Pembully itu kakak iparku ?
Author: Siskrolis
Balas Dendam
Kakakku pernah melamar wanita yang sempat membullyku.
Di meja makan, mulutnya yang begitu pandai bicara membuat ibuku begitu senang, tetapi ibuku tidak tahu kalau mulut ini pernah meludahi makananku, lalu memaksaku untuk memakannya.
Pada hari natal, kakak membawa pacarnya pulang, lalu melamarnya dihadapan orangtuaku.
Ibuku sangat puas dengan gadis pilihan kakakku, seorang guru, pandai bicara, mulutnya yang pandai bicara ini sering membuat ibuku tertawa bahagia.
Tetapi yang ibuku tidak tahu, orang ini menyeretku ke toilet, merobek bajuku lalu direkam dalam video.
Dia pernah menuangkan tinta di seragamku, menuangkan lem di kepalaku.
Bahkan "menjualku" pada berandal sekolah, membiarkan mereka melecehkanku.
Aku tidak akan pernah melupakannya, Scarlett Christy.
Saat melihatnya, ingatan yang sudah lama mati tiba-tiba muncul dalam benakku, darah dalam tubuhku bagaikan membeku, dan tubuhku gemetar tanpa terkendali.
Sepertinya Scarlett tidak mengenaliku, sebelum acara makan dia masih menggandeng tanganku dengan ramah, bahkan berkata dengan senyum manis:
"Ini pasti adik iya kan? Aku membawakanmu hadiah, tidak tahu apakah kamu akan menyukainya atau tidak."
Lalu dia mendekati telingaku dan berbisik: "Kamu harus melihatnya nanti malam ya!"
Setiap kali dia mendekatiku, bahkan setiap helai bulu kudukku pun menolaknya dengan jelas.
Aku melangkah mundur dengan sendirinya untuk menjaga jarak di antara kami.
"Terima kasih, namaku Eve Agatha." aku mengamati matanya dengan hati-hati, berharap menemukan rasa panik dalam matanya.
Sayangnya tidak, dia seolah baru kali ini mendengar nama ini, matanya penuh dengan senyuman.
Meskipun dia tidak mengingatku, tetapi kakak seharusnya ingat iya kan.
Selama beberapa tahun itu ayah dan ibu bekerja di luar kota, hanya ada kakakku dan aku yang tinggal di rumah.
Kakaklah yang menolong diriku yang hampir bunuh diri, kakakku yang mendampingiku menjalani psikis terapiku.
Apakah dia lupa? Apakah dia melupakan orang ini, melupakan surat wasiat yang kutulis?
Aku melihat ke arah kakak, namun mata kakak terlihat seolah sedang menghindari mataku, ini membuatku semakin yakin kalau dia ingat.
Dia ingat wanita inilah yang telah membullyku, namun dia tetap berpacaran dengannya, bahkan melamarnya.
Aku tidak bisa menikmati makan malam ini, ibuku mengambilkan makanan untukku sambil berkata:
"Eve juga harus cepetan nih, cepat cari pacar, jadi mami dan papi gak perlu khawatir lagi."
Sebelum aku sempat bicara, Scarlett sudah langsung menimpali:
"Entah pria apa yang disukai oleh adik, biar aku bantu perhatikan, kalau ada yang cocok nanti aku kenalkan."
Aku mengabaikannya, dan sepertinya ayah menyadari kecanggunganku, sehingga langsung melirik ibuku dengan kesal.
"Eve baru umur berapa, aku tidak akan merelakannya pada sembarang orang, aku masih mau merawatnya seumur hidup."
Biasanya ayahku sangat takut pada ibuku.
Meskipun ibuku melempar bantalnya keluar dari kamar tengah malam, dia pun tidak akan berani mengeluh sedikitpun, dia hanya akan memungut bantalnya diam-diam lalu meringkuk di sofa.
Suasana seketika berubah, setelah selesai makan Scarlett berebut mencuci piring, dan ibuku memanfaatkan kesempatan ini untuk menarikku ke dalam kamar.
"Eve, sepertinya kamu kurang fit, apakah kamu sedang sakit? Kamu jangan memikirkan ucapan mami tadi, mami bukannya ingin mengusirmu, mami sama seperti papi tidak tega menikahkanmu, hanya asal bicara saja..."
Ibu mengira aku merasa tidak senang karena mendengar ucapannya tadi, sehingga dia mulai menjelaskan.
Aku menundukkan kepala dan menggaruk jemariku, sampai kulit di ibu jariku terkelupas, ibu baru sadar seberapa parah situasi saat ini, dia langsung menarik tanganku dan memanggilku dengan nada cemas.
"Eve... Eve, kamu kenapa, kamu jangan membuat ibu takut..."
Setelah sesaat aku akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap ibuku dengan tatapan penuh rasa takut.
"Ma... boleh gak... boleh gak... menolak pernikahan kakak?"
Sekarang Ibu sama sekali tidak perduli dengan syarat apa pun yang kulontarkan, sebelum aku menyelesaikan ucapanku dia langsung menjawab:
"Baik, baik, baik... mami akan melakukan apa pun yang kamu minta, jangan sakiti dirimu."
Karena ayah dan ibu bekerja di luar kota sepanjang tahun, aku dan kakakku tumbuh besar bersama kakek, sehingga aku tidak akrab dengan mereka sama sekali.
Sampai aku dibully oleh Scarlett saat SMP, meninggalkan surat wasiat dan memilih untuk bunuh diri karena tidak tahan dengan semua itu, barulah mereka pulang dengan segera, sejak saat itu mereka terus menemaniku.
Mereka merasa itu semua karena mereka terlalu sibuk bekerja, sehingga membuatku terluka, oleh karena itu mereka selalu merasa bersalah padaku.
Membuat orangtuaku berusaha memuaskanku dalam berbagai hal, mencari berbagai cara untuk bisa mendekatkan hubungan kami, untuk membayar masa kecilku yang tidak sempurna.
Hanya saja Scarlett memiliki ayah yang kaya dan berkuasa, begitu kejadian itu terkuak dia langsung di kirim untuk sekolah keluar negeri, bahkan dia mengganti nama, sehingga orangtuaku sama sekali tidak pernah melihat siapa Scarlett Christy yang sebenarnya.
Oh, salah, sekarang seharusnya memanggilnya dengan nama Jazzlyn Christy.
Tetapi kakakku pernah bertemu dengannya, kenapa dia melakukan ini?
Jelas-jelas dia tahu seberapa besar luka yang ditinggalkan Jazzlyn untukku, dan sejak kecil dia yang terus melindungiku, namun sekarang dia malah mau menikah dengan orang yang pernah membullyku, sungguh menyakitkan.
Tiba-tiba aku teringat hadiah yang diberikan oleh Jazzlyn untukku, aku membukanya dengan tubuh gemetar, ini adalah sebuah kemeja, namun ini bukan kemeja biasa.
Ini sama persis seperti kemejaku yang dirobek, benar-benar sama persis.
Sudah sekian tahun berlalu, model sudah begitu lama.
Namun Jazzlyn tetap berusaha menemukannya, bahkan memberikannya padaku.
Dia sama sekali tidak melupakanku, bahkan sebelum bertemu denganku pun dia sudah tahu siapa diriku.
Dia memberikan hadiah ini untuk mengingatkanku untuk jangan melupakan kejadian saat itu.
Tiba-tiba aku merasa seperti ada yang menyumbat di dadaku, membuatku tidak bisa bernafas dan jatuh pingsan.
Ibuku memelukku dengan panik, dia tidak hentinya menekan rahang atasku sambil berteriak memanggil ayah dan kakakku.
Ayahku yang berlari masuk terlebih dahulu, lalu disusul oleh kakakku, terakhir Jazzlyn.
Dia bersembunyi dibalik kakakku sambil menarik ujung baju kakakku dengan wajah ketakutan.
Aku berusaha bertahan dengan nafas yang sesak, aku bertanya kenapa dia masih tetap tidak ingin melepaskanku?
Dia memperlihatkan wajah dengan ekspresi memelas dan berkata dengan nada bergetar: "Aku hanya ingin memiinta maaf pada Eve, dulu aku kekanakan sehingga..."
Aku tidak menyangka dia akan mengakui segalanya dengan begitu lapang dada, namun akhirnya aku tahu kenapa dia bisa begitu berani.
Kakak melindungi Jazzlyn dibelakangnya.
"Sudah begitu lama berlalu, apakah Jazzlyn harus mati dulu? Narapidana saja punya kesempatan untuk menebus kesalahannya, kenapa Jazzlyn tidak boleh?"
Kakak melontarkan ucapan itu dengan penuh amarah, lalu menarik Jazzlyn dan hendak pergi.
Ayah langsung menggendongku dan berjalan keluar, tidak lupa memelototi kakak dengan penuh kekesalan, "Ethan, kamu lihat dirimu."
Aku sekali lagi di rawat di rumah sakit.
Aku menghabiskan waktu 10 tahun untuk melupakan masa lalu, namun Jazzlyn tidak membutuhkan waktu satu hari untuk membuatku kembali ke dalam rasa takut itu.
Ayah dan ibu tidak berani menanyakan apa pun padaku, itu karena mereka takut membuatku semakin terpuruk.
Aku juga kehilangan semangat, hanya meneteskan airmata dengan ekspresi wajah datar.
Aku tidak bisa memaafkan Jazzlyn, selamanya.
Yang aku idap adalah gangguan traumatis, 30% pengidap penyakit psikis seperti ini tidak akan bisa sembuh selamanya.
Aku pernah mengira aku beruntung, karena dibawah dampingan kakak dan orangtuaku, aku bisa melupakan masa lalu itu perlahan.
Namun, terlalu menyakitkan, masa lalu itu terlalu menyakitkan.
Diriku pada masa itu sangat tidak beruntung, aku masuk ke asrama yang sama dengan Jazzlyn.
Salah, ketika itu dia adalah Scarlett.
Hari pertama aku masuk ke asrama, dia sudah langsung memberiku peringatan, memintaku menampung abu rokoknya dengan tanganku.
Ketika itu aku tidak tahu betapa mengerikannya penindasan di sekolah, sehingga aku sama sekali tidak memperdulikannya.
"Sialan, anak baru b*go itu, gak dengar gue ngomong apa hah?" suaranya terdengar semakin keras.
Aku menoleh dan menatapnya dengan serius, "Aku bukan anak baru b*go, namaku Eve Agatha."
Scarlett murka, "Tatapan macam apa itu? Berani melototin gua? Seret dia ke sini."
Tanpa menunggu perlawananku, dia orang siswi disampingnya langsung menyeretku kehadapannya.
Salah seorang siswi bertubuh gemuk menendang kaki belakangku dan memintaku mengakui kesalahan.
Aku ditekan oleh mereka sampai tidak bisa berdiri, namun aku tidak mengaku salah, aku sama sekali tidak salah.
Setelah Scarlett menyedot asap terakhir rokoknya, dia menyemburkan asapnya ke wajahku.
Itu adalah pertama kalinya aku menghirup asap rokok, sangat sesak dan baunya sangat tidak enak.
"Wow, batu juga, gua pengen lihat seberapa batu lu."
Setelah mengatakannya, dia langsung menyulutkan puntung rokok yang ada ditangannya di lenganku, sakit, benar-benar sangat sakit.
Aku tidak bisa menahan diri untuk menangis, namun Scarlett malah menamparku, "Nangisin apaan lu? Lain kali waktu gua panggil lu berani gak jawab?"
Untungnya murid yang bertugas menjaga di depan asrama masuk dan berbisik: "Kak Chris, pengawas asrama datang."
Scarlett menyuruh kedua siswi yang menahanku melepaskanku, melihat aku masih belum berdiri, dia mengangkat kakinya dan menendangku dengan lututnya sekali lagi.
"Sial, berdiri lu."
Karena aku gagal menjaga keseimbangan tubuh, aku akhirnya terkapar di lantai.
Ibu pengawas asrama membuka pintu asrama, mengarahkan senter ke arahku, lalu bertanya dengan tegas: "Sedang apa?"
Scarlett segera berpura-pura memapahku, tapi sebenarnya dia sedang mencubit bagian pahaku yang tidak terlihat oleh pengawas asrama.
"Berani ngadu gua matiin lu."
Lalu menarikku dan berkata pada pengawas asrama dengan wajah tersenyum:
"Gak ada apa-apa, tadi sedang ngepel, karena terlalu licin jadinya kepleset, iya kan?"
Murid lain yang ada di asrama juga langsung menimpali, "Iya, iya, tadi lagi ngepel."
"Iya, benar, dia jatuh sendiri kok."
Pengawas asrama melirikku dengan wajah sebal, "Sudah, gak usah nangis, udah segede gitu, jatuh aja nangis."
Setelah mengatakannya dia langsung menutup pintu.
Kenapa aku menangis, bukan karena sakit, namun juga takut.
Pada dasarnya aku memang agak penakut, ditambah kakak yang selalu melindungiku dengan baik, membuatku hampir tidak pernah terluka sejak kecil.
Ketika aku SMA kelas 1, kakakku SMA kelas 3, paling tidak kami masih berada di sekolah yang sama.
Sekarang aku SMA kelas 2, kakak sudah masuk kuliah, kalau merasa ditindas, aku tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa berharap akhir pekan cepat datang, begitu akhir pekan tiba maka semua akan baik-baik saja.
Malam itu Scarlett tidak melanjutkan perbuatannya, aku kembali berbaring di ranjangku, namun aku terus bermimpi buruk dalam tidurku.
Keesokan harinya di ruang kelas.
Baru ada pembagian kelas saat SMA kelas 2, ada banyak murid yang tidak ku kenal dalam kelas.
Scarlett sangat ceria dan juga sangat cantik, sehingga dalam waktu singkat sudah dikelilingi oleh banyak laki-laki.
Namun dia duduk dibelakangku, asalkan aku mendengar sedikit suara di belakang, jantungku langsung berdebar.
Ketika jam istirahat siang, aku menemui walikelas dan meminta untuk pindah asrama, namun kelihatan oleh Scarlett.
Walikelas menanyakan alasanku.
Sebelum aku menjawab, Scarlett sudah masuk dengan wajah riang, lalu merangkul lenganku, "Selamat siang, saya datang untuk mencari Eve."
Sepertinya walikelas sangat menyukai murid yang berkepribadian baik, ekspresinya langsung berubah ramah saat melihat Scarlett.
"Oh, Scarlett, kebetulan kamu datang, bukankah Eve satu asrama denganmu, dia minta pindah asrama, ada apa?"
Aku sangat takut, mungkinkah Scarlett mengira aku mengadu pada walikelas, lalu membalasku.
"Ha? Kamu mau pindah asrama? Jangan dong, aduh, gapapa, Eve itu hanya merasa terlalu kesepian, saya tinggal sering mengajaknya main bersama saja kok."
Walikelas langsung mengangguk mendengar ini.
"Baiklah, kalau tidak ada masalah tidak perlu pindah asrama, kamu adalah seorang murid, tugas utamamu belajar, jangan hanya berpikir untuk mencari teman saja."
Aku mengangguk dan menjawab singkat.
Lalu langsung ditarik keluar dari ruang guru oleh Scarlett.
Setelahnya aku baru tahu, meskipun saat itu aku mengatakan kalau aku dirundung oleh Scarlett pada walikelas pun, Scarlett juga tidak mengapa.
Karena ayah Scarlett adalah pebisnis terpandang di wilayah kami, dan ketika itu dia sangat berpengaruh di kota kami.
Ketika Scarlett dimasukkan ke kelas ini, ayahnya sudah menyapa walikelas terlebih dahulu, sehingga walikelas tidak berani menyinggungnya.
Sepanjang jalan Scarlett tidak bicara apa pun, dia hanya menarikku sambil berjalan ke arah asrama, aku berkata dengan lemah: "Aku tidak mengadu pada guru."
"Diem lu." Scarlett memelototiku dengan sorot mata tajam.
Sekembalinya ke asrama, aku ditekan di dinding dan menerima tamparan dari Scarlett, "Sial, jalang, berani ngadu lu ha?"
Rasa perih dan panas di wajahku membuat airmataku mengalir begitu saja, "Aku enggak..."
Namun Scarlett tidak memperdulikan ucapanku, setelah lelah memukul dia melemparku ke lantai.
Lantai basah oleh air, membuat seragam putihku terkena air kotor.
Scarlett menggulung kemejanya, menerima rokok yang diberikan oleh gadis disampingnya, dia merokok sambil menginjak jariku dengan sepatunya.
"Brengsek, kalau begitu ngapain lu munta ganti asrama ke dia? Bukannya karena mau bilang lu dibully sama gua?"
"Gua kasih tahu ya, jangankan guru, lu ke kepala sekolah juga gak guna, lu tahu siapa bapak gua?"
Itu pertama kalinya aku merasa begitu dekat dengan keputusasaan, pikiranku kosong.
Ucapan Scarlett terus menggema dalam telingaku, sampai menjadi dengungan.
Aku tidak bisa mendengar suara tangisku sendiri, juga tidak bisa mendengar suara apa pun yang ada disekitarku, isakan yang bertubi-tubi membuat tubuhku mati rasa terhadap rasa sakit.
Murid yang berada paling dekat dariku melihat ada yang tidak beres pada diriku, dia segera berkata pada Scarlett:
"Kak Chris, sudahlah, kayaknya dia sesak nafas tuh, jangan-jangan nanti terjadi sesuatu?"
Aku tidak tahu kapan Scarlett menyingkirkan kakinya dari tanganku, ketika itu aku sudah sepenuhnya kehilangan pendengaran dan juga mati rasa, bahkan sempat kehilangan kesadaran sesaat.
Joanne yang tidur di kasur bawah menyeretku ke satu sisi, membiarkanku bersandar, lalu membuka kelopak mataku, setelahnya mengangkat kepala dan berkata:
"Kak Chris, kayaknya dia pingsan karena ketakutan deh."
Siswi lain yang ada dalam asrama mulai panik, meskipun mereka merundung orang, namun mereka tidak pernah mengalami hal seperti ini, semuanya langsung melihat ke arah Scarlett.
Rasa panik sempat terbersit sekilas di mata Scarlett, namun dia segera mengerjapkan mata.
"Takut... takut apa, palinga-paling jadi idiot, gak akan mati juga, kalau lu pada gak ngomong, siapa yang tahu dia ketakutan sama apa."
"Gapapa, kalau ada apa-apa gua yang tanggung."
Setelah semua orang mendengar ucapan Scarlett, tidak ada yang bicara lagi, semuanya mengikuti Scarlett pergi ke kantin untuk makan.
Joanne melihat mereka semua sudah pergi, baru berani memberiku minum, mengusap dadaku agar aku merasa sedikit lebih nyaman.
"Gapapa, gapapa, kata oma kalau kaget minum air dingin akan membaik."
Kesadaranku perlahan pulih, sekujur tubuhku gemetar, namun sama sekali tidak bertenaga.
Joanne sampai dua kali berusaha menarikku untuk berdiri namun gagal, akhirnya dia membiarkanku tetap bersandar pada dinding.
Setelah setengah jam lebih, akhirnya aku sedikit lebih bertenaga, lalu berdiri dengan tubuh gemetar, pergi menyalin pakaianku yang basah kuyup.
Aku tidak berani keluar dari asrama, aku takut bertemu dengan mereka, sehingga aku menaruh pakaian kotorku di dalam bak untuk di cuci nanti malam setelah kelas malam.
Berbaring di ranjang sambil mengingat semua perlakuan Scarlett padaku selama dua hari ini, airmata kembali mengalir dengan hening, melewati hidungku dan menetep di atas bantal.
Aku tidak berani memejamkan mata, begitu memejamkan mata aku akan langsung teringat pada tamparannya.
Aku tidak tahu kesalahan apa yang telah ku perbuat, karena hari pertama bertemu dengannya aku tidak menerima abu rokoknya, atau karena aku tidak mengaku salah padanya.
Mungkin reaksiku yang telah mengagetkan mereka, setelahnya, mereka tidak lagi mempersulitku, namun ketika jam pulang sekolah, mentertawakanku bersama para murid laki-laki di dalam kelas.
Mereka mengatakan aku pengecut, mengatakan aku ketakutan sampai mengompol, ucapan yang tidak mengenakkan itu berkali-kali masuk ke dalam telingaku, aku bahkan tidak berani menutup telingaku.
Hanya bisa menunduk semakin rendah.
Ada yang melempar kepalaku dengan sesuatu, aku hampir dibuat menangis karena kaget, namun sama sekali tidak punya keberanian untuk menoleh dan melihat siapa pelakunya, hanya berani melirik ke lantai dengan hati-hati, dan itu hanya kertas bekas yang diremas.
Terdengar suara tawa murid lelaki dari belakang, kemudian diiringi oleh suara langkah kaki, aku ketakutan sampai memejamkan mata.
"Sorry, gue bukan sengaja mau lempar lu tadi, nyasar."
Terdengar suara seorang lelaki dari samping.
Untung bukan Scarlett.
Aku membuka mataku perlahan, lalu mengatakan gapapa dengan suara yang sangat lirih.
Tapi dia tidak pergi, malah berjalan ke arah kursi kosong didepanku dan duduk menghadap ke arahku, setelahnya tengkurap di mejaku sambil menatapi wajahku.
"Eh, jangan nangis, gue gak sengaja."
Aku sedikit mengangkat kepalaku, aku mengenalinya, dia adalah berandal yang terkenal di kelas 2... Leon Prasetya.
Aku segera mengusap mataku, namun tidak ada airmata, hanya kelopak mata yang terasa sakit.
"Heh, Leon, ngapain lu minta maaf sama dia, lu naksir sama dia?"
Terdengar suara lantang Scarlett dari belakang.
Teman-teman yang mendengar ini langsung bersorak di kelas.
Leon berdiri, memungkut kertas yang ada di dekat kakiku, "Ngomong apaan sih, kalau bukan gara-gara elu ngelempar gue pake kertas, gue gak bakal ngenain dia."
Leon dan Scarlett begitu dekat, mereka bagaikan sahabat yang saling rangkul dan bergandengan, sehingga aku mengira Leon hanya sengaja meledekku.
Karena ketika itu, menyukaiku hanyalah sebuah lelucon.
Para murid laki-laki selalu mengatakan "Siapa yang kalah dia pacar Eve" saat taruhan.
Tidak ada yang mau kehilangan harga diri dan memiliki hubungan denganku.
Tetapi paling tidak aku tidak perlu diipukuli, sehingga aku tidak perduli.
Akhir pekan kakak tidak pulang, dia meneleponku dan mengatakan kalau dia mengambil part time, dia memintaku untuk mendengarkan ucapan kakek nenek di rumah.
Aku sangat kecewa, namun tetap mengiyakan ucapannya.
Aku tidak tahu harus bagaimana menceritakan diriku yang di rundung di sekolah, bagaimana menceritakan hal ini padanya, aku takut pertahananku akan runtuh.
Awalnya Scarlett tidak menggangguku, karena dia punya target baru... Joanne.
Kulit Joanne gelap, agak gemuk, posturnya juga tidak tinggi, logat daerah saat bicara juga sangat kental.
Katanya dia sekolah di luar kota dulu, lalu karena ibunya tidak tahan lagi dipukuli terus oleh ayahnya, sehingga membawanya kemari.
Ini adalah cerita yang aku dengan dari para orangtua yang ada disekitarku, sehingga kami para anak-anak mengetahuinya juga.
Hari itu, setelah selesai kelas malam dan kembali ke asrama, entah kenapa aku tiadk bisa membuka pintu kamar asrama.
Terdengar suara tangis yang samar dari dalam, juga suara ranjang yang bergesek dengan ubin.
Aku tahu pasti ada yang sedang dipukuli oleh Scarlett lagi, rasa takut dalam hatiku kembali terbangun, aku tidak berani mengetuk pintu, hanya jongkok sambil bersandar pada dinding koridor.
Ibu pengawas asrama mengarahkan senter ke wajahku, bertanya kenapa aku tidak kembali ke kamar dan tidur.
Aku tidak bicara, dan segera berdiri bersiap masuk ke dalam kamar asrama.
Namun belum sempat aku membuka pintu, pengawas asrama sudah membuka pintu kamar asrama kami terlebih dahulu.
Melihat pintu tidak bisa dibuka, dia langsung mengangkat kakinya dan menendang pintu dengan kuat.
Suara pintu besi yang ditendang menggema di koridor, membuat semua murid ruangan lain melihat keluar.
"411, buka pintunya!" teriak ibu pengawas asrama.
Pintu kami baru terbuka perlahan setelahnya, ibu pengawas asrama masuk ke dalam dan bertanya sedang apa mereka.
Aku juga ikut masuk, namun setelahnya aku baru sadar, seberapa bodohnya perbuatanku ini.
Sejak aku masuk, Scarlett tidak hentinya menatapku.
Aku tidak mengerti dimana lagi aku menyinggungnya, hanya bisa berpura-pura tidak melihat tatapan matanya, mengatakan pada diri sendiri kalau aku salah lihat.
Joanne masih duduk di lantai sambil terisak, jaket sekolahnya sudah terlempar disamping tang bekas cakaran terlihat jelas di lengannya.
Ibu pengawas asrama melihat ke arahnya lalu berkata: "Kepleset lagi, gak usah nangis, malu-maluin aja, sudah SMA masih nangis."
Aku membelalakan kedua mataku, mengira aku salah dengar, atau mungkin aku buta.
Lantai di asrama tidak dipasang keramik, kalau terpeleset karena menginjak air pel, mungkin masih bisa diterima dengan paksa, namun sekarang ini lantainya kering, mana mungkin permukaan lantai yang kasar bisa membuat orang terpeleset?
Aku tidak percaya dia tidak menyadari kondisi Joanne, tetapi dia memilih untuk menutup matanya.
Sebelum pergi, aku melihatnya saling bertatapan dengan Scarlett.
Pintu kamar kembali di tutup dan menimbulkan suara dentuman yang cukup keras.
Aku menarik Joanne dan membetulkan seragamnya.
Ketika lukanya tergesek kain, membuatnya meringis kesakitan, namun dia hanya mengerang pelan.
Setelah mematikan lampu aku kembali ke ranjang, dalam hati entah kenapa merasa tidak tenang.
Tiba-tiba sebuah tangan menjuntai dari atas ranjang dan mencengkram lenganku dengan erat.
Aku terkejut dan refleks bangkit duduk.
Dari pantulan jendela kamar yang dingin aku melihat kalau itu Scarlett.
"Eve, temenin ke toilet."
"Oh... iya."
Aku berusaha menarik tanganku kembali namun gagal, Scarlett dengan kuat menarik dan membuatku jatuh ke lantai.
Aku berseru kaget dan rasa sakit langsung mendera sekujur tubuhku.
Scarlett menatapku dengan ekspresi datar, aku berdiri sambil menahan rasa sakit, lalu ikut keluar dengan langkah tertatih bersamanya.
Jarak asrama ke toilet sangat jauh, sepanjang jalan begitu hening, bahkan aku bisa mendengar suara jantungku yang berdegub kencang.
Scarlett terus mencengkram tanganku, sakit, benar-benar sakit, namun aku tidak berani mengatakannya.
Begitu masuk ke dalam toilet aku baru menyadari kalau murid lainnya juga ada di sana, bahkan ada beberapa kakak kelas yang sedang menahan Joanne.
Joanne menatapku dengan tidak berdaya, ada rasa takut dan juga rasa tertekan yang dia telan.
Tanpa menunggu aku meresponnya, seorang kakak kelas sudah maju dan menendang perutku.
"Belajar ngadu hah? Gue nyuruh adek gue ngehajar orang, kelihatannya elu kelewatan ya?"
Setelahnya aku baru tahu, hanya karena Joanne tidak sengaja menabrak kakak kelas ini di kantin, lalu tidak sengaja seragamnya terkena percikan minyak, dia langsung menyuruh Scarlett menghajar Joanne.
Aku terkapar di lantai memegangi perut, lalu berkata sambil menangis: "Aku enggak... enggak ngadu."
Kakak kelas jongkok dan menarik kerah bajuku, sehingga kancingku terlepas dan memperlihatkan bra pink di dalamnya.
Aku mengulurkan tangan ingin menutupinya, namun Scarlett menjambak rambutku dari belakang, rasa sakit membuatku tidak tahu harus meletakkan tanganku dimana.
"Sini bantuin!"
Scarlett memanggil teman asrama lainnya.
Mereka datang untuk menekan kaki dan tanganku, mereka tertawa seolah sedang bercanda denganku.
Scarlett mengeluarkan ponsel dan mulai merekamku, "Sini, Eve yang cantik, lihat kamera."
Tubuhku tidak bisa bergerak, aku hanya bisa memohonnya sambil menangis, "Aku mohon, jangan..."
Kakak kelas membuka bajuku, "Uwow, warna pink loh, jangan-jangan untuk menggoda cowok."
Yang mendengar ucapan ini langsung ikut tertawa, suara tawa yang begitu lancang menggema di toilet.
Scarlett berjalan mendekat, mengarahkan kamera ke wajahku dan berkata dengan penuh semangat:
"Kak, lepaskan baju dalamnya lalu lempar ke dalam toilet laki-laki, bukankah dia mau menggoda cowok, biar kita bantu sekalian."
Darah disekujur tubuhku bagaikan membeku, setelah kakak kelas mendengar ucapan ini dia langsung beraksi.
Ketika tangannya menyentuh kulitku, ada sebuah tenaga yang muncul dengan begitu tiba-tiba dalam tubuhku.
Aku memberontak dengan sekuat tenaga, berusaha keras menendang semampuku dan berteriak: "Jangan... lepaskan aku..."
"Sumpal mulutnya."
Scarlett melihat disampingnya tidak ada orang yang menganggur, dia menoleh dan langsung memerintahkan Joanne.
Joanne menggeleng ketakutan, tubuhnya langsung meringkuk semakin ke dalam.
"Kalau lu gak maju, gue sebarin video bugil lu di Instagram, kita lihat gimana nasib lu nanti." ancam Scarlett.
Joanne tidak berdaya, sehingga mau tidak mau menurutinya.
Dia jongkok disamping kepalaku, dia tidak menggunakan tangannya untuk menutup mulutku, melainkan menggunakan lengannya untuk menyumpal mulutku dan membiarkanku menggigitnya.
Aku lepas kendali, bagaikan hewan yang akan disembelih yang memberontak sebelum ajalnya.
Sudah tidak tahu tidak akan bisa lepas, namun sekujur tubuhku terus mengerahkan seluruh tenaga.
Aku tidak tahu sekeras apa gigitanku, namun aroma amis darah sudah memenuhi mulutku.
Dia menangis sambil mengucapkan maaf padaku, airmatanya menetes di wajahku, juga menetes sampai ke dalam hatiku.
Aku merasa dadaku terasa sejuk, tiba-tiba aku menghentikan perlawanan, ah, pembantaian selesai, saat ini aku hanya ingin mati.
Mereka membuang pakaian dalamku ke dalam toilet laki-laki, jam segini ada banyak murid yang diam-diam merokok di dalam.
Sehingga dari sebelah terdengar suara tawa yang ramai, bahkan ada yang bersiul.
Bahkan kami yang ada disini juga berbincang dengan orang yang ada di dalam toilet pria.
Mereka sangat senang, dan aku adalah badut yang membuat mereka senang itu.
Scarlett selesai merekam video, dan dia jongkok memotret wajahku.
"Ini adalah akibat dari mengadu, lain kali hati-hati, kalau gak gue bikin seisi sekolah menikmatinya."
Dia menggoyangkan ponselnya dihadapanku, lalu mereka melepaskanku, melangkahi tubuhku dan keluar dari toilet.
Joanne berlutut disampingku dan terus meminta maaf.
Aku menarik pakaianku dan meringkuk, membenamkan wajahku sedalam mungkin.
Seolah kehilangan kemampuan untuk menangis, aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku saat ini, seolah membenci mereka dalam hatipun aku tidak berani, aku hanya ingin mati.
Tetapi aku tidak berani, aku masih belum bertemu ayah dan ibu, mereka bilang setelah menyelesaikan pekerjaan tahun ini mereka akan kembali dan menemani kelulusan SMA-ku.
Aku masih belum bertemu kakak, dia bilang ida parttime untuk mencari uang, agar bisa menyiapkan hadiah super besar untuk ulang tahunku yang ke-18.
Sebentar lagi, hanya sebentar lagi, sebulan lagi sudah ulang tahunku.
Tunggu sebentar lagi, tunggu sandaranku kembali, begitu bertemu mereka, aku akan menceritakan semua kepedihanku pada mereka.
Aku menjadi semakin pendiam dan sensitif, mendengar ada yang sedang tertawa dibelakangku ketika berjalan di dalam sekolah, aku akan merasa kalau itu sedang mentertawakanku.
Ketika Scarlett lewat di sampingku, aku langsung merasa detik berikutnya dia akan menamparku.
Sehingga kepalaku menunduk semakin rendah, baik berjalan maupun duduk di kelas.
Aku pikir dengan demikian tidak akan menarik perhatian Scarlett, tidak akan dipukuli.
Dan kenyataannya memang begitu, karena mereka menyadari kalau memukuli Joanne lebih asik daripada memukuliku.
Aku kaku, pendiam, pendek dan kurus, sekali dorong langsung tumbang, seolah aku memang terlahir untuk dirundung.
Namun kekerasan sekolah akan terus berlangsung begitu dimulai pada seseorang.
Scarlett tidak memukuliku, namun juga tidak berniat melepaskanku.
Setiap kali makan siang aku akan memilih untuk pergi 20 menit sebelum bel masuk istirahat siang berdering, karena ketika itu Scarlett dan kawanannya sudah selesai makan.
Tidak ada orang di kantin, aku bisa makan tanpa harus merasa takut.
Hari itu, entah kenapa rombongan Scarlett belum juga pergi, aku tidak perduli, aku hanya ingin cepat makan dan segera pergi.
Mereka membawa piring mereka dan duduk di sampingku, satu patah kata pun belum terucap, namun tanganku sudah mulai gemetar.
Scarlett menarik piringku dan melihat, "Ih, makan apaan tuh, sedikit gitu? Biar Kak Chris tambahkan lauk untukmu."
Aku mengulurkan tangan ingin mengambil kembali piringku, mengatakan tidak perlu dengan suara yang lirih.
Scarlett memukul tanganku dengan keras menggunakan sendok, rasanya sakit sekali, aku refleks menarik tanganku kembali.
Lalu melihat Scarlett meludahi nasiku dengan mata kepalaku sendiri, aku pikir dia hanya tidak ingin aku makan, tetapi dia malah menyuruhku menelannya.
"Makan dong, Kak Chris traktir tuh." teman asrama lainnya mulai bersorak.
Melihatku tetap tidak bergerak, Scarlett memukul kepalaku.
"Dibaikin gak mau, percaya gak video lu bakal langsung tersebar di Instagram sekarang?"
Ibu kantin menoleh dari lapaknya dan berteriak, "Ngapain kalian, dilarang mengganggu teman."
Scarlett mengangkat alat makan dan melempar ke arah lapak ibu kantin, alat makan mengenai dinding dan peringatan dilayangkan.
"Gak usah kepo, hati-hati gue suruh bapak gue datang buat mecat elu."
Ibu kantin masuk diam-diam, tidak ada yang bisa membantuku.
Setelah melihatku menelannya, Scarlett baru merasa puas, lalu meletakkan piring mereka dihadapanku.
"Untuk berterimakasih padaku karena sudah nambahin lauk buat lu, cuci semua piring ini."
Setelah mereka pergi, aku langsung berlari ke samping selokan dan memuntahkan semuanya sambil mengorek tenggorokanku.
Aneh sekali, kali ini aku tidak menangis, apakah aku sudah menerimanya?
Aku pikir mereka hanya mengancam dan memukul orang di sekolah, namun aku tidak menyangka mereka akan sekejam ini.
Joanne dipukuli sampai tidak tahan lagi, suatu siang dia masuk ke ruang kepala sekolah.
Kepala sekolah memanggil ayah Scarlett, bahkan memanggil kami semua yang ada di asrama.
Ayah Scarlett duduk di sofa sambil berpangku kaki, sama sekali tidak terlihat seperti orang yang ramah, dia berkata pada kepala sekolah dengan sikapnya yang angkuh: "Saya tahu bagaimana putri saya, kalau orang lain tidak mengganggunya, maka dia tidak akan mengganggu orang lain."
Kepala sekolah berdiri di samping dan berkata sambil mengangguk pelan, setelahnya dia berkata pada Joanne:
"Kenapa kamu tidak memikirkan alasanmu sendiri, memangnya kamu tidak salah?"
Tubuh Joanne gontai, seolah tidak paham apa yang dikatakan oleh kepala sekolah.
Ayah Scarlett bahkan tidak melirik Joanne sama sekali, setelah menghabiskan sebatang rokoknya dia langsung pergi, ketika melewati Scarlett dia berkata:
"Gak harus pakai berkelahi, kalau terluka malah harus ganti rugi."
Adegan bagaikan dalam sinetron ini terjadi hari ini, membuatku kembali berkenalan dengan dunia ini.
Kepala sekolah mengatakan jangan mengganggu teman secara simbolis, lalu menyuruh kami pergi.
Setelahnya, karena aku takut dipukuli, meskipun melihat mereka menuangkan tinta di kursiku, aku tetap memilih untuk duduk di sana.
Meskipun merasakan Scarlett sedang menuangkan lem ke rambutku, aku tetap pura-pura tidak tahu.
Namun Joanne tetap mengundurkan diri dari sekolah, karena dia mengadu kepada kepala sekolah, Scarlett habis diomeli ayahnya sepulang sekolah.
Sehingga, pada perjalanan pulang di suatu jumat, Joanne diseret mereka ke dalam sebuah rumah tua yang tidak terurus, bagian bawah tubuhnya ditusuk dengan gagang sendok sampai terluka.
Ibu Joanne datang sambil menangis meraung-raung sambil memaki pimpinan sekolah, bahkan melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwenang.
Aku pikir jika polisi menangkap Scarlett maka aku tidak akan dipukuli.
Scarlett memang dibawa oleh polisi, namun tidak lama berselang aku melihat mobil polisi mengantarnya pulang sampai di depan asrama sekolah.
Tidak ada bukti, hanya berdasarkan pengakuan Joanne saja, sama sekali tidak bisa memberikan ganjaran pada gerombolan orang ini.
Aku melihat dari koridor ruang kelas lantai dua, ibu Joanne duduk di depan gerbang dengan berlinang air mata, tiba-tiba aku merasa iba.
Kalau suatu hari mami tahu aku dirundung, apakah akan seperti itu juga?
Kalau begitu aku berharap dia tidak tahu selamanya, karena ibu Joanne menangis terlalu pilu.
Kenyataan membuktikan bahwa aku terlalu naif, aku mendengar ibu Joanne menunjuk ayah Scarlett sambil memaki, mengatakan Joanne kehilangan kesuciannya, kelak akan dianggap rendahan oleh keluarga mertuanya, uang mahar yang diberikan juga akan berkurang.
Aku berdesis perih, merasa Joanne sangat kasihan.
Ibunya bukan sedih karena dia disakiti, melainkan khawatir kelak Joanne tidak bisa mendapatkan mahar lebih saat menikah.
Setelah kejadian itu, Joanne mengatakan padaku kalau dia ingin pergi ke Sulawesi untuk bekerja, ibunya sudah mencarikan lowongan pekerjaan di pertambangan, sebulan dia bisa menghasilkan uang 6 juta rupiah.
Aku bertanya padanya dengan hati-hati, apakah Scarlett meminta maaf padanya?
Dia berkata dengan senyum kaku:
"Dikasih uang termasuk minta maaf tidak? Ayahnya memberi ibuku uang 50 juta sebagai ganti rugi, dan ibuku tidak lagi mengungkit hal ini. Aku bisa masuk SMA karena ibuku merasa dengan adanya ijasah SMA, kelak saat menikah aku bisa mendapatkan uang mahar yang lebih besar."
Dia berkata: "Eve, kamu pasti bisa masuk kuliah."
Setelah kejadian ini, Scarlett lebih tenang, lama sekali tidak menggangguku lagi.
Perasaanku yang tegang pun akhirnya bisa sedikit lebih relaks, saat bel istirahat berdering aku berani langsung pergi ke kantin dan makan siang.
Ketika aku sedang menulis buku harian di rumah saat akhir pekan, Scarlett mengirimiku pesan, dia memintaku datang ke rumahnya untuk merayakan ulang tahunnya.
Meskipun dia tidak menggangguku lagi, namun aku tetap waspada.
Ditambah lagi hubungan kami tidak sedekat itu sampai harus merayakan ulang tahun bersama, sehingga aku menolaknya dengan alasan tidak diijinkan keluar oleh orang tua.
Scarlett mulai mengancamku dengan video.
"Disuruh datang ya datang, banyak omong, nanti setelah selesai beres-beres lu boleh pulang, kalau gak gue sebar video lu ke Instagram."
Melihat kata video aku langsung panik dan segera menurutinya.
Ketika berlari keluar rumah nenek bertanya padaku mau kemana, aku hanya bisa mengatakan padanya aku mau ke sekolah.
Aku bersiap ke rumah Scarlett naik sepeda, namun pada saat ini aku menerima permintaan pertemanan, dan itu adalah Leon.
Aku tidak mengerti kenapa dia menambahkanku sebagai teman, namun saat ini ada hal penting lain yang harus kulakukan.
Ponsel terus berdering, membuatku menghentikan sepedaku.
Pada dasarnya Scarlett dan Leon memang berteman baik, aku tidak berani gegabah, sehingga aku menyetujui permintaan pertemanannya.
Aku belum sempat mengirim apa pun, dia sudah mengirim dua lembar foto.
Begitu aku buka, ternyata itu adalah videoku yang dikirim oleh Scarlett ke dalam group, dibawahnya bahkan ada yang bicara sembarangan.
Darah dalam tubuhku bagaikan membeku, bukankah aku sudah setuju untuk datang, kenapa dia masih menyebarkannya.
Aku membuka foto berikutnya dengan tangan gemetar, dalam group ada yang meminta Scarlett mengajakku keluar.
Scarlett meminta orang itu memberikan uang 600 ribu padanya, baru dia akan menyuruhku keluar.
Kemudian ada lagi yang mengatakan kalau dia juga akan memberikan 400 ribu.
Leon mengirimkan satu pesan lagi : Jangan datang, di rumahnya ada banyak cowok.
Kakiku langsung lemas dan terkulai lemas.
Habislah aku, hancur sudah hidupku.
Tubuhku mulai menggigil, punggung dan telapak tanganku mulai berkeringat dingin, hatiku begitu hancur sampai tidak sanggup meneteskan airmata lagi.
Dipikirkan dengan seksama, sejak tahun ajaran baru sampai sekarang, selama tiga bulan ini salah apa yang telah kuperbuat?
Karena aku jelek, karena aku tidak tahu cara meminta ampun, karena aku menatapnya, sehingga aku pantas untuk dirundung?
Aku tidak berani membayangkan apa yang akan dikatakan oleh orang-orang yang ku kenal ketika melihat videoku?
Mereka bagaikan muncul dihadapanku, menunjukku sambil mentertawakanku.
Scarlett sekali lagi merobek bajuku dan berkata pada mereka: "Lihatkan, udah gue bilang dia itu gatel banget."
Aku refleks meringkuk, namun menyadari kalau ini semua hanya khayalanku saja, aku masih berdiri di tempat semula.
Namun saat ini aku hanya ingin mati, terlalu menyiksa.
Membuka dan menutup mata semua dipenuhi oleh bayangan Scarlett yang sedang merundungku, aku hampir tidak tahan lagi.
Ketika berdiri di atas atap, angin dingin yang berhembus menyadarkanku.
Aku melihat ke bawah, setiap batang rumput dan pepohonan yang ada dibawah sana adalah penonton Scarlett yang sedang merundungku.
Lampu di sebuah jendela yang ada di gedung asrama seberang sana menyala, aku melihat Scarlett sedang menampari seorang gadis dengan keras, wajahnya tidak terlihat jelas olehku.
Melihat lebih dekat lagi, yang terlihat adalah Scarlett yang sedang menyeret gadis itu ke dalam toilet, membuka bajunya, merekam tubuh telanjangnya dengan ponselnya, aku juga tidak bisa melihat jelas wajahnya.
Lebih jauh lagi, Scarlett sedang menjambak rambut seorang gadis dan menyeretnya masuk ke dalam kamar, kaki gadis itu menggesek jalanan berbatu sampai berdarah, dia tidak hentinya menangis dan meminta ampun, namun Scarlett tidak perduli, kali ini aku bisa melihat dengan jelas, itu adalah Joanne.
......
Aku tidak berani melihat dan secara refleks memejamkan mata, namun cahaya matahari yang terang menyinari mataku.
Oh, ternyata sekarang siang hari, aku membuka mata dan melihat.
"Eve!"
Ako menoleh dan melihat, itu kakak.
Tidak.
"Eve."
Ini suara mami.
Aku seperti terdorong dan terhempas ke bawah
Aku membuka mataku dengan kaget, mendapati aku sedang berada di rumah sakit, ibu menatapku dengan panik.
"Eve, tidak apa, mami di sini, jangan takut."
Ternyata aku bermimpi yang sangat panjang, di dalam mimpi aku sekali lagi menjalani siksaan Scarlett.
Ternyata sudah belasan tahun berlalu, aku tidak perlu dipukuli lagi.
Terdengar suara ayah dan kakak yang sedang bertengkar di luar, aku rasa kakak datang untuk mengaku salah iya kan?
"Ethan! Papi menyekolahkanmu sampai kuliah jurusan hukum agar kamu bisa membalaskan dendam adikmu suatu hari nanti, bukannya malah membawa pelaku kekerasan pulang untuk melanjutkan perbuatannya pada adikmu."
Kakak juga sangat marah.
"Ayah Jazzlyn bisa membantuku masuk ke divisi terkait, dengan demikian aku bisa mengurangi kerja keras hingga beberapa tahun, apa Eve bisa membantuku?"
Atas dasar apa?
Aku membuka selimut, berlari tanpa alas kaki dan membuka pintu, bertanya pada kakak yang ada di depan pintu.
"Atas dasar apa? Atas dasar apa aku harus menerima permintaan maafnya? Lagi pula dia juga tidak meminta maaf."
"Atas dasar apa dia boleh memulai hidup yang baru dengan nama yang baru, sementara aku harus hidup dalam penderitaan masa lalu selamanya?"
Aku berteriak ke arahnya tanpa terkendali.
"Ethan!"
Kakak dan ayah tiba-tiba menghilang, yang menggantikannya di hadapanku adalah ibu.
Tetapi aku baru keluar beberapa menit, kenapa ubannya jadi begitu banyak, tubuhnya juga menjadi begitu pendek dan kecil.
"Ethan!" Ibu menggoyangkan bahuku.
"Ibu, aku Eve, Eve... dimana kakak? Dimana papi? Kenapa mereka semua menghilang?"
Aku melihat ke sekeliling, namun di lorong rumah sakit yang sepi sama sekali tidak ada bayangan mereka.
Ibu mencengkram bahuku dengan kuat, air mata mengalir turun perlahan.
"Ethan, mami mohon sadarlah, ya? Mami mohon..."
Sudah seperti ini, mami masih bercanda denganku.
Aku menggeleng dengan tidak percaya, "Ma, mami ngomong apa sih, ini Eve, Eve, Eve... Agatha."
Aku memberitahu ibuku dengan serius, tanganku merapikan rambutku seperti biasa, namun gagal, malah yang tersentuh olehku adalah janggut yang ada di dagu.
Aku memegang daguku dengan sangat terkejut, aku punya janggut! Banyak sekali... ada banyak janggut.
Tiba-tiba rasa takut mendera, aku segera berlari masuk ke dalam bangsal dan masuk ke dalam selimut.
Tubuhku meringkuk dan tidak hentinya bergumam:
"Aku punya janggut, mereka akan menggangguku lagi, mereka akan mendorongku masuk ke dalam toilet pria, aku tidak mau punya janggut, aku tidak mau punya janggut, aku tidak mau..."
Aku mencakar wajahku dengan keras, berharap bisa menghilangkan semua janggut di wajahku ini.
Selimutku ditarik oleh seseorang, aku membenamkan kepalaku dengan penuh ketakutan.
"Aku kambuh lagi."
Aku duduk di ruang poli kejiwaan.
Dokter duduk di seberang meja, mencatat di bukunya dengan cepat.
"Bisa kamu ceritakan?"
Aku bersandar di kursi dan menatap langit-langit ruangan yang putih bersih.
"Aku bermimpi sangat panjang, di dalam mimpi aku adalah Eve yang sudah tumbuh besar, pada hari natal, aku melihat kakakku sedang melamar gadis yang pernah merundungku di sekolah."
Terdengar suara pen yang sedang menulis di atas buku, aku merasa lelah dan memejamkan mataku.
"Kakak membujukku untuk berbesar hati, memintaku untuk tidak mempermasalahkan kejadian yang sudah berlalu. Dia bilang, ayah Jazzlyn bisa membantu karirnya, sementara aku tidak bisa membantunya sama sekali."
"Lalu aku kembali ke masa di mana Scarlett pertama kalinya merundungku, lalu mengalami semua kejadian itu sekali lagi, siksaan selama tiga bulan, aku merasakannya sekali lagi..."
Bicara sampai di sini, suaraku sudah terdengar begitu lelah.
Setelah cukup lama dokter baru bicara, "Ada yang berbeda tidak?"
Aku membuka mata, "Ada, di dalam mimpi muncul seseorang yang bernama Leon mencegah perundungan yang terakhir."
Dokter menghela nafas.
"Kamu merasa kamu tidak mampu menolong Eve tepat waktu, sehingga kamu merasa bersalah, menyalahkan dirimu, perlahan muncul imajinasi dirimu melamar pelaku kekerasan, menciptakan sosok kakak yang jahat."
Airmata sudah membasahi wajahku, dan tanganku tidak hentinya memukuli kepalaku dengan sedih.
"Kalau aku sedikit lebih awal, aku akan bisa menolongnya, ini salahku, semua salahku, salahku yang tidak kembali lebih awal..."
Dokter berusaha menenangkanku, memintaku mengingat lagi dimana Scarlett yang sebenarnya berada.
Di dalam penjara! Di dalam guci abu!
Dia seharusnya berlutut dihadapan Eve dan meminta maaf.
Tidak pernah ada Jazzlyn, hanya ada Scarlett.
"Berikanlah buku harian Eve padaku, ya? Persentase kembuhmu semakin meningkat, durasinya juga semakin panjang, kamu tidak boleh terus membaca buku hariannya."
"Ini sudah kedelapan kalinya kamu berimajinasi menjadi Eve selama 10 tahun ini, aku yakin Eve berharap kamu baik-baik saja, kamu lihat ibumu sudah menua sampai seperti itu."
Dokter membuka tirai jendela perlahan, ruangan kembali menjadi terang.
Aku menangis dengan wajah terbenam, airmata membasahi telapak tanganku.
"Jadi aku tidak melakukan kesalahan pada Eve, iya kan? Aku bukan kakak yang jahat, iya kan?"
Dokter berkata perlahan:
"Kamu bukan, kamu adalah kakak yang baik, kamu mengirim semua orang yang pernah merundung adikmu ke dalam penjara, kamu sudah membalaskan dendamnya."
Setelah menata suasana hatiku, aku pulang bersama ibuku.
Dibelakangku, asisten dokter masuk ke dalam ruangan.
"Dia mengidap penyakit apa? Orangnya lumayan ganteng."
"Delusi berulang, adiknya bunuh diri dan meninggal dihadapannya, kemudian dia membaca surat wasiat dan buku harian adiknya, karena tidak kuat menghadapi pukulan, dia berimajinasi menjadi adiknya."
Sudut pandang kakak
1
Kenyataannya Leon sama sekali tidak mencegah perundungan yang terakhir, dia juga tidak menambahkan Eve sebagai teman di kontaknya.
Ketika Eve tiba di rumah Scarlett dia baru tahu apa yang akan mereka lakukan, para bajingan itu sama sekali tidak melepaskannya.
Aku juga tidak menolong Eve, ketika tiba di sekolah, dia melompat turun dari atap sekolah, lalu meninggal dihadapanku.
Ayah dan ibu pulang segera, namun sama sekali tidak sempat melihat Eve untuk yang terakhir kalinya, karena penampakannya terlalu sulit untuk di terima.
Aku menahan mereka dan tidak membiarkan mereka melihatnya, aku berharap mereka mengingat paras Eve yang terindah, pemandangan itu cukup aku saja yang melihatnya.
Setelah aku membaca semua catatan di buku harian Eve, aku tidak bisa membayangkan seberapa putus asa dan sakitnya ketika mengalami semua siksaan itu.
Ayah pelaku kekerasan adalah orang kaya yang berkuasa di kota ini, dia berniat menggunakan uang 400 juta untuk berdamai.
Itu adalah nyawa manusia!
"Gue kasih elu 400 juta, elu bunuh putri lu, gimana?"
Ayah memaki dan menyumpahi di depan rumahnya, namun mereka menutup pintu dan menyalakan televisi, suara tawa berbanding terbalik dengan tangis ayah, sugguh sangat menyedihkan.
Ibu terlalu sedih sehingga jatuh sakit, aku tinggal di rumah dan menjaganya, aku takut dia melakukan hal bodoh.
Ayah sepanjang hari mondar mandir di pengadilan dan kantor penyelidikan, memohon jaksa menjatuhkan hukuman terberat untuk Scarlett.
Namun hasil dari pengadilan adalah Eve meninggal karena bunuh diri, Scarlett tidak ada hubungannya dengan tersangka.
Hasil otopsi bekas luka pada jenazah Eve menunjukkan kalau itu hanya luka ringan, sehingga untuk tuntutan melukai dengan sengaja tidak bisa dilakukan.
Apalagi kami tidak bisa menemukan apa yang dikatakan Eve dalam buku harian, rekaman video yang dilakukan oleh orang-orang itu, sehingga kami benar-benar tidak berdaya.
Kami tidak bisa menerima hasilnya, memilih untuk naik banding, namun hasilnya tetap sama.
Ayah mendengar bahwa kasus baru akan diperhatikan jika naik banding, dia membawa dokumen dan melaporkan ke badan hukum yang lebih tinggi satu per satu, namun hasil yang didapatkan tidak jelas, selain itu malah menarik perhatian ayah pelaku kekerasan.
Dia menemui ayahku dan mengatakan dia bersedia menambahkan 100 juta rupiah, ayah tidak menerimanya.
Dia bertanya pada ayah, apa yang sebenarnya ayahku inginkan, ayah berkata: "Gua mau anak lu masuk penjara!"
Beberapa hari berselang, ayah mengalami kecelakaan, jelas ini membuat keluarga kami semakin berat.
Ibu terlihat menua dengan drastis, terkadang dia bergumam di telingaku: "Adikmu meninggal, ayahmu meninggal, kita juga menyusul saja."
Supir yang menabrak jelas dipaksa untuk menjadi kambing hitam, bahkan alasan saja tidak punya, kesaksiannya terus berubah, namun pada akhirnya hukuman tetap dijatuhkan.
Lalu aku menggantikan ayah untuk naik banding, lampiran bukti bertambah, surat pernyataan banding setebal 500 lembar halaman lebih dan ibuku, ini adalah satu-satunya harapan hidupku.
Di tahun ketiga, ada dua orang yang mengaku sebagai teman sekolah Eve datang menemuiku, mereka memberikan beberapa bukti kepadaku, diantaranya ada dua lembar foto dan sebuah perjanjian yang cukup berpengaruh.
Foto yang diberikan Leon adalah screenshot video yang disebarkan Scarlett di dalam group, juga catatan Eve yang "dijual" kepada para berandal.
Surat perjanjian itu adalah surat damai yang dibuat diantara ibu Joanne dan ayah Scarlett ketika itu.
Leon mengatakan kalau dia sangat tersiksa selama beberapa tahun ini, dia merasa dia yang sudah mencelakai Eve.
Kalau saja saat itu dia memberitahu Eve kebenarannya, mencegahnya pergi ke rumah Scarlett, maka tidak akan ada kejadian seperti ini.
Kalau aku membutuhkan, dia bersedia menjadi saksi.
Sehingga aku terus mengajukan banding, memohon pihak pengadilan untuk meneruskan kasus Eve, akhirnya di tahun kelima hasil akhir didapatkan.
Scarlett merasa ada dukungan ayahnya, setelah lulus SMA tetap berbuat semena-mena, membuat banyak masalah, satu persatu, semua bukti berhasil kudapatkan.
Semua tindak kriminal yang dilakukan oleh Scarlett membuatnya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, pada dasarnya bisnis ayahnya juga tidak bersih, semua tindak kriminal yang dilakukan dikalkulasi dan membuatnya dijatuhi hukuman penjara selamanya.
Namun Scarlett tetap mengatakan kalau itu semua karena dia masih muda dan tidak tahu apa-apa, tidak pernah meminta maaf pada Eve.
3
Kemudian, aku mendengar di tahun ketiga dia tiba-tiba sakit dan meninggal dalam penjara, mungkin ini adalah hukum karma.
Pelaku kekerasan selamanya tidak pantas mendapatkan maaf.
Aku terkadang sadar terkadang linglung, secara mental memang sudah tidak terlalu baik.
Ketika pergi menengok ayah dan Eve di hari natal, ada seekor kupu-kupu yang begitu cantik hinggap di hidungku sangat lama.
Gadis yang pernah merundungku semasa SMA datang ke perusahaanku untuk melamar kerja.
Karyawanku mengirim pesan dan mengeluh, "Sampah apaan nih, bagaimana lamarannya bisa lolos?"
Aku hanya tersenyum dan membalas.
"Loloskan dia."
Dulu, dia menggunakan pisau kecil untuk mengukir kata "jalang" di tanganku.
Dia bilang, dia mau aku hidup dengan jejak kekerasan seumur hidupku, hidup dibawah bayang-bayangnya.
Sekarang, sudah saatnya aku menginjaknya di kubangan.
"Saya sangat heroik, ketika SMA, aku menangkap teman yang mencuri, membuatnya mengundurkan diri dari sekolah, membuatnya mendapatkan ganjaran yang setimpal."
Ketika menghadapi pertanyaan "Kelebihan apa yang kamu miliki dan sesuai dengan posisi yang diinginkan" dia menjawab dengan penuh percaya diri.
Setelah dia mengatakannya, kepalan tanganku yang gemetar semakin mengetat.
Telapak tangan yang basah oleh keringat dingin masih menyimpan bekas luka yang samar.
Dibalik pintu kaca, nafasku tiba-tiba menjadi berat.
"Presdir, apakah Anda baik-baik saja?" asistenku segera menghampiri dan bertanya dengan penuh perhatian.
Aku melambaikan tangan, namun jantung tetap berdebar.
Di dalam ruang interview, Luvita Prawija berdandan dengan cantik, penuh kepercayaan diri, muncul dengan begitu sempurna.
Dulu dia adalah mimpi buruk di hari dan malamku, ketika merundungku, aku melihatnya selalu yang paling beringas.
Setiap kalinya aku yang meringkuk di pojokan, sementara Luvita mengangkat tangannya dan tersenyum dengan kejam, mendaratkan tendangan di perut, lengan, bahu, lalu kepala, kemudian hidung.
Rasa pusing dalam ingatanku membuatku sulit melangkah saat ini.
"Biar saya aturkan pengawas interview yang lain."
Asisten berkata dengan pengertian, "Anda sama sekali tidak perlu turun tangan langsung untuk karyawan tingkat ini."
Setelah diam sejenak, aku berkata: "Buka speakernya untukku."
Sepuluh menit kemudian, wawancara dimulai.
Mendengar perkenalan diri dan juga pengalaman kerja, jelas terlihat kalau karir Luvita beberapa tahun ini biasa saja.
Pengawas interview yang baru, Direktur Pemasaran Theo Atmaja tidak hentinya mengerutkan alis.
Kemampuan kurang, kepribadian cukup.
Membicarakan tentang etika profesi, Luvita terbata, namun ketika membicarakan tentang pencuri semasa SMA, dia langsung bersemangat.
"Presdir, saya rasa cukup, pelamar ini terlalu di bawah standar, sama saja seperti membuang waktuku."
Theo tidak tahan lagi sehingga mengirimkan pesan dan melapor padaku.
"Sabar, gaji hari ini saya kasih double."
Bersandar pada kursi kerja, aku melemparkan ponselku, setelah memejamkan mata sejenak, nafas juga sudah lebih teratur, aku melontarkan satu kalimat.
"Jangan diakhiri dulu, saya mau bertemu dengannya."
Lebih tepatnya, aku ingin mendengar kisah pencuri yang dia ceritakan secara langsung.
Mengingat masa muda yang sudah kita habiskan bersama, masa muda yang kacau berantakan.
Dalam ingatanku, sebelum ujian semester Kelas 2 SMA, saat itu aku keluar dari toilet kembali ke kelas.
Segerombolan orang sedang mengelilingi tempat dudukku, semua buku pelajaranku berserakan.
Ditengahnya ada dua lempar uang 100 ribu yang begitu mencolok, juga sebuah surat pernyataan tidak mampu, itu adalah dokumen yang hari ini aku bawa untuk mengajukan beasiswa.
"Dia pelakunya!" Luvita mengangkat "uang haram" yang ada di lantai, menunjuk dengan penuh amarah dan berseru, "Lisa yang sudah mencuri 200 ribu kas kelas, dia adalah pencuri!"
Lisa adalah namaku ketika itu.
Setelah mengatakannya, Luvita mengangkat bibirnya dengan ekspresi merendahkan, sekalian menendang surat pernyataan tidak mampu dengan kakinya ke tengah kerumunan.
Murid di kelas memungutnya dan membaca namaku beserta nama ibuku dengan lantang dan bergilir, sekalian memberi julukan untuk ibuku dengan nada merendahkan, membuat surat pernyataan tidak mampu yang merupakan jaminan keluarga kami ini hancur.
"Ini dia orang yang hidup dari dana bantuan, pantas saja mencuri!"
Juvita menemukan bukti yang paling kuat, lalu berseru dengan semakin keras:
"Dua ratus ribu, untuk orang sepertimu, ini benar-benar uang yang bernilai besar, hadiah apa yang akan ibumu berikan saat pulang? Membelikanmu gelas baru?"
Bulan lalu, Juvita memasukkan tikus mati ke dalam gelasku.
Aku membuangnya ke tong sampah.
Ketika pulang, aku dipukuli oleh ibu dengan penggaris.
Aku disebut menyia-nyiakan barang, mengatakan kalau keluarga kami sudah begitu miskin, atas dasar apa membuang gelas yang masih layak pakai seperti itu, setelah dicuci dan disterilkan bukankah bisa dipakai lagi.
"Mati saja sana, dasar pencuri!"
Entah siapa yang telah melempar penghapus papan tulis ke wajahku, tepat mengenai wajahku dan meninggalkan bekas kapur putih berbentuk persegi panjang disana, persis seperti penjahat yang sedang dihina.
Semua tertawa terbahak-bahak.
"Bukan, aku bukan pencuri..."
Aku mengulang berkali-kali, namun tidak ada yang mendengarkan, juga tidak ada yang perduli.
Sepulang sekolah, di jalan kecil yang remang, aku melihat Luvita memberikan selembar kertas ulangan pada teman semejaku.
"Sudah sepakat iya kan, soal ujian bahasa inggris, thanks udah bantuin gue masukin uang ke dalam tas si jalang itu. Tenang aja, nyokap gue itu koordinator pendidikan, gak akan ada masalah."
Pihak sekolah juga merespon dengan cepat, memutuskan untuk mengeluarkan "pencuri bermoral buruk" lalu memberikan penghargaan pada Luvita yang sudah bersikap "heroik".
Begitu ibuku mendengar kabar ini, pertama kalinya meminta ijin setengah hari dan datang ke sekolah dari pabrik tempatnya bekerja.
Dia berlutut di depan kelas menghadap walikelas, dia bersujud berulang kali, membenturkan kepalanya ke lantai ubin dengan keras dan nyaring.
Walikelas merasa ini memalukan, dia berjalan mendekat dan menutup pintu dengan dingin.
Luvita mengeluarkan ponsel dan mengarahkannya ke arah ibuku, cekrek... cekrek.
Malam itu, sebuah postingan foto dengan caption "Nyokap miskin si pencuri itu juga menggelikan" tersebar di Instagram.
Di kolom komentar, tanda lahir merah yang ada di kening ibuku menjadi bahan tertawaan mereka.
"Itu pasti karena dipukuli waktu ketangkap basah nyuri, kenapa sekeluarga pencuri semua?"
"Nenek tua jelek gitu, ada juga cowok yang mau, bahkan punya anak pencuri pula?"
"Usir Lisa sama nyokapnya dari sekolah, sekalian usir dari muka bumi ini!"
Di mata mereka sepertinya tidak ada benar dan salah, mereka tidak perduli siapa pencurinya, siapa yang merundung siapa.
Mereka hanya menginginkan keramaian, hanya ingin menyudutkan seseorang bersamaan, melampiaskan amarah dan kekesalan pada seseorang saja.
Lebih bagus lagi kalau orang itu seperti memiliki kesalahan, seorang penjahat yang asli, seseorang yang bisa diinjak dengan sempurna.
Mengenai siapa orang itu, siapa yang perduli, hanya menghancurkan hidup seseorang saja.
Sesuai dengan mau mereka, aku dikeluarkan dari sekolah.
Ibuku membawaku pergi dari tempat menyakitkan itu, mengubah namaku, ingin aku bisa melewati hidupku dengan tenang dan aman, sehingga dai memberiku nama Aleni Deandra.
Aku adalah Aleni Deandra yang menjadi peringkat pertama UAN tahun kedua se-provinsi.
Aku adalah Aleni Deandra yang menjadi Presdir di sebuah perusahaan tekhnologi yang sedang berkembang, yang merupakan salah satu orang yang ada di dalam daftar 50 pemuda berbakat di kota kami.
Mungkin bermimpi pun Luvita tidak akan menyangka, seumur hidupnya dia masih punya kesempatan bertemu dengan "pencuri miskin" yang dikeluarkan oleh sekolah karenanya saat itu.
Aku juga tidak menyangka.
Ternyata dia masih pantas duduk satu ruangan denganku.
Sekarang, di gedung penulis high class ini, kami kembali dengan kondisi yang baik.
Berdiri diluar pintu kaca, setelah menarik nafas dalam, aku pun membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Pre..."
Pengawas interview langsung berdiri, kata "Presdir" baru hendak dilontarkan, langsung terhenti oleh salamku.
"Kak Theo, saya adalah anak magang baru namaku Aleni."
Aku sengaja tersenyum dengan ramah: "Tadi saat rapat ada buku catatan yang tertinggal di sini, apakah saya boleh mencarinya?"
Theo bingung namun dia tetap bekerja sama denganku: "Oh, silahkan..."
Ketika melewati Luvita, aku berdiri, dia duduk, pertama kalinya menatap dia dari ketinggian, aku baru menyadari betapa kecilnya dia.
Dia melirikku dengan ekspresi merendahkan.
Ternyata, berpisah sekian tahun lamanya, perubahanku begitu pesat, membuatnya tidak mengenaliku lagi.
Sorot matanya tidak berbeda dengan yang ada dalam ingatanku, hanya saja saat ini dia tidak lagi membuatku takut, hanya membuatku jijik.
Aku "mencari" sesaat, Theo terlihat tidak tenang, lalu mendekat sambil mengusap tangannya dengan canggung: "Pr..."
Kata "Presdir" sekali lagi hampir terlontar olehnya, aku langsung memelototinya.
"Alani." dia bertanya dengan suara pelan, "Biar aku yang cari, hati-hati, jangan sampai rokmu kotor."
"Tidak perlu, sudah tidak perlu dicari."
ketika meninggalkan ruang interview, aku mendengar Luvita tertawa dibelakangku, dia berkata pada Theo dengan nada menjilat:
"Anda tenang saja, setelah saya bergabung, saya jamin tidak akan ceroboh seperti dia, meletakkan barang sembarangan, bahkan buku catatan saja tidak bisa dijaga dengan benar."
Setelah mengatakannya, dia mendekat ke Theo dan berkata dengan nada sok akrab: "Seorang anak magang, lumayan suka pamer juga, semua yang dipakai barang KW."
Theo menghela nafas dan melihat ke arah aku pergi.
Setelah kembali ke ruangan, dia mengirim pesan yang berisi keluhan.
"Sampah apa ini, gimana meloloskan lamarannya?"
Aku hanya tersenyum dan membalas pesannya.
"Loloskan dia."
Aku memutar kursiku menghadap jendela, lalu menarik nafas panjang.
Orang yang pernah hidup dalam kekelaman baru akan lebih bersyukur ketika sudah memiliki cahaya.
Sekarang, giliranku menginjak sang pelaku kekerasan dalam kubangan.
Ini adalah negara hukum, aku harus menggunakan cara yang paling elegan, membuatnya memetik buah yang dia tanam, membayar kesalahannya di masa lalu.
Tiga hari kemudian, Luvita datang untuk registrasi.
Ketika aku ke divisi pemasaran untuk meminta proposal pada Theo, dia baru saja duduk di kursinya.
Begitu melihatku, Luvita langsung berdiri menyapa.
"Heh, anak magang, meja gue sudah elu lap belum?" dia memasang wajah biasa.
Karena mendadak aku tidak paham apa hubunganku dengan anak magang yang dia katakan.
Ketika aku lewat Luvita langsung menarik tanganku.
Dia bertanya sekali lagi: "Gak denger ya? Gue bilang, mejanya sudah di lap belum?"
"Ngomong sama saya?"
Aku melihat ke sekeliling, lalu menunjuk diri sendiri dengan bingung.
"Kalau enggak? Kamu itu anak magang, gue karyawan resmi, memangnya bukan kerjaan elu yang ngelap? Lu tahu gak, gaji gua berapa lipat dari gaji elu?"
Kemampuan bertarung Luvita ternyata jauh lebih payah dari bayanganku.
Membicarakan gaji secara terang-terangan, baru juga 10 menit, dia sudah melanggar aturan perusahaan dalam kontrak kerja yang sudah dia tandatangani.
"Tapi sekarang saya mau menemui The... Kak Theo untuk menyocokkan proposal."
"Nanti saja baru dicocokkan." dia sama sekali tidak perduli, jarinya mengusap permukaan meja, kepalanya mundur dengan berlebihan, lalu mendorongku ke depan mejanya, "Lap dulu, jangan membuat pekerjaanku tertunda."
Aku menatapnya dengan tenang, dia mengangkat dagunya dan menatapku dengan angkuh.
Setelah sesaat, aku mengangguk: "Baiklah, kalau begitu tunggu sebentar, saya ambil kain lap dulu."
"Eh, tunggu!"
Dia memanggilku sambil menarik kalungku dengan kasar, kemudian mengamatinya sesaat: "Kalung Van Cleef & Arpels ini gua juga punya satu."
"Tapi..." sudut bibirnya terangkat, entah sedang membanggakan apa, "Punyaku itu asli."
Sama seperti sekian tahun yang lalu, dia tetap sekasar itu, berpikiran sempit, memandang rendah orang lain, terpengaruh oleh benda-benda mahal.
"Oh, kelihatan ya."
Aku melepaskan kalung dengan tenang, lalu memasukkannya ke dalam saku.
"Gak mampu beli yang asli, pakai ini untuk hiasan, jangan ditiru ya, kalau sampai ketahuan sama klien malu."
"Luvita, hari pertama kerja sedang apa kamu?"
Belum selesai bicara, Theo yang keluar dari ruang Direktur melihat semuanya, membuatnya langsung menyentaknya dengan penuh amarah.
Luvita tahu harus bersikap bagaimana pada orang seperti apa, sikapnya langsung berubah bagaikan seekor anjing yang jinak: "Saya sedang mengajari anak magang bekerja."
"Perlu kamu yang mengajari? Kamu sendiri sudah tahu bagaimana mengerjakan pekerjaanmu?"
Theo meliriknya dan tiba-tiba tersenyum dingin:
"Kebetulan, di kantor kami ada sebuah tradisi, karyawan baru wajib memulai pekerjaannya dari mengelap meja. Kita yang bekerja di bidang pemasaran, harus memiliki jiwa melayani."
Wajah Luvita langsung berubah pucat.
Theo tidak memperdulikannya, dia menunjuk dua baris meja: "Sebelum pulang harus di lap semuanya, besok saat mengumpulkan laporan, sampaikan pesan dan kesan mengelap meja."
Setelah mengatakannya, dia menimpali lagi: "Presdir Deandra kami sangat menyukaimu, jangan membuatnya kecewa."
Theo melirik aku sambil tersenyum, aku langsung memberi isyarat padanya dengan satu lirikan yang tajam.
Setelah menonton, aku berbalik dan hendak pergi.
Theo berakting dengan penuh totalitas, dai memanggilku: "Mau kemana Aleni? Ke ruanganku sebentar, saya perlu mencocokkan proposal denganmu."
Luvita yang ada di sana memelototiku dengan tajam, namun langsung ditepis oleh Theo: "Lihat apa? Baru hari pertama masa percobaan, cepat kerja!"
Sepertinya dia akan membuat perhitungan denganku karena hal ini.
Tetapi siapa yang perduli.
Begitu masuk ke ruang Direktur, ekspresi Theo langsung berubah, dia langsung membungkuk memberi salam dengan wajah tersenyum ramah.
"Silahkan duduk Presdir." dia menarikkan kursi untukku.
"Apakah minuman Anda sudah pas suhunya?"
"Silau tidak Presdir, tirainya perlu ditutup sedikit?"
"Presdir, bagaimana kalau Anda periksa dulu proposal saya?"
Aku memberi isyarat dengan memejamkan mata dan mengangkat daguku, Theo langsung paham dan membukakan PPT untukku.
Dia adalah orang lama di divisi pemasaran, aku percaya, proposalnya akan membuat klien puas, aku juga percaya, dia sudah tahu harus bagaimana memperlakukan Luvita.
Hari kedua bekerja, Luvita mengenakan kalung Van Cleef & Arpels yang bersinar.
Kemanapun dia berjalan, tangannya terus menyentuh liontinnya, seolah takut orang lain tidak menyadarinya.
Siang hari, aku mendengarnya menelepon di dalam bilik toilet, nada bicaranya begitu panik.
"Udah jangan ngejar lagi! Gua udah dapet kerjaan, kalau lolos gaji sebulan puluhan juta, gak mungkin gak mampu bayar uang kalian!"
Gajinya yang tertera 11 juta, aku yang menandatanganinya sendiri.
Tidak lama berselang, suara wanita dalam bilik kembali terdengar memelas: "... jangan, jangan, jangan, please, jangan telepon nyokap gue..."
Setelah memohon, Luvita berjalan keluar dari dalam bilik toilet, kebetulan melihat aku yang sedang mencuci tangan.
Setelah mengamatiku sesaat dengan sorot mata aneh, dia tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan bicara sendiri dengan nada bicara yang berbeda.
Setiap katanya begitu tegas dan lantang.
"Kapan mau bayar hutang lu yang puluhan juta itu ke gue? Gue udah dikejar orang nih! Kalau gue mah punya latar belakang keluarga yang bagus, gaji juga gede, gak masalah uang segitu, tapi lu gak bisa nunda terus kayak begitu."
Haih, berakting di depanku seperti itu, gak penting banget.
Aku hanya tersenyum tanpa bicara apa pun, lalu pergi sambil mengeringkan tangan.
"Tunggu!" Dia memanggil di belakang, ada kaget dan juga rasa kesal yang dominan.
Aku mengabaikannya, namun dia malah menghadang dan menarik blazerku.
Aku melirik tangannya: "Lepaskan, kalau rusak kamu gak akan mampu menggantinya."
Blazer buatan merk khusus yang baru diluncurkan musim semi ini, bukan hanya harganya yang tidak murah, pembuatannya harus menunggu selama tiga bulan.
"Apaan coba? Gak pernah lihat merk ini, bukan barang toko!"
Aku melepaskan jarinya satu per satu lalu berbalik dan pergi.
Sore hari, ketika aku menemui Theo, aku menggantungnya di kursi samping meja Luvita.
Ketika kembali, siapa yang menyangka baju itu sudah terkena tinta dan tidak bisa bersih di cuci, disampingnya ada isi pulpen yang terjatuh.
Pelakunya menoleh dan berpura-pura tidak melihat.
Sama seperti kejadian di ruang kelas SMA sekian tahun yang lalu.
Bajuku, kotak pensil, tas sekolah, semuanya sengaja dicoret-coret oleh kawanan Luvita.
Dan aku tidak mampu mengganti dengan yang baru, aku menggendong tas yang penuh dengan tulisan "jalang" dan "idiot", membiarkan mereka mentertawakanku saat berjalan masuk ke dalam kelas.
Punggungku tidak baik, karena sejak saat itu aku selalu menundukkan kepala.
Namun kali ini mungkin akan berbeda.
Harga blazer ini jauh lebih besar nilainya daripada hutang Luvita, cukup untuk membuat hidup Luvita yang sudah kacau menjadi semakin kacau.
Namun aku sama sekali tidak tergesa-gesa.
Suatu hari nanti, aku akan membuatnya mencicipi semua kebusukkannya.
Beberapa hari kemudian, suatu malam di hari kerja, Theo mengirim sebuah pesan padaku, itu adalah screenshot status akun sosial media Luvita.
Di dalam foto Luvita memegang sekuntum bunga, berdiri di belakang mobil VolksWagen, senyumnya begitu indah.
Caption dibawahnya: "Kado dari pacar, bunga mawar, makna dalam bahasa bunga adalah cinta yang indah."
Aku sungguh dibuat kehabisan kata-kata.
Sebenarnya untuk apa pamer seperti itu?
Jelas-jelas itu baby rose yang maknanya cinta yang menggebu.
Plat mobil VolksWagen 607, itu adalah ulang tahunku.
Tidak ada yang lebih mengenal pemilik mobil ini selain aku.
Weldrick Prime, dia sudah mengejarku selama setengah tahun, setiap hari satu kuntum baby rose, sama sekali tidak mampu melunakkan hatiku yang menolaknya.
Demi memperjelas sikapku, aku memerintahkan secara langsung, seluruh karyawan dan staff di perusahaan, tidak ada yang boleh menerima bunga Weldrick, bahkan tidak boleh membiarkan baby rose melangkah masuk ke dalam perusahaan.
Di status akun sosial media Luvita, tuan muda tampan yang kaya dan setia ini menjadi pacarnya yang "setia".
Saat hari kedua bekerja, dia bahkan membawa bunga baby rose sampai ke mejanya, memasangnya di tempat yang paling mencolok.
Rekan kerja disekelilingnya semua menoleh.
Luvita tidak mengerti, dia tetap pamer dengan bangganya: "Dari pacarku, mahal loh, susah banget pesannya, di atasnya juga ditaburi foil emas."
"Ini... sebelumnya Presdir Deandra pernah bilang, dilarang meletakkan bunga ini di perusahaan."
Dia tertawa sambil memutar bola matanya: "Presdir Deandra? Itu karena dia sudah tua, gak ada cowok yang deketin, makanya gak suka lihat kita-kita yang muda ini pacaran. Namanya aja udah presdir, palingan juga cewek tua yang umurnya sudah 40 tahunan iya kan? Apalagi, ketika gue masuk kerja dia bilang suka sama gue."
Melihat aku si "wanita tua" yang "menyukainya" ini kebetulan lewat, semua orang yang berkerumun langsung bubar.
Hanya ada Luvita yang masih memainkan bunganya sambil terus bicara:
"Pacar gue itu kakak kelas sewaktu SMA, sudah kenal sepuluh tahun, keluarganya punya perusahaan."
Tidak ada yang mendengarkan, namun tidak mengganggu pertunjukkannya.
"Meskipun Direktur yang bertemu dengannya pun tetap harus hormat padanya, bahkan membungkuk 90 derajat! Nanti setelah kami menikah, gue gak perlu bekera lagi, perduli amat sama aturan aneh Presdir siapa."
Weldrick oh Weldrick, apakah kamu tahu dirimu begitu gagah di mulut orang lain?
"Kalau begitu kenapa gak nikah, jangan-jangan karena belum dapat kontaknya?"
Ketika lewat aku melontarkan satu kalimat, membuat wajahnya langsung merona merah.
"Elu manusia KW, ngiri?"
"Ok, ok, ok, saya gak ngiri, kalau sempat ajak dia main ke kantor."
Aku tersenyum: "Saya ingin lihat Direktur membungkuk 90 derajat dihadapannya."
Kemudian, bunga Luvita diletakkan di sana sampai membusuk, akhirnya dibuang oleh ibu yang bertugas bersih-bersih.
Siapa yang menyangka dia malah pergi ke ruang kebersihan dan meminta orang ganti rugi dan mengganti foil emasnya.
Membuat karyawan satu gedung tahu, sungguh memalukan.
Hari-hari berikutnya, mobil Weldrick tetap parkir di bawah gedung tepat waktu seperti biasanya.
Di kursi samping pengemudi tetap terletak bunga baby rose, karena tidak berhasil menemuiku, dia membuang bunga itu ke tong sampah yang ada dipinggir jalan.
Hari demi hari.
Aku memperhatikannya dari atas setiap hari namun sama sekali tidak muncul dihadapannya.
Dan tepat pada saat ini, Theo membicarakan rekan bisnis yang sangat penting, dan sialnya itu adalah perusahaan Weldrick.
Mungkinkah ini kebetulan?
Mustahil!
Theo berkali-kali mengundangnya untuk membicarakan kerja sama, dan sejak saat itu Weldrick resmi mondar mandir di perusahaan dengan bebas.
Sementara aku, seorang Presdir, harus bersembunyi di perusahaanku sendiri, bersembunyi sampai kocar kacir.
"Kak, nanti siang aku traktir makan ya."
Berbanding terbalik denganku, Luvita dengan kerennya muncul didepannya dengan begitu bersemangat, "Bunga mawar yang waktu itu aku rawat selama dua minggu loh."
Mendengar ucapan ini, wajah Weldrick yang datar akhirnya memperlihatkan ekspresi.
Dia menghentikan langkahnya, alisnya terangkat dan nada bicara yang kesal: "Gak lu buang?"
"Kenapa harus dibuang! Bunga itu mekar dengan begitu bagus, aku sangat menyukainya!"
Weldrick melihat jam tangannya, menahan nafas, lalu pergi.
Luvita malah terus mengikutinya:
"Kak, kita sudah lama tidak berjumpa, waktu itu ketemu kakak di lantai bawah, kamu hanya menyuruhku membuang bunga, sama sekali belum nostalgia denganku. Hari ini kesempatan yang bagus banget, masalah kerjasama bisnis bisa dibicarakan nanti, hubungan kita berdua bisa kita bicarakan perlahan..."
Dia menatap wajah Weldrick dengan penuh semangat, ini adalah "pacar" yang hidup dalam akun sosial medianya.
Pada saat bersamaan, aku berjalan keluar dari dalam ruang rapat dan bertabrakan dengan Weldrick.
Matanya langsung berbinar.
Aku segera berbalik dan berpura-pura tidak melihatnya, lalu berbicara dengan canggung bersama asistenku.
"Dea..." Weldrick tidak ingin melepaskanku begitu saja, dia langsung memanggilku.
Karena tidak bisa mengalahkan langkah kakiku yang lebih cepat.
Dia sontak merasa kesal dan meneriakkan namaku dihadapan Luvita: "Aleni Deandra, berhenti!"
Gawat!
Aku menghentikan langkahku dan menoleh sambil tersenyum manis.
Semakin dia mendekat, ideku muncul dengan cepat: "Tuan Prime, Anda mencari Presdir Deandra? Beliau baru saja pergi, kalau Anda menuju lift sekarang masih keburu."
Weldrick terdiam sambil menatapku dengan lekat, seolah sedang meminta jawaban.
Sejenak setelahnya, dia mengerti melewatiku: "Baiklah."
Wajah tampannya muram, bahkan alisnya pun ikut terkulai, mambuat orang yang melihatnya begitu iba.
Meninggalkan Luvita yang kebingungan seperti orang bodoh: "Yang mana Presdir Deandra, seperti apa wajahnya? umur berapa?"
Siang itu, Luvita menghapus postingan sebelumnya secepat kilat, lalu menggantinya dengan foto selfienya dengan kalung Van Cleef & Arpels.
Caption: "Hadiah dari papa, cari duit susah, sengaja meminta hadiah yang agak murah aja, supaya uangnya bisa disumbangkan ke panti asuhan."
Tiba-tiba bergaya seperti orang kelas atas.
Kelihatannya dia sudah berhasil mendapatkan kontak Weldrick.
Sebenarnya, bukan karena aku tidak tertarik pada Weldrick.
Sebaliknya, aku merasa aku tidak pantas untuknya.
Merasa tidak pantas dari dalam lubuk hati yang terdalam.
Luvita membual dengan ucapan yang berlebihan, sama sekali tidak layak untuk didengar, namun hanya ada satu kata yang kuingat sampai saat ini.
"Bahkan menjadi anjing Weldrick pun kamu tidak pantas."
Saat SMA, dia mengatakan hal ini sambil menginjak wajahku.
Weldrick adalah kakak kelasku, selain itu, dia memiliki jati diri yang lain.
Ayahnya adalah dermawan yang terkenal di daerah kami, dia menggunakan nama Weldrick untuk menyumbangkan dana pendidikan yang besar dalam membantu sekolah anak yang tidak mampu.
Aku adalah salah satu diantara mereka, dan merupakan anak yang paling berprestasi.
Weldrick dua tingkat di atasku, begitu aku naik kelas 2 SMA, dia berhasil masuk ke universitas ternama sesuai dengan harapannya.
Dia pernah menjadi cahaya mentari yang menyinari duniaku.
Sehingga setelah dia pergi, cahaya itu juga ikut menghilang, badai pun menerpa hidupku, membuat hidupku semakin kelam.
Setelahnya Luvita mulai merundungku gila-gilaan di sekolah, bahkan sama sekali tanpa ragu.
Pertama kalinya dia memukulku, menggunakan hak sepatunya untuk menghantam mataku, sampai mataku memar dan bengkak dan tidak bisa dibuka.
Akhirnya dia puas: "Wanita yang jalang sejak lahir, punya mata seperti rubah yang suka menggoda Weldrick. Gue pukul sampai bengkak baru tahu rasa lu, pengen liat lu sanggup godain siapa lagi!"
Sebenarnya, beberapa hari yang lalu, aku juga sudah bertanya padanya, sama-sama tidak saling kenal, kenapa selalu mengusikku.
Dia mengatakan sejak lahir dia memang tidak suka dengan orang yang bermata rubah dan suka menggoda lelaki.
Setelah memukuli mataku, dia menendang perutku, menggunakan ranting untuk memukuli betisku.
Sampai dia lelah memukul, dia menginjak kepalaku, mengatakan mulai sekarang dan seterusnya, selamanya dia akan menginjakku di bawah kakinya.
Ketika itu Luvita baru 16 tahun, mana mungkin dia paham apa itu seumur hidup?
Saat itu aku juga baru berusia 16 tahun.
Namun aku paham, tidak ada yang bisa melindungi siapapun, kita harus membuat diri kita menjadi kuat dan besar.
Sepertinya aku sudah cukup besar dan kuat sekarang, namun menghadapi pernyataan cinta Weldrick, aku tetap begitu pengecut bagaikan seekor burung yang penakut.
Aku masih ingat, liburan itu, pada hari Weldrick berangkat ke Jakarta, tubuhku yang kecil berbaur di tengah kerumunan orang yang ada di luar stasiun untuk menatapnya diam-diam dari kejauhan.
Namun hanya satu lirikan saja dia bisa menemukanku, seolah sudah lama menunggu.
Ditengah kerumunan yang ramai, pemuda bertubuh kurus berseru dengan suara lantang, mengatakan kalau dia akan menungguku di Jakarta, memintaku harus menemuinya.
Matanya penuh dengan harapan, penuh penantian.
Namun ketika aku benar-benar mendapatkan peringkat teratas se-provinsi, aku rela menyerah masuk universitas ternama, demi masuk ke sebuah universitas di Bandung.
Tetapi aku tetap merasa aku tidak pantas untuknya.
Tidak pantas mencintainya, tidak pantas bersanding dengannya, perasaan rendah diri yang sudah mendarah daging.
Baik kekayaan ataupun status Direktur, semua terasa sama saja, mana mungkin bisa membersihkan rasa rendah diriku?
Aku hanya bisa memaksakan diriku untuk membersihkannya.
Keesokan harinya saat sedang menunggu les, dari kejauhan aku mendengar para karyawati divisi pemasaran membicarakan Luvita.
Ada yang mengatakan dia meminjam uang 400 ribu tapi tidak dikembalikan, ada yang mengatakan saat makan bersama dia tidak bayar, ada yang mengatakan dia kampungan, membeli lipstik ternama yang sudah kadarluasa dan diskon pula, bahkan warnanya adalah warna pink barbie.
Ketika naik ke atas, aku langsung bertemu dengan "tokoh utama" ini.
Belakangan ini aku sering berkomunikasi dengan Theo, ruangan kantorku ada di lantai atas, untuk mempermudah komunikasi dengan divisi permasaran, aku mempersiapkan sebuah bilik kerja di seberang Luvita secara mendadak.
"Heh, Alena."
Dia memanggilku, itu adalah nama yang kukarang secara asal.
"Tas Miu Miu yang ada di mejamu semalam aku pakai karena ingin bertemu klien."
Dia tidak meminta ijin, melainkan memberitahu.
Aku tidak bisa berkomentar apa-apa.
Luvita hanya tersenyum sinis, jarang-jarang dia memuji: "Tiruannya lumayan mirip juga, klien sampai bertanya darimana aku bisa mendapatkan limited edition ini, dia bahkan tidak menyadari kalau ini hanya barang KW."
Aku berterima kasih padanya menggantikan tas Miu Miu-ku.
Kalau Theo tahu tas yang sengaja dia beli ketika liburan di luar negri sampai harus mengantri tiga jam itu disebut sebagai barang KW, mungkin dia akan muntah darah karena kesal.
Aku duduk di bilik kerjaku: "Barangku kamu pakai sembarangan?"
"Memangnya kenapa, kita kan rekan kerja, dipakai sebentar gak akan bikin daging elu hilang sepotong."
"Aku hanya takut kamu menggunakan apa yang tidak seharusnya kamu pakai, dan akhirnya membuatmu kehilangan sepotong daging, lain kali jangan begitu lagi."
"Cih." dia memutar bola matanya.
Untuk menghadapi Luvita ini sama sekali tidak perlu sengaja memikirkan caranya, karena dia sendiri sudah membuat dirinya penuh dengan celah.
"Oh iya, malam ini gue ajak Weldrick buat makan bareng."
Tidak ada angin dan tidak ada hujan dia membicarakan Weldrick, dan nada bicaranya penuh dengan kesombongan.
Aku hanya menjawab "oh" dengan singkat tanpa ekspresi lain.
Seolah takut aku tidak tahu, dia sengaja menegaskan:
"Theo aja gak sanggup buat naklukin Presdir Prime, klien yang belakangan ini sedang membicarakan tentang kerja sama dengan perusahaan kita adalah milik keluarganya. Hah, tetapi dia bersikap begitu berbeda denganku, kami berdua memiliki ikatan yang lebih dari 10 tahun lamanya.
Sejujurnya, aku juga cukup heran.
Weldrick Prime yang biasanya begitu angkuh bagaikan berada di singgasana, hanya saat mendekatiku saja dia turun ke bumi.
Kenapa dia tiba-tiba menambahkan wanita jalang ini ke dalam kontaknya, bahkan bersedia makan malam bersamanya?
Dia tidak hentinya bicara: "Weldrick akan menjemputku langsung dengan mobil Porschenya, menurutmu, kalau Kak Theo sampai tahu, mungkin dia akan segera menyodorkanku ke atas mobilnya?"
Penuh harap, Luvita yang membayangkannya saja sudah tertawa senang.
Kalau terus diam, aku menjadi tidak sopan, akhirnya aku bersuara dan menimpalinya: "Jangan-jangan mawar yang waktu itu juga pemberian Presdir Prime?"
"Hah, mawar bukan apa-apa, kalung clover ini juga pemberiannya."
Setelah dia mengatakannya, tangannya langsung mengusap lagi liontin Van Cleef & Arpels yang sudah hampir mengkilap karena digosoki terus olehnya.
"Ha?"
Aku berpura-pura bingung, "Tapi kan, bukan ayahmu yang..."
Tiba-tiba Luvita tercengang dengan ekspresi wajah yang rumit.
Kocak.
Sepertinya aku ketinggalan ketika dia membagi group sosial medianya.
"Itu... itu... itu kalung yang lain, gue kan punya banyak perhiasan mewah, lu cuma orang yang suka beli barang KW, udah pasti gak bisa ngebedain lah!"
Setelah mengatakannya, Luvita segera pergi dengan tergesa-gesa.
Sorenya, setelah selesai dengan urusan di divisi pemasaran, aku kembali ke ruang Direktur.
Sebelum pergi, kebetulan aku sedang mengatur barang di perusahaan, beberapa perhiasan diletakkan di meja kerja yang ada di seberang Luvita, karena tidak sempat menyimpannya ke dalam gudang, aku hanya meninggalkan label "inventaris perusahaan".
Malamnya ketika aku kembali, aku tersentak.
Seperti dugaanku, namun tetap saja membuat sakit hati.
Didalamnya ada sebuah "barang high class" yang berharga, sebuah kalung permata biru yang harganya mencapai 360 juta ikut hilang beserta kotaknya.
Siapa yang mengambilnya, aku sudah bisa menerkanya.
Bagaimanapun, bagi Luvita, mungkin tidak ada acara lain yang lebih memerlukan barang berharga untuk meningkatkan kepercayaan dirinya dihadapan kakak kelas yang sudah sekian lama tidak berjumpa ini.
Keesokan harinya, Luvita masuk kerja dengan wajah yang pucat.
"Kemarin saat kamu pergi, ada melihat kalung permata biru yang ada di sini tidak?"
Aku sedang merapikan barang-barang ini, melihatnya datang, langsung bertanya dengan tiba-tiba.
Dan ternyata, pertanyaan ini tepat mengenai sasaran.
"Ngapain tanya sama gue?" tidak biasanya suara dia selemah ini.
"Siapa tahu kamu tahu."
Luvita berdiri bagaikan habis tersengat listrik, dia menunjukku dengan mata terbelalak besar.
"Jangan sembarangan memfitnah orang ya! Alena, lu sendiri yang gak ngejaga barang perusahaan dengan benar, jangan coba-coba sangkut pautin ke orang lain ya! Lu yang ngilangin, lu yang harus ganti rugi sendiri!"
Aku belum mengatakan apa pun, tapi Luvita sudah mengamuk duluan.
Dia berkali-kali tersenyum dengan canggung, seolah sedang menguatkan dirinya sendiri:
"Mampus lu, lu cuma anak magang, memang lu mampu ganti rugi? Lu tahu gak kalung itu harganya berapa?"
"Iya..."
Aku menarik nafas dan berdiri dengan tenang, "Mau tidak mau harus ke ruang kontrol untuk mengecek rekaman CCTV."
"C... CCTV? Di sini ada CCTV?"
Dari balik gaunnya yang tipis, aku bisa melihat punggungnya sudah dibasahi oleh keringat dingin.
Ketika melewatinya, aku masih bisa melihat lingkar matanya yang menghitam, pori-pori besar yang terlihat jelas di hidungnya yang berminyak.
Semalam, mungkin bukanlah kencan impian dengan kakak kelas untuk Luvita, melainkan malam panjang yang membuatnya tidak bisa tidur setelah dia menghalalkan segala cara.
Tiba-tiba sebuah tangan yang dingin mencengkram lenganku, tangan yang samar-samar gemetar.
"Jangan."
Luvita berkata dengan suara lemah yang gemetar, kali ini dia akhirnya bicara dengan nada memohon.
"Barang semahal ini, kalau benar-benar hilang, aku tidak akan mampu menggantinya."
Aku melepaskan tangannya.
"Jangan... Alena, jangan pergi..."
Dia mengejarku lagi: "Bukankah hanya sebuah kalung, kalau lu gak bilang gue gak bilang, gak akan ada yang tahu. Tenang aja, gue gak akan ngebocorin ini, kita anggap tidak ada kejadian ini..."
Aku menghentikan langkahku, hanya menatapnya begitu saja.
Menikmati keruntuhannya dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia bagaikan baby rose yang layu, kering, putus asa, dan jelek.
Dulu, ketika kakinya menginjak wajahku, aku juga begitu.
Ketika itu kenapa dia tidak membiarkan kejadian itu?
Setelah bosan melihatnya, aku mendorongnya, dan berkata dengan datar.
"Tidak bisa ditahan, gudang punya catatan, harus menemukan siapa orang yang terakhir kali mengambil kalung."
Ketika mendorongnya, aku baru menyadari kalau dia sudah begitu lemah, lemah sampai begitu ringkih.
Luvita tidak lagi mencegahku.
Dia bagaikan tubuh tidak bernyawa yang tidak bisa melangkah lagi.
Sampai aku sudah berjalan belasan langkah, dia tiba-tiba berteriak dibelakangku: "Berhenti!!"
Didalam teriakannya, ada seruan yang begitu mendalam, teriakan yang diiringi oleh wajah yang geram bagaikan binatang buas yang mengamuk.
Satu seruan demi satu seruan: "Jangan pergi! Berhenti! Lu gak boleh pergi! Gua bilang gak boleh pergi!"
Ruangan kantor yang awalnya gaduh mendadak menjadi hening, yang terdengar hanya nafas Luvita yang terengah.
Para karyawan yang sedang sibuk bekerja ada yang celingukan, ada yang menunduk, semua tenggelam dalam keheningan seketika.
Aku berbalik: "Kenapa tidak boleh pergi?"
Setelah sekian lama berlalu, akhirnya giliranku bertanya padanya.
"Karena, itu kan lu yang nyolong?"
Reaksi yang begitu besar akhirnya mengejutkan divisi HRD.
Juga Theo yang sedang membicarakan kerja sama di ruang rapat, bahkan rekan bisnis tersayangku... Weldrick Prime.
"Gak apa-apa?"
Aku menghindari sorot matanya yang penuh perhatian, namun berdiri disampingnya dengan patuh.
Setelah memahami kronologi singkatnya, ekspresi wajah Theo terlihat begitu buruk, setelah melihat aku mengangguk pelan, dia baru memberi isyarat pada anggota HRD dengan tegas.
"Lapor polisi saja."
Wajah Luvita langsung pucat pasi, dia menarik lengan baju Theo dan memperlihatkan senyum yang terlihat begitu buruk.
"Ga... gak perlu lah. Kak Theo, bukankah kakak sangat melindungi Alena? Kalau benar-benar memanggil polisi, maka kejadian Alena menghilangkan barang akan sulit untuk diselesaikan..."
Sudah seperti ini dia masih berakting.
Aktingnya membuat semua orang mengerutkan alis, hanya dirinya yang masih begitu yakin.
Theo menepis Luvita dengan muak: "Siapa yang menghilangkannya, kita cek rekaman CCTV pasti akan kelihatan. Apalagi..."
Dia menarik panjang ucapannya sambil melirik ke arahku untuk meminta kepastian.
Aku tersenyum dengan tenang.
"Apalagi, jangankan sebuah kalung..."
Theo menunjukku, lalu melanjutkannya dengan senyum dingin, "Alena, meskipun dia kehilangan 10 kalung, atau bahkan 100 kalung, oh gak, meskipun dia menghilangkan seluruh isi gudang, menghilangkan seluruh gedung ini, melempar aku keluar sekarang juga, atau bahkan melempar keluar Tuan Weldrick Prime yang terhormat pun, dia tidak akan mengalami masalah apa pun."
Weldrick berdehem, dia tidak ingin dilempar keluar.
Luvita bingung.
Otaknya berputar dengan cepat, alisnya yang mengkerut ketat tiba-tiba merenggang, bahkan muncul rasa senang juga harapan.
Dia tersenyum sambil menunjuk dirinya sendiri: "Kalau aku? Bagaimana kalau aku? Kalau aku yang menghilangkannya, apakah tidak akan mengapa juga?"
Theo tidak menggubrisnya, dia memberi isyarat kepada bagian HRD dengan mengangkat dagunya:
"Lapor polisi. Toh kamera CCTV pasti merekamnya, kalau muncul pencuri di perusahaan, biar hukum yang memutuskan."
"Jangan lapor polisi, jangan lapor polisi!"
Melihat ucapannya tidak membuahkan hasil, dia kembali memohon pada Weldrick: "Kak, kakak bicara dong..."
Weldrick mundur satu langkah: "Lain kali, jangan sampai gue melihat lu ngebentak dia lagi, paham?"
"Apa?"
"Gue gak sesabar dia, apa pun akan gue lakukan sesuai dengan aturan, gak perduli siapapun itu."
Weldrick menundukkan kepala dan memutar jam tangannya, bahkan menatapnya pun enggan, "Saat ini, seharusnya elu memohon gue buat jangan bicara."
Ucapannya begitu datar, namun cukup untuk membuat Luvita semakin panik.
Weldrick pasti melihat Luvita yang naik mobil Porshce dengan mengenakan kalung permata biru, namun dia tidak perlu mengatakannya, bukti rekaman CCTV jauh lebih kuat dari apa pun.
Apalagi tatapan matanya saat ini hanya tertuju pada telapak tanganku, tatapannya begitu tajam ketika melihat bekas sayatan pisau yang ada di atasnya.
Luvita kehabisan akal.
Melihat kondisi saat ini, dia akhirnya mengaku:
"Iya, kemarin gua ada coba pakai kalung itu, lalu kalung itu menghilang begitu saja, gue juga gak tahu gimana hilangnya... tapi gua bukan, gua beneran bukan pencuri..."
Theo tidak bergeming.
"Iya atau bukan kami tidak bisa memutuskan, polisi yang akan memeriksanya."
Konflik terlihat memanas dan buntu, sampai...
"Bukk!"
Dihadapan semua orang, siapa yang menyangka Luvita akan berlutut.
"Kumohon, tolonglah..."
Setiap kali memohon satu kali, dai bersujud satu kali, sampai kepalanya membentur lantai marmer.
"Kalau lapor polisi habislah gue, hidup gue bakal hancur, 360 juta, kalung itu harganya 360 juta, walaupun gue dijual juga gak akan cukup buat ngegantinya..."
Akhirnya, kali ini gantian Luvita yang berlutut.
Aku sudah menunggu 10 tahun, akhirnya berhasil menunggu hari ini.
Seisi kantor menyaksikan adegan yang begitu berlebihan ini.
Mereka bersemangat, penasaran, sinis, mereka berbisik, diam-diam tertawa, menganggap semuanya sebagai pertunjukan opera, atau topik pembicaraan.
Situasi ini begitu tidak asing bagiku.
Ketika itu, ibuku berlutut di depan kelas sambil berlutut, di dalam kelas juga ada yang tertawa dan menjadikannya lelucon.
Gerakannya begitu besar dan suara benturan kepalanya begitu nyaring.
Namun orang-orang hanya memandang sebelah mata, bahkan enggan melihatnya, hanya aku yang menatap ibuku.
Tanda lahir merah di keningnya ikut naik turun bersama gerakannya, bagaikan pisau yang naik turun menikam dadaku.
Namun pada akhirnya sujud ibuku tidak berhasil mendapatkan belas kasihan wali kelas, malah menghancurkan harga dirinya, bahkan sampai viral di Instagram, membuatnya kehilangan pekerjaan, dan terpaksa pergi meninggalkan kampung halamannya.
Sampai hari ini, sudah begitu lama berlalu, ibu sudah tua namun tetap tidak bisa menghindari mimpi buruk itu, mengingat penghinaan dan juga ejekan ketika itu membuatnya terbangun dengan histeris dan berdebar.
Dia harus melewati harinya dengan bergantung pada obat tidur, pernah suatu kali, "tidak sengaja" meminum puluhan butir.
Aku mengorek kerongkongannya, dia malah mencengkram tanganku sambil meminta maaf: "Nak, semua salah mama yang tidak berguna, salah mama miskin, mama bukan koordinator pendidikan, mama punya sebuah tanda lahir yang jelek..."
Tidak, Luvita sama sekali tidak mirip dengan ibuku.
Itu salahnya sendiri, semua karena perbuatannya sendiri, dia adalah dalangnya!
Akhirnya, Luvita yang berlutut mengungkapkan kebenaran kalung.
"Gua memang suka pamer, awanya gua niat pinjam aja, cuma pengen pakai itu buat ketemu kakak, tiba-tiba dia hilang..."
"Lalu gua balik buat nyari, gua udah nyari ke semua jalan tapi gak ketemu..."
"Kalian percayalah sama gua, gua benar-benar bukan maling..."
Dulu aku juga pernah bilang kalau aku bukan pencuri.
Namun penghapus papan tulis tetap mendarat di wajahku, surat Drop Out tetap tiba di rumahku keesokan harinya.
"Kamu bukan maling? Gak mungkin."
Aku melepaskan Weldrick dan berjalan ke hadapannya:
"Sama seperti cerita 'pencuri' semasa SMA versi kamu, semua orang mengatakan kalau dia pencuri, bagaimana mungkin dia bukan pencuri?"
"SMA... semua orang bilang?"
Dia bergumam lalu menepuk kepalanya, "Iya, tetapi dia juga bukan pencuri, gua juga bukan! Ada yang sengaja mencelakainya! Kejadian ini juga pasti ada yang sengaja ngejebak gua!"
Weldrick langsung menjadi tegang: "Siapa? Siapa yang mencelakai siapa?"
Jawaban ini, jauh lebih dinantikan oleh Weldrick, menantikannya mengatakannya secara langsung.
Sorot mata Luvita penuh dengan ketakutan.
Setelah sesaat, dia melontarkan satu kalimat: "Kak, kalau aku memberitahumu kejadian sebenarnya yang membuat Lisa dikeluarkan dari sekolah saat itu, kamu akan membantuku, tidak akan membiarkan mereka lapor polisi dan menangkapku, iya kan?"
Weldrick mengetatkan bibirnya dengan wajah yang begitu tajam: "Siapa yang mencelakainya?"
"... Iya kan? Kak, iya kan?"
Luvita bagaikan menemukan harapan terakhir, bertanya tanpa henti.
Aku menggantikan Weldrick menyetujuinya: "Kamu jawab pertanyaan Presdir Prime, kalau Presdir Prime puas, maka tidak akan ada orang yang berani mempersulitmu di perusahaan ini."
"Benarkah?"
Theo mengangguk: "Iya."
"Iya... ketika itu memang ada yang sengaja mencelakainya, memasukkan uang 400 ribu ke dalam tasnya..."
Weldrick menatapnya tanpa mengatakan apa pun, terlihat jelas ini bukan fakta lengkap yang ingin dia dengar.
Setelah terdiam cukup lama, Luvita memejamkan mata dan mengetatkan rahangnya.
"Aku! Aku yang sudah menjebak Lisa, dia bukan pencuri, dia tidak pernah menjadi pencuri!"
"Minta maaf padanya" perintahku.
Luvita mengangkat wajahnya dengan ekspresi tidak percaya.
"Luvita, dengarkan baik-baik, aku tidak akan mengulangi ucapanku untuk kedua kalinya."
Aku mengatakannya dengan tegas kata per kata: "Minta maaf pada Lisa dan juga ibunya. Jelaskan semua yang kamu perbuat satu per satu, lalu meminta maaf dengan tulus kepada mereka."
Ketika Luvita mengatakannya, semua orang yang ada disekeliling mengeluarkan ponsel.
Semua orang dalam mode hening secara spontan, tidak ada suara jepretan foto yang gaduh.
Hanya ketika dia menceritakan bagaimana dia dengan sengaja menyebarkan video ibuku yang berlutut membuat orang berdesis tanpa sadar.
"... Gue meminta maaf pada Lisa dan juga ibu Lisa. Menghancurkan hidup mereka, sorry banget..."
Setelah mendengar ucapannya yang terakhir, aku bagaikan menurunkan beban yang berat, yang diturunkan adalah amarah yang membuat sesak juga pengap selama 10 tahun, dia membelenggu hatiku juga hidupku.
Aku meninggalkannya, menahannya sampai sekarang, yang kuinginkan sama sekali bukanlah balas dendam, karena dia tidak pantas.
Yang kuinginkan adalah terkuaknya kenyataan yang sama sekali tidak diperdulikan oleh siapapun, dimana akhirnya aku punya kemampuan untuk berdamai dengan diriku sendiri.
"Sudah, pulanglah, tidak akan ada yang lapor polisi."
"Benarkah?"
Aku menatapnya dari ketinggian, menatap Luvita yang berlutut di lantai dengan nada bicara yang begitu tenang namun tidak bisa dibantah.
"Perusahaan akan mendiskusikan cara menyelesaikan masalah ini, kamu datang tiga hari kemudian di jam 10 pagi, kamu akan kami beritahu keputusan akhir kasus ini."
Dia berdiri dan pergi dengan tergesa-gesa.
Setelah berlari beberapa langkah, Luvita seperti teringat sesuatu, dia menghentikan langkahnya dan mengamatiku dari atas sampai bawah.
Rasa terkejut dan rasa takut yang muncul secara tiba-tiba seolah mencekiknya sampai menghentikan nafasnya.
"Kamu... siapa kamu?"
Tanyanya.
Tetapi dia tidak pantas mendapatkan jawabanku.
Setelah Luvita melarikan diri, sekujur tubuhku bagaikan lemah tidak bertenaga dalam waktu sekejap.
Weldrick yang melihat ini langsung memapahku.
Aku menghindari tatapan matanya seperti biasa.
"Semalam kamu mengajak Luvita makan karena ingin menanyakan kejadian aku dikeluarkan sekolah dengan jelas, iya kan?"
"Hmm."
Weldrick tersenyum cerah, "Aku sungguh tidak berguna, Dea. Untuk mencaritahu kejelasan satu hal saja aku membutuhkan waktu 10 tahun."
10 tahun.
Apakah 10 tahun itu waktu yang panjang?
Aku juga membutuhkan waktu 10 tahun untuk keluar dari bayangan bullying.
Tetapi betapa beruntungnya aku?
Ada berapa banyak orang yang menjalani hidupnya dengan bekas luka di tubuh dan juga jiwanya seumur hidup karena sebuah bullying, bahkan selamanya tidak bisa melepaskan diri.
Ada juga orang yang tidak memiliki waktu 10 tahun, hidup mereka terhenti di sebuah siang hari yang cerah, jelas-jelas masa muda yang cemerlang, namun berakhir di sana.
Dan pelaku bullying bisa tumbuh dewasa dengan baik, lalu tenggelam di tengah lautan manusia, menghapus kejahatannya dengan mudah.
Aku bukan Bunda Maria yang suci, aku tidak setuju.
Siangnya Theo menemuiku: "Anda berencana memintanya mengganti kalung permata biru itu dengan cara apa?"
"Sudahlah."
"Hah? Itu 360 juta loh, dibiarkan begitu saja?"
Dia mendekat ke mejaku dan tertawa dengan lepas, sama sekali tidak ada sedikitpun keraguan.
Aku berani bertaruh, sejak hari pertama Theo sudah tahu apa yang ingin kulakukan, dia membantu dengan tepat dan pas.
"Hmm, sudahlah."
"Iya juga, sebuah perhiasan imitasi yang tidak sengaja di rusak oleh penyiar, beberapa ratus ribu saja sudah cukup. Kalau Presdir Deandra kita ingin meminta orang mengganti rugi, memang kurang meyakinkan."
Theo menaikkan suara dan membeberkan skenarioku.
Dua hari yang lalu, aku menyadari kalau kalung permata biru imitasi yang biasa dipakai oleh penyiar rusak rantainya, sering jatuh sendirinya.
Awalnya kalung palsu itu adalah barang imitasi yang sengaja kami buat untuk mengantisipasi hilangnya yang asli, meskipun biaya pembuatannya murah, namun terlihat begitu mirip dengan perhiasan mahal high class yang asli.
Lalu apa yang kulakukan?
Aku tidak melakukan apa pun, hanya meletakkannya di atas bilik mejaku saja.
Namun itu saja sudah cukup, cukup untuk membunuh hati Luvita yang suka pamer.
Dia selalu mengejekku memakai barang KW, pada akhirnya malah tumbang di atas satu-satunya "barang KW" milikku.
Tiga hari kemudian, Luvita datang ke perusahaan untuk menerima hasil perundingan.
Yang datang bersamanya ada ibunya.
Benar, dia adalah Koordinator Pendidikan yang pernah "berkuasa" dulunya.
Yang terpajang dihadapan Luvita adalah blazer milikku yang pernah disiram tinta oleh Luvita, beserta struk ganti rugi benda bersangkutan.
Juga sebuah daftar yang mencatat semua pelanggaran yang dia buat di perusahaan.
Yang paling keterlaluan adalah menggunakan dana perusahaan sebanyak 14 juta dan belum dikembalikan hingga sekarang.
Hari itu adalah hari dimana aku mendengar dia ditelepon oleh debt collector ketika di toilet.
"Presdir Deandra mengatakan, masalah kalung untuk sementara tidak akan dipermasalahkan, tidak perlu diganti."
Theo duduk di atas kursi dan menatapnya dengan dagu terangkat.
Luvita hampir menangis karena tertawa.
"Tetapi, rekaman CCTV dan juga bukti terkait akan kami simpan, tetap memiliki hak untuk meminta pertanggungjawabanmu."
Ibu Luvita tidak mempan dengan cara ini, dia mengangkat alisnya dan membaca dokumen dihadapannya berkali-kali lalu melemparkannya di atas meja.
"Aku sudah membacanya, semua ini bukan hal yang besar."
Dia begitu angkuh, dengan tangan yang menyilang di dadanya, "Luvita masih anak-anak, perusahaan kalian begitu besar, gak usah mempermasalahkannya."
Anak kecil yang usianya 26 tahun.
Lalu dia mengangkat bajuku: "Ini harganya 80 jutaan? Baju apaan sampai semahal itu, benang emas saja tidak ada, kalau kalian ingin memeras putriku seperti ini, aku akan melaporkan kalian dengan tuntutan pemerasan!"
"Silahkan saja." Theo tersenyum sambil mempersilahkannya.
"Begini saja, aku akan memberikan nominal, kita anggap semua hal remeh ini impas."
Ibu Luvita mengangkat kedua lima jarinya tanpa ragu, "10 juta."
Bercanda, dana yang dia ambil dari perusahaan saja jauh melampaui angka itu. Secara teori, kalau lebih dari tiga bulan tidak dikembalikan, maka harus menerima sanksi.
"Ma..."
Tidak disangka Luvita menarik ujung baju ibunya dengan wajah menunduk, "Perhatikan sikapmu, kalau mereka ingin lapor polisi lagi..."
Luvita langsung memasang wajah tersenyum, berkata dengan gemulai: "Kak Theo, bagaimanapun aku sudah bekerja beberapa lama di sini, memberikan dedikasi yang tidak sedikit untuk perusahaan. Bukankah sebelumnya kamu mengatakan Presdir menyukaiku, boleh gak aku bicara dengannya, jangan terlalu mempermasalahkannya."
Theo mengangkat alisnya, dia merasa puas juga lucu: "Kamu ingin bertemu Presdir?"
"Iya, iya, katanya dia sangat baik."
Tumben, bukan kau selalu mengatakan Presdir itu wanita tua.
"Orang selevel kamu ini..." Theo tersenyum dengan sinis, lalu berkata dengan sangat tegas, "Sama sekali tidak pantas."
Setelah mengatakannya dia menunduk dan melihat jam tangannya: "Tapi, hari ini memang tidak bisa. Hari ini Presdir sedang berkencan dengan Tuan Weldrick."
Mendengar ini Luvita benar-benar terlihat kecewa, lalu bergumam dengan suara lirih: "Kenapa kakak senior bisa menyukai wanita tua?"
Luvita dan ibunya begitu keras kepala, sampai Theo memanggil pengacara untuk mengurusnya dengan jalur hukum.
Ibu Juvita tidak pernah berhadapan dengan pengacara, begitu mendengar tentang lapor polisi dan pengadilan, meskipun kakinya lemas, namun masih begitu angkuh.
Akhirnya dia sekalian saja menarik Luvita kabur bersamanya.
Ketika melewati area karyawan, tidak lupa menghancurkan sebuah lemari kaca untuk melampiaskan kemarahan.
Karena meskipun nilai ganti ruginya tidak besar, hanya sekitar puluhan juta saja, namun ini sudah cukup untuk membuat Luvita terbelit hutang dan membuat keuangannya memburuk.
Saat ini aku baru menyadari, dulu, Luvita pernah menggunakan statusnya sebagai putri koordinator pendidikan untuk berbuat semena-mena, bersikap angkuh dan sombong.
Namun kenyataannya, dia juga hanya seorang gadis yang tumbuh di kota kecil sebuah provinsi.
Sebelum dewasa, dia tidak pernah melihat dunia luar, tidak pernah ke taman bermain atau bioskop, naik pesawat adalah suatu hal yang harus dia pamerkan, McD adalah makanan mewah.
Ternyata, gunung raksasa yang hampir menindihku sampai hampir tumbang ini hanyalah sebutir debu yang sangat kecil.
Ketika turun sampai di bawah, Luvita melihat aku sedang berada di depan pintu lobby perusahaan.
Dia segera maju dan berkata dengan nada sinis: "Manusia KW, bangga lu setelah ngedepak gue dari perusahaan?"
Aku sama sekali tidak ingin meladeninya, karena orang yang kutunggu sudah tiba.
Mobil Porsche yang begitu tidak asing berhenti di depan gedung penerbit, Weldrick berjalan turun dari mobil.
Pertama kalinya aku mengulurkan tangan dan menerima bunga baby rose yang ada ditangannya.
Luvita begitu terkejut sampai membelalakkan matanya, dia melihat Weldrick lalu melihat aku si wanita tua ini.
"Ayo, Dea, naiklah."
Setelahnya aku menegaskan: "Aku tegaskan dulu ya, aku tidak menjanjikanmu apa pun, jangan berpikir terlalu jauh, aku hanya pergi ke kantormu untuk membicarakan kerja sama denganmu."
"Iya tahu." Weldrick tersenyum, entah apa yang membuatnya senang, "Silahkan Presdir Deandra."
Mulut Luvita yang melihat dari samping sampai menganga mendengar ucapan ini, tangannya menunjukku sambil bergumam tidak jelas.
"Lu... Lu... Lu Aleni Deandra... Presdir Deandra? Enggak, enggak mungkin! Lu bukan Presdir Deandra... Lu Alena, elu Alena si anak magang!"
Aku mengabaikannya, dia malah maju dan menarikku.
Weldrick segera menepisnya, lalu menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, setelahnya menutup pintu dengan begitu gagah.
"Gue paham, gue paham sekarang!"
Luvita masih tidak menyerah, tiba-tiba dia tertawa dengan keras, lebih menakutkan daripada menangis, lalu memukuli pintu mobil bagaikan zombie.
"Pasti elu, semua setingan elu, elu ngejebak gue! Lu sengaja bikin jebakan buat celakain gue!"
"Luvita, gak ada orang yang menyeting jebakan buat kamu, membuat jebakan mematikan yang tidak ada jalan keluar sama sekali."
Aku menurunkan jendela mobil, aku ingin dia mendengar ucapanku dengan nyata dan jelas.
"Sebaliknya, aku tidak melakukan apa pun, aku bahkan berusaha menghadangmu masuk ke dalam perangkap. Namun kamu sendiri yang berkali-kali menerobos dan sengaja masuk, kamu mau menyalahkan orang yang mencegahmu? Bukankah seharusnya kamu menyalahkan dirimu sendiri?"
"Siapa lu, kenapa lu ngelakuin semua ini, sebenarnya siapa lu..."
Rambutnya berantakan dan bertanya dengan nada yang begitu galak.
Namun tidak ada yang menjawabnya lagi.
Weldrick menyalakan mobil, Luvita mengejar dari belakang dengan begitu putus asa, baru mengejar beberapa langkah sudah terjerembab, dia menangis sambil memukuli aspal jalanan.
Hidup bagaikan anak berusia 26 tahun.
Kemudian, kamu menjalankan prosedur hukum.
Dan pada saat bersamaan, Luvita beberapa kali mencari pekerjaan lain, namun perusahaan-perusahaan itu diam-diam mencari tahu, ketika mengetahui catatan buruknya di perusahaan kami, semua menolak lamarannya.
Apa daya, ibunya membawanya kembali ke provinsi dimana aku tumbuh besar.
Namun semuanya sudah tidak bisa kembali lagi.
Video Luvita yang berlutut meminta maaf di kantor, entah disebarkan oleh siapa di internet.
Kota provinsi yang yang sebesar itu, dalam waktu singkat tidak ada yang tidak tahu akan hal itu, membuat Luvita tidak berani keluar rumah sama sekali.
Kejadian ini juga terkait dengan perbuatan membocorkan soal ulangan kepada murid yang pastinya melanggar aturan sekolah yang dilakukan ibunya, dan oleh karena itu membuatnya juga kehilangan pekerjaan sebagai koordinator pendidikan.
Masalah belum berakhir, sebenarnya Luvita sudah lama memiliki hutang online, bunga yang bergulung menjadi bola salju yang tidak mampu dia tanggung.
Kemudian demi gengsi, dia membeli kalung Van Cleef & Arpels, membeli tas bermerk, membuat jumlah hutangnya semakin membengkak.
Kabarnya para debt collector itu mengejar sampai ke rumahnya, Luvita kabur, namun ibunya tidak berhasil kabur, ketika mau melompat dari jendela satu kakinya patah karena terjatuh.
Namun dia juga tidak bisa kabur jauh, tidak lama berselang, surat panggilan dari pengadilan muncul di hadapannya.
Yang harus dia tanggung, selain uang ganti rugi dalam jumlah yang besar, ada juga hukuman karena menggunakan uang perusahaan...
Tidak ada orang yang ingin menghancurkan hidupnya, selain dirinya sendiri.
Ibuku juga melihat video permintaan maaf Luvita, dia tidak bergeming, hanya mengibaskan tangannya dan berkata kalau semua sudah lama berlalu, dia sudah lupa, untuk apa melakukan ini.
Namun, sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mendengarnya terbangun tengah malam dengan teriakan histeris, tidak pernah lagi melihatnya meminum obat tidur.
Dia sudah beramai, bukan dengan pelaku tindak kekerasan, melainkan dengan luka dalam dirinya.
Kalau begitu semua yang kulakukan sangat berarti.
Tidak lama berselang, aku menerima sebuah undangan.
Itu adalah SMA yang memberikan begitu banyak kenangan buruk untukku.
Kepala sekolah menyatakan dengan tulus dalam suratnya, dia menarik kembali piagam yang dia berikan pada Luvita ketika itu, juga keputusan mengeluarkanku dari sekolah sebagai hukuman.
Mereka berulang kali meminta maaf padaku, atas semua perlakuan tidak adil yang kuterima, meskipun sudah begitu lama berlalu, mereka tetap mengharapkan maaf dariku.
Sehingga mengundangku kembali ke sekolah, untuk berpidato dihadapan para murid unggulan yang lulus.
Aku setuju untuk hadir.
Meskipun aku tahu mereka tidak tulus, itu karena kejadiannya sudah tersebar luas, dan kebetulan aku sudah sukses.
Selama 10 tahun ini, pasti aku bukan korban yang pertama, dan juga bukanlah korban terakhir.
Di dalam aula, murid-murid dibawah sana berusia sama seperti diriku di 10 tahun yang lalu.
Diantara mereka ada yang juga sedang mengalami hal yang buruk, sedang diterpa badai, mengalami kekelaman.
Kelak, membutuhkan waktu yang tidak terhingga untuk mengikis seluruh luka dan juga rasa sakit.
Kehidupan bukanlah artikel di internet, mereka tidak memiliki orangtua yang kaya dan berkuasa, tidak mendapatkan pangeran yang jatuh dari langit, tidak ada orang disisinya yang bisa menjadi juru selamatmu.
Namun, suatu hari nanti.
"Cahaya pasti akan kembali menyinari hidupmu, dan dirimu adalah cahaya itu sendiri."
Ini adalah kalimat terakhir yang kuucapkan dalam pidato.