"Ki, Oca kapan kelar, sih?" Aku menggerutu sambil menggaruk kaki yang berhasil tergigit nyamuk. "Gue ngga mau ya kita patroli kemaleman!"
"Ini anak emang kalo ditungguin nggak inget waktu,"
Kiana dan aku akhirnya bernafas lega ketika sosok Oca muncul dari lorong A yang gelap. Memang jika diatas jam sepuluh malam, seluruh lampu asrama akan dimatikan, kecuali kamar mandi dan aula lama. Hal ini dilakukan agar tak ada siswi yang keluyuran malam-malam.
Kami yang duduk dikelas duabelas harus bergantian keliling malam, atau kami menyebutnya patlam, Patroli Malam.
Kebetulan hari ini giliran kelompok kami, harusnya berempat dengan Erna, tapi anak itu sakit hingga mengusulkan pulang dia hari lalu. Jadi tinggal tersisa Kiana dan Oca yang akan menemaniku malam ini.
Sekolah kami merupakan sekolah khusus perempuan, dimana keseluruhan dari kami diwajibkan untuk tinggal diasrama sekolah. Asrama Tulangga namanya. Berdiri tahun 70-an, gedung nya berhadapan persis dengan bangunan sekolah.
Tangan kami masing-masing membawa senter, pandangan kami menelisik penuh hati-hati, karena terkadang ada saja anak yang berani keluyuran malam-malam dan bersembunyi supaya tidak ketahuan. Kami juga mendatangi beberapa kamar yang masih ramai, memperingatkan mereka supaya cepat pergi tidur.
Total ada empat lorong yang harus kami periksa. Lorong A adalah lorong kamar angkatanku, berada di lantai dua. Lorong B diperuntukkan untuk anak kelas sebelas di lantai tiga, naik satu lantai barulah ketemu lorong C. Di lantai berikutnya, lorong D, hanya terisi kamar pengurus, kepala asrama dan tukang masak, diujung lorong ada sebuah pintu menuju ruang musik.
Aku menggerutu ketika dirasa begitu malas naik tangga menuju lorong B. Ketiga dari kami tak ada yang berbicara sedari tadi, kami hanya diam sambil mengamati. Cahaya senter aku sorot-sorot asal.
Huft
Sehabis memecahkan tigapuluh soal matematika tadi, rasanya kepalaku begitu pusing. Ingin sekali segera menyudahi patroli ini dan melempar diri keatas kasur.
"Ki, Ca?" Panggilku, keduannya menoleh, karena memang aku berjalan paling belakang.
"Pernah denger tentang cerita horor lorong C, ngga?"
"Bajingan! Ngga usah bahas gituan!"
Aku justru tersenyum usil, lalu merangkul kedua temanku. "Beneran! Jihan juga pernah ngalamin kejadian itu sendiri. Dan sumpah, gue dengernya juga merinding parah!"
Tangan Kiana mencomot bibirku gemas. Tapi itu sakit, sungguh!
"Lo ngomong macem-macem lagi, gue sunat meki lo!"
Aku reflek memegang bagian yang Kiana sebutkan dengan ngeri. "Njir udah rata gini.. "
"Makanya diem! Kayak Oca tuh, ngga banyak tingkah!"
"Justru itu yang patut dicurigai, Oca yang kalo nyrocos cepetnya ngalahin sales, kenapa malam ini diem banget kayak putri keraton?"
"Lo sakit, Ca?" Kiana yang hendak menyentuh dahi Oca tak berhasil, sebab si empu buru-buru menghindar dari jangakuan.
Kiana dan aku bertukar pandang, apalagi ketika Oca melenggang lebih dulu. Tidak memperdulikan kami berdua.
"Jangan bilang lo pinjem baju Oca lagi ngga bilang-bilang?" Tuduh ku pada Kiana.
"Gue ngga semencuri itu kali!"
"Kok dia ngambek?"
Kiana mengangkat bahu tak peduli. Kemudian menyusul Oca yang sudah mengecil sosoknya didepan sana.
Lorong B aman, sudah tak ada yang terjaga malam itu. Lampu kamar pun agaknya dimatikan keseluruhan. Saatnya naik ke lorong C.
Aku melirik Kiana, terkikik geli melihat wajahnya yang terlihat tak tenang. Aku yakin godaanku itu sukses, apalagi untuk spesies penakut macam Kiana. Aku yakin, satu minggu kedepan, Kiana tak berani mandi sendirian.
Sementara Oca, masih diam jalan. Aneh, biasanya ngambeknya Oca itu malah mengoceh, bukan diam. Sudahlah, mungkin sedang badmood.
Ditengah kesunyian itu, kami menyisir lorong C. Suasannya gelap seperti lorong-lorong sebelumnya, tapi entah kenapa rasanya suhu udaranya terasa menurun. Dingin.
"Tau ngga sih? Gosip tentang hantu cewek penunggu sini?" Kejailan ku mulai muncul.
"Bangsat! Malah dibahas lagi," Kiana marah, tapi aku tahu pasti dia tengah ketakutan setengah mati.
"Dia suka baju kuning, kayak punya lo kkkk—" Aku meledek, air mata Kiana nampak membendung. "Jangan-jangan lo—"
Drrrtttt! Drrrtttt!
Belum sempat merampungkan kalimat, sebuah panggilan mendesakku untuk segera diangkat. Aku menyergit heran.
"Siapa?"
Tidak menjawab pertanyaan Kiana, aku malah bertanya pada Oca. "Ca, HP lo ketinggalan ya?"
Kiana tiba-tiba memegang tanganku erat-erat ketika melihat lahar handphone ku. Mencubit kecil lengan ku.
"Apasi?"
Oca tidak menjawab, malah menatapku datar dari tempatnya berdiri.
"Angkat bu-buruan, Le!"
Aku yang bingung hanya menurut apa kata Kiana. Baru saja panggilan tersambung, sebuah suara familiar mengejutkan kami.
Tidak, tepatnya hanya aku dan Kiana.
"Maaf, Ki, Le. Kayaknya aku diare, bub terus daritadi sore. Maaf kalian jadi patroli berdua, "
"Oca? Gi-gimana bisa?" Tanganku gemetaran, apalagi Oca didepanku tersenyum mengerikan. Kiana sudah mendorong-dorong badanku supaya cepat lari, tapi entah kenapa kakiku terasa tak punya tenaga.
"Ya namanya juga musibah siapa yang tau? Kayaknya gara-gara makan sambel kebanyakan tadi disekolah,"
"Bukan itu maksud gue, bangsat!" Aku ngegas.
"Maksudnya?"
"Kenapa lo ada dua?!"
"Hah?!" Dari seberang sana Oca juga terkejut.
"Maaf membenarkan ceritamu yang tadi,"
Mataku hampir keluar, Kiana hampir terkencing, ketika sosok berwajah Oca itu tersenyum kearah kami sambil mengambil langkah kecil. Suaranya serak, tidak mirip seperti suara Oca yang kami kenal.
"Daripada warna kuning, saya lebih suka warna merah.. "
Senter dan juga handphone ku terjatuh. Aku melirik baju yang aku kenalan dan makhluk yang menyerupai Oca kenakan. Sementara sosok Oca yang sebenarnya berteriak dari handphone meminta penjelasan.
Aku.. Dan dia, Sama-sama memakai kaus berwarna merah.
"Bangsat! Jadi lo setan juga? Nama!!!"
Kiana berteriak, menghempaskan tangan ku yang tadi dipegangnya lalu ngibrit duluan. Sedangkan aku yang sedang disenyumi oleh Oca didepanku ini, aku malah lemas.
Dan selebihnya tubuhku ambruk, lalu semuanya gelap.
Setelah kejadian itu, selama satu minggu penuh aku mandi berduaan dengan Kiana.