Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pegunungan, hiduplah seorang gadis bernama Maya. Maya adalah anak tunggal dari pasangan petani yang sederhana. Ibunya, Siti, seorang wanita lemah lembut yang selalu menyemangati Maya dalam setiap langkahnya. Ayahnya, Budi, seorang pria pekerja keras yang tak pernah mengeluh walau pekerjaan di ladang sangat berat.
Sejak kecil, Maya memiliki impian untuk menjadi seorang guru. Dia ingin mengajar anak-anak di desanya agar mereka tidak buta huruf seperti kebanyakan penduduk di sana. Setiap senja, Maya duduk di bawah pohon besar di tepi ladang, memandangi matahari yang perlahan tenggelam sambil membaca buku-buku yang dipinjamnya dari sekolah.
Namun, kehidupan tak selalu berjalan mulus. Ketika Maya berusia 12 tahun, ibunya jatuh sakit. Sakit yang awalnya ringan, perlahan menjadi berat. Budi menghabiskan seluruh tabungan mereka untuk mengobati Siti, namun tak ada yang bisa menyelamatkannya. Siti meninggal pada suatu senja, meninggalkan luka mendalam di hati Maya dan Budi.
Sejak kepergian ibunya, Maya merasa dunianya runtuh. Senja yang dulu indah kini terasa kelabu. Dia sering duduk di bawah pohon besar itu, menangis dalam kesunyian. Ayahnya yang dulu kuat, kini tampak rapuh. Namun, Budi berusaha keras untuk tetap kuat di depan Maya, karena dia tahu, hanya dia yang Maya miliki.
Waktu berlalu, Maya tumbuh menjadi remaja yang pintar dan baik hati. Dia selalu mengingat pesan ibunya, “Jadilah cahaya bagi orang lain, Maya.” Dengan tekad yang kuat, Maya berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan hasil yang memuaskan. Dia diterima di sebuah universitas di kota besar dengan beasiswa penuh.
Namun, dilema melanda hati Maya. Dia tak ingin meninggalkan ayahnya yang kini bekerja sendirian di ladang. Budi, dengan senyum yang menahan air mata, meyakinkan Maya untuk mengejar mimpinya. “Pergilah, Maya. Jadilah guru seperti yang kau impikan. Ibu pasti bangga padamu.”
Dengan berat hati, Maya pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikannya. Setiap senja, dia duduk di balkon asramanya, memandangi matahari terbenam sambil teringat akan masa-masa di desa bersama ibunya. Maya berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan kembali ke desa dan mengajar anak-anak di sana.
Empat tahun berlalu, Maya lulus dengan predikat cum laude. Dengan penuh semangat, dia pulang ke desa untuk membangun sekolah kecil di sana. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ketika Maya sampai di rumah, dia mendapati ayahnya terbaring lemah di tempat tidur. Ternyata, Budi telah lama sakit, namun menyembunyikannya agar Maya tidak khawatir.
Dalam sisa waktu yang ada, Maya merawat ayahnya dengan penuh kasih sayang. Senja demi senja mereka lewati bersama, mengingat kenangan indah tentang Siti. Hingga pada suatu senja, Budi mengembuskan napas terakhirnya di pelukan Maya, meninggalkan gadis itu sendiri di dunia. Maya kembali ke pohon besar di tepi ladang, tempat di mana dia dulu sering duduk bersama ibunya. Matahari terbenam, menciptakan bayang-bayang panjang di tanah. Maya menangis tersedu-sedu, namun di dalam hatinya, dia tahu bahwa ibunya dan ayahnya selalu ada di sana, bersama senja yang indah.
Dengan tekad yang kuat, Maya bangkit. Dia mendirikan sekolah di desa itu, mengajar anak-anak dengan penuh cinta, seperti yang selalu dia impikan. Bayang-bayang di ujung senja menjadi saksi bisu akan keteguhan hati seorang gadis yang kehilangan, namun menemukan kekuatan dalam kenangan dan cinta.
Senja yang kelabu itu kini berubah menjadi senja yang penuh harapan, di mana Maya menjadi cahaya bagi desanya, mewujudkan impian yang diwariskan oleh kedua orang tuanya.