Keluarga itu pernah menjadi keluarga yang bahagia. Setidaknya, begitulah yang terlihat dari luar. Rumah sederhana mereka di pinggir kota selalu dipenuhi tawa. Ayah, ibu, dan ketiga anak mereka: Dika, Rani, dan Adit, hidup dengan penuh kehangatan. Namun, semua itu mulai berubah sejak ayah mereka, Pak Hendra, kehilangan pekerjaannya.
Hari itu, hujan turun deras. Pak Hendra pulang dengan wajah muram dan mata merah. “Aku dipecat,” katanya datar, nyaris tanpa emosi. Istrinya, Bu Ayu, hanya bisa terdiam, menahan gempuran ketakutan yang tiba-tiba membanjiri benaknya. Dan sejak hari itu, rumah mereka perlahan berubah menjadi tempat yang penuh cekcok dan saling menyalahkan.
---
Bulan-bulan berlalu, Pak Hendra yang dulu penyayang berubah menjadi pria pemarah. Setiap hal kecil menjadi pemicu ledakan emosinya. Dika, anak sulung berusia tujuh belas tahun, sering menjadi sasaran amarah. Rani, gadis empat belas tahun yang dulunya ceria, kini lebih banyak mengurung diri di kamar. Adit, si bungsu yang baru sembilan tahun, hanya bisa menangis diam-diam di pojokan saat kedua orang tuanya bertengkar hebat.
Suatu malam, suara pecahan piring terdengar dari dapur. Pak Hendra membanting piring setelah adu mulut dengan Bu Ayu. “Kau ini istri macam apa?! Tidak bisa mendidik anak, tidak bisa mengatur rumah!” teriaknya.
Bu Ayu menangis, tubuhnya gemetar. “Aku juga sudah berusaha, Hen! Kita semua tertekan. Kamu pikir aku tidak sedih melihat keluarga kita hancur begini?”
Dika keluar dari kamarnya, menatap kedua orang tuanya dengan mata berair. “Sudah! Hentikan! Kalian mau kita jadi apa?!”
Pak Hendra menatap anaknya tajam. “Jangan ikut campur!”
Dika mengepalkan tinjunya, menahan emosi. Ia ingin berkata lebih, tapi suara Adit menangis memecah ketegangan. Bocah itu berlari memeluk kakaknya, tubuh kecilnya menggigil.
Malam itu, Dika memutuskan sesuatu. Esok harinya, ia tidak pulang ke rumah. Ia memilih menginap di rumah temannya untuk menenangkan diri. Rani semakin tertutup, dan Adit semakin sering sakit karena stres. Rumah itu kehilangan cahaya.
---
Setiap hari, Pak Hendra semakin larut dalam kebiasaan buruk. Ia mulai minum. Sementara Bu Ayu berusaha menyambung hidup dengan menjahit pakaian tetangga. Mereka jarang berbicara kecuali untuk bertengkar.
Puncaknya terjadi pada suatu sore yang kelabu. Hujan baru saja reda ketika Adit pamit untuk bermain ke taman dekat rumah. Bu Ayu terlalu sibuk menjahit, sementara Pak Hendra tertidur karena mabuk. Tidak ada yang memperhatikan Adit.
Di taman, Adit bermain sendiri. Hatinya sedih, tapi ia tersenyum ketika melihat seekor anak kucing terjebak di parit. Tanpa ragu, ia berusaha menolongnya. Namun, ketika mencoba turun, kakinya terpeleset. Parit itu tidak terlalu dalam, tapi penuh air karena hujan deras. Adit jatuh, kepalanya membentur batu, dan ia tak sadarkan diri.
Sore berubah menjadi malam. Bu Ayu baru menyadari Adit belum pulang ketika malam benar-benar gelap. Panik, ia membangunkan Hendra.
“Hen! Adit belum pulang!” teriaknya, air mata mulai mengalir.
Pak Hendra terhuyung bangun. “Apa?! Kenapa baru sekarang bilang?!”
Mereka berlari ke luar rumah, bertanya ke tetangga, mencari ke taman, ke jalan-jalan. Hingga salah satu tetangga menemukan tubuh kecil Adit terbaring di pinggir parit, basah kuyup, wajahnya pucat.
“Adit!!!” jerit Bu Ayu, suaranya nyaring memecah malam.
Pak Hendra mengangkat tubuh putranya, berlari secepat mungkin ke puskesmas terdekat. Namun, takdir berkata lain. Dokter hanya menggeleng pelan. Adit sudah pergi, meninggalkan dunia yang penuh luka itu.
---
Rumah itu kini sunyi. Tidak ada lagi teriakan, tidak ada lagi suara tangis Adit yang dulu sering terdengar di sela pertengkaran. Kesunyian itu justru lebih menyakitkan. Dika pulang setelah mendengar kabar duka itu. Rani hanya bisa menangis setiap malam di kamarnya.
Pak Hendra duduk di ruang tamu, memandang kosong ke luar jendela. Sudah seminggu sejak Adit dikebumikan, tapi rasa bersalah itu terus menghantui. Setiap malam ia terjaga, mendengar suara Adit memanggilnya dalam mimpi. Setiap pagi ia berharap semua itu hanya mimpi buruk.
Suatu malam, ia masuk ke kamar Dika. Anak sulungnya itu sedang menatap foto mereka sekeluarga.
“Dik…” suara Hendra lirih, nyaris tak terdengar.
Dika menoleh, matanya merah. “Ada apa, Ayah?”
“Ayah… ayah minta maaf…” Pak Hendra berlutut di depan anaknya. “Ayah gagal. Ayah hancurkan keluarga ini. Ayah biarkan Adit pergi…”
Dika menatap ayahnya lama, lalu menangis. Tangis yang selama ini ia tahan akhirnya pecah. Ia memeluk ayahnya erat. “Aku juga minta maaf, Yah… Aku seharusnya ada di rumah. Aku seharusnya jaga Adit…”
Mereka berdua menangis dalam pelukan. Bu Ayu yang mendengar dari balik pintu ikut masuk. Ia memeluk suami dan anaknya. Rani pun datang, tubuhnya gemetar, lalu bergabung dalam pelukan itu.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka saling menggenggam, saling memaafkan.
Cerita fiktif temanku yang selalu khawatir