"Nana besok kamu mulai cuti ya?" Tanya rekan kerjanya, saat mereka berjalan ke parkiran.
"Iya Sar, aku akan pulang ke desa mengunjungi nenek ku." Jawab Nana.
"Salam untuk nenekmu ya Na."
"Iya Sar, akan aku sampaikan ke nenekku."
Semasa sekolah dasar Nana dan orang tuanya tinggal di rumah neneknya, ibu dari ayahnya. Tapi karena pekerjaan sang ayah, yang mengharuskan mereka pindah ke kota.
Sudah bertahun-tahun Nana tidak mengunjungi neneknya, karena memang jarak yang cukup jauh, mereka sesekali hanya menghubungi lewat telpon.
Karena sekarang Nana sudah memiliki penghasilan, ia pun memutuskan untuk mengunjungi neneknya di desa.
Setelah lulus kuliah dan bekerja selama hampir 2 tahun, ia pun mengajukan cuti, untuk mengunjungi neneknya terlebih sang nenek di kabarkan tengah sakit, itu membuatnya semakin ingin mengunjungi neneknya.
Orang tuanya bersikeras melarang Nana untuk pulang sendiri, tapi ia juga tidak bisa menunggu orang tuanya cuti agar bisa pulang bersama.
Sepulang kerja, Nana packing di kamarnya. Mamanya masuk ke kamar Nana untuk menanyakan keseriusan Nana pulang seorang diri ke desa.
"Nana coba di pikir lagi nak." Ucap ibunya.
"Apa sih bu, sudah berapa kali harus Nana bilang." Ucapnya kesal karena setiap hari ibunya menanyakan hal yang sama.
"Ibu khawatir Na, jika tidak sudah lama ibu izinkan kamu pulang bahkan kita semua pulang." Ucap ibunya juga kesal, mendengar ucapan anaknya.
"Ibu saja yang terlalu berburuk sangka sama nenek, mana mungkin nenek melakukan itu." Ucap Nana.
"Tau apa kamu, kita pindah dari sana saja kamu masih kelas tiga SD."
"Ibu telah memperingatkan mu Na, jangan sampai kamu menyesal." Ucap ibunya lalu keluar dari kamar Nana.
"Ibu apa-apaan sih." Ucap Nana melihat ibunya yang kesal.
Tidak ada yang bisa menghalangi kepergian Nana untuk mengunjungi neneknya di desa, ia sudah sangat merindukan neneknya terlebih neneknya tengah sakit.
"Anak macam apa kalian, orang tuanya sedang sakit tapi tidak di rawat ataupun di kunjungi tega sekali." Ucap Nana kesal, ia sampai menitihkan air mata.
Ibunya pernah bercerita jika neneknya itu mendalami ilmu hitam dan menumbalkan anak-anak dan kerabatnya, tapi Nana tidak percaya dengan ucapan ibunya.
Karena neneknya sangat baik dengan siapapun, Nana berpikir itu akal-akalan ibunya agar Nana tidak pulang.
Ayahnya juga pernah bilang, alasan kepindahannya itu karena kelakuan neneknya, bukan karena pekerjaannya. Tapi Nana masih tidak percaya dengan ucapan ayahnya.
Keesokan harinya, Nana sudah siap berangkat ia pun berpamitan dengan orang tuanya.
Orang tua Nana masih bersikeras melarang Nana pergi, bahkan ayahnya hampir memukul anaknya karena membantah ucapannya.
Tapi Nana tidak peduli, dan tetap bersikukuh untuk pergi. Nana pergi ke desa berbekal alamat yang di berikan oleh neneknya.
Setelah perjalanan panjang akhirnya Nana hampir sampai ke desa, ia hanya perlu mencari tumpangan atau ojek untuk memasuki kawan desa.
Ia melihat ada pangkalan ojek yang tak jauh dari jalan masuk ke desa.
Nana berjalan ke arah para bapak-bapak yang sedang bermain kartu itu.
"Permisi pak, ada yang bisa antar saya ke desa Z?" Tanya Nana.
"Desa Z ya neng?" Tanya salah satu diantara mereka.
"Sama bapak itu aja neng, dia sering masuk kesana." Tunjuk ke temannya.
"Bisa neng, tapi ongkosnya mahal." Ucap bapaknya yang tadi di tunjuk sama temannya.
"Gak apa-apa, asal bisa sampai."
Setelah sepakat dengan ongkosnya, mereka pun berangkat. Perjalanan ke desa yang Nana tuju, cukup jauh sekitar satu jam karena jalannya bebatuan.
Sampailah Nana di desa neneknya, saat sampai di depan rumah, Nana melihat rumahnya sangat mewah tapi tampak sangat sepi dan seperti tidak terawat.
"Terima kasih pak." Ucap Nana setelah turun dari motor.
"Iya neng sama-sama, hati-hati ya neng, ini nomor saya kalau mau keluar telpon saja, saya bisa jemput." Ucap bapaknya sambil memberikan kartu namanya.
"Gaul juga ojek disini ada kartu namanya." Ucap Nana dalam hati.
Nana berjalan ke arah rumah yang sudah lama ia tidak datangi, walaupun agak ragu ia tetap melangkah ke rumah yang ada di depannya itu.
"Nenek." Panggil Nana dari luar, ia juga mengetuk pintu.
Nana mengetuk dan memanggil berkali-kali tapi tidak ada yang keluar, ia pun memutuskan untuk berjalan mengitari rumah itu.
Saat Nana berjalan ke sampir rumah, ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.
"Cari siapa neng?" Tanya orang tersebut.
"Cari nenek saja." Jawabnya lalu membalikkan badannya.
"Nenek." Ucap Nana lalu berlari untuk memeluk neneknya itu.
"Nana." Neneknya pun membalas pelukan cucunya.
"Nenek pikir siapa, jadi nenek gak keluar." Ucap neneknya masih memeluk Nana erat.
"Ayok nak, masuk dalam rumah." Nana pun masuk ke dalam rumah mengikuti langkah neneknya.
"Rumahnya ko kotor sekali nek?"
"Rumah sebesar ini, nenek gak bisa bersihkan sendirian nak, apalagi nenek sibuk di kebun." Jawab neneknya.
Ada benarnya juga perkataan neneknya, terlebih sang nenek tinggal seorang diri.
"Minum dulu nak." Neneknya menyodorkan sebotol air minum ke Nana, tanpa merasa curiga Nana meminum air yang diberikan neneknya.
"Sudah lama nenek menunggumu nak, orang tua mu tidak ada yang mau mengunjungi nenek karena mereka ...." Neneknya berhenti berbicara.
"Mereka salah paham nek, masa ibu sama ayah mikir nenek main ilmu hitam." Ucap Nana.
"Tapi itu benar nak." Ucap neneknya sembari mengusap-usap kepala Nana yang sudah pingsan akibat air minum yang sudah di minumnya.
Tanpa menunggu waktu lama, sang nenek langsung mempersiapkan sesembahan untuk makhluk yang disembahnya.
Nana memang di incar oleh neneknya untuk di jadikan tumbal, ia membujuk sang cucu untuk mengunjunginya dengan alasan sakit. Agar ia bisa menjadikan Nana tumbalnya.
Sang nenek bermain ilmu hitam untuk kekayaan dan hidup abadi, bukan rahasia umum lagi jika ia menumbalkan 2 orang suaminya dan beberapa anak-anaknya.
Orang tua Nana di kota yang khawatir akan anaknya, juga menyusul Nana yang pergi ke desa.
"NANA!" Panggil ayahnya dari luar sambil menggedor-gedor pintu.
"IBU BUKA PINTUNYA."
"NANA! NANA!!" Sang ayah dan ibunya Nana tak henti-henti berteriak sambil menggedor-gedor pintu.
Karena sudah sangat marah, alhasil ayah Nana mendobrak pintu rumah ibunya itu.
Namun sangat di sayangkan mereka terlambat menyusul Nana, saat mereka sudah berhasil membuka pintu, alangkah kagetnya ia melihat sang nenek tengah duduk di samping cucunya sambil tersenyum.
Sang ayah yang sudah sangat jerah melihat kelakuan ibunya dari dulu yang tidak pernah berubah, akhirnya menendang semua sesajen yang ada di sana.
Ia menangis melihat anaknya sudah tidak bernyawa, ibunya Nana pingsan saat melihat anaknya tadi.
Ayah Nana yang sudah gelap mata langsung menghajar ibunya habis-habisan, tapi ibunya tidak merasa kesakitan justru ia tertawa terbahak-bahak.
Karena melihat ayah Nana lengah, nenek pun langsung menusuk ayah Nana dengan pisau yang ada di sana, ia kehabisan banyak darah hingga akhirnya meregang nyawa.
Nana dan kedua orang tuanya di jadikan tumbal sang nenek.