Mata adalah jendela dunia , bukankah begitu kata pepatah, tetapi untuk orang yang buta bagaimana cara mereka melihat dunia?
Namaku Bella Shofie. Setahun yang lalu sebuah kecelakaan mobil menimpa ku dan keluarga ku. Aku tidak hanya kehilangan orang tua, tetapi juga kehilangan jendela untuk melihat dunia. Saat ini yang ku lihat hanya gelap dan hampa, rasanya sunyi sekali tidak ada cahaya yang melintas. Hingga seorang Riki Andreantara datang ke dalam hidupku dan menjadi mata kedua untuk ku.
Waktu itu aku berada di taman dekat rumahku. Aku sedang menikmati derasnya air hujan yang turun mengguyur sekujur tubuhku, terasa sejuk dan nyaman sekali. Aku sangat suka hujan dan sangat suka melihat bulir-bulir air hujan yang menetes mengenai dedaunan dan pepohonan. Tetapi sekarang aku tidak bisa melihat.
"Nona apa kamu juga menyukai hujan" tanya orang asing yang tiba-tiba mendekatiku.
"Ya, aku sangat menyukai hujan, siapa kamu?" jawabku, seraya berbalik ke kebelakang menghadap sosok orang asing yang tidak aku kenal.
"Eh...ternyata buta ya..." kata orang asing itu.
"Memangnya kenapa jika aku buta!" jawabku dengan nada marah.
"Tidak apa-apa aku hanya bertanya kok, kenapa malah marah, nanti cantiknya hilang loh" jawabnya.
"Sudahlah aku malas meladenimu pria asing!" jawabku seraya berbalik untuk bergegas pergi meninggalkannya.
"Nona mari kita berteman!" teriaknya dari kejauhan.
Inilah awal mula pertemuan ku dengan Riki, meski aku tidak tau bagaimana rupanya, aku tau dia orang yang baik walau sedikit menyebalkan.
Aku kembali bertemunya. Kali ini aku bertemu dengannya di jalan. Aku menyebrangi jalan dengan perlahan menggunakan tongkat. Hingga terdengar suara mobil sedang melaju dengan cepat dari kejauhan. Seorang pria mendorong ku sehingga kami berdua jatuh tersungkur di tepi jalan.
"Nona apa kau baik-baik saja?" tanya orang tersebut.
"Aku baik-baik saja, terima kasih. K-kamu orang yang aku temui di taman hari itu kan?" jawabku yang disertai pertanyaan untuk memastikan bahwa ia adalah orang yang aku temui di taman hari itu.
"Pendengaran nona memang sangat baik yah" balasnya.
"Namaku Riki Andreantara. Siapa namamu Nona manis" tanya Riki kepadaku.
"Namaku Bella Shofie, panggil saja aku Bella" jawabku.
"Nona, apa kita bisa berteman?" tanya Riki untuk kedua kalinya, karena kemarin aku tidak menjawab pertanyaannya.
"Kenapa kamu mau berteman dengan orang buta?" balasku.
"Memangnya apa masalahnya jika Nona buta, aku tidak masalah dengan hal itu, jika Nona buta aku bisa menjadi mata kedua untuk nona" balas Riki. Tiba-tiba suara jam tangan Riki berbunyi karena sudah menunjukkan pukul 5 sore.
"Emm,, nona aku pergi dulu ya, bagaimana jika besok kita bertemu di taman yang kemarin?" tanyanya yang membuatku menganggukkan kepala.
Kata-kata Riki tadi begitu menyentuh, suaranya begitu halus seperti suara ayah.
Sesuai janji Riki kemarin, hari ini ini aku bertemu dengannya. Aku tiba di taman lima menit lebih awal dari Riki, hari ini cuaca sangat cerah. Aku hanya merasakan panas matahari saja dan tidak bisa melihat cahayanya. Kemudian Riki pun datang menghampiri ku.
"Nona, maaf membuat mu menunggu" jawab Riki yang membuatku kaget akan kehadirannya.
"Riki?" tanya ku untuk memastikannya.
"Ia aku Riki Nona" balasnya disertai anggukan.
"Nona apa kau tau hari ini langit begitu biru dan cerah. Hampir tidak ada awan hitam yang melintas." ucap Riki yang sedang mendeskripsikan suasana hari ini untuk ku.
"Benarkah? Sungguh sayang sekali aku tidak bisa melihatnya" balasku seraya menahan tangis.
"Jangan bersedih Nona, ini semua adalah takdir yang tuhan berikan. Jadi, kamu harus mensyukurinya, karena belum tentu di luar sana ada orang yang sehebat kamu menahan rasa sakit ini dan begitupun sebaliknya. Setiap manusia mempunya takdir yang berbeda-beda." ucap Riki yang menyentuh hatiku.
"Nona, apakah kamu mau jalan-jalan naik sepeda listrik?" tanya Riki kepadaku.
"Terserah kamu saja" jawabku yang sebenarnya mau untuk bersepeda keliling bersama Riki.
Riki pun menarik tanganku, kami pergi ke sebuah tempat penyewaan sepeda listrik. Aku dan Riki pun menaiki sepeda listrik itu walaupun sebenarnya aku tidak tau bagaimana bentuk sepeda listrik itu. Sepanjang jalan Riki terus mendiskripsikan semua hal yang kami temui dari hamparan sawah burung berterbangan sampai seorang nenek yang bermain dengan cucunya. Riki membuat diskripsi layaknya membacakan sebuah dongeng.
Hari sudah mulai petang. Riki mengantar ku kembali ke rumah. Aku hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang mengurusku setiap saat. Sejak hari itu Riki selalu menghampiri ku di rumah, hampir setiap pagi aku mendengar teriakkan nya. Tetapi sudah satu Minggu Riki menghilang tanpa kabar, dia tidak menelfon ku apa lagi menghampiri ku di rumah, padahal ada berita baik yang ingin aku sampaikan kepadanya.
Malam sebelumnya*
"Bella, ada kabar baik untukmu" kata kakakku.
"Kabar baik apa kak?" tanyaku sedikit heran.
"Dokter bilang sudah ada seorang pendonor untuk matamu" jawab kakakku yang membuatku tersenyum senang.
"Benarkah? Siapa orangnya kak yang rela mendonorkan matanya untukku" tanyaku pada kakakku.
"Kakak tidak tau siapa orangnya, tetapi dokter bilang dia adalah seorang pasien yang menderita penyakit kanker" jawab kakakku.
"Orang itu baik sekali" balasku dengan wajah ceria.
Pagi harinya aku dan kakak bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Hari ini sebuah operasi besar akan mengembalikan jendela duniaku dan mengubah hidupku.
Setelah satu bulan berlalu mataku telah pulih sepenuhnya, Aku kembali ke taman dimana aku dan Riki bertemu pertama kali. Waktu itu hujan turun dengan deras sekali. "Riki dimana ya?" ucapku dengan rasa rindu yang mendalam.
Seorang laki-laki datang dan memberiku payung, suaranya sangat mirip seperti suara Riki, apa mungkin dia Riki, tetapi Riki akan memberikan ku payung di saat hujan turun.
"Nona, apa anda nona Bella?" tanya sosok pria asing yang menghampiriku.
"Iya, namaku Bella. Anda siapa? tanyaku sedikit heran.
"Saya Riko adik kembarnya Riki" jawabnya.
"K-kamu adiknya Riki, kebetulan sekali aku sedang mencarinya. Dimana Riki sekarang? Kenapa dia tidak bersamamu untuk menemuiku? Apakah dia marah kepadaku?" jawabku dengan pertanyaan yang banyak karena aku benar-benar sangat merindukan Riki.
"Hmm...baiklah aku akan membawa anda bertemu dengan Riki. Ayo ikut saya!" jawabnya seraya menyuruhku untuk mengikutinya dari belakang.
Riko mengajakku ke sebuah makam, aku mulai bertanya-tanya makam siapa ini? Kenapa Riko membawa ku kemari?
"Makam siapa ini? Kenapa kamu membawa ku kemari?" tanyaku sedikit heran.
"Coba Nona baca nama di batu nisan itu" balasnya yang membuatku sedikit heran dan gelisah.
Ternyata benar dugaanku. Di dalam batu nisan itu tertulis nama Riki Andreantara serta tertera tanggal kematiannya. Tanggal kematiannya tepat saat aku mendapat kan seorang pendonor mata.
"Apa maksudnya ini. Tidak, kau pasti bohong kan? Ini pasti bukan makam Riki kan..." teriakku histeris saat melontarkan pertanyaan itu kepada Riko.
"Aku tidak berbohong, ini makam kakak dan matamu itu adalah mata milik kakak" jawabnya yang menahan tangis.
"Apa! J-jadi ini beneran makam Riki..." tangisku ingin pecah. Rasa tidak percaya dan sedih bergejolak di kepala ku. Aku masih tidak percaya sahabatku telah mati dan aku tidak percaya kalau Riki lah yang menjadi pendonor untuk mata ku. Riko lalu mengeluarkan sebuah fidio rekaman pendek, terlihat Riki dipenuhi banyak selang infus dan oksigen.
"Bella, maaf aku tidak bisa datang menemui mu beberapa minggu terakhir. Kamu pasti kesepian, biasanya aku akan datang menghampiri mu dan bercerita banyak hal, tetapi tenang saja Bel. Setelah ini kamu tidak akan kesepian lagi dan kamu tidak perlu mendengar ceritaku yang membosankan. Kamu bisa melihat hujan yang kamu sukai, bisa melihat jalanan yang kita lewati, dan kamu pasti akan sangat bahagia. Terima kasih telah memberikanku kebahagiaan walau hanya sesaat" ucap Riki dan video pun selesai
"Lihatlah! Kakak ku adalah seorang yang sekarat, dia mungkin nampak baik-baik saja tetapi itu tidak menutup fakta tentang kanker yang di deritanya. Sejak di fonis menderita kanker otak setahun yang lalu kakak selalu murung, tidak pernah tersenyum ataupun bersosialisasi, sampai dia bertemu dengan mu, kakak menjadi lebih periang dan sering tertawa." ucap Riko kepadaku.
Aku hanya bisa menangis melihat makam didepan mata ku, walau rasanya tidak percaya tapi ini nyata.
"Kakak juga berpesan, agar kau tidak sedih atas kematiannya. Jadi, janganlah bersedih agar dia tenang di alam sana" ucap Riko menyampaikan pesan yang disampaikan Riki kepadaku.
Seminggu berlalu. Riko benar aku tidak boleh terus terpuruk dalam kesedihan, ada kehidupan baru yang harus aku lalui, aku harus mengikhlaskan dan melepaskan kematian sahabatku Riki. Sejak hari itu aku memutuskan menjadi seorang penulis novel untuk para tunanetra.
Tamat.