Petang hampir saja menjelang. Air nampak menggenang di jalan yang berlubang. Hujan baru saja reda setelah setengah harian mengguyur kota kecil itu. Seorang gadis berjalan dengan tergesa-gesa memasuki halaman sebuah rumah. Pakaian putih abu-abu dengan coretan cat semprot warna-warni dan spidol permanen menandakan bahwa ia baru saja merayakan kelulusan bersama teman-temannya.
Maharani baru saja pulang setelah tadi konvoi di jalanan bersama teman-temannya sampai dikejar-kejar polisi. Beberapa temannya berhasil di amankan. Hujan yang tiba-tiba mengguyur tidak menghentikan aksi mereka. Mereka malah semakin semangat menguasai jalan dan mengganggu pengguna jalan lain. Pikir mereka kapan lagi mereka melakukan kesenangan ini selain sekarang. Jadi mereka memuaskan diri sebelum mereka berpisah dengan tujuan masing-masing setelah lulus. Melanjutkan kuliah atau kerja. Bahkan ada yang menikah.
Di depan pintu rumah Bude Aqomah kini Rani berdiri mematung Tiga kali ketukan juga salam sudah Rani ucapkan. Namun, tidak ada tanda-tanda seseorang membukakan pintu. Rani pun membuka pintu tersebut yang ternyata tidak dikunci.
Ceklek
Sepi, di meja ruang tamu terdapat tiga gelas teh yang belum habis isinya serta cemilan di dalam toples. Sepertinya baru saja ada tamu besar. Tidak mungkin budenya yang super medit itu rela berkorban untuk menyuguhi tamunya jika bukan orang penting.
Sayup-sayup terdengar orang berbincang-bincang. Rani berjalan mencari arah sumber suara. Ternyata suara itu berasal dari ruang makan yang berada di belakang. Mereka adalah Aqomah, Juki dan Edi yang tidak lain bude, pakde dan saudara sepupu Maharani.
Rani berjalan mengendap-endap kemudian bersembunyi di balik tembok pembatas ruang makan dengan ruang tengah. Ia memasang kedua telinganya demi mendengarkan apa yang kini sedang mereka bahas tanpa ada yang terlewat. Rani heran mengapa saudara sepupunya yang satu angkatan di sekolah itu tidak ikut konvoi bersama teman-temannya yang lain.
"Kamu sudah menjalankan tugasmu dengan baik kan, Ed?" tanya Aqomah kepada Edi.
"Sudah dong, Bu. Selama ini Edi sudah menghalangi setiap cowok yang mau mendekati Rani. Jadi aman, Rani masih perawan, Bu," jawab Edi.
Jawaban Edi semakin membuat Maharani penasaran dengan apa yang sedang mereka perbincangkan. Mengapa namanya disebut-sebut. Rani kira selama ini Edi menghalangi semua cowok yang mendekatinya karena ingin melindunginya. Ternyata ada tujuan lain. Rani masih terus mendengarkan perbincangan mereka.
"Kenapa kamu tidak mengikuti Rani yang konvoi bersama teman-temannya. Bagaimana kalau mereka nanti berkumpul di suatu tempat dan melakukan hal terlarang. Dasar bodoh!" Umpat Aqomah kepada anaknya yang mangkir dari tugas.
"Tadi hujan, Bu. Kepalaku tiba-tiba pusing. Lagian Rani juga tidak punya cowok," elak Edi.
"Malam Jumat Kliwon ini kita harus membawa Rani ke tempat Mbah Suryo. Awas saja kalau sampai Rani sudah tidak perawan, Nining pacar kamu yang akan jadi cadangan penggantinya," ancam Aqomah. Juki diam saja tidak ikut campur urusan anak dan istrinya.
"Jangan dong, Bu. Edi yakin Rani masih suci," pinta Edi.
"Kita harus menyediakan cadangan, Ed. Selama ini Ningsih kan juga ikut menikmati kekayaan kita," cetus Aqomah.
Rani terkejut mendengar perbincangan mereka. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangannya agar tidak keceplosan mengeluarkan suara. Kini ia paham mengapa Bude Aqomah akhir-akhir ini bersikap baik terhadapnya. Padahal sebelumnya tidak. Pernah suatu ketika Rani diajak ke pengajian ustadz yang minta dipanggil Mbah Suryo. Ternyata pria itu adalah dukun pesugihan berkedok ustadz.
Pelan Rani melangkah keluar dari rumah itu. Tujuannya mengunjungi rumah itu untuk meminta uang hasil penjualan panen kacang tanah sawahnya yang dikelola budenya tersebut hilang sudah dari pikirannya saat ini. Yang ada kini hanya kepanikan, rasa takut dan ingin segera pergi dari orang-orang jahat itu. Budenya sendiri, kakak kandung dari ayahnya yang sudah meninggal tega mau menjadikannya untuk tumbal pesugihan.
"Dasar manusia serakah!" umpat Rani dalam hati.
Setelah keluar dari rumah itu Rani segera berlari secepat mungkin menjauh dari sana. Saat keluar dari gang sampai di jalan raya dari arah samping sebuah mobil melaju dengan kecepatan normal. Rani berdiri mematung menutup mata dengan kedua tangannya, pasrah. Mungkin inilah akhir hidupnya. Ia lebih baik mati ditabrak mobil daripada harus mati karena dijadikan tumbal untuk pesugihan.
"Haaaaargh!"
Ciettt
Mobil berhenti mendadak.
"Gadis bodoh, cari mati!" umpat si sopir.
Maharani masih berdiri mematung. Kenapa ia tidak merasakan apa-apa. Apa mati itu tidak sakit. Hanya saja tubuhnya gemetar dan menggigil.
"Hai, Dek, Minggir!" sang sopir kembali berteriak.
Rani membuka matanya. Bemper mobil berada tepat di hadapannya hanya berjarak 10 centimeter saja. Gadis itu menatap ke dalam mobil menembus kaca. Ia ingin menggeser tubuhnya minggir dari badan jalan, tetapi kakinya tidak bergeser sedikit pun. Sepertinya gadis itu mengenali pria yang duduk memegang setir mobil tersebut.
"Pak Damar," ucap Rani saat mengenali pria tersebut.
Merasa namanya dipanggil, pria itu keluar dari mobil menghampiri Rani. Damar adalah guru mata pelajaran Akuntansi di SMA tempat Rani menimba ilmu. "Rani? Sudah petang begini kamu belum pulang?" cecar Damar. Rani hanya diam menundukkan kepala.
"Ya udah, ayo saya antar kamu pulang," ajak Damar membimbing Rani masuk ke dalam mobilnya. Rani duduk di kursi samping kemudi. "Rumah kamu dimana?" tanyanya saat mobil mulai melaju.
"Saya belum mau pulang, Pak," sahut Rani sembari meremas jemarinya sendiri.
Seketika Damar menoleh ke samping. Heran, apa tidak gerah seharian tidak ganti baju dan mandi? batinnya. "Lalu kamu mau kemana?" tanyanya.
"Terserah Bapak mau bawa saya kemana?" sahut Rani pasrah.
What's?
Damar tidak menyangka jika gadis yang selama ini berprestasi di sekolah tempat ia mengais rejeki ternyata gadis murahan. Sesaat hanya keheningan yang terjadi. Damar fokus mengendalikan mobilnya. Hingga pria itu mendengar kalimat yang membuat ia langsung mengerem mobilnya secara mendadak.
"Pak, tolong nikahi saya," pinta Rani ragu setelah mengumpulkan seluruh keberanian yang dia punya.
Ciettt
Beruntung jalanan saat itu sedang lengang sehingga tidak ada pengemudi kendaraan di belakang mereka.
"Ap-apa, Ran?" Damar membelalak terkejut.
"Tolong nikahi saya, Pak Damar!" ulang Rani, kali ini dengan kalimat yang jelas.
Hembusan napas kasar terdengar dari rongga mulut dan hidung Damar. Pria berusia 27 tahun itu nampak mengatur emosinya. "Kamu hamil? Kenapa tidak minta pertanggung jawaban kepada pacar kamu? Kenapa malah minta pertanggung jawaban sama saya?" cecarnya.
Pertahanan Rani mulai jebol. Matanya mulai berkaca-kaca siap tumpah. "Saya tidak hamil, Pak. Saya masih suci. Saya juga tidak punya pacar." ungkapnya. Damar masih setia menatap tajam gadis itu. "Bapak kenal Edi anak IPS 3 kan? Dia saudara sepupu saya, Pak. Dia selalu menghalangi setiap cowok yang ingin mendekati saya," jelasnya lagi.
"Lalu kenapa kamu tiba-tiba ingin menikah? Kamu masih muda, Ran. Masa depanmu masih panjang."
"Karena keluarga Edi ternyata mau mengorbankan saya untuk tumbal pesugihan yang mereka lakoni, Pak. Saya tidak tahu harus minta tolong sama siapa lagi selain sama bapak," sahut Rani.
"Kamu punya bukti?" selidik Damar. Pria itu masih curiga jika Rani bukan gadis baik-baik yang seperti ia sangka selama ini. Ia masih menganggap kalau Rani hanya mau menjebaknya untuk bertanggung jawab atas kehamilannya. Mungkin saja Rani hamil, tetapi tidak tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Jaman sekarang apapun bisa dilakukan dalam keadaan sedang terdesak.
"Saya memang tidak sempat merekam pembicaraan mereka, Pak. Tapi saya jelas mendengar percakapan mereka kalau malam Jumat Kliwon yang akan datang mereka akan menyerahkan saya kepada Mbah Suryo, dukun pesugihan mereka," sahut Rani yang sudah mulai terisak.
"Cih, air mata buaya betina," cibir Damar dalam hati. "Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu tidak ada bukti?" tanyanya meremehkan.
"Bapak bisa menalak saya langsung ketika bapak sudah mendapatkan kesucian saya," cetus Rani seketika.
Rani sendiri tidak percaya ia bisa mengucapkan kalimat tersebut dengan lancar. Sudah kepalang tanggung, jika ia mundur ia akan malu sendiri. Ia juga harus membuktikan kepada mantan gurunya tersebut bahwa ia bukan cewek murahan seperti yang pria itu ucapkan. Rani bisa menjaga dirinya meskipun ia belum bisa menutup auratnya.
"Baiklah, tapi kamu tahu kan saya ini pria beristri dan anak. Saya harus mendapatkan ijin dulu dari istri saya," ucap Damar menyanggupi. 'Mungkin sudah saatnya kamu test drive,' lanjutnya dalam hati sembari mengelus sesuatu di pangkal pahanya.
"Kenapa harus meminta ijin? Pernikahan kita kan singkat saja, Pak. Selanjutnya Bapak akan menjalani hidup bersama istri bapak," protes Rani.
"Saya bukan orang yang suka mempermainkan sebuah pernikahan," ucap Damar tegas. Pria itupun mulai melajukan mobilnya kembali.
Azan Maghrib mulai berkumandang mengiringi perjalanan mereka. Damar menghentikan mobilnya di depan sebuah toko pakaian yang masih buka.
"Kenapa kita berhenti di sini, Pak?" tanya Rani.
"Memangnya kamu mau menikah dengan pakaian seperti itu? Apa kata orang nanti?" sergah Damar. "Kamu tunggu di sini saja, nanti lama lagi kalau kamu yang pilih," cegah Damar saat melihat Rani hendak keluar dari dalam mobil.
Rani pun menutup kembali pintu di sampingnya yang tadi sempat ia buka. Gadis itu memandangi punggung Damar yang masuk ke dalam toko.
Saat menunggu damar keluar dari dalam toko Rani kembali memikirkan apakah tindakannya ini sudah tepat. Semua serba mendadak tanpa Rani memperhitungkannya terlebih dahulu. Namun, Rani sudah pasrah apapun yang nantinya akan terjadi. Yang terpenting sekarang secepatnya ia bisa melepaskan keperawanannya agar tidak bisa diserahkan kepada jin pesugihan bude Aqomah oleh Mbah Suryo.
"Ampuni hamba ya Allah, hamba tidak tahu lagi cara apa yang harus hamba lakukan untuk menghindar dijadikan tumbal pesugihan Bude Aqomah. Hamba pasrahkan kepada-Mu hidup dan mati hamba. Takdir apapun yang akan menimpa hamba, hamba akan menerimanya dengan ikhlas," ucap Rani lirih.