Namaku Kiyohime, putri seorang pejabat besar di Provinsi Kii yang cantik dan dikagumi oleh semua orang. Sejak kecil, banyak pejabat datang jauh-jauh untuk melamarku. Beruntung, ayah selalu menolak lamaran mereka semua.
Namun, kelak semua itu akan berubah. Orang-orang akan takut kepadaku, mereka akan menghindari wanita sepertiku. Di masa depan yang jauh, aku akan dikenal sebagai salah satu wanita paling obsesif di dunia.
Semua itu dimulai saat aku bertemu dengannya. Aku masih ingat dengan jelas, saat itu umurku baru 9 tahun. Aku melihatnya sedang mencuci muka di pinggir Sungai Hidaka.
Dia adalah pria yang sangat tampan dengan rambut hitam dan mata coklat berusia sekitar 15 atau 16 tahun. Ia mengenakan pakaian biksu yang membalut tubuhnya, dengan tambahan sebuah tasbih kecil di tangannya dan sebuah tongkat yang tergeletak di sampingnya.
Aku yang merasa malu, segera bersembunyi dibalik pepohonan, berharap ia tidak melihatku. Tapi hal itu sia-sia, ia menyadari segera keberadaanku dan berjalan pelan ke arahku. Ketika aku coba mengintipnya dari balik pepohonan, ia sudah berada di hadapanku dan tersenyum hangat ke arahku.
Mau tak mau aku merasakan pipiku memerah karena malu. Aku menggumamkan salam singkat dan bergegas pergi, bayangan matanya yang ramah terpatri dalam pikiranku. Saat aku berlari pulang dengan wajah memerah, aku tak kuasa menghilangkan rasa rindu yang tiba-tiba mengakar di hatiku.
Beberapa hari telah berlalu, aku berusaha menyingkirkan pikiran tentang pemuda tersebut dari benakku. Tapi takdir berkehendak lain untuk kami. Suatu malam, saat aku membantu menyajikan teh untuk tamu ayahku, aku membeku tak percaya ketika menyadari bahwa tamu ayah adalah pemuda yang aku temui di tempo hari.
“Hai, namaku Anchin,” sapanya dengan senyum hangat yang sama seperti sebelumnya. "Bukankah kita pernah bertemu di sungai tadi?"
Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban, jantungku berdebar kencang melihat nasib tak terduga yang membawanya kembali ke dalam hidupku.
Setelah menjelaskan kalau Anchin adalah seorang biksu yang sedang berziarah di kuil Dojo-ji yang berada di wilayah kami. Ayah juga menjelaskan kalau Anchin akan tinggal di rumah kami dalam beberapa hari. Dia kemudian menyuruhku untuk memperkenalkan diri kepada Anchin.
“Na-namaku Kiyohime...” ucapku sembari tersenyum gugup.
Selama berada di rumah, jantungku berdegup kencang tiap kali aku tanpa sengaja memandang Anchin. Suatu saat, satu hari sebelum Anchin kembali ke kuilnya, aku memberanikan diri untuk mendekat kepadanya dan menyatakan perasaanku kepadanya.
“A-aku mencintaimu Anchin.” Ucapku terbata-bata.
Saat itu, aku melihatnya membelalakkan mata. Namun dengan cepat ia kembali menguasai ketenangannya. Ia kemudian tersenyum hangat kepadaku dan mengelus kepalaku dengan penuh perhatian, hingga aku bisa merasakan desiran belaian tangannya yang lembut.
“Suatu saat, jika kau sudah cukup besar. Aku akan menikahimu saat aku datang kembali Kiyohime.” Ucapnya dengan senyum tulus.
Hatiku terasa begitu sumringah setelah mendengar janji yang dibuat oleh Anchin. Desiran kebahagiaan mengalir layaknya ombak lautan yang mengalir deras. Kebahagiaan membanjiri hatiku yang saat itu masih sangat kecil. Tanpa sadar kalau itu hanyalah sebuah janji palsu yang dibuat untuk membohongi seorang gadis kecil sepertiku.
10 tahun berlalu sejak saat itu, dan aku telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang matang. Aku masih setia menunggu kedatangan Anchin dan menolak tiap lamaran pernikahan dari laki-laki lain. Jiwa dan ragaku telah terisi oleh cintaku kepada Anchin.
Beberapa hari kemudian, hal yang telah kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Aku mendengar kabar kalau Anchin akan datang ke wilayahku untuk berziarah ke kuil Dojo-ji. Kabar tersebut benar-benar membuat hatiku dipenuhi gelombang kebahagiaan.
Di saat aku melihatnya berjalan di depan rumahku, aku segera berlari keluar dan menagih janji yang dia berikan kepadaku 10 tahun yang lalu.
Namun, alangkah terkejutnya aku ketika mendapati dirinya bahkan tidak lagi mengingatku. Dia juga menjelaskan bahwa seorang biksu dilarang untuk menikah dan harus mengabdikan dirinya untuk para dewa.
“Tapi...tapi...tapi aku mencintaimu Anchin. Aku sudah mengorbankan jiwa dan ragaku hanya untukmu.”
“Maaf, tapi aku tidak bisa membalas perasaanmu Kiyohime.”
Ucapan Anchin membuat hatiku terasa membeku. Aku tidak percaya, aku sudah mengorbankan jiwa ragaku dan menolak semua lamaran laki-laki lain hanya untuknya. Tapi dia dengan mudahnya mencampakkanku. Itu...itu membuatku gila.
Aku berlari ke dalam rumah dan mengambil katana peninggalan ayahku. Dengan amarah yang meledak-ledak, aku mengacungkan katana tajam yang kupegang untuk mengancam Anchin untuk memenuhi janjinya atau aku akan membunuhnya.
Wajah Anchin kini dipenuhi dengan ketakutan yang sangat dalam, ia segera berlari secepat yang ia bisa.
Dengan akal sehat yang seakan hilang, aku terus mengejarnya dengan membabi buta sembari mengancamnya dengan katana yang kupegang.
“Penuhi janjimu dasar pria tidak berguna!”
Kami saling kejar-kejaran hingga sampai di danau Hidaka, tempat pertama kali aku bertemu dengannya.
Anchin menaiki sebuah perahu yang terdapat di pinggir sungai. Ia mendayung secepat yang ia bisa untuk segera sampai di sisi sungai yang lain.
Aku menoleh ke kana-kiriku mencari perahu lain yang bisa kugunakan untuk mengejarnya. Sayangnya, tidak ada satu pun perah di kala itu.
Melihat ia telah sampai di sisi sungai yang lain dan menatapku dengan pandangan mencibir, membuatku naik pitam. Tanpa pikir panjang, aku segera berenang untuk menyeberangi sungai Hidaka. Namun, saat berada di tengah sungai, tiba-tiba saja aku tenggelam.
Segera setelah itu, aku tiba-tiba berubah menjadi seekor ular naga yang mengerikan. Amarahku semakin memuncak ketika melihat Anchin yang sama sekali tidak menolongku saat aku tenggelam.
Aku mengamuk dan menjerit sekuat yang aku bisa untuk melampiaskan amarah yang ada dalam diriku. Alam seolah memihakku, guntur dan badai datang seiring dengan raungan kesedihan bercampur amarah yang aku lepaskan.
Anchin yang melihat hal itu segera berlari ke kuil Dojo-ji yang berada tidak jauh di pinggir sungai. Ia kemudian bersembunyi di dalam lonceng dan berkomat-kamit mengucapkan doa kepada para dewa.
Sayangnya, aku menemukannya. Dengan amarah yang memuncak, aku menghembuskan nafas apiku dan membakarnya dalam lonceng hidup-hidup.
Jeritan parau yang mengerikan terdengar menggema di seluruh kuil saat Anchin terjebak dan terbakar oleh nafas apiku.
Setelah itu, aku merasa sangat lega, namun juga sedih karena tahu aku tidak akan lagi bisa bertemu dengannya. Aku juga sadar bahwa hidupku sudah berakhir saat aku berubah menjadi sosok naga yang mengerikan. Aku tahu, tidak ada lagi tempat yang bisa menerima keberadaanku.
Setelah semua berakhir, aku kembali ke danau Hidaka, tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Kemudian menenggelamkan diriku di sana, mencoba menghilangkan jejak keberadaanku di dunia ini.