Langit sudah berwarna keemasan, sinar mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Namun aku masih terus berkendara dengan mobilku. Entah kemana tujuanku saat ini, aku sendiri tidak tahu. Tapi aku terus melajukan mobilku, tanpa tahu tujuan dan arah yang jelas.
"Ngiiikkk....!!!".
Mendadak aku menginjak pedal rem dengan kencang. "Oh tidak....!!." Gumamku saat melihat ada banyak sekali arah jalan yang bercabang. Semuanya menuju ke arah yang berbeda. Ada yang lurus, belok ke kiri, belok ke kanan, arah ke selatan, ke timur, dan ke utara.Tapi tidak tahu semua jalan ini ujungnya akan mengarah kemana.
"Jalan mana yang harus ku pilih...??".
Beberapa saat aku terus diam tidak bergerak. Pikiranku berkecamuk, harus mengambil jalan yang mana. Aku hanya duduk diam sambil menatap jalan-jalan bercabang yang ada di depan mataku. Kulihat ke sekeliling tempat ku berdiam, tidak ada seorang pun yang lewat. Aku tidak bisa bertanya kepada siapa pun.
Langit sudah menjadi gelap, sang rembulan telah naik keatas, menghiasi langit malam yang sunyi dan senyap. Tidak ingin terus berdiam saja, kupilih lah jalan yang ke sebelah kanan. Perlahan-lahan aku melaju pelan dengan mobilku, menyalakan lampu jauh. Kulihat ke kanan dan ke kiri. Jalanan ini begitu sepi di kelilingi oleh tembok-tembok yang sangat tinggi, entah ada apa dibelakang tembok itu.
Untunglah masih ada cahaya lampu jalanan. Walaupun tidak berujung namun jalanan nya beraspal sangat halus. Aku mengendarai dengan sangat nyaman. Tidak ada polisi tidur ataupun jalan berlubang sama sekali, benar-benar jalan aspal yang sangat mulus.
Namun tiba-tiba saja perutku terasa lapar. Sangat lapar, berharap didepan sana ada sebuah warung makan atau minimarket untuk sedikit membeli makanan.
Dalam hati aku terus berdoa. "Ya tuhan, semoga saja ada yang bisa aku makan malam ini, perutku lapar sekali rasanya".
Lalu keajaiban pun tiba, terlihat sebuah warung makanan di depan sana dengan lampu yang sedang menyala. Segera ku tepikan mobilku di depannya. Dengan cepat aku turun dari mobil lalu masuk ke dalam warung itu.
"Permisi..., Pak...Bu....." Seruanku.
Tidak ada yang menyahut. Tapi ada semangkuk mie yang masih hangat. "Mangkuknya besar sekali, apa ini untuk porsi empat orang?".
Tidak peduli itu milik siapa, cacing diperutku sudah berteriak minta makan. Aku langsung duduk dan kuambil garpu dan sendok. Aroma mie ramyun korea kesukaanku terus menusuk indera penciumanku.
"Sruup....sruup....sruup...".
Aku makan sedangan sangat lahap, sampai kuahnya membasahi baju kaosku. Luar biasa rasanya, rasa laparku langsung hilang. Aku pegang perutku yang buncit karena kekenyangan. Lega sekali bisa makan banyak seperti ini disaat sedang kelaparan. Kulihat mangkuk jumbo itu kosong tanpa bersisa.
"Hebat aku bisa makan porsi sebanyak ini." Gumamku.
"Cekrek..." Pintu terbuka.
Seorang ibu paruh baya keluar membawa kantung berwarna hitam. Kedua sudut bibirnya menyungging senyum, ia menatapku. Tatapannya sungguh membuatku merinding.
Ia datang menghampiri, lalu menuangkan isi kantung hitam itu. Keluarlah mie Ramyun dari dalam kantung itu. Dituangkan lagi seperti keadaan semula, membuat diriku amat terkejut dan merasa getir.
"Makan lagi, ini gratis..." Ujar si ibu paruh baya itu.
Aku menggelengkan kepala dan hendak pergi dari sana. Aku berbalik, namun tidak di sangka aku melihat banyak sekali orang berdiri di depan pintu dengan tatapan kosong, mereka sedang menutupi jalan keluar warung makan, aku tidak bisa lewat atau keluar.
"Aaakkhh...!!." Ku berteriak kencang, saat ibu paruh baya menarik kencang tanganku, lalu dengan kejam memaksa diriku untuk makan mie ramyun porsi jumbo itu lagi.
Sambil menangis aku terus berusaha menelan mie itu kedalam tenggorokanku. Perih sekali rasanya aku tidak kuat lagi.
"Ugghh....!!." Ku tutup mulut ku karena ingin muntah.
Segera aku pergi dan berlari menerobos banyak orang yang hanya berdiri dengan tatapan kosong.
"Permisi, tolong minggir..." Rintihku menerobos banyak orang yang sedang berdiri mematung.
"Aaahhkk, sesak sekali, aku tidak kuat...".
Aku terus berteriak menerobos banyak orang, entah dari mana orang-orang ini berasal. Mereka hanya berdiri dengan tatapan kosong menutupi jalan yang mau aku lewati.
"TOLONG....!!!".
Teriakkanku sekuat tenaga.
.
.
Aku membuka kedua mataku lebar-lebar. Sungguh terkejut dengan apa yang kulihat saat ini, pemandangan langit-langit kamarku sendiri.
"Tadi itu mimpi...?".
Aku duduk di ranjang, lalu melihat jendela. Ternyata Langit masih agak gelap. Kulihat pemandangan kota jakarta pada dini hari dari atas. Dalam hati, aku bersyukur ternyata tadi itu hanyalah mimpi. Tapi kenapa terasa amat nyata sekali, bahkan rasa mual dan sesaknya masih terasa didalam jiwa ini.
Aku sadar kalau ada yang sedang tidak beres dengan diriku. Segera kuraih benda pipih di samping ranjangku. Langsung kutanyakan pada mbah kesayangan.
.
.
Terkejut lah hatiku saat menerima sebuah jawaban dari mbah kesayangan. Mimpi buruk tadi ternyata menggambarkan jiwaku yang rapuh. Jiwaku yang sedang resah dan gelisah, terjebak kedalam sebuah kesedihan mendalam hingga kehilangan arah. Sedangkan makanan yang bertubi-tubi masuk kedalam tenggorokanku secara paksa, menggambarkan banyaknya masalah yang sedang menghampiriku, hingga aku merasa muak dengan hidup ini.
Memikirkan semua itu, seketika cairan bening keluar dari kedua sudut mataku. Aku duduk di tepian ranjang tidurku sambil menangis kencang. Terus menangis hingga mataku terasa begitu perih.
Sang mentari pun akhirnya datang menyinari kamarku. Kulihat cahaya kuning itu, aku perhatikan dengan seksama, kurenungi makna kenapa semesta menciptakan matahari. Sepanjang hidupku sang sinar surya pasti akan selalu selalu terbit, tidak pernah datang terlambat menyinari semua sudut kota, memberikan kehidupan pada jutaan mahluk dimuka bumi, mengubah kegelapan menjadi terang.
Sang Mentari adalah satu bukti semesta mengasihi ciptaannya, memberikan harapan kepada setiap hambanya. Agar tidak menyerah menghadapi penderitaan.
Lukalama.