Cinderella.
Kisah dongeng yang paling terkenal dari sekian banyak dongeng tentang tuan putri lainnya. Cinderella bisa diminati dari segala kalangan, karena ceritanya yang berakhir sederhana dan memuaskan. Namun, ada juga beberapa orang yang tidak berpikiran seperti itu. Salah satunya adalah Panji. Menurutnya, Cinderella itu terlalu beruntung. Hanya karena wajahnya yang diminati oleh pangeran pada malam pesta dansa, hidupnya yang menderita langsung berubah 180°. Sangat tidak masuk akal, dan membuat Panji iri.
“Hei!” Panji terperanjat ketika pintu kamarnya didobrak, “apa yang kamu lakukan?” tanya sang pendobrak dengan sinis, dia melangkah masuk ke dalam kamar.
“Belajar,” jawab Panji singkat. Menatap tak minat pada salah satu kakak tirinya itu.
Wajah lain yang serupa muncul dari bibir pintu, “Rian ayolah, pesta dansa dimulai 15 menit lagi. Kita akan terlambat jika kau tidak cepat.”
Gabrian menoleh pada kembarannya itu, “Tunggu sebentar, Riel. Aku hanya ingin memastikan kalau anak cupu ini tidak ikut ke pesta.”
Benar, malam ini pesta dansa diadakan. Tidak terlalu formal sampai mengharuskan semua orang untuk datang. Pesta dansa ini hanyalah bagian dari acara tahunan sekolah mereka saja. Cukup berbeda memang dari acara pada tahun-tahun sebelumnya yang biasanya hanya berupa pameran seni. Jadi, bukankah sangat disayangkan bagi siapapun yang tidak bisa datang pada malam ini? Karena tentu saja, pesta dansa ini akan menjadi kenangan pertama serta pengalaman baru yang luar biasa untuk setiap murid.
Kembali lagi pada Gabrian, dia mendekat ke arah meja belajar tempat Panji berada. Menjambak rambut laki-laki kasihan itu dan memaksanya untuk mendongak, “Daripada bertingkah seperti seorang kutu buku, lebih baik kau lakukan sesuatu yang lebih berguna. Cucilah pakaian kotor dan bersihkan rumah. Aku ingin melihat semuanya bersih setelah kami pulang nanti. Mengerti?”
Panji meringis kecil saat jambakan pada rambutnya semakin erat, “Baiklah...”
Setelah itu Gabrian melepaskan Panji. Senyum puas ditunjukkannya sebelum benar-benar menyusuli Gabriel yang sudah pergi sejak tadi. Pintu terbanting keras, meninggalkan suasana sunyi nan menyesakkan dalam ruangan.
Panji terdiam dengan tatapan tajam. Dia mengepalkan tangannya erat. Rasa benci mengalir di sekujur tubuhnya.
Tidak semua orang menyukai Cinderella.
Tidak semua orang seberuntung Cinderella.
Beberapa orang, iri dengan Cinderella.
“Persetan dengan mereka.” Panji bangkit dan menuju ke arah lemari yang ada di sudut ruangan. Dia mengeluarkan sebuah jas mewah untuk dikenakan.
Ya, dari awal dia memang berniat mengikuti pesta dansa tanpa peduli ancaman kedua kakak tirinya tersebut. Sebutlah Panji nekat, karena hati kecilnya terus berteriak lelah. Lelah berharap pada sesuatu yang mustahil. Cinderella adalah dongeng terbodoh yang pernah ia tahu.
Setelah beberapa menit sibuk dengan jas dan tatanan rambutnya, dia kemudian berjongkok dan mengambil kotak sepatu yang sengaja ia sembunyikan di kolong lemari. Dia akan memakai sepatu Oxford yang ia pilih dengan menghabiskan waktu tiga jam di toko sepatu.
Sringg
“Apa?” matanya mengejap.
Jika benar Cinderella hanyalah dongeng yang bodoh, lantas apa yang sedang Panji lihat saat ini? Sepatu Oxford hitam yang baru kemarin ia beli dengan tabungan selama lima bulan, berubah begitu saja menjadi bening. Transparan. Kaca?
“Sepatu kaca?!”
“Kamu begitu menyedihkan sampai menyalahkan takdir.”
“Jadi dengan terpaksa aku memberimu satu kesempatan”
“Kesempatan inilah yang kamu dambakan, benar?”
Suara beruntun itu masuk ke dalam pendengarannya. Panji celingukan mencari sumber suara. Sampai matanya tertuju pada sebuah sinar kecil di atas meja belajarnya. Dia beranjak untuk melihat benda itu lebih dekat.
“Tidak mungkin..”
Benda bercahaya itu ternyata adalah makhluk kecil bersayap yang memiliki paras cantik, “Peri?!”
“Waktumu hanya sampai pukul 12 malam. Gunakan sebaik mungkin untuk mengubah hidupmu!” katanya.
“Tunggu, apa? Aku masih belum mengerti. Kamu ingin aku memakai sepatu itu ke pesta dan ditertawakan semua orang?!” protes Panji. Jika dia seorang perempuan itu tidak masalah, tapi di sini dia adalah seorang laki-laki normal. Memakai sepatu kaca akan terlihat aneh untuknya.
“Sudah kuduga kamu akan protes, dasar tidak bersyukur!”
“Baiklah, kamu boleh tidak memakainya asalkan kamu tetap menyimpannya sampai waktu perjanjian.”
“Mantra yang aku rapal padamu— hei! Dengarkan aku!”
“Maaf, terima kasih. Aku mengerti, kok. Sampai jumpa,” pamit Panji tergesa-gesa. Mengambil sepatu lain yang ada di rak, dan menuruni anak tangga sambil terus melirik pada jam tangan. Pesta sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu. Tidak lucu jika dia sampai ketinggalan acara utama.
“Peri itu sangat lambat dalam berbicara.”
♦️♦️
Pintu ganda itu terbuka. Suasana meriah langsung menyapa. Alunan musik klasik memenuhi udara dalam ruangan yang ramai. Panji menarik napasnya dalam-dalam, menghilangkan rasa gugup yang mendera sejak dia sampai di ballroom, tempat pesta dansa diadakan.
Dia mulai melangkah dan membelah kerumunan. Bisa dia rasakan banyak mata yang mengarah padanya, membuat Panji semakin gugup. Tiba-tiba, sebuah tepukan mendarat di bahunya.
“Bro! Aku pikir kau tidak jadi datang!” seru laki berjambul itu. Dia tersenyum sumringah sampai Panji berbalik menghadapnya.
Ada perasaan lega saat Panji melihatnya di sini, “Sial, Evan. Berhenti mengagetkanku begitu.”
“Hei, aku bisa merasakan auramu dari jauh! Rasanya seperti ada yang berbeda darimu malam ini,” puji Evan cukup peka, “ngomong-ngomong kau ketinggalan sambutan pembuka. Padahal Elvira yang mewakili kelas kita. Kau tahu, dia terlihat sangat cantik dengan gaun pestanya.”
“Oh, benar. Di mana Elvira?” tanya Panji antusias.
“Hm? Aku tidak tahu. Mungkin bersama dengan para gadis lainnya. Hei kau mau kemana?!” tanya Evan setengah berteriak saat Panji melangkah pergi tiba-tiba.
“Aku akan mencoba keberuntunganku!” jawab Panji. Detik berikutnya dia sudah menghilang dalam kerumunan.
“Dasar gila..”
Pukul setengah 10 malam. Peri itu bilang waktu Panji hanya sampai pukul 12 malam. Jadi entah asli atau tidak, Panji akan mencoba semuanya malam ini. Karena peri itu benar, ini adalah kesempatan yang dia dambakan selama ini.
“Elvira,” gumam Panji saat sudah menemukan sang pujaan hati. Dia mendekat dengan langkah mantap dan penuh percaya diri.
Panji menjulurkan tangannya, “Maukah kamu berdansa denganku malam ini?” dia bertanya dengan suara lembut.
Sorot raut terkejut terpampang di wajah cantik itu. Tidak hanya Elvira sebenarnya, beberapa orang di sekitar mereka juga terkejut dengan tawaran yang diajukan Panji pada sang diva sekolah. Ada yang mendesah kecewa dan ada yang berteriak gemas.
Panji sendiri sempat tertegun melihat penampilan Elvira yang luar biasa malam ini. Dia mengenakan gaun malam berwarna biru laut yang memesona, dan itu terlihat sangat cocok di kulit langsatnya yang berkilau. Parasnya yang memang sudah cantik, semakin memikat karena terhias oleh makeup.
Senyum mengembang di wajah Elvira. Dia menerima tawarannya dan meraih tangan Panji dengan lembut. Gelombang keterkejutan semakin terasa di ruangan tersebut. Panji tersenyum seakan berterima kasih. Dia menarik Elvira ke dalam pelukannya.
Musik dansa mulai mengalun, cahaya ruangan terasa lebih terang dari sebelumnya. Mereka berdua mulai bergerak sesuai irama. Panji memimpin langkah dengan kelembutan, menggiring melalui gerakan yang anggun dan elegan. Setiap putarannya, mereka terasa lebih intens satu sama lain. Kedekatan mereka berdua juga tak luput dari perhatian sekitar. Banyak juga yang mulai berdansa bersama pujaan hatinya masing-masing. Membuat suasana pesta dansa menjadi lebih hidup.
Panji menatapnya lamat-lamat. Penuh cinta dan kekaguman, seakan Elvira adalah sebuah permata indah yang berhasil ia dapatkan setelah menggali berkali-kali. Dia sangat bersyukur tentang semua keajaiban malam ini. Cinderella yang menjadi omong kosongnya selama ini, secara langsung telah mengubah hidupnya yang suram.
‘Terima kasih, peri kecil.’
“Aku senang kamu akhirnya menunjukkan dirimu,” ucap Elvira pelan, tetapi masih bisa didengar jelas oleh Panji.
“Hm?” tanya Panji tak mengerti.
“Aku sudah lama menunggumu,” Elvira tersenyum manis. Membuat jantung Panji semakin berdegup tidak karuan saat melihatnya.
“Apakah itu artinya..”
Gadis itu mengangguk yakin, “Ya, selama ini aku juga mencintaimu, pangeranku.”
Kringggg kringgg kringgg!
Dering alarm berbunyi. Mata itu terbelalak. Panji mengejap, dia lantas bangun dari tidurannya. Menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan dia benar ada di kamarnya saat ini. Setelah semuanya jelas, dia termenung. Matanya ikut memanas.
“Sial... Itu semua... Mimpi...” dia terisak dan merengek kesal.
Semua yang dia rasakan di dalam mimpinya terasa sangat nyata. Cinta, keberhasilan, serta keajaiban yang selama ini ia cari tampak begitu dekat. Namun, saat sadar itu hanyalah sebuah mimpi, rasa sakit langsung menyerang, menamparnya dengan kejam untuk kembali pada kenyataan yang sangat jauh dari harapan. Mimpi itu begitu indah, sampai kenyataan ini terasa begitu menyakitkan. Panji merasa sangat kehilangan, meskipun yang dialaminya hanya mimpi. Benar-benar malang.
Ditengah rasa sedih dan keputusasaannya meratapi sang mimpi, Panji masih harus menelan pil pahit kehidupannya. Pintu kamarnya di dobrak, persis seperti di mimpi. Pelaku pendobrakannya juga sama.
“Apa itu? Kau menangis?” tanya Gabrian. Dia berjalan mendekat.
Panji mengusap wajahnya kasar, dia menyembunyikan bekas air matanya yang memalukan, “Apa maumu?” Sungguh, dia tidak ingin harinya semakin rusak karena tingkah kakak tirinya yang satu itu.
Tanpa di duga, Gabrian menarik wajah Panji dan menggosoknya dengan sapu tangan, “Sial, berhenti membuatku malu,” katanya.
“Apa?! Hentikan!” Tentu saja Panji berontak. Dia bingung sekaligus kesal dengan apa yang dilakukan Gabrian pada wajahnya.
“Hei, apa yang terjadi?”
Panji terperanjat. Pertanyaan itu berasal dari Gabriel yang baru datang ke kamarnya, tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan dengan seorang gadis yang dibawa Gabriel di belakangnya.
“Elvira?!”
Gadis cantik itu menatap Panji dengan khawatir. Dia langsung mendekat dan membelai wajah Panji lembut, “Sayang, apa yang terjadi padamu?”
“Sayang..?” tanya Panji gugup. Dia berusaha menetralkan degup jantungnya karena Elvira yang begitu dekat.
Sementara itu Gabrian memutar bola matanya malas, “Anak itu tidak hanya cupu, tapi juga cengeng. Aku tidak mengerti apa yang kamu lihat darinya,” dia mencibir. Berjalan keluar kamar bersama Gabriel, meninggalkan Elvira dan Panji berdua.
Elvira tersenyum tipis, “Tenanglah, kamu bisa bercerita padaku pelan-pelan. Aku disini untukmu,” ucapnya sambil menggenggam tangan Panji erat.
“Apakah kamu mimpi buruk?”
Potongan-potongan memori mulai terpasang. Panji terperangah, saat mengingat semua yang telah terjadi. Dia benar-benar melakukan itu. Mimpi indah tadi adalah awal dari potongan memori yang benar terjadi. Setelah pesta dansa tahun lalu, dia menjalin hubungan romantis dengan Elvira sampai saat ini. Banyak perubahan serta kenangan indah yang nyata, semenjak gadis itu masuk ke dalam hidupnya.
Panji lebih sering tertawa dan bersikap aktif. Bergaul dengan orang banyak, serta tidak lagi mengurung diri di kamar. Kedua kakak dan ayah tirinya juga sudah jarang menyiksanya. Elvira orang yang sangat berpengaruh, bagi seluruh aspek kehidupan Panji.
“Sayang?” panggil Elvira lagi. Dia semakin khawatir dengan keadaan sang pacar yang malah termenung di hadapannya.
Menyadari hal itu, Panji tersenyum lembut, menahan tangan Elvira untuk tetap berada di pipinya, “Aku bermimpi.. itu adalah mimpi yang sangat indah.”
Gadis itu bersemu melihat sikap Panji saat ini, “Benarkah?”
Panji mengangguk, “Terima kasih untuk semuanya.”
Pada dasarnya, Cinderella tidak seberuntung itu. Sepatu kaca dan gaunnya yang indah hanyalah pelengkap. Selama ini dia memiliki tekadnya sendiri untuk bisa bersama dengan pangeran. Tapi apakah aku menulis untuk Cinderella?
Tidak, ini adalah tentang pangeran.
Pangeran tidak membutuhkan sepatu kaca ataupun gaun yang indah. Dia hanya membutuhkan kepercayaan diri untuk menjulurkan tangannya kepada Cinderella, wanita pilihannya di pesta dansa. Meskipun begitu dia tahu, tidak mudah membuat keputusan dengan tekad yang lemah.
Maka dari itu aku, sebagai peri kecil yang baik hati harus menciptakan beberapa dorongan untuk sang pangeran agar mereka bisa bersama sebagaimana mestinya.