Alinza membeku di tempatnya berada, tatkala seember air bercampur tepung dan telur busuk jatuh mengenai kepala hingga tubuhnya.
Ia mengangkat pandangannya ke atas, melihat tiga orang pelaku yang berdiri di lantai dua, sedang tertawa senang atas penderitaannya.
Sebagian orang yang melihat kejadian itu tertawa mengejek, sedangkan sebagiannya lagi merasa prihatin padanya.
Namun, tetap saja tidak ada seorangpun yang membantu Alinza. Bahkan, guru-guru pun menghilang entah ke mana.
Alinza hanya bisa menahan emosinya, kemudian berlalu meninggalkan tempat perkara tanpa mencoba membela diri.
Perundungan merupakan makanan sehari-hari untuk Alinza. Ia sudah tidak ada energi lagi untuk membela diri.
Sebenarnya Alinza pernah mencoba melawan mereka, namun mereka justru semakin gencar membully. Melapor pada guru maupun orangtua juga sudah Alinza lakukan. Akan tetapi, tidak ada satupun yang peduli pada lukanya.
Di detik ini, Alinza duduk di toilet perempuan sembari meringkuk dan menangis sesegukan.
Berulangkali ia bertanya dalam hati, "mengapa aku harus mengalami hal ini?"
Alinza tidak sanggup lagi kalau terus mengalami perundungan. Rasanya ia ingin menyerah saja.
Namun, dia tidak bisa. Jika Alinza menyerah, mereka yang merundungnya pasti merasa menang. Alinza tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Usai puas menangis, Alinza mengusap air matanya kasar. Ia harus bersiap-siap memasuki kelas, meski sebenarnya enggan.
"Bau," monolog Alinza saat mencium bau busuk dan amis menguar dari rambutnya.
Bau itu berasal dari telur busuk, tepung dan air yang bercampur jadi satu, yang para pembully itu jatuhkan pada Alinza tadi.
Rambut Alinza menjadi lengket, begitupun seragamnya.
"Aku harus bagaimana?" Ia menggigit bibirnya, menahan tangisan yang hendak keluar lagi. Alinza segera menggeleng kuat. "Nggak, aku harus tetap masuk ke kelas. Aku akan tunjukkan ke mereka, kalau usaha mereka menjatuhkan mentalku itu sia-sia!"
Akhirnya dengan tekad yang kuat, Alinza pergi menuju kelasnya. Baru saja satu langkah memasuki kelasnya, teman-teman sekelasnya langsung menutup hidung mereka.
Alinza sempat ragu, namun ia memilih untuk tetap melanjutkan jalannya.
"Alinza, dari mana saja kamu? Kamu telat masuk pelajaran saya!" Teriakan amarah dari Bu Fani terdengar menyeramkan.
"Maaf, Bu. Saya habis dari toilet tadi," jawab Alinza seraya menundukkan kepala.
"Jangan banyak alasan! Terus, bau apa ini?! Kenapa kamu selalu datang ke kelas dengan penampilan kacau, sih? Kadang bau busuk, amis atau seragam kamu berantakan. Kamu niat sekolah atau jadi pengemis, sih?!"
Atas ucapan Bu Fani itu, seluruh siswa di kelas tertawa mengejeknya. Alinza mengepalkan tangannya erat.
Padahal Bu Fani pasti mengetahui semua hal yang terjadi pada Alinza. Namun, para guru, termasuk Bu Fani memilih menutup mata dan telinga mereka.
Jawabannya sederhana, karena keluarga para membully memiliki power yang jauh lebih kuat dibandingkan keluarga Alinza.
"Maaf," cicit Alinza.
"Keluar kamu dari kelas dan berdiri di tengah lapangan sekarang juga! Saya nggak mau, kalau kelas ini jadi bau gara-gara kamu!"
Perkataannya bak belati yang melukai relung hati Alinza. Dada Alinza berdenyut sakit.
"Iya, Bu. Saya minta maaf," ucap Alinza sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas.
—————🍁🍁🍁—————
Panas mentari sangat menyengat siang ini. Setelah dua jam dijemur di tengah lapangan, Alinza akhirnya beristirahat di ruang UKS.
Suhu badannya menjadi panas karena paparan sinar matahari langsung. Sejujurnya, kepala Alinza juga menjadi pusing sekarang.
Karena itu, Alinza memilih berbaring di ranjang rumah sakit. Perlahan ia mulai menutup matanya, bermaksud tidur meski hanya beberapa menit.
Namun, di tengah kesadarannya yang masih mengambang, Alinza merasa ada sebuah tangan yang menyentuh dahinya.
"Alinza, cepat sembuh, ya."
Samar-samar Alinza mendengar suara itu.
Awalnya Alinza mengira hanya sebatas ilusi saja. Namun, begitu ia membuka mata setelah tidur selama beberapa menit, ia dibuat terkejut.
Ada banyak makanan dan minuman di atas nakas.
Mata Alinza menyipit memperhatikan berbagai makanan dan minuman itu. Semua yang ada di atas nakas adalah favorite Alinza. Tidak ada yang tahu hal itu, kecuali .... Orang itu.
Alinza segera beranjak menuju pintu UKS. Baru membuka pintu, ia melihat kehadiran Lidya, salah satu orang yang merundung Alinza.
Bahkan, bisa dibilang, Lidya adalah ketuanya.
Lidya dengan senyuman remeh menatap hina Alinza. Kali ini, Lidya datang sendiri, tidak bersama dua orang temannya.
Tangan Lidya terlipat di depan dada, sedangkan kakinya perlahan berjalan mendekati Alinza.
"Udah sadar lo? Kenapa nggak sekalian mati saja?" tanya Lidya sarkas. "Pas gue dengar lo ada di UKS, rasanya gue pengen cekik leher lo saat itu juga."
"Kenapa?" Pertanyaan muncul dari bibir Alinza. "Kenapa kamu sebenci itu sama aku?"
"Lo memang pantas dibenci!"
"Tapi, dulu, kita adalah teman."
Itu adalah kalimat yang tak pernah Lidya perkirakan. Kenangan mengenai pertemanan mereka yang dulu melintas di kepala Lidya.
"Iya, tapi itu dulu," kata Lidya.
"Lalu, kenapa kamu membully aku sekarang?"
Lidya memalingkan wajahnya. "Aku membencimu. Memangnya menurutmu, kenapa?"
Melihat respon Lidya, Alinza tersenyum tipis. "Kamu tidak membencimu, Lidya. Kalau kamu membenciku, kamu nggak akan memberikan makanan dan minuman kesukaanku lagi. Kamu juga nggak akan datang ke UKS cuma karena ingin mengecek kesehatanku saja."
"K-kapan gue ngelakuin itu?" elak Lidya. "Gue nggak mungkin beliin lo sesuatu!"
Meski Lidya terus menyangkal, Alinza tetap meyakininya.
"Sebenarnya kenapa kita berakhir jadi seperti ini?"
Nada lemah Alinza membuat Lidya menoleh menatapnya. Lidya terkejut saat melihat air mata mengalir dari pelupuk mata Alinza.
Alinza melanjutkan ucapannya, "dulu kita adalah sahabat. Kita selalu bersama untuk suka maupun duka. Kenapa sekarang kamu menjauhiku dan malah membully aku?"
"Lo masih nanya hal itu?"
"Apa karena aku pernah pacaran sama Garen? Kamu cemburu sampai memutuskan hubungan kita?"
Garen, pria tampan yang pernah dicintai oleh Alinza dan Lidya.
Lidya pernah bercerita mengenai rasa sukanya pada Garen. Namun, Garen justru menyukai Alinza. Di sisi lain, Alinza diam-diam menyukai Garen juga.
Alhasil, Alinza dan Garen berpacaran, sedangkan Lidya hanya bisa melihat mereka berdua bahagia.
Mungkin karena inilah Lidya membenci Alinza, bahkan sampai merundungnya.
"Aku minta maaf. Aku sangat menyesalinya. Sehari setelah aku berpacaran dengan Garen, besoknya aku langsung meminta putus. Aku tidak bisa berpacaran dengan cowok yang dicintai temanku." Dengan wajah dipenuhi air mata, Alinza memohon maaf.
Alinza baru menyadari alasan Lidya merundungnya sekarang. Apa yang dilakukan Alinza dulu memang sangat keterlaluan. Alinza pantas dibully dan dibenci semua orang.
"Lo nyesal karena pacaran sama Garen?"
Alinza mengangguk. "Iya."
"Lo tahu? Hal yang bikin gue marah bukan karena lo pacaran sama Garen, tapi karena lo mengkhianati gue."
Sejujurnya Lidya sedang menahan tangisnya.
"Harusnya lo bilang dari awal, kalau lo juga suka sama Garen. Gue nggak akan marah atau benci lo. Justru gue akan dukung lo, sama seperti lo yang selalu dukung gue. Hal yang bikin gue marah adalah saat lo pacaran sama Garen, tapi nggak pernah kasih tahu gue," lanjut Lidya. "Gue merasa kalau lo nggak menganggap gue sebagai sahabat lagi, sampai-sampai lo menyembunyikan perasaan lo ke Garen. Padahal gue nggak masalah dengan perasaan lo. Kita bisa bersaing secara sehat."
"Lidya, aku nggak tahu, kalau itu yang kamu pikirkan."
"Bagi gue, pertemanan kita lebih penting dari Garen. Tapi, kalau lo sengaja menyembunyikan perasaan dan hubungan lo, justru itu bikin gue ngerasa terluka. Gue jadi berpikir, kalau lo membuang gue karena udah punya Garen."
"Nggak, itu nggak akan terjadi. Pertemanan kita jauh lebih penting daripada Garen. Maka dari itu, aku putusin Garen sehari setelah kami pacaran. Aku nggak bisa nyakitin kamu hanya karena seorang cowok."
Kini, keduanya mulai memahami permasalahan sesungguhnya. Bukan Garen, melainkan kesalahpahamanlah penyebabnya.
Setelah percakapan mendalam mereka, hubungan mereka menjadi membaik. Mereka kembali berteman baik dan mencoba saling memahami lebih jauh.
Dengan begitu, seharusnya tidak akan ada kesalahpahaman lagi diantara keduanya.