Wabah Zombie: Aku Punya Cheat Setelah Reinkarnasi
Author: Siskrolis
Mind-blowing
Hanya tersisa dua hari sebelum gelombang mayat hidup datang.
Sambil berurusan dengan teman sekamarku yang telah lama menindasku, aku berusaha untuk membangun tempat berlindung untuk hari kiamat. Seperti yang diketahui semua orang, aku bukan satu-satunya yang hidup kembali.
"Vicky, keluar!" Suara keras tiba-tiba terdengar.
Aku berjalan keluar dari kerumunan dengan gemetar sambil menatap instruktur yang tinggi dan kekar di depan.
"Kau membuat tiga kali kesalahan." Instruktur berkata dengan wajah muram, "Hukumannya lari sepuluh putaran, sedangkan yang lainnya sudah boleh pergi makan."
Ada beberapa gadis yang tertawa di belakang.
Aku menundukkan kepalaku dan berjalan keluar dari antrian, kemudian mulai berlari di lapangan. Sambil berlari, aku mempercepat langkahku dan bergegas keluar dari lapangan untuk menuju ke arah asrama.
Raungan instruktur terus terdengar dari belakang, "Apa yang kau lakukan? Kembali ke sini!"
Kembali? Mustahil aku akan kembali.
Bagaimanapun, aku sudah pernah mati sekali.
Saat itu, aku ketinggalan jam makan setelah dihukum lari sepuluh putaran dan setelah kembali ke asrama juga diejek oleh para siswa anak orang kaya di kelas.
Keluargaku berasal dari pedesaan, jadi mereka mengolok-olok kotak Bedak Hoitongku yang hanya seharga 10.000 rupiah dari tas anyaman yang kubawa ke sekolah, bahkan sampai mengolok-olok tentang kakekku yang merupakan seorang pemulung sampah. Aku yang bisa memendam amarah pada akhirnya bertengkar dengan mereka.
Ketika guru datang, para gadis di asrama langsung menuduhku sebagai pembuat onar, jadi tidak ada gunanya bagiku membela diri. Pihak sekolah mengeluarkan hukuman dengan menegurku.
Aku baru dua minggu masuk sekolah, tapi hatiku sudah terasa kosong saat itu. Jika kemiskinan adalah sebuah dosar, maka prasangka dunia adalah pisau baja yang membunuh manusia.
Aku yang baru saja keluar dari kantor sambil membawa surat peringatan, menemukan bahwa instruktur kelas kami sedang memeluk primadona kelas kami di pintu...
Instruktur sangat mendalami aksinya, sedangkan primadona kelas juga memiringkan kepala dan tampak menikmatinya.
Hubungan antara kedua orang ini tampak tidak biasa.
Sebelum aku sempat mempertimbangkan untuk menghindar atau tidak, instruktur sudah mengangkat kepalanya.
Dia membuka mulut ke arahku dengan salah satu telinga primadona kelas yang masih menjuntai di antara gigi merahnya.
Begitu tangannya lepas, seluruh tubuh primadona kelas langsung jatuh dengan wajah yang hancur penuh darah.
Reaksi pertamaku adalah pembunuh, sampai instruktur bergegas ke teman sekelas lainnya...
Ada yang tidak beres dengan instruktur, mata instruktur sangat merah, dan ada lubang seukuran kepalan tangan di perutnya. Mana mungkin seorang manusia masih bisa hidup dengan luka yang seperti itu?
Para siswa di sekitar ketakutan hingga suara mereka melengking, "Lari! Zombie, zombie datang..."
Semua orang melarikan diri dengan panik, sedangkan aku bersembunyi di balik pintu sambil melihat primadona kelas yang sudah terbaring tak bergerak di tanah tiba-tiba bereaksi.
Detik berikutnya, dia melompat dengan kuat, menyeret dan menggigit seorang anak laki-laki tinggi di sampingnya.
Anak laki-laki itu tinggi dan gemuk, tapi bagaikan seekor anak ayam tak berdaya saat berhadapan dengan tikamannya.
Setelah selesai menggigit, sebuah luka berbentuk lubang besar muncul di dada anak laki-laki itu, dan seluruh tubuhnya juga terlempar keluar seperti kain bekas yang tak berguna lagi.
Aku ketakutan hingga terus berlari dan pada akhirnya berhasil kembali ke asrama, tapi aku justru didorong keluar oleh beberapa gadis di dalam asrama.
"Kenapa kau ke sini?"
"Memangnya kau layak masuk bersama kami? Dasar anjing dari pedesaan."
"Pergi cari kakek pemulungmu sana."
Aku menangis dan memohon pada mereka, tapi tidak ada yang mau membuka pintu untukku.
Kemudian, teriakan zombie kembali terdengar dari tangga.
Zombie penuh darah bergegas ke arahku secara membabi buta sambil memamerkan gigi.
Pada saat kritis, pintu kamar tidur di belakangku terbuka, dan seorang gadis tiba-tiba menarikku masuk.
Itu adalah kakak tingkat tahun kedua, namanya Rani. Dia dijauhi karena menderita penyakit vitiligo, jadi selalu tinggal sendirian di asrama selama ini.
Kami belum pernah berbicara sepatah kata pun sebelum ini, tapi dia adalah satu-satunya yang menyelamatkanku pada saat kritis.
Sayangnya … saat itu kami kekurangan makanan, jadi setelah bersembunyi selama tiga hari, kami benar-benar tidak tahan lagi dan memutuskan untuk mencari makanan di luar. Namun saat kami berjalan keluar dari asrama, rombongan besar zombie tiba-tiba keluar dari tempat yang gelap.
Kakak tingkat itu masih ingin menyelamatkanku di saat-saat terakhir, tapi sudah terlambat … baik dia maupun aku tidak memiliki kemungkinan untuk melarikan diri ketika segerombolan zombie menyerbu kami.
Kami pada akhirnya mati dimakan para zombie.
Sebelum meninggal, kata-kata terakhir kakak tingkat itu adalah, "Terima kasih sudah bersamaku akhir-akhir ini, kau adalah satu-satunya teman yang kumiliki semenjak masuk kuliah."
Memikirkan hal ini, aku berlinang air mata.
Aku meninggal secara tragis dalam kehidupan sebelumnya, dan dalam kehidupan kali ini aku harus bertahan dan melindungi kakak tingkat itu.
Aku bergegas ke lantai lima dan mengetuk pintu Rani dengan kuat.
Pintu terbuka setelah beberapa saat, dia menatap kosong diriku dengan kotak makan siang di tangan.
Rani yang sekarang tidak mengenalku sama sekali. Tapi tidak apa-apa……
Aku mendorongnya masuk dan menutup pintu dengan rapat, "Bisakah kamu membantuku? Aku ingin kerja sambil kuliah. Rencanaku mau buka toko kecil di gedung asrama ini, jadi bisa temani aku beli barang-barangnya?"
Dia menatapku dengan heran, "Aku?"
"Iya kamu. Sudah kutanya teman-teman sekelas, tapi tidak ada yang mau, jadi bisa tolong bantu aku?" Suaraku sampai gemetaran.
Aku sudah memikirkan kemungkinan yang tak terhitung jumlahnya. Bisa saja dia menolak, mengabaikan, menyuruhku cari dosen, atau menganggapku orang gila.
Tapi … dia akhirnya mengangguk, "Oke, apa yang bisa kubantu?"
Aku bersemangat dan meletakkan kartu bankku di atas meja, "Ini adalah semua biaya hidupku, total 6 juta rupiah, aku harus membeli semuanya dalam dua hari."
Aku tahu uangnya sangat sedikit, tapi hanya ini yang bisa kakekku berikan.
Orang tuaku meninggal lebih awal jadi kakekku mengandalkan pekerjaannya sebagai pemulung sampah untuk menanggung biaya kuliahku, jadi setelah membayar uang kuliah, hanya ini yang tersisa.
Aku izin dengan alasan flu berat.
Kami pergi ke supermarket di luar kampus saat siang dan meminjam gerobak untuk membawa pulang berkotak-kotak mie instan, air mineral, roti, dan sosis dalam jumlah yang banyak, 4 juta rupiah dihabiskan dalam sekejap.
Kenapa memilih untuk taruh di asrama kakak tingkat? Alasanku karena dia tinggal sendiri dan tempatnya lebih luas dan begitu menghasilkan uang aku akan memberinya komisi.
Rani setuju tanpa banyak bertanya.
Kami memindahkan tempat tidur dan mengubahnya menjadi dua rak bertingkat agar barang-barang tetap tersusun rapi.
Setelah menyelesaikan semua ini, jam sudah menunjuk pukul enam sore, dan kami bergegas ke kantin untuk makan karena sudah lapar.
Setelah melakukan pekerjaan fisik sepanjang hari, kami masing-masing memesan semangkuk besar nasi goreng dan makan dengan puas.
Saat sedang melahap makanan, beberapa gadis seasrama datang.
Primadona kelas berjalan dengan pinggul yang bergoyang dan memasang wajah penuh mengejek, "Bukannya ini Vicky si anak miskin? Sepertinya kau tak terlihat sakit sama sekali."
Dua lainnya mulai mengejek kami juga...
"Sakit tapi masih makan sebanyak ini, apa jangan-jangan kena penyakit hipertiroidisme."
"Ngomong-ngomong Vicky dan Rani cukup serasi juga, satu miskin dan satunya lagi jelek."
"Hahaha, cukup cocok."
Terdengar tawaan dari mereka yang semakin keras dan tinjuku juga sudah terkepal erat di bawah meja.
Tepat ketika aku hampir mengamuk, kaki Rani tiba-tiba menendangku di bawah meja. Dirinya mengerutkan kening sambil menatapku dan menggelengkan kepala.
Aku langsung menjadi tenang kembali. Virus zombie akan menyebar dalam satu setengah hari, mengapa harus repot-repot memprovokasi orang-orang ini dan menimbulkan masalah? Bagaimanapun, setiap menit yang tersisa sangat penting sekarang.
Jadi kami tetap diam dan membenamkan kepala untuk makan, menganggap empat orang ini seperti udara yang lewat saja.
Mereka saling memandang sejenak. Melihat kami tidak menanggapi sama sekali, mereka pada akhirnya merasa bosan dan pergi setelah memaki beberapa kata lagi.
Setelah terdiam lebih dari sepuluh detik, Rani tiba-tiba berkata, "Sulit untuk sabar, kan? Tapi kita tak punya pilihan lain. Serangan virus Zombie akan segera datang, dan bertahan hidup adalah hal yang paling penting, kan?"
Aku mendongak kaget, "Apa yang kau katakan?"
Dia menyebut serangan virus zombie yang akan datang, bagaimana dia bisa tahu? Apa dia juga hidup lagi dan kembali ke masa-masa sebelum kejadian sepertiku?
Rani menatapku dengan air mata yang samar di mata, "Senang bisa bertemu denganmu lagi. Kali ini kita pasti akan selamat, kan?"
Ternyata aku bukan satu-satunya yang hidup lagi dan mengulang kembali, kakak tingkat ini juga mengalami hal yang sama.
Tidak heran dia masih percaya walaupun alasanku sangat aneh.
Tangan kami saling bergandengan di bawah meja. Telapak tangan kami terasa hangat, begitu pula hati kami.
Kali ini, kami harus berhasil bertahan hidup apapun yang terjadi!
"Vicky, barang-barang kita masih belum cukup. Aku masih punya beberapa juta, kita harus cepat beli lagi," Rani mengeluarkan kartu banknya.
Kami pun langsung berangkat lagi setelah makan malam.
Tujuan kami ke supermarket kali ini hanya membeli tiga karung beras, puluhan bungkus mie instan, seratus kotak daging, beberapa acar sawi, satu toples lemak babi, beberapa bumbu sederhana, dan selusin telur.
Begitu juga dengan labu, ubi jalar dan bahan makanan yang tahan lama. Tidak lupa juga dengan kompor minyak tanah, panci dan mangkuk serta sumpit sederhana.
Aku membeli masing-masing satu barel minyak tanah dan diesel, yang butuh banyak tenaga untuk dibawa pulang.
Sedangkan untuk buahnya, aku hanya memilih apel, karena mudah disimpan dan tahan lama tanpa khawatir akan rusak sebelum dikonsumsi.
Ini bisa menyelesaikan masalah sembako kami, dan hanya itu yang bisa kami lakukan … karena waktunya terbatas, kondisi asrama terbatas, dan begitu juga dengan jumlah uang kami yang bahkan lebih menyedihkan lagi.
Kemudian perlengkapan kebersihan. Aku membeli banyak tisu toilet, handuk, pakaian dalam bersifat sekali pakai. Walaupun bukan barang penting untuk bertahan hidup, tapi tanpa barang-barang ini akan sulit dan tidak nyaman sekali.
Keesokan paginya, kami juga menemukan beberapa pagar besi yang kuat di pasar barang bekas, dan ini diam-diam kami pindahkan ketika bibi asrama sedang tidak memperhatikan saat pagi-pagi sekali.
Ketahanan pintu dan jendela asrama terlalu rendah, benda-benda ini dapat menyelamatkan hidup kita di saat-saat kritis.
Ada juga tali pisau, serta beberapa suar, dan drone bekas ... benda-benda ini adalah kunci pelarian kami.
Listrik juga merupakan masalah besar. Kami tidak mampu membeli panel pengisian tenaga surya yang mahal, jadi kami memilih generator diesel kecil, yang tidak terlalu menimbulkan suara berisik dan yang terpenting hanya 2 jutaan.
Tentu saja, listrik yang dihasilkan oleh generator seperti ini sangat terbatas. Walaupun kebisingan relatif kecil tapi hanya dapat digunakan pada saat-saat kritis.
"Aku punya selimut dan pakaian, kita bisa berbagi nanti. Apalagi yang kita butuhkan?" Kakak tingkat duduk di tepi tempat tidur sambil menatapku.
"Seharusnya sudah lumayan cukup … gimana kalau beli air lagi."
Perasaan kering saat tubuh kekurangan air telah menembus ke dalam sumsum tulang, dan perasaan itu sangat mengerikan. Tubuh kita dapat merasakan air di dalam sel, bahkan rasa darah yang menguap sedikit demi sedikit tanpa bisa melakukan apa-apa.
Kakak tingkat mengangguk, "Oke, sudah telepon ke rumah?"
“Sudah, rumahku cuma ada kakek,” aku sedih dan teringat panggilan telepon sebelumnya.
Aku memberitahu kakekku di telepon untuk membeli makanan beserta minuman dan pulang untuk bersembunyi secepatnya, tapi dia jawab tidak mungkin tinggal di rumah saja karena harus bekerja untuk membiayai kuliahku.
Aku merasa tidak enak dengan kakek, namun aku tidak bisa menahan diri lagi dan bersikeras memaksa beberapa kali sebelum dia dengan enggan setuju.
Aku sangat khawatir, tapi sayangnya rumahku terlalu jauh jadi mustahil untuk ke sana hanya dalam satu setengah hari.
"Lokasi rumahku tidak buruk. Setelah virus zombie menyebar, markas aman seharusnya bisa didirikan di sana dengan cepat, dan kakek seharusnya bisa selamat." Aku menghela nafas, "Bagaimana denganmu, kak?"
Kakak tingkat terdiam beberapa saat, "Sama."
Kami keluar asrama lagi pada pukul sepuluh pagi. Uang kami sangat terbatas, jadi kali ini kami membeli delapan barel air putih sekaligus dan berusaha keras untuk memindahkannya satu per satu ke lantai atas.
Aku yang sedang memindahkan barel terakhir bertemu dengan primadona kelas yang kembali ke asrama setelah makan malam. Dia menatapku dengan penuh jijik, "Vicky, kau pura-pura sakit dan absen tanpa alasan pasti akan diberi hukuman besar dari pihak sekolah, lihat saja nanti."
"Terserah."
Sikap acuh tak acuhku membuatnya marah, "Apa kau bilang?"
"Kubilang … terserah." Kemudian meliriknya, "Urusi urusanmu sendiri."
Dia berjalan mendekat, "Memangnya kau siapa sampai berani menegurku dasar bajingan miskin? Kalau mau mati, mati saja sendiri!"
Aku tidak mengatakan apa-apa setelah mendengar itu. Aku hanya masuk ke dalam kamar Rani sambil bawa barel, dan menutup pintu dengan kuat.
Suaranya masih terdengar dari luar pintu, "Astaga Tuhan, Vicky sampai pindah ke kamar Rani, sungguh cocok sekali kalian."
Di dalam asrama, aku hanya menggelengkan kepala. Peringatanku untuk mengurus dirinya sendiri itu sudah merupakan nasihat terbesar.
Di kehidupan yang sebelumnya saat gelombang zombie menyerbu masuk, dia termasuk orang-orang yang meninggal paling awal. Sepertinya itu bukan hanya sebuah kebetulan, tapi orang tak berotak seperti dia ini memang tidak mungkin selamat satu episode di cerita mana pun.
Sekarang sudah jam dua belas dan hanya tersisa dua jam sebelum kedatangan para zombie, jika waktunya masih sama seperti yang terjadi di kehidupan yang sebelumnya.
Kakak tingkat dan aku memutuskan untuk tidak keluar lagi. Kami menutup pintu dan jendela dengan rapat, duduk di samping tempat tidur dan makan siang kotak dalam diam.
Kotak makan siang ini kami beli dari kantin sekolah, dan ini mungkin adalah makanan normal terakhir yang akan kami makan.
Jadi kami sangat kompak dan memakan habis setiap butir nasi yang ada, karena lebih baik memilih untuk kekenyangan daripada menyesal di masa depan nanti.
Sekitar pukul 1:50 ponselku berdering dan ternyata nama konselor Johnson yang muncul di layar.
"Halo."
Suara konselor Johnson sangat tegas, "Vicky, dari siang kemarin sampai hari ini kau belum pergi ke pelatihan militer, kan?"
"Tidak akan ada lagi pelatihan militer."
"Apa kau bilang?" Konselor Johnson sedikit kesal, "Ada apa denganmu? Menjadi penjilat siswa-siswi di kelas, kan?"
Konselor kami ini hanya sedikit lebih tua dari kami dan memiliki lidah yang tajam namun bukan orang jahat. Dia pernah menegur teman-teman sekelas yang mengolok-olokku.
Jadi aku memberitahunya dengan serius, "Cepat kembali ke asrama sekarang, tutup semua pintu dan jendela, dan jangan pergi ke mana-mana ..."
Sebelum kata-kataku selesai, Konselor Johnson sudah berteriak, "Astaga, apa yang terjadi di bawah sana? Lagi tawuran? Instruktur Ahmad ... Instruktur Ahmad! Lepaskan Lisa!"
Lisa ... adalah nama primadona kelas kami.
Aku dapat dengan jelas mendengar suara jeritan, lolongan dan tangisan dari sana.
Persis sama seperti sebelumnya, sekitar pukul dua, Instruktur Ahmad menggerogoti primadona kelas, dan wabah virus skala besar mulai menyebar ...
"Guru Ariel, jangan pergi ..."
Sudah terlambat...
Teleponnya telah ditutup dan aku hanya bisa berdiri sambil melihat ke luar jendela dengan pandangan kosong.
Sebelumnya masih tidak ada orang di jalanan, tapi sekarang sudah semakin banyak siswa yang berlarian dengan gila-gilaan sambil dikejar oleh zombie penuh darah yang semakin lama semakin banyak.
Kecepatan penyebaran ini sungguh mencengangkan, seperti dari satu menjadi sepuluh dan sepuluh menjadi seratus.
Suara kakak tingkat terdengar dari belakangku, "Sebelum kejadian ini terjadi takkan ada yang percaya pada kita, jadi kita tak bisa menyelamatkan siapapun."
Betul sekali.
Walaupun kami memberitahu ke mana-mana, orang-orang hanya akan menganggap kami gila.
Kami menatap ke luar jendela untuk waktu yang lama, dan kejadian di lantai bawah sudah penuh akan darah, jeritan dari koridor terus terdengar sepanjang waktu.
Hingga terdengar teriakan melengking dari sebelah, dan sebuah sosok hitam tiba-tiba jatuh dari balkon yang kosong. Dilihat dari sosok tersebut, itu adalah seorang gadis dari kelas kami.
Aku dan kakak tingkat saling memandang dengan ngeri, kemudian dengan kompak mengambil pagar besi, palu, beserta paku untuk memperkuat jendela lagi.
Berikutnya adalah pintu, yang kami lakukan dengan cara yang sama.
Dengan begitu, kami merasa jauh lebih aman sekarang.
Sepanjang sore setelah itu terdengar jeritan dan teriakan dari luar tanpa henti. Setiap kali melihat ke luar jendela, aku menemukan orang normal yang melarikan diri semakin lama semakin sedikit.
Jadi kami dengan berani berspekulasi bahwa seharusnya tidak tersisa banyak orang yang berhasil bertahan hidup di seluruh sekolah ini.
Aku menyalakan ponsel untuk membuka aplikasi obrolan grup kelas dan melihat serangkaian obrolan yang menakutkan.
"Tolong, aku sedang di ruang kelas lantai empat. Kepala Pak Dimas yang berlumuran darah sedang menabrak kaca dengan liar, apa yang harus kulakukan?"
"Ahhhh, perpustakaan penuh dengan zombie!"
"Ketua kelas sedang memburuku dan aku bersembunyi di lemari kantor, ada yang bisa bantu telepon polisi?"
...
Obrolan seperti ini terus bermunculan yang tersirat kata-kata terakhir.
Hanya ada satu hal yang terus ditanyakan semua orang: mengapa polisi masih belum datang?
Menurut pengalaman aku dan kakak tingkat di kehidupan sebelumnya. Sebenarnya bukan mereka tidak mau datang, tapi tidak bisa datang ...
Virus zombie mewabah di banyak tempat, menyebar dari satu tempat ke tempat lain. Kepolisian, pemadam kebakaran, beserta organisasi masyarakat runtuh dalam sekejap mata.
Di kehidupan kami sebelumnya, kami benar-benar tidak tahu alasan sebenarnya dari kemunculan zombie sampai kematian kami.
Tapi dalam kehidupan kali ini seharusnya masih ada harapan untuk mengetahui kebenarannya. Lagipula cadangan yang kami miliki cukup untuk bertahan untuk waktu yang lama.
Saat sedang melihat berita itu, tiba-tiba suara tajam dari orang-orang kamar sebelah terdengar, "Lisa! Lisa ada di bawah!"
Aku awalnya tidak tertarik untuk melihat Lisa itu, tapi karena suara mereka terlalu keras jadi aku berdiri di dekat jendela untuk melirik sejenak.
Begitu melihat, ternyata penampilannya sangat mengerikan, sama persis seperti penampilan setelah digigit instruktur sebelumnya.
Wajahnya penuh darah dengan fitur wajah yang hancur hingga tidak bisa dikenali dengan jelas dan kehilangan salah satu telinganya, sekarang sedang berdiri di luar asrama sambil memamerkan gigi dengan mulut yang berlumuran darah.
Satu-satunya cara untuk mengenalinya adalah seragam warna biru khususnya itu ...
Semua perilakunya yang membully dan menindasku tiba-tiba terlintas dalam pikiranku...
Menjatuhkan Bedak Hoitongku, memasukkan sampo ke dalam cangkirku, menaruh paku payung di tempat tidurku dan mengejekku orang dusun.
Sekarang dia sudah mati.
Teriakan di sebelah telah berhenti dan setelah beberapa saat, aku melihat foto Lisa yang mereka kirim di obrolan grup kelas.
"Astaga Tuhan, Lisa terlihat mengerikan."
"Dia seperti hantu tanpa telinga."
Mereka mulai menjadikan itu sebagai lelucon, seolah melupakan bagaimana mereka menyanjung Lisa sebelumnya.
Kakak tingkat berdiri di belakangku, "Orang-orang ini memang munafik, berusaha menyanjung di depan tapi sebenarnya ingin melihat orang itu mengalami kesialan."
Aku setuju, "Mereka munafik dan Lisa benar-benar bodoh."
"Vicky, kakekmu masih tidak bisa dihubungi?" tanya kakak tingkat.
Aku mengambil ponselku dan mencoba lagi.
Suara yang sama terdengar : nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.
Pada pukul enam sore ponsel akhirnya berdering, tapi dari nomor yang tidak dikenal.
"Dasar, kau baik-baik saja? Apa sesuatu terjadi di sekolahmu? Butuh waktu lama untuk bisa menghubungimu."
Aku hampir meneteskan air mata saat mendengar suara Kakek. Karena bukan hanya dia, aku juga terus berusaha untuk menghubungi Kakek sepanjang sore.
Tampaknya ada masalah dengan jaringan di tempat kami.
Aku secara singkat berbicara tentang situasiku, hanya memberitahu kabar baik tanpa adanya kabar buruk.
Kakek menghela nafas lega, "Tempat kami baik-baik saja. Kota ditutup, begitu juga dengan desa ini, dikatakan pasukan akan datang dalam beberapa hari lagi."
"Kakek, jangan pergi ke mana-mana, tetaplah di rumah dan aku akan pulang menemuimu begitu situasi sudah aman." Aku dengan gugup memberitahu Kakek berulang kali.
Setelah itu sambungan telepon tiba-tiba terputus dan Kakek tidak bisa dihubungi kembali lagi.
Tapi aku sudah merasa jauh lebih baik. Sepertinya kali ini masih sama seperti kehidupan yang sebelumnya, pangkalan aman dapat dibangun di dekat kampung halamanku dengan lancar dan cepat.
"Kak, ayo kita tetap tinggal di sini sampai situasinya aman." Aku menghiburnya.
Suara auman di luar masih belum berhenti, sesekali juga muncul suara tangisan putus asa.
Saat tengah malam terdengar suara tangisan dari kamar sebelah.
Walau hanya dua orang tapi suara tangisan mereka sangat keras, satu memanggil Ibu dan Ayah, sedangkan yang satunya lagi sedang memaki panggilan polisi yang tidak dapat dihubungi.
Di tengah kegelapan, kakak tingkat dan aku kehabisan kata-kata dan masing-masing memakai penutup telinga.
Hari berubah menjadi fajar, dan ini sudah hari kedua sejak terjadinya wabah zombie.
Pagi-pagi sekali kakak tingkat sudah memasak bubur ubi jalar dengan kompor minyak tanah dan merebus dua butir telur dengan sedikit lauk lainnya.
Kami makan sarapan yang sederhana ini dengan senang.
Usai makan, kami mulai memilah dan mengatur perbekalan yang telah menumpuk dengan tergesa-gesa sebelumnya.
Kakak tingkat adalah orang yang berhati-hati, tidak hanya memilah, tapi juga memberi label sesuai dengan tanggal kedaluwarsa.
Pekerjaan ini berlangsung sepanjang pagi dan suasana hati kami berangsur-angsur menjadi tenang, perlahan dapat menerima kekacauan yang terjadi di luar sana.
Yang kami makan saat siang adalah mie dengan beberapa potong daging, karena punya berbagai macam bumbu jadi rasanya juga lumayan enak.
Sorenya kakak tingkat sedang duduk di meja sambil menggambar, sementara aku sedang memantau situasi di luar jendela dengan teropong.
Saat ini, semua yang berkeliaran di lantai bawah adalah zombie dan banyak di antara zombie-zombie itu adalah wajah yang familiar.
Aku mengamati bahwa setelah seseorang berubah menjadi zombie, pupilnya akan berubah menjadi merah berdarah, dan kulitnya akan menjadi putih keabu-abuan tua seperti mayat hidup yang aneh.
Pada saat yang sama, penglihatan mereka menjadi buruk, tapi sebagai gantinya pendengaran dan penciuman menjadi sangat tajam, sedangkan untuk kekuatan sudah tidak perlu dijelaskan lagi.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri tentang sebuah kejadian di mana satu zombie wanita kecil menabrak dinding batu bata secara terus menerus hingga dindingnya roboh.
Sungguh tekad yang luar biasa mengerikan. Sebagai seorang manusia tanpa senjata ampuh, mustahil untuk bisa bersaing dengan zombie, kita masih terlalu lemah.
Aku masih khawatir tentang satu hal. Walaupun toilet masih ada air tapi itu tidak akan bertahan lama, air dan listrik kemungkinan besar akan berhenti saat malam nanti.
Seperti yang dikatakan pepatah yaitu menyediakan payung sebelum hujan, kami menyediakan beberapa pot dan ember untuk menampung air hujan yang akan digunakan untuk menyiram toilet nanti.
Dan ternyata benar, teriakan terdengar dari ruangan sebelah pada pukul tiga sore, "Kenapa tidak ada air?"
Aku memutar keran dan beberapa tetes air yang tersisa menetes keluar.
“Vick, bukan cuma airnya tapi listrik juga.” Kakak tingkat memberitahuku dengan sedih, “Tapi untung kita punya generator, jadi masih lumayan.”
Aku berpikir sejenak, "Pakai di saat kritis aja, suaranya takut berisik."
"Oke."
Bukan hanya takut akan menarik perhatian zombie, tapi juga orang yang berhasil selamat di asrama seperti dua tetangga sebelah...
Saat ini, suara mereka terdengar lagi dari dinding kedap suara.
"Kenapa tak kau kumpulkan airnya? Kau bodoh ya?"
"Kenapa kau sendiri tak kumpulkan juga? Terus, mie instanku kenapa bisa kurang satu kotak?"
"Untuk apa mempermasalahkan hal sepele seperti itu? Akan kuganti rugi begitu keluar nanti, ayahku punya pabrik!"
Dari ketiga teman seasramaku ini memang ada dua anak orang kaya.
Keluarga Lisa itu bisnis pertambangan, umumnya dikenal sebagai tipe orang yang keluarganya memiliki tambang sendiri. Kepribadiannya sombong dan licik tapi tak punya otak.
Satu bernama Juna yang keluarganya punya pabrik, tapi kepribadiannya suka mengambil keuntungan dan punya lidah yang tajam, biasanya selalu merajalela dengan Lisa.
Yang satunya lagi bernama Avery, berasal dari keluarga yang relatif biasa dan selalu menjadi pengikut kecil Liju (Lisa & Juna). Di depan orang-orang dia tidak mencolok atau menunjukkan sifat aslinya tapi sebenarnya sangat licik dan jahat.
Dialah yang mendorongku keluar dari kamar sebelumnya.
Jika Lisa & Juna itu dideskripsikan sebagai serigala yang sombong dan mendominasi, maka Avery adalah ular berbisa yang bersembunyi di dalam kegelapan, tipe yang akan menggigitmu secara tiba-tiba.
Sungguh pertunjukan yang luar biasa karena kedua orang ini bisa terjebak di tempat yang sama ...
Pada tengah malam saat kakak tingkat tanya apa yang ingin kumakan, aku tiba-tiba teringat dengan telur pitan yang kubeli dari supermarket sebelumnya, "Ayo buat bubur daging dengan telur pitan."
Tidak ada daging hewani jadi kami menggunakan sosis sebagai gantinya, kemudian menambahkan sedikit garam beserta lard dan menaburkan beberapa sayuran kering yang dibeli dari supermarket, dengan begitu terbuat sepanci bubur daging dengan telur pitan yang lezat.
Setelah makan kami masing-masing makan satu buah apel untuk menambah vitamin.
Untuk menghemat air saat mencuci piring, kami bersihkan terlebih dahulu dengan tisu toilet, lalu bilas dengan sedikit air dan air bekas tersebut disimpan dalam ember untuk menyiram toilet nanti.
Sebagai mahasiswa miskin, menghemat itu sudah merupakan bagian dari hidup dan sekarang benar-benar dikerahkan sampai titik puncaknya.
Saat kami puas dengan makan dan minum, tetangga mulai bertengkar lagi demi sesuap makanan.
Juna: "Kau sungguh licik sekali Avery, di mana kau sembunyikan makanannya? Cepat keluarkan."
Avery: "Hehe, mie instan itu memang punyaku, kenapa harus kubagi?"
Juna: "Dasar, untuk apa aku dan Lisa dulunya sering traktir kau makan dan minum? Cepat! Jangan paksa aku pakai kekerasan."
Tampaknya Avery masih tidak mau menyerahkan apa yang Juna inginkan, sehingga suara perkelahian mulai terdengar.
Tapi kali ini Juna yang mendominasi tidak menang dan berteriak, "Kau pantas untuk mati!"
Aku menggelengkan kepala setelah mendengar ini, berpikir bahwa dua kotak mie instan sudah cukup untuk membuat mereka bertengkar selama dua hari penuh.
Kakak tingkat berdiri di dekat jendela dan mengamati di situasi di bawah, "Iya, ngomong-ngomong Vick, kau sadar dengan keadaan zombie di luar sana yang tampak tidak sabaran?"
Aku berjalan ke sana untuk melihat dan ternyata memang demikian. Zombie hari ini jelas terlihat lebih tidak sabaran dan mengamuk daripada kemarin, dan frekuensi menabrak tembok serta mengaum juga sangat tinggi.
Kami menganalisis secara singkat bahwa zombie itu juga membutuhkan makanan, dan karena sudah hampir tidak ada orang yang bisa mereka konsumsi sekarang, jadi kekurangan makanan membuat mereka menjadi lebih agresif.
Bagi orang-orang yang keluar dengan gegabah pada saat seperti ini tidak berbeda dengan cari mati.
Namun saat ini kebetulan beberapa anak laki-laki di grup kelas mulai gelisah … aneh rasanya jaringan di luar tidak bisa dihubungi, sedangkan jaringan di sekolah kampus ini masih beroperasi dengan normal.
Mereka memberitahu bahwa mereka telah bersembunyi di asrama anak laki-laki selama dua hari tanpa air, listrik, atau makanan, dan sangat membutuhkan solusi.
Pernyataan ini segera digaungkan oleh beberapa orang, termasuk Juna di sebelah, "Kalian mau ke mana, apa aku boleh ikut juga?"
Mereka merundingkan sebuah rencana, dengan menggunakan kaki meja dan kursi sebagai senjata untuk menerobos keluar menuju kantin atau kafetaria.
Aku tidak terlalu dekat dengan anak laki-laki itu. Tapi karena adalah teman sekelas, jadi aku membalas pesan itu, "Ini sudah larut malam, kau tahu seberapa banyak zombie di luar?"
Begitu aku mengatakan ini, Juna langsung marah, "Kalau kau tak berani bukan berarti yang lain juga begitu, kan? Memangnya apa yang orang udik sepertimu tahu?"
Cukup, lakukan saja apapun yang kalian inginkan, lagipula aku sudah mencoba untuk membujuk dan sudah lelah.
Jadi aku tidak lagi peduli dengan mereka setelah itu, hanya menonton sekelompok orang ini mendiskusikan rencana tersebut. Dari segi lokasi hingga terobosan, berbagai metode telah dipikirkan secara matang.
Pada akhirnya setelah dua jam berdiskusi mereka siap beraksi.
Mereka mengunggah foto senjata yang mereka buat ... merupakan sebuah tongkat yang terbuat dari dua kaki meja yang diikat menjadi satu.
Sepengetahuanku, zombie adalah makhluk ajaib yang bahkan bisa menabrak roboh sebuah tembok, apa akan takut dengan serangan fisik yang sekecil itu?
Tak lama kemudian beberapa anak laki-laki berangkat dan sebelum pergi mereka juga meneriakkan beberapa slogan-slogan kemenangan dalam obrolan grup kelas.
Sepuluh menit kemudian, terdengar beberapa jeritan dari arah asrama anak laki-laki yang kemudian berhenti tiba-tiba, seolah-olah ada yang mencekik tenggorokan mereka.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Apa mereka masih hidup?"
"Sepertinya ... mereka semua mati. Jendela asramaku tepat menghadap ke arah sana, lantai sana penuh darah dan bekas penyeretan."
Obrolan grup kelas langsung terdiam sejenak, termasuk beberapa orang yang menyetujui gagasan tersebut sebelumnya.
Otomatis termasuk Juna yang sebelumnya sombong juga terdiam saat ini.
Saat malam semakin gelap, kakak tingkat menarik tirai dengan kencang dan meletakkan lampu minyak tanah yang redup di samping tempat tidur. Kami telah melakukan pengujian sebelumnya, dengan adanya tirai anti tembus pandang yang kuat, cahaya redup seperti ini tidak akan terlihat di luar dan menarik perhatian.
Perbekalan kami tidak boleh ketahuan, karena pada situasi seperti ini semua orang sangatlah berbahaya. Orang-orang bahkan menyakiti satu sama lain hanya untuk sesuap makanan, apalagi ruangan kami yang penuh makanan?
Saat kami mengangkut barang-barang sembako ini juga sangat berhati-hati, sebisa mungkin menghindari orang dan memilih untuk bertindak saat yang lainnya sedang kelas.
Kakak tingkat masih menggambar...
Setelah semakin dekat dengannya, dia ternyata adalah gadis yang sangat berjiwa sastra dan pendiam, berbakat dalam melukis dan setiap goresan yang diciptakannya terlihat sangat indah.
Aku melihat-lihat foto di ponselku yang kebanyakan tentang kakek, foto kakek memasak dengan sosok membungkuk, duduk di bawah lampu meja sambil menghitung uang yang dihasilkannya dan sosoknya yang mendorong keluar gerobak sambil tersenyum.
Melihat itu, air mataku jatuh ...
Orang tuaku meninggal lebih awal ketika aku hanya berumur beberapa tahun. Mereka meninggal satu per satu karena sakit, dan hanya kakek yang membesarkanku dengan pekerjaan sebagai pemulung.
Kakek tidak pernah memperlakukanku dengan buruk, walaupun miskin tapi dia tidak pernah membuatku kekurangan makanan dan pakaian. Dia juga menyiapkan alat tulis dan uang sekolah lebih awal agar aku tidak kehilangan muka di depan teman-teman sekelasku.
Ketika aku sudah remaja, dia bahkan akan memohon kepada bibi tetangga untuk mengajakku berbelanja barang-barang kebutuhan anak perempuan.
Aku sangat merindukannya … tidak tahu apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya lagi dalam kehidupan kali ini.
Ketika aku dalam kondisi sedih seperti ini, sebuah tisu tiba-tiba terulur.
Kakak tingkat menatap foto di ponselku sambil bertanya, "Boleh kulihat?"
Dia membelai orang di foto dengan tangan dan berkata dengan suara rendah, "Apa ini kakekmu? Sepertinya sudah sangat tua."
"Iya, sudah tujuh puluh empat," kemudian aku menundukkan kepalaku, "Orang lain pasti sudah menikmati hidup di usia setua itu, tapi keluargaku berbeda."
Rencana awalku adalah memulai program studi kerja setelah pelatihan militer, tapi siapa sangka wabah virus zombie akan muncul.
“Keberuntungan menikmati hidup kakekmu pasti akan tiba.” Kakak tingkat menatapku, “Kita akan selamat dan semuanya akan baik-baik saja.”
Aku mengangguk, "Kalau kamu? Bagaimana dengan kabar keluargamu sekarang?"
Kakak tingkat terdiam untuk beberapa saat, "Aku tidak tahu, Ibuku sudah meninggal karena kecelakaan mobil tahun lalu, sedangkan Ayahku meninggalkan kami bertahun-tahun yang lalu karena penyakit vitiligo yang kuderita."
Ternyata kakak tingkat memiliki pengalaman hidup yang lebih menyedihkan dariku... Setidaknya aku masih punya kakek, tapi dia itu sudah seperti yatim piatu.
"Tak perlu pikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu lagi, tidurlah lebih awal," kata Kakak tingkat.
Kami berbaring di tempat tidur masing-masing.
Suara zombie di luar terdengar semakin jelas saat malam hari, dan samar-samar kami juga dapat mendengar tangisan dari koridor, yang sulit untuk dibedakan dari kamar tidur mana.
Dalam keadaan linglung aku juga tertidur.
Sepertinya aku bermimpi panjang, mimpi berjalan dalam kabut dimana aku tidak bisa melihat jalan di depan dengan keadaan penuh kebingungan.
Ini sudah hari ketiga sejak terjadinya wabah virus zombie.
Saat fajar, aku terbangun oleh sebuah teriakan yang tajam.
Aku langsung terbangun dan fokus mendengar ke arah sumber suara itu … yang ternyata dari Juna di sebelah.
"Avery, Dasar bajingan! Kenapa mengikatku, lepaskan aku!"
"Melepaskanmu?" Avery mencibir, "Kemarin diam-diam makan mie instanku dan hari ini minum airku, kau tikus ya?"
"Orang udik seperti kalian memang tikus yang tak tahu diri, apa perbedaan kau dengan si Vicky itu? Kalau bukan kami yang bersimpati padamu, kau tidak tahu sudah berakhir menjadi penjilat di mana sekarang."
"Hehe, bagus ..." Avery tersenyum.
Tak lama kemudian terdengar teriakan Juna, "Apa yang kau lakukan, kenapa mendorongku? Apa yang kau lakukan!"
Avery tanpa ragu-ragu mendorongnya. Selanjutnya, yang kudengar hanya suara seretan, pintu terbuka dan tertutup lagi dengan kuat.
Juna yang barusan masih sombong terdengar ketakutan setelah memaki beberapa kali, dan mulai menangis sambil memohon, "Kumohon buka pintunya, ada zombie di koridor bawah. Aku salah, aku mengaku bersalah."
Avery tidak mengatakan apa-apa. Itu membuat Juna menjadi semakin cemas dan mulai menabrak pintu, "Aku bersujud, aku bersujud padamu, oke?"
Avery masih tetap diam jadi Juna mengetuk pintu kamar tempat aku dan kakak tingkat berada, "Vick, Rani, tolong biarkan aku masuk."
"Aku akan jadi pembantu kalian, aku akan melakukan apapun untuk kalian, oke?"
Biarkan dia masuk? Mustahil.
Juna memang tak berotak dan memperkeras suaranya. Sepertinya dia tidak tahu bahwa semakin keras suaranya, maka akan semakin menarik perhatian para zombie.
Tak lama kemudian teriakan terdengar, "Jangan mendekat, jangan mendekat ... ahhh..."
Suaranya terputus di puncak tertinggi, kemudian disusul dengan suara ngauman dan kunyahan dari zombie.
Saat aku melihat keluar melalui celah pintu, tubuh Juna sudah melemas dan digigit oleh lima sampai enam zombie. Matanya masih melihat ke arah kamar sebelah, bahkan setelah mati pun penuh dengan kebencian dan dendam.
Setelah beberapa saat tangan dan kaki Juna mulai bergerak seperti boneka dengan persendian kaku, berputar dan berdiri kembali, kemudian mengikuti kelompok zombie di sekitar menuju koridor.
"Inilah karma, kau akan mendapat pembalasan yang setimpal jika melakukan perbuatan yang merugikan orang lain," kata kakak tingkat dengan suara rendah.
Kakak tingkat menarik kesimpulan dengan sangat baik.
Entah kenapa, mungkin karena telah melihat terlalu banyak adegan berdarah, kami seolah sudah kebal dan tidak merasa mual atau tidak nyaman lagi seperti di kehidupan sebelumnya.
Kami memakan sarapan sederhana dengan nutrisi yang cukup, yaitu susu, roti, dan satu butir telur per orang.
Saat membersihkan meja, suara Avery yang berbicara sambil mengetuk dinding di sebelah terdengar, "Vick, Rani, kalian di sana? Yang barusan itu tidak membuat kalian takut, kan?"
Hah, apa yang sedang Avery ini rencanakan?
Dia terus mengetuk, "Aku tahu kalian ada di sana, aku hanya ingin minta maaf pada kalian tentang apa yang telah kuperbuat sebelumnya ... kondisi keluargaku tidak baik, aku takut mereka membullyku, jadi ... aku minta maaf! "
Nadanya sangat tulus. Jika bukan karena apa yang baru saja terjadi dan apa yang telah kualami di kehidupan sebelumnya, mungkin aku masih menaruh sedikit rasa simpati padanya.
Tapi aku yang sekarang sama sekali tidak percaya semua omong kosongnya.
Dia masih lanjut berbicara sendiri ...
"Vick, Rani, apa kalian mau memaafkanku?"
Aku masih tidak menanggapinya, kakak tingkat bahkan sampai memakai penutup telinga.
Avery semakin terburu-buru, "Aku sudah membalaskan dendam kalian. Aku yang mendorong Juna keluar tadi dan meminta Lisa untuk pergi mencari Instruktur Ahmad karena aku dari awal sudah curiga ada yang tidak beres dengan Instruktur Ahmad!"
"Sejujurnya, aku juga tidak suka mereka, bukankah cuma karena keluarga mereka kaya? Memangnya kenapa!"
Sungguh, aku semakin tidak berani macam-macam dengannya, wanita ini terlalu berbahaya.
"Biarkan aku ke tempat kalian, oke? Kita bertiga jadi sahabat baik selamanya, oke?”
Dia masih terus berbicara tanpa henti, bahkan aku juga memakai penutup telinga sambil baca novel karena terlalu berisik.
Tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, kami merasa lapar dan berdiri dengan kompak untuk bersiap membuat makan siang.
Begitu penutup telinga dilepaskan, suara serak menangis terdengar, "Sungguh ... tidak bisa memaafkanku?"
“Kenapa orang ini masih belum menyerah?” tanya Kakak tingkat.
Aku menggelengkan kepalaku, "Mungkin belum haus."
Sementara Avery sedang terisak dan menangis, kami hanya memasak mie instan, menaruh sosis dan sayuran kering sebagai lauk dan masing-masing menghabiskan semangkuk besar mienya.
Setelah makan siang kamar sebelah akhirnya kembali sunyi, kami sudah terbiasa dengan suara zombie di luar, jadi lanjut tidur siang dengan tenang.
Setelah bangun pada sore harinya, atas saran dari kakak tingkat kami berlatih kebugaran jasmani sebentar … mengikat air mineral pada lengan untuk melatih kekuatan lengan, dan kecepatan lari pada kaki, kemudian melakukan olahraga plank untuk melatih daya tahan tubuh.
Kakak tingkat berkata, "Vick, kita tidak mungkin tinggal di asrama selamanya, kalau tidak ada regu penyelamat yang datang kita tetap akan keluar."
Aku berharap hari seperti itu tidak pernah ada.
Sore hari ini kami lanjut masak bubur telur pitan, dan masing-masing menghabiskan semangkuk dengan puas.
Setelah makan, kakak tingkat mengotak-atik radio. Jaringan ponsel kami tidak bisa terhubung dengan apapun kecuali jaringan kampus tapi radio bisa.
Beberapa saluran hanya berisi suara berisik, tapi ada satu saluran yang berfungsi dengan normal secara teratur.
Isinya sama persis dengan dua hari sebelumnya, “Masyarakat diminta tetap tenang di saat krisis, tetap berada di rumah dan tunggu kabar selanjutnya.”
Berita ini menimbulkan rasa gelisah. Kondisi dunia luar pasti sangat serius sekarang, karena hanya akan terjadi seperti ini jika seluruh lini runtuh.
Saat sedang cemas, ponselku tiba-tiba nyala dan aku mengerutkan kening, "Kak, lihat ..."
Itu adalah pesan dari Avery di obrolan grup kelas yang isinya adalah, "Aku tidak punya air dan makanan, bahkan baterai ponselku sudah sekarat. Vicky yang tinggal di kamar no 502 di sebelahku tidak mau membantuku sama sekali, bukan hanya itu tapi juga menghinaku dan membunuh Juna. Oh ya, tempatnya ada banyak perbekalan, termasuk makanan dan minuman, apa kalian ada rencana untuk mendobrak pintunya?"
Dalam sekejap, kedua anak laki-laki membalas.
"Serius? Beneran ada makanan?"
"Kau yakin? Kami akan cari cara ke sana."
Avery menjawab, "Iya!"
Pada saat ini kemarahan menyembur keluar dari hatiku seperti magma. Aku berharap bisa bergegas ke kamar sebelah dan merobek mulutnya.
Ular berbisa tetaplah ular berbisa, saat memohon belas kasihan sekalipun dia masih memikirkan bagaimana cara untuk membunuhmu di langkah selanjutnya.
Tawa sombong Avery terdengar dari sebelah, "Karena kalian tidak mau membantu, maka lebih baik kita mati bersama."
Aku saking marahnya sampai ingin mengamuk dan bergegas keluar berurusan dengannya secara langsung.
Aku belum pernah melihat orang selicik itu. Dia bukan hanya membunuh mereka tapi juga memfitnahku?
Sementara aku mengepal erat tinjuku, kakak tingkat berkata, "Bukankah dia hanya mengharapkan dua hasil? Antara kita keluar sendiri atau pintu didobrak dan kita di usir keluar, jangan bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan."
Benar, jangan biarkan dia berhasil.
Di luar sana ada banyak sekali zombie, bagaimana orang-orang itu bisa datang ke sini?
Walaupun berhasil datang sekalipun, suara mendobrak pintu itu mustahil tidak menarik perhatian zombie, kan?
Aku langsung tenang kembali, "Benar, dia hanya ingin kita panik."
Jadi aku tidak membalas pesan dalam bentuk apapun. Kupikir mungkin ada satu atau dua orang yang terpengaruh dengan kata-kata Avery, namun siapa tahu pada akhirnya mereka semua ragu.
"Kurasa informasi ini tidak terlalu bisa diandalkan, asrama perempuan sangat jauh. Perjalanan ke sana bisa menyebabkan banyak korban jiwa."
"Iya, bukannya Avery itu selalu tidak suka dengan Vicky? Mungkin dia hanya ingin balas dendam."
"Lupakan saja, siapapun yang mau pergi silakan."
"Aku mau matikan daya sebentar dan simpan untuk minta bantuan nanti, teman-teman sekalian, aku offline dulu."
Avery terus berusaha membujuk di dalam obrolan grup, tapi tidak ada yang mau bertindak.
Yang pada akhirnya berhenti juga tanpa ada kabar lagi, mungkin karena baterainya sudah habis.
Dia mulai menyerang dinding sambil marah-marah dengan keras, tapi suaranya perlahan menjadi semakin kecil yang mungkin karena sudah tak punya tenaga lagi.
Benar, dengan dua bungkus mie instannya itu, makan sehelai sehari seharusnya bisa bertahan selama dua bulan asalkan tidak mati kelaparan duluan.
Dia masih seperti ini sambil marah-marah sepanjang malam tanpa henti.
Kami yang sudah pernah disiksa oleh zombie tidak begitu rapuh sekarang, kami tetap tidur jika perlu dan benar-benar mengabaikannya.
Seperti seekor anjing yang menggonggong di sampingmu, apa kau akan tertarik untuk menggigitnya? Apalagi itu seekor anjing gila.
Ketika aku membuka mata keesokan paginya, auman zombie terdengar oleh telingaku seperti biasa, suara itu bagaikan kicauan jangkrik di musim panas yang terus berlanjut.
Ini adalah hari keempat wabah virus zombie.
Aku merasa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini. Aku melihat ke tembok, bagaimanapun orang seperti Avery itu tidak akan berhenti sampai benar-benar mati.
Saat ini dia masih penuh tenaga dan dalam keadaan putus asa, jadi mungkin akan melakukan sesuatu yang besar.
Aku mendiskusikannya dengan kakak tingkat dan memutuskan untuk tetap bersama serta mengambil tindakan tegas bila perlu.
Kami tidak akan menyakiti orang lain tapi harus waspada terhadap orang lain yang akan menyakiti kami.
Kami memasak seperti biasa, mandi dan menyiram toilet dengan air sisa di ember.
Namun, apa yang seharusnya terjadi akan tetap terjadi.
Begitu kami bangun saat sore hari, ada beberapa ledakan keras terdengar di pintu.
Bang!
Bang bang!
Bang bang bang!
Aku melihat keluar melalui celah pintu dan menemukan bahwa ledakan itu disebabkan oleh kembang api banting berbentuk bawang dari pintu sebelah...
Bagaimana ini bisa dilakukan? Karena ada jendela kaca kecil di pintu asrama jadi asalkan bisa membuka sedikit celah, maka tidak akan sulit untuk melempar kembang api bantingnya.
Aku samar-samar teringat bahwa benda ini adalah kembang api banting yang Lisa beli beberapa kotak sebelumnya untuk mempermainkanku dengan menaburkannya di tempat tidurku.
Melempar kembang api banting tersebut ke pintu kamar kami hanya memiliki satu tujuan ... yaitu memancing para zombie untuk menghancurkan pintuku.
Wanita sialan ini sungguh menggunakan cara licik dan kejam seperti itu.
"Gawat, suara-suaranya sudah kedengaran ..." Wajah Kakak tingkat menjadi pucat.
Para zombie benar-benar datang ...
Penglihatan zombie memang sangat buruk tapi pendengaran dan penciuman mereka sangat tajam, jadi tidak lama setelah suara itu terdengar, auman zombie benar-benar datang dari ujung koridor.
Suara itu berangsur-angsur mendekat dan cenderung semakin keras.
Kami tidak sempat pikir panjang dan langsung menangani begitu terjadi, kami mengambil palu dan paku untuk memperkuat pagar besi lagi.
Hanya dalam sekejap para zombie tiba-tiba bergegas datang mengikuti suara kembang api banting yang dilemparkan, mereka menabrak pintu dengan kuat tanpa henti.
Pintu semakin bergetar dan tak lama kemudian sebuah celah terbuka.
Dari celah tersebut aku dapat melihat wajah berdarah Juna yang sedang memamerkan giginya sambil berteriak dan mencoba masuk melalui celah pintu.
Untungnya pagar besi berhasil menghentikan mereka.
Tapi berapa lama pertahanan ini akan bertahan itu sulit untuk diperkirakan.
Pikiranku kosong saat ini, gambaran kematian yang mengerikan, berdarah dan putus asa terus muncul di dalam benakku, yang membuat terasa sesak.
Dalam situasi kritis seperti ini kakak tingkat memindahkan dan mendorong meja ke tempat pagar.
Suaranya menyadarkanku, "Apa ada cara untuk mengalihkan perhatian mereka?"
Anehnya kata-katanya tiba-tiba menghilangkan kepanikanku.
Aku menemukan solusi!
Aku berlari kembali ke meja dan mengeluarkan sebuah barang elektronik dari laci meja.
Ini adalah mainan isi ulang kecil yang terlihat seperti ngengat terbang dan memiliki remote control kecil sebagai pengendalinya.
Benda ini adalah hadiah kecil dari klub teknologi beberapa hari yang lalu.
Aku buru-buru menekan tombol remote control, namun ngengatnya tidak bergerak sama sekali, gawat, ternyata baterainya habis ...
Aku dengan panik menghubungkan kabel pengisian daya. Saat mengisi, pergerakan zombie yang ada di luar menjadi semakin kuat, dan celah di pintu yang semakin melebar juga dapat dilihat dengan jelas.
Kembang api banting di sebelah tidak berhenti juga, aku bahkan bisa membayangkan betapa senangnya Avery saat ini.
Aku berlari ke pintu dan ikut mendorong meja dengan sekuat tenaga ... dari celah pintu, kerumun kepala zombie yang berdarah dan menakutkan terus berusaha untuk masuk.
Bahkan ada satu yang berhasil masuk ke celah dengan sangking paksanya sampai salah satu matanya melotot keluar.
Meski masih ada sedikit jarak di antara kami dan para zombie, tapi kamar kami akan tamat dengan hancurnya pintu.
Aku sedang dalam keadaan panik, dan langsung mencabut charger setelah baru diisi selama satu menit karena tidak bisa menahan diri lagi, kemudian melukai jariku sendiri untuk beberapa darah di atas mainan tersebut.
Lalu menekan tombol pada remote.
Ternyata mainan ini cukup berguna, langsung nyala begitu dihidupkan dan terbang keluar lewat atas kepala para zombie.
Hanya saja pada awalnya para zombie itu belum sadar.
Tapi setelah kutekan tombol suara, bunyi beritme beserta bau darah yang menyebar benar-benar langsung menarik perhatian mereka.
Mereka berhenti dan memiringkan kepala satu per satu, seolah sedang fokus mendengarkan sesuatu, dua dari mereka bahkan mulai mengendus-endus seolah mencium sesuatu.
Beberapa detik kemudian, mereka mengerumuni dan mengejar mainan berbentuk ngengat itu secara membabi buta!
Eksperimennya berhasil, mereka tidak salah lagi sangat peka terhadap suara dan bau.
Aku tidak bisa melihat tempat di luar dengan jelas jadi hanya bisa mengontrol remote control dengan mengandalkan perasaan saja untuk memandu para zombie ke ujung lain koridor.
Itu adalah proses yang sulit karena mainan itu membentur tembok beberapa kali.
Area jariku yang terluka juga kutekan dengan kuat ke tepi remote control agar bau darahnya tidak menyebar keluar.
Zombie sangat peka terhadap bau darah dan suara darah, tetapi untuk jarak jangkauan indra itu masih belum diketahui.
Aku dalam keadaan yang sangat gugup dan terdengar suara kembang api banting dari sebelah, yang diikuti dengan teriakan, "Ahhhh, J-Juna, jangan mendekat! Tolong aku!"
"Ahhh, To-Tolong!"
"To……"
Suaranya terputus pada titik paling tajam.
Kakak tingkat dan aku saling memandang kemudian langsung mengerti ...
Saat ini semua zombie sedang menumpuk di luar pintu Avery dan Avery tanpa sengaja menjatuhkan kembang api banting di saat-saat kritis seperti ini. Pintu tanpa penopang pagar besi itu sangat rapuh dan akan roboh hanya dalam sekejap.
Yang pertama menggigitnya adalah Juna yang berubah menjadi zombie.
Jadi saat ini Avery telah menjadi santapan para zombie dan tidak lama lagi akan berkeliaran di sekitar kampus seperti mereka.
Zombie ada di kamar sebelah, remote control tidak merespons yang berarti mainan itu sudah kehabisan baterai.
Kami tidak punya pilihan selain melepas papan tempat tidur untuk memperkuat pintu.
Kemudian menahan nafas tanpa tidak berani mengeluarkan suara apapun. Sekumpulan zombie itu hanya meraung di luar pintu untuk beberapa saat dan pada akhirnya pergi.
Kakak tingkat dan aku duduk merosot ke lantai. Kami berdua penuh keringat seolah baru saja keluar dari kolam.
Kami sangat dekat dengan kematian dalam situasi yang barusan terjadi dan riwayat kami hampir tamat begitu saja.
Tak satupun dari kami menyebut tentang Avery lagi. Alasan pertama karena masih merasa takut jika teringat walaupun kejadiannya sudah berlalu, yang kedua itu karena merasa tidak nyaman.
Dia tidak akan mati karena perbuatannya sendiri jika kekejamannya tidak setinggi itu.
Saat ini sisa sinar matahari yang terbenam menyinari ruangan, dan aku melihatnya untuk waktu yang lama, "Kak, apa kita punya kesempatan untuk keluar di masa depan nanti?"
Dia mengangguk dengan penuh semangat, "Pasti, Vick, kita pasti akan selamat, begitu juga dengan kakek."
Kakak tingkat memanggil kakek dengan sebutan yang sama denganku ... itu membuat hatiku terasa hangat dan aku pun mengangguk setuju.
...
Setelah kematian Avery, lantai kami benar-benar sunyi ... mungkin ada siswa lain yang bersembunyi di lantai ini tapi tidak ada yang tahu.
Obrolan grup kelas juga sunyi, bisa dimaklumi karena sudah beberapa hari sejak listrik padam, dan kalaupun ada power bank yang tersisa pasti sudah habis juga.
Tidak diketahui apakah mereka masih hidup atau sudah mati sekarang.
Kampus yang sekarang tidak lagi semeriah dulu, noda darah yang terlihat di mana-mana telah lama berubah menjadi hitam pekat, menarik banyak lalat dan serangga, hingga udara dipenuhi dengan bau busuk yang semakin menyengat.
Kakak tingkat dan aku tidak berani membuka jendela sesuka hati. Jika sudah benar-benar pengap, kami hanya akan buka celah kecil untuk mencari udara segar dan menutup kembali lagi.
Bau di koridor juga semakin kuat jadi kami memanfaatkan saat-saat koridor sedang tidak ada zombie seperti sekarang untuk memperkuat pintu dengan lem bebas paku dan papan kayu.
Tidak diketahui seperti apa situasi dunia luar sekarang, jaringan telepon seluler sudah lama hilang dan radio juga hanya dapat menerima satu saluran mekanis seperti sebelumnya.
Kami sangat yakin bahwa negara tidak mungkin akan binasa begitu saja, pasti akan ada orang-orang pemberani yang akan maju dan menyelamatkan dunia.
Mereka adalah ilmuwan, tentara, orang-orang pembuat keputusan yang kuat, dan pejuang-pejuang yang ahli dalam berbagai bidang mereka masing-masing.
Oleh karena itu, kita yang sebagai manusia biasa juga harus menjadi orang yang pemberani.
Aku dan kakak tingkat saling menyemangati dan menyuruh satu sama lain untuk berusaha bertahan hidup.
Lama setelah itu, kami berusaha untuk tidak memikirkan segala macam kecemasan, melainkan belajar, rekreasi, olahraga, pekerjaan rumah setiap hari dan mencoba untuk dengan sepenuhnya memadatkan jadwal kegiatan kami.
Setelah waktu terus berlalu, aku merasa bahwa kehidupan seperti ini dapat digambarkan sebagai berkah dalam kesialan, karena tidak perlu berurusan dengan orang yang kamu tidak suka, tidak perlu melakukan sosialisasi yang tidak berfaedah, jika kehidupan seperti ini yang kualami di dunia yang damai, aku pasti akan sangat menikmatinya.
Waktu berlalu dengan lambat dan pada saat yang sama terasa sangat cepat, tanpa disadari ini sudah hari ketujuh belas setelah wabah virus zombie.
Sore hari ini, zombie di luar jendela yang selalu lamban tiba-tiba menjadi penuh tenaga. Aku memantau situasinya di dekat jendela dan menemukan seorang pemuda berambut acak-acakan dan wajah kotor yang sedang bergegas keluar.
Dia mengayunkan kapak dan berteriak dengan suara serak, "Akan kubunuh kalian!"
Aku mengenalnya, dia adalah seorang karyawan di kafetaria yang sepertinya bagian gorengan.
Mungkin karena persediaan di kafeteria sehingga bisa bertahan sampai sekarang, tapi kenapa keluar?
Aku cemas tapi tidak bisa membantunya sama sekali, hanya bisa melihatnya dijatuhkan dan digigit oleh para zombie.
Tak lama kemudian dia tidak bergerak lagi dan setelah beberapa saat tiba-tiba melompat sambil menyeret kakinya untuk bergabung dengan pasukan zombie.
Kejadian ini membuat aku dan kakak tingkat merasa sangat tidak nyaman.
Beberapa hari berlalu lagi … lebih tepatnya hari kedua puluh setelah wabah virus zombie, kami diam-diam menggunakan generator diesel untuk menghasilkan listrik saat koridor sedang sepi.
Meskipun pintu dan jendela ditutup rapat ditambah menutup generator dengan selimut untuk menahan suaranya, tapi yang disebut generator tak berisik ini masih mengeluarkan suara berdengung.
Untungnya para zombie hanya berputar di sekitar pintu dan tidak menabrak masuk.
Setelah memiliki listrik, kami mengisi daya ponsel dan langsung terdiam saat menyalakan ponsel.
Kami awalnya mengira sinyal jaringan akan memberi kami kejutan, namun siapa tahu semuanya sia-sia.
Kakak tingkat berkata, "Kenapa tidak coba terbangkan drone? Kita lihat situasi di kampus ini."
Aku mengangguk, "Baiklah."
Kami dengan canggung melakukan itu...
Saat memasang pagar besi di jendela sebelumnya kami sengaja meninggalkan ruang terbuka yang kecil, jadi sekarang kami hanya perlu membukanya dengan hati-hati dan menerbangkan drone.
Drone mengelilingi asrama terlebih dahulu dan situasi di asrama terlihat jelas di video.
Kamar tidur sebelah sudah berantakan, penuh darah, sampah, dan kotoran berserakan di mana-mana, dapat dilihat bahwa Avery sangat ketakutan hingga kehilangan kendali sebelum digigit.
Tempat tampaknya kosong, kecuali satu...
Itu adalah kamar seorang siswi di lantai dua yang sepertinya sudah berubah menjadi zombie, tapi dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan hanya bisa terus menggeliat sambil berteriak di lantai dengan mata yang sudah memerah.
Aku menatap layar untuk waktu yang lama dan akhirnya menemukan alasannya, dia pasti terjebak di celah sebelum meninggal dan berjuang untuk keluar.
Beberapa zombie dari kejauhan koridor dapat dilihat melalui jendela, mereka sedang meraung di koridor yang kosong sambil berkeliaran bolak-balik.
Aku mengendarai drone ke tempat-tempat di sekitar kampus. Para zombie hampir ada di mana-mana, terutama di taman bermain.
Kami juga melihat ke luar gerbang kampus, pemandangan di jalanan juga berdarah dan berantakan, dengan mobil dan puing-puing di mana-mana, tanpa terlihat adanya satupun penyintas.
Aku masih ingin melihat lebih jauh tapi kapasitas baterai drone bekas ini tidak mencukupi, jadi daripada kehilangan drone lebih baik mengemudi kembali terlebih dahulu.
Aku dan kakak tingkat sangat kecewa setelah melihat semua itu.
Situasi dunia luar lebih serius dari yang kami bayangkan, sepertinya melarikan diri dari sini akan sangat sulit.
...
Dua bulan setelah wabah virus zombie, persedian apel dan roti sudah habis dan yang lainnya juga hanya tersisa sedikit, kemudian yang paling mengkhawatirkan adalah menipisnya persedian air.
Sebenarnya kami sudah sangat hemat selama ini dan tidak berani menyia-nyiakan apapun kecuali yang benar-benar dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Aku berdiskusi dengan kakak tingkat, harus ke mana untuk cari persediaan?
Kami telah mengamati dengan drone bahwa ada persediaan air di beberapa tempat kampus seperti kantin, dan ruang jaga. Tapi terlalu jauh jadi kami tidak berani ke sana.
Di ruangan mesin cuci lantai kami ada sebuah ember besar yang berisi sebagian besar air.
Tapi tidak yakin apakah itu bersih atau tidak dan itu sangat berisiko, karena kalau airnya sudah terkontaminasi zombie, maka itu tidak berbeda dengan meminum paraquat.
Jadi kami terpaksa menyerah.
Aku semakin sering menyalakan radio dan berharap akan ada kabar baik sebelum kami mati kehausan.
Dan kabar baiknya benar-benar datang...
Pada tanggal 17 September, lebih dari dua bulan setelah wabah virus zombie, suara wanita mekanis lainnya terdengar dari radio.
"Beberapa pangkalan keamanan telah didirikan di seluruh negeri ini dan yang paling dekat dengan posisi kalian terletak di..."
Kami dengan gugup menunggu kata-kata selanjutnya, tapi yang muncul hanyalah suara berisik mekanis dan tidak ada satupun kata yang terdengar jelas.
Aku dan kakak tingkat saling memandang tanpa tahu harus berbuat apa, tapi menjadi bersemangat.
"Ada pangkalan aman di sekitar kita, kita selamat!
"Selanjutnya perhatikan baik-baik radionya, kita harus temukan pangkalan itu."
Ini adalah hari paling bahagia bagi aku dan kakak tingkat dalam dua bulan terakhir.
Dalam dua hari berikutnya, kami mengotak-atik radio dan bahkan mengangkatnya untuk mencari sinyal, dengan tujuan ingin mendengar seluruh isi informasi yang diberitahu saluran kemarin.
Kami terus melakukan itu hingga malam hari, dan pesan suara itu akhirnya muncul lagi!
"Wabah virus menyerang dan garis pertahanan terus terpukul mundur. Beberapa pangkalan aman telah didirikan di seluruh negeri ini dan warga diundang untuk pergi ke sana. Yang terdekat dengan posisi kalian adalah 101°08' bujur timur, 26°05 'lintang utara... 101°08' bujur timur, 26°05 'lintang utara..."
Aku langsung mengambil buku untuk mencatat koordinatnya.
Setelah itu aku membuka peta untuk memeriksa posisinya, dan menemukan bahwa tempat itu berada di sebuah kota yang bernama Kota Blitar. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan dan jaraknya cukup jauh yaitu ratusan kilometer dari posisi kami.
Aku dan kakak tingkat saling memandang. Kami masih bisa mencoba jika jaraknya hanya lebih dari sepuluh kilometer. Tapi ini ratusan kilometer, bagaimana kami bisa sampai ke sana?
Bagaimanapun ingin melarikan diri dari kampus ini sudah sangat sulit bagi kami.
"Kita tunggu sebentar lagi, pasti akan ada solusinya. Mungkin kita juga akan bertemu orang dengan tujuan yang sama dan menempuh jalan yang sama seperti kita," kata kakak tingkat secara perlahan.
Jadi di hari-hari berikutnya, sambil mengemas barang-barang yang diperlukan untuk bertahan hidup, kami menggunakan drone untuk memantau situasi di luar berkali-kali dalam sehari.
Kami menemukan dua penyintas.
Mereka tampak seperti sepasang suami istri yang meringkuk di lubang jembatan tertutup dan setiap hari akan memberanikan diri untuk keluar mencari makan.
Kami bahkan menggunakan drone untuk mengamati mereka selama beberapa hari untuk memastikan apakah kedua orang itu dapat dipercaya.
Untungnya kami memilih untuk mengamati terlebih dahulu, karena apa yang terjadi dua hari kemudian membuat kami ketakutan.
Kedua orang itu sudah sangat kelaparan. Saat itu, wanita itu menemukan sekantong roti di dalam mobil yang ditinggalkan. Dia ingin memakan habis semuanya secara diam-diam tapi pria itu tiba-tiba muncul.
Keduanya mulai berkelahi dan wanita itu ditampar beberapa kali. Setelah jatuh ke tanah, pria itu masih tidak puas dan menendang beberapa kali lagi.
Wanita itu memperhatikan pria itu menghabiskan sekantong roti dengan air mata berlinang.
Ketika kami mengamati mereka lagi setelah keesokan harinya, yang kami temukan adalah kematian pria itu dengan lantai yang penuh darah dan sebilah pisau yang tertancap di tubuhnya, sementara wanita itu berdiri di dekat pria itu sambil memegang sepotong daging berdarah di tangan.
Dia justru sedang tersenyum.
Kemudian dia menemukan drone kami dan tersenyum sambil melambai pada kamera.
Senyum itu membuat kami merinding dan aku buru-buru memulangkan drone … tentu saja aku sengaja mengambil jalan memutar agar tidak diikuti.
Aku harus berhati-hati. Karena jika seseorang menemukan kami yang memiliki persediaan makanan, maka aku dan kakak tingkat pasti akan menjadi korban seperti daging di talenan.
Kami terdiam di asrama yang gelap. Bau darah dan bau busuk di udara semakin kuat, kami harus pergi secepat mungkin.
Kami memutuskan untuk tidak bergantung pada siapapun dan pergi berdua saja.
Keputusan ini sangat berisiko tapi dalam keadaan di mana manusia itu tidak dapat diprediksi, demi bertahan hidup, kami tidak punya pilihan lain.
"Vick, pandai nyetir?"
"Seharusnya tak masalah."
Tidak pandai? Kan bisa belajar, walaupun tidak pandai tapi setidaknya pernah dengar dan lihat caranya.
Pada saat dunia dalam keadaan seperti ini mana mungkin kita peduli tentang peraturan lalu lintas lagi.
Aku menghibur kakak tingkat, "Sepertinya tak masalah, anggap aja nyetir go-kart."
Ada truk pick up terbuka di lantai bawah asrama, yang merupakan model diesel jadi kebetulan bisa berguna.
Aku dan kakak tingkat mulai mengatur barang-barang yang akan dibawa keluar.
Lupakan saja barang-barang seperti beras besar dan generator, cukup ambil lebih banyak barang penting lain ... termasuk kotak penyimpanan listrik dan tiga power bank.
Lagipula kami tidak yakin bisa mencapai Kota Blitar dengan lancar.
Jelas tidak mungkin bergegas turun sambil membawa barang-barang ini dan memindahkan semuanya ke mobil satu per satu, jadi kami memikirkan sebuah cara yang sedikit lebih baik ...
Kami membungkus barang-barangnya dengan sprei dulu … tidak banyak, total hanya tiga bungkus.
Kemudian menggunakan alat untuk membuka kisi-kisi besi di jendela.
Kakak tingkat mengendalikan drone untuk berkeliling di asrama dan memantau situasinya. Setelah beberapa hari latihan, kami yang sekarang sudah semakin mahir dalam melakukan ini.
Begitu sudah dipastikan tidak ada bahaya di sekitar aku langsung menurunkan tali yang sudah diikat dengan beberapa simpul.
Dengan hati-hati kami membuka jendela dan meluncur ke bawah. Proses ini juga sangat menegangkan karena meski tidak ada zombie di asrama lantai bawah untuk saat ini, tapi perlu diperhatikan juga untuk jaga-jaga mereka tiba-tiba muncul.
Ketika sudah meluncur hingga ke lantai dua, aku dikejutkan oleh auman zombie dan tiba-tiba teringat bahwa itu adalah zombie yang terjebak di celah sebelumnya.
Sambil menggertakkan gigi, aku langsung meluncur ke sisi truk pick up, dengan cepat masuk ke dalam dan menutup kembali pintu mobilnya dengan rapat.
Mobil ini dikemudikan oleh seorang guru setelah wabah virus zombie datang. Dia tanpa sengaja menabrak tembok dan dijatuhkan oleh zombie ketika keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan.
Jadi bagian dalamnya tetap seperti sebelumnya dengan kunci yang masih menancap dan tas kerja di jok belakang.
Setelah memasuki pintu mobil aku langsung menenangkan diri sejenak dan membuat isyarat OK ke arah drone.
Kakak tingkat menarik kembali talinya dan mulai menurunkan barang-barangnya. Ketika sudah hampir mendarat, aku langsung melepaskan ikatannya dan memasukkannya ke dalam mobil.
Kami berdua berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sama sekali selama proses ini karena takut suara atau bau kita bisa menarik perhatian zombie.
Dengan cara seperti itu, satu, dua, hingga pada akhirnya tiga bungkus ... aku memasukkan semuanya ke kursi belakang dengan proses yang tegang tapi lancar.
Kemudian sekarang giliran kakak tingkat.
Dia memasukkan drone ke dalam ransel dan melangkah keluar dari asrama. Melihat sosoknya yang kurus aku menjadi sangat khawatir.
Bagaimanapun proses tadi berjalan dengan sangat lancar, sangking lancarnya sampai terasa aneh. Firasatku mengatakan bahwa sesuatu mungkin akan terjadi.
Aku menatapnya dan pada saat yang sama mengawasi pergerakan berbagai jendela. Karena ketika aku turun tadi ada kakak tingkat yang memantau situasi sekitar dengan drone, sementara saat ini tidak ada yang melindungi kakak tingkat.
Tubuhnya tergantung dan sudah turun hingga lantai tiga.
Lalu sampai lantai dua ... saat sedang di tengah udara kakak tingkat berhenti sejenak, mungkin karena dikejutkan oleh suara zombie di dekatnya sama seperti aku barusan.
Tapi dia dengan cepat menyesuaikan postur tubuhnya dan terus meluncur ke bawah sampai mencapai posisi di antara lantai satu dan lantai dua.
Tepat pada saat ini suara zombie menjadi semakin tajam dan dua detik kemudian, sebuah kepala zombie dengan rambut acak-acakan dan wajah berdarah melompat keluar dari jendela lantai dua, membuka mulutnya yang berdarah ke arah kakak tingkat yang sedang tergantung di tengah udara.
Itu adalah zombie wanita yang terjebak di celah tadi yang sepertinya berhasil melepaskan diri!
Aku hampir berteriak tapi menutup kembali mulutku sendiri begitu teringat bahwa suara keras justru akan menarik perhatian lebih banyak zombie.
Saat ini lantai atas sangat berbahaya, zombie itu hanya berjarak satu meter dari kakak tingkat. Jika kakak tingkat ragu, zombie itu mungkin sudah menerjang keluar.
Bagaimanapun mereka adalah spesies menakutkan yang bergerak atas dorongan naluri.
Untungnya mental kakak tingkat sangat bagus. Dia tidak melihat ke atas sama sekali dan lanjut turun secepatnya.
Saat posisi kakak tingkat sudah berjarak tiga meter di atas tanah, tanganku langsung menggenggam gagang pintu dan siap membukanya untuk menarik kakak tingkat masuk nanti.
Sedangkan zombie di lantai atas menjadi semakin bersemangat, bahkan setengah tubuhnya sudah menonjol keluar dari jendela dan berhasil memanjat keluar hanya masalah waktu.
Aku serasa ingin keluar untuk membantu kakak tingkat turun, tapi resiko mati bersama bahkan lebih besar jika melakukannya itu. Aku harus menginjak pedal gas dan pergi dari tempat kejadian begitu kakak tingkat berhasil sampai!
Aku saking cemasnya sampai terus melantunkan dalam hati, Cepatlah, kak, cepatlah...
Akhirnya kakak tingkat berhasil mendarat dan saat aku membuka pintu untuk menariknya ke dalam mobil, zombie di lantai atas itu sudah jatuh dan dengan tepat menghantam atap mobil kami!
Pada saat itu kulit kepalaku serasa mau terbelah karena zombie itu memamerkan giginya ke arahku melalui lapisan kaca. Bahkan darahnya menetes ke kaca jendela, sungguh penampakan yang sangat menakutkan.
Untungnya zombie itu tidak menggigit kakak tingkat atau memecahkan kaca mobil dan hanya memamerkan gigi saja.
Pada saat seperti ini otakku kosong dan naluri tubuh yang mendorongku untuk bertindak ... menarik kakak tingkat ke dalam mobil dan menutup kembali pintunya dengan rapat merupakan hal yang bisa dilakukan dalam dua detik.
Kemudian aku menyalakan mesin mobil, menginjak pedal gas, dan memundurkan mobil. Karena kecepatan yang tinggi, zombie wanita itu dengan cepat terlempar keluar dari mobil olehku.
Aku menyetir keluar dari gerbang kampus dengan cepat. Ini adalah rute yang sudah kami rencanakan sebelumnya, jalan di sini lebar dan tidak ada halangan jadi tidak mudah dihadang oleh zombie.
Tentu saja seiring suara mobil bergema, para zombie yang bereaksi juga mulai berlari keluar dan mengejar dengan penuh semangat, termasuk zombie wanita yang tadi.
Adegan itu sangat mengerikan. Mereka terus mengejar kami hingga keluar dari kampus.
Sungguh pemandangan yang menegangkan, mobil kami melaju sambil diikuti oleh sekelompok zombie yang menggila. Pada saat ini aku sudah tidak tahu arah jalan lagi dan menyetir ke manapun asalkan bisa menyingkirkan mereka.
Selama proses ini jantungku berdegup kencang seperti lajunya mobil. Aku juga menatap kaca spion sambil menyetir.
Pada akhirnya setelah keluar dari gang kecil kami berhasil menyingkirkan kelompok zombie tersebut.
Kakak tingkat menoleh ke belakang beberapa kali, "Sepertinya kita berhasil! Vick, kemampuan nyetirmu tidak buruk juga."
Kemudian aku baru sadar tanganku sedang gemetaran, bahkan pakaian bagian punggungku sudah basah kuyup, "Kak, aku belum pernah setir mobil."
"Serius?"
"Iya, tapi ada bengkel mobil di sebelah kampung halamanku jadi aku melihat mereka mengotak-atik mobil setiap hari," kataku dengan rasa takut yang masih tersisa.
Kakak tingkat bersenandung, "Mungkin itu bakatmu."
Sebenarnya aku lebih suka memahami ini sebagai reaksi stres. Manusia cenderung akan mengeluarkan kekuatan di luar batas dalam situasi darurat.
Misalnya, aku pernah melihat seorang ibu mengangkat mobil dengan tangan kosong untuk menyelamatkan seorang anak yang terjebak di bawah.
Kakak tingkat menyalakan navigasi peta. Meskipun tidak ada internet tapi peta offline masih tersedia dan kami memilih jalan jauh serta menuju ke jalan tol.
Kami kaget begitu melihat kondisi di sekitar saat dalam perjalanan. Kehancuran kota jauh lebih buruk dari yang dibayangkan. Semua bangunan komersial, supermarket, dan apotek di sekitar sudah dihancurkan dan dirampok, bahkan ada banyak sisa-sisa manusia yang hitam dan membusuk di tanah.
Tentu saja, kami juga menghadapi beberapa pengejaran zombie berskala kecil.
Butuh waktu yang lama untuk sampai ke jalan tol, tapi begitu sampai kami langsung tercengang, karena jalan masuknya ditutup oleh batu besar, pagar dan sejenisnya.
Mustahil untuk dipindahkan, terlebih lagi bebatuan ini dilapisi semen.
Hari sudah mulai gelap dan kami tidak berani kembali ke perkotaan lagi, jadi hanya bisa mencari rumah kosong di dekat pintu masuk tol untuk tinggal sementara.
Saat malam hari, selalu ada suara auman dan langkah kaki zombie di luar pintu. Kami bersembunyi di dalam rumah dan memasak dua mangkuk mie dengan kompor minyak tanah.
Kami belum makan seharian ini dan sudah kelaparan jadi makan secara lahap.
Perut akhirnya merasa lega setelah makan. Kakak tingkat melihat keluar melalui kaca, berjalan mendekat dan membuka peta, "Ayo diskusi, besok kita lewat mana?"
Omong-omong, untuk perjalanan sejauh ratusan kilometer ini, kami hanya berputar-putar hari ini, jadi hanya menempuh kurang dari sepuluh kilometer.
Aku menyarankan, "Kita hindari daerah perkotaan aja, walau jalannya bagus tapi berbahaya."
"Kalau begitu kita ambil rute pedesaan, semakin terpencil maka penduduknya juga semakin sedikit." Kakak tingkat menandai dengan warna merah," Bagaimana kalau ke Kabupaten Malang dulu lalu lewat desa-desa ini?
Pemikiran kakak tingkat untuk ide ini sangat masuk akal dan aku tidak keberatan.
Kali ini kami jauh lebih tenang dan berani dari sebelumnya.
Malam ini kami bergiliran tidur dan berjaga. Karena gugup, jadi kami tertidur dalam keadaan linglung dan mengalami beberapa kali mimpi buruk.
Keesokan harinya yang cerah, kami hanya makan sedikit dan langsung berangkat.
Ketika mobil kami meninggalkan jalan tol, tiba-tiba muncul satu zombie tua yang bergegas keluar dari pintu masuk belakang.
Kecepatan zombie itu luar biasa cepat. Dalam sekejap langsung berhasil mencapai jendela mobil kami dan berusaha untuk memasukkan kepalanya. Kakak tingkat cepat tanggap buru-buru meraih ember kayu dan memukulnya.
“Hampir saja!” Kakak tingkat dengan cepat menutup jendela mobil dan tidak berani buka lagi.
Kami sedang tumbuh.
Tidak diragukan lagi jika kami terus berlatih seperti ini, maka pasti akan menjadi wanita pembunuh zombie yang tak terhitung jumlahnya.
Di sepanjang perjalanan, kakak tingkat menatap peta sambil waswas terhadap situasi sekeliling, sedangkan aku berkonsentrasi penuh untuk menyetir mobil. Karena sedang dalam kondisi gugup, jadi aku menyarankan untuk memutar musik.
Tapi, begitu tombol putar musik ditekan, suara yang suara seram dan menakutkan langsung muncul ...
Dasar, pemilik asli mobil ini ternyata mendengar jenis musik seperti itu.
Lupakan saja, tak perlu dengar lagi, kami yang awalnya sudah mimpi buruk justru siksaan mentalnya semakin meningkat sekarang.
Saat ini, mobil kami telah melaju ke hutan belantara dengan kedua sisi yang penuh tanaman hijau. Melihat pemandangan ini membuat kami merasa merinding, sepertinya tidak akan ada orang yang datang untuk memanen ini lagi.
Dari waktu ke waktu beberapa zombie muncul di kejauhan, tapi jaraknya terlalu jauh dan kecepatan mobil kami juga cepat jadi tidak ada yang perlu ditakuti.
Sehingga perjalanan ini jauh lebih santai dan aku merasa jauh lebih lega dari kemarin.
Kakak tingkat tiba-tiba bertanya padaku, "Kalau aku tidak setuju membantumu mengumpulkan persediaan waktu itu, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku sudah memikirkan kemungkinan yang terburuk. Palingan aku akan berusaha keras sendirian, tapi pada akhirnya aku akan tetap mengikatmu di dalam asrama jika perlu."
Aku juga mengajukan pertanyaan kepada kakak tingkat, "Kalau bukan aku melainkan orang lain yang melarikan diri ke depan pintumu di kehidupan sebelumnya, apa kau akan membantunya juga?"
Dia hanya tersenyum setelah mendengar itu, "Rahasia, boleh tidak dijawab? Kau akan tahu jawabannya di kemudian hari."
Aku otomatis tidak senang.
Jadi dia menjawab, "Penderita vitiligo sepertiku itu dianggap jelek dan asing di mata orang lain, bahkan ada yang berpikir penyakitku bisa menular jadi selalu menjauh dariku. Vicky, kau itu satu-satunya orang yang akan menyapa dan berinisiatif untuk berbicara denganku."
Dia terdiam untuk beberapa saat, "Jadi tidak sembarang orang akan kubantu."
Setelah mendengar kata-kata itu, hatiku terasa hangat. Aku yakin kakak tingkat juga merasakan hal yang sama.
Meskipun kami tidak beruntung hidup di zaman wabah virus zombie, tapi di tengah kemalangan ini kami memperoleh persahabatan yang paling berharga.
Malam itu kami akhirnya mendekati Kota Blitar...
Di depannya ada jalan pegunungan yang sangat curam. Selama kita bisa melewati pegunungan itu, maka kami bisa dikatakan memasuki Kota Blitar sesuai peta.
Tapi saat ini langit sudah hampir gelap jadi kami memutuskan untuk istirahat dulu.
Ada pabrik kecil terbengkalai di kaki gunung yang sudah lama ditinggalkan, bahkan pintu dan jendelanya terbuka lebar serta banyak pipa besi besar dengan diameter lebih dari satu meter yang berserakan di lantai.
Tempat ini bukanlah tempat perkemahan yang sempurna tapi tidak ada pilihan lain saat ini.
Bagian dalam mobil terlalu terbuka, semua pintu dan jendela rusak jadi bau di dalamnya sangat menyengat.
Dalam ketidakberdayaan kami hanya bisa tinggal sementara di dalam tabung selama satu malam.
Saat malam kami makan mie instan mewah dengan sekotak daging.
Setelah makan malam aku menyalakan ponsel seperti biasa, dan mataku berbinar setelah melihatnya, ternyata di sini ada sedikit sinyal!
Tampaknya informasi dari radio itu benar. Kota Blitar memang terdapat pangkalan yang aman.
Karena tidak bisa mengakses Internet jadi aku mencoba untuk menelepon, ajaibnya setelah tiga kali percobaan ternyata berhasil!
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas suara di telepon jadi dalam keadaan darurat aku memberitahu dengan singkat dan cepat tentang situasi kami, tapi sebelum aku selesai berbicara sinyalnya sudah menghilang lagi.
"Tidak apa-apa," kakak tingkat menghiburku, "Besok kita akan langsung menuju jalan pegunungan."
Hari sudah larut malam dan kami bergantian untuk berjaga atau tidur. Malam ini berlalu dengan damai.
Namun siapa sangka ketenangan saat ini sebenarnya adalah titik awal munculnya gelombang kegelapan, karena ada sebuah desa kecil tidak jauh dari sini yang merupakan tempat berkumpulnya para zombie.
Mereka datang ke sini saat kami sedang tidur.
Pada saat itu, aku sedang melihat langit malam di luar tabung dalam keadaan linglung dan tiba-tiba mendengar suara gemuruh yang samar.
Aku terbangun sambil menyipitkan mataku untuk melihat ke arah kejauhan.
Penampakan itu membuatku takut setengah mati.
Ratusan zombie berjalan di tengah kegelapan dan jaraknya hanya kurang dari 100 meter dari kami!
Aku buru-buru membangunkan kakak tingkat. Reaksi kakak tingkat juga sangat terkejut, kemudian mengambil tongkat dan ransel, "Cepat Vick, masuk mobil."
Wajahku memucat sambil melihat ke arah pipa yang terbuka di belakang kakak tingkat, di mana ada zombie yang telah menjulurkan kepalanya.
Kakak tingkat memperhatikan sesuatu dan tiba-tiba berkata kepada, "Vick, buka bagasinya dan cepat masuk!"
Bagian belakang mobil kami menghalangi jalan keluar lain dari pipa besar.
Reaksi pertamaku adalah tidak, karena bagaimana dengan kakak tingkat jika aku masuk ke dalam mobil? Aku lebih memilih untuk mati bersama.
Tapi pada saat ini kakak tingkat bergegas datang dan mendorongku dengan kuat, bahkan suaranya melengking, "Cepat naik!"
"Tidak……"
"Cepat! Kau masih punya kakek!" Kakak tingkat sampai menangis, "Jika kau mati, kakek bagaimana nanti?"
Dia mendorongku lagi. Kali ini saking kuatnya hingga aku menabrak bagasi. Kakak tingkat berteriak di belakangku dan begitu aku berbalik panik, zombie itu sudah menggigit kakak tingkat.
Dia menatapku dengan air mata berlinang dan berkata, "Cepat pergi, kumohon..."
Aku menggertakkan gigi, membuka bagasi dan naik ke dalam mobil. Pada saat yang sama, saat aku masuk, sudah ada lebih banyak zombie yang menyerbu datang!
Dengan air mata mengalir di wajahku, aku menggertakkan gigi sambil menyalakan mesin mobil. Melalui kaca spion, aku bisa melihat kakak tingkat yang terhuyung-huyung hingga pada akhirnya matanya berubah merah berdarah, membuka mulut dengan lebar ke arahku dan melakukan hal yang sama seperti zombie lainnya.
"Ka-Kak ..." Air mata mengaburkan mataku.
Mobil melaju dengan cepat dan semakin banyak zombie yang mengejar di belakangku. Tanpa sadar aku menginjak pedal gas dan bergegas maju hingga mencapai jalan pegunungan.
Pada saat ini hatiku serasa tercungkil, merasa takut, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Aku kembali menjadi orang yang paling kesepian di dunia ini.
Aku teringat percakapanku dengan kakak tingkat.
Aku berkata, "Kalau bukan aku melainkan orang lain yang melarikan diri ke depan pintumu di kehidupan sebelumnya, apa kau akan membantunya juga?"
Dia menjawab, "Penderita vitiligo sepertiku itu dianggap jelek dan asing di mata orang lain, bahkan ada yang berpikir penyakitku bisa menular jadi selalu menjauh dariku. Vicky kau itu satu-satunya orang yang akan menyapa dan berinisiatif untuk berbicara denganku"
Dia juga berkata, "Tidak sembarang orang akan kubantu, tapi kau itu Vicky."
Karena keramahan kecilku, kakak tingkat yang baik hati sekali lagi menyelamatkanku.
Tapi kali ini, kakak tingkat mengorbankan dirinya!
Aku benci zombie!
Aku sangat benci virus yang mengubah manusia menjadi zombie!
Aku sangat benci dunia ini!!
Air mata mengaburkan mataku dan mobil tiba-tiba berhenti saat sudah mencapai pertengahan jalan. Tidak peduli seberapa keras aku menginjak pedal gasnya, mobil ini tetap tidak bergerak.
Kemudian aku baru menyadari bahwa tangki bahan bakarnya sudah kosong ...
Aku bingung dan tiba-tiba teringat tentang diriku yang awalnya ingin mengisi bahan bakar sebelum tidur, tapi tidak bisa melihat dengan jelas karena sudah sangat larut malam, jadi kutunda dan berencana untuk isi ulang saat fajar.
Sekarang tong bahan bakar itu masih ada di pabrik terbengkalai tadi.
Suara raungan di belakangku tidak jauh lagi. Dengan kecepatan mereka seharusnya bisa menyusulku paling lama dalam waktu setengah jam.
Jika Tuhan menginginkan kematianmu, maka mustahil bagi kita untuk melarikan diri. Kematian akan menjadi takdir.
Aku menatap langit yang gelap dan tubuhku merosot ke tanah. Aku tidak ingin melarikan diri lagi.
Lebih baik kita semua mati bersama.
Raungan zombie menjadi semakin keras dan aku sudah bisa melihat sosok-sosok dengan postur aneh tapi memiliki kecepatan luar biasa yang sedang menuju ke arah sini.
Aku berdiri diam dan tak bergerak di tengah jalan, hanya untuk menunggu kedatangan mereka.
Di bawah sinar bulan, zombie muncul di berbagai sudut pandang jalan pegunungan, dan setelah sepuluh detik mereka menyerbu ke arahku!
Aku memejamkan mata. Aku juga sudah pernah merasakan sakitnya dimakan hidup-hidup sebelumnya, dan rasa itu akan segera kualami sekali lagi.
Mereka menerkamku dan aku sudah bisa mencium bau zombie yang memuakkan dan busuk itu, tapi setelah satu, dua, tiga detik … hingga lebih dari sepuluh detik berlalu, rasa sakit dahsyat yang kupikirkan tidak kunjung datang.
Aku membuka mata dengan kaget dan sosok yang berdiri di depanku ternyata adalah kakak tingkat!
Dia berdiri di antara zombie sambil menatapku dengan mata merah.
Zombie di sekitarnya tampak kehilangan arah, mengendus dengan ganas ke segala arah sambil memamerkan gigi tapi tidak datang untuk menggigitku.
"K-Kak ... ada apa denganmu?" Kepalaku berdengung.
Apa dia sudah berubah menjadi zombie? Mengapa zombie lainnya bertingkah aneh?
Kemudian sesuatu yang lebih aneh lagi terjadi, para zombie itu benar-benar berubah bagaikan lalat tanpa kepala yang kabur ke segala arah.
Namun kakak tingkat tidak pergi dan masih berdiri di tempat dengan tatapan kosong.
Selain matanya yang merah dan kulitnya yang pucat, dia tidak terlihat terlalu menakutkan.
Aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, tapi dia tiba-tiba mundur selangkah seolah takut.
Aku ragu-ragu dan mengambil dua langkah ke arah mobil tapi dia masih berdiri diam. Kemudian, aku mengambil ransel dan membawanya di tubuhku sambil menunjuk ke arah Kota Blitar, "Kak, kita pergi bersama?"
Dia masih tidak menanggapi.
Aku mencoba berjalan puluhan meter ke depan dan dia mengikutiku dengan jarak yang tidak terlalu jauh ataupun terlalu dekat.
Aku sangat senang karena kakak tingkat tidak pergi dan selalu di sisiku. Dia bukan zombie yang tidak sadarkan diri.
Jadi di bawah langit yang gelap kami berjalan ke puncak gunung dan suasana hatiku sedang sangat baik! Karena kali ini kami berhasil masuk ke area pangkalan aman bersama-sama!
Aku melupakan semua kelelahan dan merasa santai bahkan di jalan pegunungan yang curam. Karena setiap kali berbalik, aku melihat adanya kakak tingkat yang bersamaku.
Pada pukul enam pagi, aku akhirnya mencapai puncak gunung dan ponsel juga mendapat dua baris sinyal yang terlihat jelas!
Tak lama kemudian, aku langsung menerima sebuah pesan: Harap tetap saling menghubungi, kami telah mengirim tim penyelamatan.
Aku sangat senang hingga mengangkat dan menggoyangkan ponselku di depan kakak tingkat, "Kita selamat, kita bisa bertahan hidup."
Kakak tingkat membuka mata merah darahnya tanpa ekspresi, dan masih mengikutiku seperti sebelumnya dengan langkah kaku.
Dengan begitu, kami menuruni gunung dengan perlahan tapi pasti. Di kaki gunung aku dengan bersemangat dapat melihat gerbang besi besar yang berdiri kokoh ...
Ini adalah gerbang besi terbesar yang pernah kulihat, tebal, berat, dan keseluruhannya berwarna hitam dengan jaring di atas. Jangankan zombie, bahkan burung pipit pun sulit untuk menyelinap masuk.
Tak lama setelah aku muncul, lampu hijau tiba-tiba menyapu ke arah kami. Setelah beberapa saat pintu terbuka dan disusul oleh beberapa tentara bersenjata lengkap yang keluar sambil menodongkan senjata mereka ke arahku … tidak, lebih tepatnya ke arah kakak tingkat yang ada di belakangku.
Saat ini aku baru menyadari bahwa cahaya di tubuhku berwarna hijau, sedangkan cahaya yang bersinar di tubuh kakak tingkat adalah warna biru yang aneh.
"Tembak." Pemimpin itu melambaikan tangannya.
Aku ketakutan dan bergegas sambil mengulurkan tangan untuk melindungi kakak tingkat, "Jangan tembak, dia bukan zombie!"
Mereka menodongkan senjata ke arah kami.
Aku cemas dan meletakkan tanganku di mulut kakak tingkat, "Sungguh, lihatlah kalau tak percaya. Zombie itu akan menggigit manusia, tapi dia tidak menggigitku sama sekali!"
"Kakak tingkatku bukan zombie, sungguh! Tolong lihat lebih teliti!"
Suaraku sampai melengking dan serak. Setelah beberapa waktu berlalu, salah satu dari mereka mengatakan sesuatu ke interkom. Setelah itu, dia mengeluarkan senjatanya dan langsung menembak jatuh kakak tingkat.
Pandanganku menjadi gelap dan aku pingsan!
Ketika bangun lagi, yang terlihat hanya hamparan putih yang luas di atas dan di sekitar kepalaku. Aku menundukkan kepala dan menemukan diriku sedang berbaring di tempat tidur tunggal berwarna putih dengan botol infus di sebelah.
Tidak lama kemudian dua pria dengan pakaian pelindung berjalan masuk, dan salah satu dari mereka bertanya, "Sudah bangun ya? Bagaimana perasaanmu?"
"Kenapa harus membunuhnya? Dia bukan zombie! "Aku berbalik dan bangun, mencabut jarum infus dan bergegas ke arah pintu.
Mereka menghentikanku dan berkata dengan perlahan, "Itu hanya obat bius khusus. Penderita infeksi khusus yang datang bersamamu sudah diantar ke lembaga penelitian. Dia mungkin memiliki semacam antibodi khusus di dalam tubuhnya."
"Penderita infeksi khusus?"
"Iya, jangan panik. Ini juga pertama kalinya kami bertemu dengan jenis penderita infeksi khusus. Setelah digigit, dia mengeluarkan zat aneh yang dapat mengganggu zombie. Kami sedang meneliti zat tersebut."
Jantungku berdetak lebih kencang, "Serius?"
"Tentu!"
Aku terus bertanya, "Kalian tidak akan membedahnya, kan? Apa akan menyakiti kakak tingkatku?"
"Jangan khawatir, penelitian kami tidak didasarkan pada menyakiti orang yang tidak bersalah."
...
Lebih dari sepuluh hari kemudian, setelah karantinaku selesai, aku langsung meninggalkan bangsal ini dan pergi ke Pangkalan No.1. Orang-orang di sana sama sepertiku, semuanya adalah penyintas yang menerima sinyal dan berkelana ke sini.
Beberapa hari kemudian aku menerima telepon dari kakekku. Dia sangat bersemangat dan khawatir akhir-akhir ini, tapi untungnya aku baik-baik saja.
Saat mendengar suara kakek, air mataku menetes keluar, tapi aku masih tersenyum dan menghiburnya, "Aku baik-baik saja, bukankah aku terdengar baik-baik saja sekarang?"
“Vick, jarak dari kampusmu ke Kota Blitar itu jauh sekali, bagaimana kau bisa sampai di sana?” Kakek bertanya dengan cemas.
Perlahan aku bercerita tentang kakak tingkat.
Setelah mendengar itu kakek sangat terkejut, "Apa gadis itu bernama Rani? Punya beberapa bintik putih di kulit dan kurus?"
Aku tercengang, "Kakek mengenalnya?"
"Iya," kakek mengenang, "Waktu itu kau masih berumur tujuh atau delapan tahun, dan ikut mulung bersamaku sepulang sekolah. Kita menemukan Rani di tempat pembuangan sampah. Waktu itu Rani bilang tidak ada yang mau mengadopsi dirinya, kau sudah lupa ya? "
"Aku sudah tidak ingat, kelanjutannya bagaimana?"
"Aku bilang anak ini kasihan dan ingin membesarkannya. Dia yang mendengar itu bahkan sampai menangis."
Hatiku terasa sakit, kakak tingkat ternyata pernah mengalami hal seperti itu.
"Pada akhirnya ibunya datang dan membawanya pergi, mulai saat itu tidak ada kabar tentang dia lagi." Kakek menghela nafas, "Selama bertahun-tahun ini, aku terkadang teringat dengan gadis yang malang itu."
Aku terharu hingga air mata menggenang, ternyata semuanya memiliki sebab dan akibat. Kakak tingkat tidak hanya bertemu denganku di kehidupan sebelumnya, tapi kami sudah saling kenal sejak kecil!
...
Beberapa hari kemudian kabar baik datang dari tempat penelitian. Setelah mengekstraksi sel dan darah dari kakak tingkat, mereka menemukan organisme yang ibaratnya adalah musuh dari virus mematikan itu.
Sekarang mereka menggunakan zat ini dalam percobaan hewan, dan akan diberikan kepada orang yang terinfeksi jika penelitiannya berhasil.
Namun, itu hanya dapat digunakan untuk zombie dengan tubuh utuh dan tidak bisa berbuat apa-apa bagi yang mengalami mutilasi serius ... seperti Avery, Lisa, dan Juna.
Aku sangat senang karena menemukan orang yang bertanggung jawab waktu itu dan bersikeras meminta untuk bertemu dengan kakak tingkat.
Dia tidak keberatan kali ini.
Sebulan kemudian aku akhirnya bisa melihat kakak tingkat lagi melalui kaca pelindung. Dia terbaring di tempat tidur dengan gaun putih rumah sakit, wajah dan bibirnya masih pucat.
"Kak, kak!"
Aku memanggil namanya dengan keras.
Setelah aku beberapa kali berteriak, kelopak matanya bergerak.
Dia kemudian membuka mata dan menoleh ke arahku.
Warna matanya sudah kembali normal, bibirnya terbuka dan tertutup beberapa kali. Aku bisa melihat bentuk mulutnya dengan jelas, dia sedang berkata, "Vick..."
"Kita berhasil selamat."