung atau memberitahu Farel jika ibunya menelepon. Jujur, aku malas jika harus mengucap namanya walau untuk sekedar memanggil.
Akhirnya si empunya ponsel keluar kamar sambil menggerutu karena ponselnya terus berbunyi.
"Kamu tuli ya? Hape ku bunyi terus malah kamu diem aja! Ini mamaku yang telepon!" hardiknya padaku.
Itu ponselmu, bukan hakku untuk menjawab teleponnya. Batinku menjawab.
"Ya, Mam? Maaf ya Farel lagi nyuapin Ana makan tadi." ucapnya dengan lancar, seolah tanpa beban kebohongan.
"Nyuapin Ana? Memang Ana sakit, Rel?" Ibu mertuaku balik bertanya pada anaknya.
"Iya, Mam. Biasalah, asam lambungnya kumat." sahutnya dengan lembut.
Cuih! Aku muak sekali menyaksikan akting lelaki berstatus suamiku itu. Ingin rasanya aku lempar wajahnya dengan asbak!
"Ya sudah, kamu jagain istrimu ya? Jangan pulang malam-malam, kasian kalo Ana sendirian di rumah." pesan mertuaku pada putranya.
"Iya, Mam. Farel jagain kok menantu kesayangan Mama."
Obrolan mereka berlanjut membahas hal lain dan berakhir dengan titipan salam dari mertuaku.
"Salam buat Ana ya, Rel. Bilang supaya cepat sehat, nanti kalo mama sudah ada waktu senggang pasti main ke sana."
"Siap... Ditunggu ya, Mam!"
Panggilan telepon berakhir, dibarengi juga dengan berakhirnya tutur manis penuh kepalsuan dari Farel.
"Mamaku titip salam buat kamu." ujar Farel dengan ketus padaku.
"Hmmm." sahutku, tanpa membuka mulut.
"Aku ada urusan. Kamu bisa kan di rumah sendirian? Kalo nggak, kamu cari asisten rumah tangga biar bisa nemenin." Farel kembali berniat pergi.
"Ada urusan apa, kerjaan atau yang lain?" seketika keberanianku muncul. Aku tak peduli lagi jika memang harus ada perang dalam dunia pernikahan kami. Sudah terlalu muak rasanya jika harus terus memendam nelangsa.
"Gak usah kepo jadi orang. Kita emang suami istri, tapi sebagai individu kita juga punya urusan masing-masing." tukasnya.
"Kamu lupa pesan dari mertuaku barusan? Kamu harus jaga menantu kesayangannya ini, jangan sampai sendirian di rumah. Apa mau aku aduin ke mertuaku yang baik hati itu?" tandasku.
Aku sengaja menyebut ibunya Farel dengan kata mertuaku, sebab tadi Farel yang menyebutku sebagai menantu kesayangan ibunya.
Farel terdiam sejenak, "Kamu ngancam?" ujarnya kemudian, mulai terpancing emosi.
Aku tersenyum, "Kamu merasa terancam?"
"Aku keluar karena ada urusan. Kamu kan bukan anak balita yang harus aku jagain 24 jam!"
"Dan kamu juga bukan bujangan lagi, yang bisa seenaknya 24 jam di luar rumah gak pulang. Kamu itu suamiku, jadi kamu punya tanggung jawab ke aku. Kamu pikir aku perempuan bodoh yang gak bisa ngapa-ngapain, hah?
Hei Farel, aku cuma mau ngingetin aja ya! Istrimu ini Adriana Bellova, manajer perusahaan asing yang mumpuni. Jadi, kamu jangan sok jadi orang paling punya banyak urusan deh! Kamu pikir tugasku di kantor sedikit?"
Rentetan kalimat rasa sambal level paling puncak meluncur bebas dari mulutku, guna membombardir kesombongan dan kebohongan Farel.
Lelaki itu berdecak kesal sambil tersenyum sinis menatapku.
"Gak peduli, mau kamu manajer atau apapun. Dimataku, kamu ya cuma seorang Adriana Bellova. Udah, aku gak mau buang waktu buat debat. Gak usah repot nanyain kapan aku pulang, biasanya hape ku disenyap kalo ada acara di luar."
Gantian, aku yang sekarang melempar senyuman sinis padanya.
Baru beberapa langkah Farel hendak menuju pintu keluar, tiba-tiba bel pintu terdengar.
"Ah, siapa lagi sih?" gerutunya, lalu cepat melangkah membukakan pintu.
Tampak Farel kembali memasang wajah semringah dan tutur kata manis saat melihat siapa yang datang.
"Ayo, silakan masuk!" ucapnya mempersilakan, "Sayang, ada teman-teman kantor kamu nih." ujarnya kemudian.
Oke, sandiwara kembali dimulai.
"Waduh... Bu manajer, gimana nih kabarnya?" sapa Yuyun sambil mendekat lalu memelukku.
"Maaf ya, Yun, Titanic nya belum bisa gue beliin. Kaptennya oleng nih!" sahutku, lagi-lagi berkelakar.
Aku dan Yuyun memang sudah sedekat dan seakrab itu, hingga kami sudah tak sungkan lagi untuk saling melempar canda. Namun, untuk membuka rahasia pernikahanku yang sedang tak baik-baik saja rasanya masih cukup berat.
"Iya nih, kapten cantik kesayangan saya lagi oleng. Padahal liburan akhir tahun nanti udah rencana mau liburan lho!" Farel menyambung ucapanku dengan bualan.
"Wah, sayang banget tuh kalo sampe gak jadi. Ayo, An, cepet sehat! Akhir tahun tinggal seminggu lagi lho!" sahut Yuyun.
"Seneng banget deh liat Bu Ana sama suami, romantis terus. Doain dong biar saya juga bisa dapet suami kayak suaminya Bu Ana, romantis dan kelihatan penyayang banget." puji Siska, salah seorang staf di divisi pimpinan Ana.
Mendengar pujian begitu rupa, sontak membuat Farel merasa di atas awan. Ia pun merangkulku dan berusaha mencium keningku, namun dengan refleks aku menghindar.
Yuyun dan Siska tampak sedikit terkejut dengan reaksi spontanku itu, tapi mereka tersenyum meledek.
"Ana suka malu kalo saya lagi pengin romantis di depan orang lain." ujar Farel, membela diri.
Siska tertawa mendengar bualan Farel, sedangkan Yuyun tertegun menatap ekspresi wajahku yang jelas-jelas bukan terlihat malu, tapi muak.
WHAT'S WRONG? isi pesan teks dari Yuyun setelah dia dan Siska berpamitan.
SOMETHING HAPPENED. jawabku.
??
NEXT TIME, I'LL TELL U.
👍 CAN'T WAIT.
😒
Nyaris sepekan aku tidak berangkat ke kantor, dan sengaja aku mengajukan cuti sampai beberapa hari setelah tahun baru.
Aku dan Yuyun membuat janji bertemu di luar kantor, tepatnya di sebuah objek wisata yang cukup jauh dari lokasi tempat tinggal kami. Ya...hitung-hitung plesiran.
"Lo lagi ada masalah ya, An?" tanya Yuyun sembari menyetir mobil setelah menjemputku di rumah, menuju lokasi objek wisata.
Aku menghela napas berat, seberat keputusanku untuk berbagi sedih dengan sahabatku ini.
"Kalo lo anggap gue bisa dipercaya untuk dengerin curhatan lo, gue pastikan lo gak salah orang. Tapi kalo lo gak bisa sharing cerita sama gue, ya udah gak papa. Kita punya Tuhan yang selalu siap jadi pendengar."
Mendengar ucapan Yuyun, membuatku tersentuh. Aku merasa jika memang Yuyun layak dijadikan teman curhat.
"Yun, lo sama suami pernah berantem gak?"
"Sering lah. Gue sama suami itu beda karakter, beda banget. Makanya kalo kita gak pinter-pinter pegang rem biar pakem, ya pasti bentrok terus, An."
"Masalah yang sering muncul tu apa aja sih, Yun, dalam rumah tangga?"
"Hmmm...macem-macem sih. Bahkan tujuan buat makan malem aja, kalo gak ada yang mau ngalah pasti jadi perang piring."
Aku tersenyum mendengarnya, "Kalo masalah kalian belum punya anak, gimana?" tanyaku dengan hati-hati.
"Kalo soal itu, gue sama suami justru sepakat dan kompak, An. No debat deh pokoknya."
Yuyun sesekali menatapku, "Lo mau cerita apa, An?"
"Hmmm...akhir-akhir ini, suami gue berubah sikap, Yun. Dia kasar dan nyakitin banget ngomongnya."
Yuyun tampak kaget, "Masa sih? Gue gak liat ada tampang-tampang kasar deh di laki lo."
"Justru itu, dia itu pinter bohong, Yun. Harusnya dia jadi aktor, soalnya akting romantisnya ke gue tu jago banget. Semua orang pasti nyangka dia tu 'the most wanted husband' padahal nyatanya, bullsh*t!"
Aku pun mulai menceritakan semua yang pernah kualami dan sontak saja membuat Yuyun tercengang.
Tapi ada yang paling mencengangkan kami, yaitu saat memasuki kawasan objek wisata dan tak sengaja melihat Farel juga berada di lokasi yang sama. Parahnya, ia sedang merangkul mesra seorang wanita.
"I-itu beneran...laki lo, An?" tanya Yuyun.
"Kalo lagi begitu sama cewek lain berarti dia bukan laki gue, Yun. Dia jadi laki gue cuma kalo lagi di depan keluarga sama teman-teman." sahutku santai kendati hati terasa pedih.
Dengan cekatan, aku pun merekam pemandangan perselingkuhan itu dalam ponselku. Rasa pedih di hati seolah terkikis oleh logika agar tetap menjaga kewarasan dan harga diriku.
"Lo kuat kan, An?"
"Gue belum pernah sekuat dan setegar sekarang, Yun. Jangan khawatir, gue gak papa kok."
Yuyun mengangguk paham, dan mendukung apa yang direncanakan oleh sahabatnya ini.
*
Bel rumah berbunyi saat aku dan Farel hendak makan malam bersama. Pantas saja Farel tidak ngelayap keluar rumah dan mau makan malam denganku, ternyata mamanya sudah mengabari akan datang ke rumah kami malam ini.
"Wah-wah...romantis sekali anak dan mantu kesayangan mama."
"Iya dong... Ayo, Mam, sini kita makan malam bareng." ajak Farel.
Aku meliriknya tajam seolah mengancam, jika ia macam-macam maka semua akan jadi runyam.
"Ini kamu yang masak sendiri, Ana?" tanya ibu mertuaku dengan excited.
"Iya, Ma. Maaf kalau gak sesuai sama selera Mama." sahutku.
"Mama mau ini dong, kelihatannya sedap nih." pinta ibu mertuaku sembari menunjuk piring berisi cah kangkung seafood buatanku.
"Aku ambilin ya, Mam." ujar Farel dengan sigap.
Ekspresi wajahnya yang semringah dapat dipastikan kalau rasa makanan itu cocok di lidahnya.
"Mama bangga deh punya menantu kamu, An. Udah cantik, punya karir bagus, pinter masak lagi! Pasti Farel sayang banget sama kamu."
Aku tersenyum sinis, "Tapi aku gak yakin, Ma."
Farel terenyak mendengar ucapanku, ia langsung melirik tajam ke arahku.
"Kenapa, kok kamu kayak gak terima kalo aku bilang gak yakin?"
"Kamu ni ngomong apa sih, Yang? Nanti bikin Mama mikir yang nggak-nggak tau."
Aku kembali tersenyum sambil mengambil ponsel yang dari tadi tergeletak di atas meja.
"Kalo Mama lihat video ini, apa Mama masih mengira kalo rumah tangga kami bahagia?"
Aku mulai mengeluarkan senjata pamungkas tanpa banyak bicara. Biar saja semua porak poranda, karena memang sudah tidak ada keutuhan lagi di dalam hubunganku dan Farel.
Mama mertuaku melihat video perselingkuhan anaknya di layar ponselku. Ia tampak menahan amarah.
"Farel, apa-apaan ini?? Jelasin ke mama, siapa perempuan di video ini? JAWAB!"
"Mam, mama jangan percaya dulu! Dia itu cuma temenku kok!"
"Temen apa yang jalan berduaan aja ke objek wisata, padahal kamu gak pulang tiga hari tanpa kabar? Temen apa yang cara bergaulnya semesra itu? Padahal kamu gak pernah semesra itu kalo cuma lagi berdua sama istri kamu!" Aku mengeluarkan semua unek-unek yang membuatku muak selama ini.
"Ana, diam kamu!" Farel membentak dan hendak melayangkan tangannya ke wajahku, tapi mamanya segera menampik tangan putranya itu.
"Mama gak pernah ajarin kamu untuk kasar sama perempuan, apalagi istri kamu!"
"Akhirnya Mama bisa lihat secara langsung, gimana karakter dan perangai asli anak kebanggaan Mama itu.
Aku selama ini cuma diam, menahan dan memendam semuanya sendirian, Ma. Bahkan orang tuaku aja gak tau. Tapi sekarang aku gak mau diam lagi, Ma. Aku bakal hancurkan sekalian pernikahanku sama dia, karena gak ada yang perlu dipertahankan lagi."
"Jangan, An, jangan begitu. Mama sudah sayang dan anggap kamu seperti anak mama sendiri. Mama gak punya anak selain Farel. Kamu gak mau kan bikin mama sedih?"
"Mama tetap bisa menganggapku jadi anak sendiri, tapi bukan sebagai menantu lagi. Aku capek kalau harus terus menahan tekanan batin, Ma."
"Tapi, An -"
"Maaf, Ma. Aku sudah buat keputusan yang bulat. Aku mau pisah dari dia."
Tangis mertuaku sontak pecah. Jujur saja, aku tak berniat membuat kedatangannya ke rumah kami justru jadi peristiwa tak menyenangkan. Tapi aku berniat untuk membongkar tabiat Farel di depan mamanya di saat yang tepat.
Beberapa waktu kemudian, aku sudah resmi menyandang status baru. Mungkin pandangan orang-orang di sekitar akan jadi berbeda, tapi biarkan saja. Aku hanya peduli pada diriku sendiri. Tak ada sesama manusia yang boleh membuatku terhina dan teraniaya, karena aku berhak bahagia.
Sedangkan si lelaki pemilik 'topeng seribu wajah' itu, tak pernah ku dengar lagi kabarnya. Entahlah, dia pindah ke belahan bumi yang mana, atau bahkan dia sudah pindah dunia. Aku tak peduli lagi.
Mantan mertuaku pun sudah berpamitan untuk pindah keluar negeri dan menetap di sana tanpa sang putra. Ia masih berharap jika aku masih mau menjalin hubungan baik dengan keluarga mereka. Tentu saja aku mau karena mereka orang-orang yang baik, tapi pengecualian untuk lelaki inisial F itu pastinya.
Yuyun pun akhirnya berhasil menjalani program bayi tabung bersama sang suami, dan kini tinggal menghitung hari menanti kelahiran putri pertama mereka.
Dari semua kejadian itu, aku percaya bahwa pelangi yang indah akan tercipta setelah guyuran hujan melanda.
Seperti bahagiaku bertemu seseorang yang mampu mengubah trauma di hatiku, menjadi hari-hari yang dipenuhi rasa rindu. Ya, dua tahun kemudian aku kembali mengikat janji suci pernikahan dengan seseorang yang apa adanya, tanpa ada topeng kemunafikan.
-SEKIAN-