Libur musim panas baru saja tiba. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku dan Navisha memutuskan untuk berlibur ke tempat wisata di daerah pegunungan.
Malangnya di tengah perjalanan menuju tempat wisata, salah satu ban mobilku bocor, sehingga kami terpaksa turun dari mobil.
"Kayaknya kita lagi di hutan, Nav," ujarku menebak-nebak. "Gue nggak bisa lihat maps, karena nggak ada sinyal di sini. Tapi, dilihat dari pepohonan tinggi dan lebat di sekitar kita, kemungkinan kita lagi di hutan."
"Terus, kita harus gimana, Ra?" tanya Navisha gelisah.
"Ayo, kita keliling. Mungkin saja ada keajaiban, misalnya ketemu bengkel atau penginapan di sini."
"Tapi, masuk ke hutan itu bahaya."
"Kalau sampai malam kita tetap di sini, itu akan lebih bahaya."
Meski awalnya meragu, Navisha akhirnya menerima saranku. Lantas, kami berdua berjalan menyusuri hutan lebat itu.
Setelah perjalanan yang memakan waktu setengah jam itu, kami akhirnya menemukan sebuah hotel megah yang tampaknya masih terawat dengan baik.
Navisha antusias menarik lenganku menuju hotel, namun aku segera menghentikannya.
"Kenapa ada hotel di tengah hutan?" tanyaku bingung.
"Lo yang ngomong tadi, kalau keajaiban bisa saja terjadi," kata Navisha.
"Gue tahu, tapi yang gue maksud itu penginapan tradisional, bukan hotel kayak yang ada di kota-kota besar."
"Sudahlah, nggak usah banyak mikir. Masih untung kita ketemu hotel di sini."
"Oke." Aku mengangguk setuju.
Kemudian, kami masuk ke dalam hotel. Kami disambut baik oleh pemilik hotelnya langsung, meski Pak Darwin hanya memasang ekspresi datar.
"Sudah lama sejak terakhir kali hotel ini mendapatkan pengunjung lagi," ucap Pak Darwin. "Hotel ini terletak di tengah hutan, jadi sangat sedikit sekali orang-orang yang berkunjung."
"Kenapa Pak Darwin buka hotel di sini? Kenapa nggak di kota-kota besar saja?" tanyaku penasaran.
"Awalnya hotel ini adalah milik orangtua saya. Dulu hotel ini pernah ramai, tetapi setelah orangtua saya meninggal, para penghujung mulai kehilangan minat mereka."
"Kenapa? Nggak ada hal aneh, kan? Misal, seseorang bunuh diri di hotel atau sebagainya?" celetuk Navisha bertanya.
Sontak, aku segera menutup mulut Navisha rapat-rapat.
"Itu nggak sopan," bisikku pada Navisha.
Pak Darwin hanya menanggapi dengan senyuman saja. Kemudian, Pak Darwin memberikan salah satu kunci kamar hotel kepadaku dan Navisha.
Langsung saja kami menuju kamar kami, lalu membereskan barang-barang kami yang cukup banyak.
Kami bersyukur menemukan tempat bermalam. Namun, sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi tanpa diduga.
Saat aku dan Navisha hendak tidur, lampu kamar hotel menjadi mati. Tak berselang lama, kamar hotel menyala kembali. Namun, selang beberapa detik, lampu kembali mati. Hal itu terjadi berulangkali.
Mati, nyala, mati, nyala, mati, nyala.
Aku dan Navisha saling melirik satu sama lain. Bulu kuduk kami berdiri. Udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya.
"Ra?" Navisha meneguk ludahnya takut. Ia menatapku dengan tatapan seperti hampir menangis.
"Tenanglah. Pasti karena aliran listriknya sedang konslet saja." Aku mencoba menenangkan Navisha, meski sebenarnya aku juga takut.
"Tapi, gue takut," cicit Navisha. Ia memeluk lenganku erat.
Sekelebat bayangan hitam lewat dengan kecepatan kurang dari satu detik. Bukan hanya aku saja yang melihatnya, melainkan Navisha juga.
"A-apa itu?" Perkataan Navisha terbata-bata.
Lalu, sekelebat bayangan itu muncul lagi dengan kecepatan sama seperti sebelumnya. Bedanya bayangan itu mendadak berhenti, kemudian mendekati Navisha dan aku.
Aku dan Navisha menjerit kencang, saat mengetahui bayangan itu adalah sosok mengerikan yang dipenuhi darah.
Sosok itu melayang di udara.
Rambut hitam panjangnya kusut dan bercampur dengan noda darah. Wajah dan kain putih yang dikenakannya dilumuri darah kental berbau amis. Mulutnya yang robek sampai telinga itu menunjukan senyum mengerikan. Sedangkan, matanya memerah mengeluarkan darah.
Tawa melengking dari sosok mengerikan itu menguar memenuhi kamar hotel.
Aku dan Navisha secepat kilat menuju pintu kamar, namun pintu itu tak bisa terbuka. Meski sudah menggunakan kunci, tetap saja tidak bisa terbuka.
Tangisan ketakutan kami saling beradu.
Kami salah, karena merasa beruntung menemukan hotel yang ternyata berhantu ini.
"Tolong! Tolong kami!"
Teriakan minta tolong saling bersahutan, berharap ada seseorang yang mendengarnya dan menolong kami.
Lampu yang masih berkedip antara menyala dan mati kian menambah ketakutan kami. Namun, lampu kamar mendadak berhenti berkedip. Lampu itu menyala terang bersamaan dengan sosok mengerikan yang menghilang entah ke mana.
Sesaat aku dan Navisha terdiam selama beberapa detik.
Suara ketukan pintu menyadarkan kami berdua. Aku melirik Navisha sebentar, lalu membuka pintu kamar dengan perasaan was-was.
Anehnya pintu kamar yang semula sulit dibuka, kini bisa dengan mudahnya terbuka.
"Hai!" Seorang wanita cantik yang memakai gaun tidur berwarna merah, menyapa aku dan Navisha dengan senyuman menawan di bibirnya.
"S-siapa kamu?" tanyaku curiga.
"Aku Niya, aku tinggal tepat di sebelah kamar kalian. Kudengar, sekarang adalah hari pertama kalian datang, kan? Bagaimana rasanya? Apa ada hal yang menganggu?"
"Ada!"
Aku menoleh mendengar jawaban spontan Navisha. Namun, Navisha tidak terlihat menyesalinya.
"Gue nggak tahu pandangan lo mengenai hotel ini, tapi menurut kami, hotel ini sangat tidak layak! Kami diganggu sama makhluk menyeramkan!"
"Navisha." Aku memperingatkan Navisha agar tidak meneruskan ceritanya.
Kami masih belum tahu identitas Niya, jadi seharusnya kami tidak mempercayainya.
"Kalian juga diganggu?"
Atas kalimat tanya Niya, aku menoleh heran. Alisku menukik. "Juga? Maksudmu, kamu juga diganggu?"
Niya mengangguk pelan. Wajahnya menjadi murung dalam sekejap mata.
"Sudah tiga hari aku di sini, dan aku selalu mendapat gangguan-gangguan itu. Jujur saja, itu sangat mengerikan! Apalagi dulu hanya aku yang tinggal di hotel ini."
"Terus, di mana Pak Darwin?" tanya Navisha.
"Entahlah? Aku tidak pernah melihatnya lagi. Aku hanya melihatnya saat pertama kali aku datang ke hotel ini."
"Kenapa lo nggak kabur saja, kalau tahu hotel ini berhantu?" Aku masih belum mempercayainya sepenuhnya.
"Aku sudah mencoba berulangkali, tapi gagal. Setiap aku berhasil keluar dari hotel, anehnya entah mengapa, aku tiba-tiba saja kembali ke dalam kamarku."
"Apa?!" Navisha sangat terkejut, begitupun aku.
"Itu aneh, kan? Aku juga tidak mengerti. Sejujurnya aku merasa hampir gila berada di tempat ini. Makhluk ghaib itu terus menakutiku. Sebenarnya alasan aku mengunjungi kalian juga, karena aku khawatir."
"Terus, kita harus apa supaya bisa keluar dari hotel ini?" Aku tidak punya ide. Kalau Niya saja tidak bisa keluar, apalagi kami berdua.
"Aku ingin mencoba beberapa metode lagi. Aku nggak terlalu yakin, tapi kita bisa mencobanya. Mungkin saja kita bisa keluar."
"Okay, kami akan membantumu." Navisha langsung saja menyetujuinya.
Kesepatakan telah tercapai. Aku, Navisha dan Niya memutuskan untuk pergi mencoba metode yang Niya bicarakan.
Tatkala sedang mempersiapkan metode yang Niya bicarakan, Pak Darwin yang biasanya tak muncul, tiba-tiba saja sudah ada di dekat kami.
Kami semua terkejut melihat kedatangannya.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Pak Darwin. Wajahnya masih sama datarnya seperti pertama kali kami melihatnya.
Navisha maju mendekati Pak Darwin. "Ada apa dengan hotel ini? Kenapa kami mendapatkan gangguan ghaib di sini?"
"Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura. Kami sudah tahu semuanya. Hotel ini berhantu dan kami nggak bisa keluar dari hotel ini!"
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Begini, Pak." Aku menengahi. "Aku dan Navisha mendapatkan gangguan dari makhluk halus di hotel ini. Memang seharusnya dari awal kami tidak bermalam ke hotel yang ada di tengah hutan. Bukan hanya kami, bahkan Niya juga sering mendapatkan gangguan ghaib itu."
"Niya? Siapa Niya?"
Aku dan Navisha saling memandang satu sama lain. Wajah kami menampakkan kebingungan yang nyata.
"Niya adalah orang yang tinggal di hotelmu juga," ucapku tak yakin.
"Tidak ada yang tinggal di hotel ini kecuali saya dan kalian berdua."
Mendengar kalimat itu, wajahku dan wajah Navisha pucat seketika. Tubuh kami membeku di tempat.
"Lalu ... siapa Niya?" tanya Navisha.
Aku dan Navisha menoleh ke arah Niya berada.
Senyum Niya yang semula manis, perlahan berubah menjadi mengerikan. Bola matanya mengeluarkan darah. Penampilannya berubah 180 derajat. Dia melayang di udara sembari tertawa nyaring.
Niya yang kami kenal, berubah menjadi hantu mengerikan yang menganggu kami di malam itu.
Pak Darwin langsung memasang posisi siaga.
"Ternyata kamu masih berani menganggu tempat ini." Pak Darwin menggeram marah.
Mulut Pak Darwin komat-kamit membacakan mantra yang tidak kami pahami. Yang pasti, Pak Darwin sedikit kesulitan mengusir, namun pada akhirnya dia berhasil.
Aku dan Navisha hanya bisa membeku melihat kejadian di depan kami. Rasanya semuanya terjadi begitu cepat.
"Untunglah saya tidak terlambat. Kalau saya tidak bertemu kalian sekarang, kalian mungkin sudah dibawa makhluk itu pergi ke alamnya," ujar Pak Darwin lega.
"Ja—jadi, Niya adalah makhluk ghaib? Jadi, sejak tadi kami ngomong sama makhluk ghaib?" tanya Navisha takut.
"Iya." Pak Darwin mengangguk. "Sebenarnya Niya yang asli sudah meninggal tiga tahun lalu. Dia bunuh diri di hotel ini. Saya sudah melakukan banyak cara untuk mengusir roh-nya. Selama setahun ini, dia tidak lagi muncul menganggu. Saya pikir, dia tidak akan datang menganggu lagi. Tapi, ternyata dugaan saya salah. Dia sengaja menunggu waktu agar hotel ini bisa menerima tamu lagi."
Aku dan Navisha kebingungan harus mengatakan apa.
Pak Darwin membungkukkan badannya, lalu melanjutkan ucapannya, "saya sungguh minta maaf atas semua hal yang terjadi. Saya akan bertanggung jawab. Saya akan mengantarkan kalian ke kota malam ini juga. Tenang saja, saya akan menjaga kalian dengan baik."
"Tapi, mobil kami mogok."
"Tidak masalah. Saya juga punya mobil."
Aku dan Navisha mengangguk setuju. Toh, kami tidak mau bermalam di hotel ini setelah hal yang terjadi. Lebih baik kami mengiyakan ajakan Pak Darwin.