"bapak… makanan sudah siap" aku kenal benar suara itu, dia perempuan desa yang membuat
aku harus kembali hanya sekedar melihat senyuman manisnya itu. "Ayo.. kita makan sudah
larut malam, kamu pasti capek, karena perjalanan jauh, nanti kita lanjutkan besok saja"
sambil menatap ke arahku, aku hanya mengangguk "Ia bapak" kemudian kami bergegas ke
ruang tengah rumah sederhana itu.
Di sebuah tikar anyaman daun kelapa, hidangan sederhana disiapkan oleh keluarga
kecil itu, singkong rebus, jagung bose makanan khas daerah tersebut, dan sayur bunga
pepaya, yaaa mereka biasa menyebut nama tersebut. Di sudut ruangan duduk gadis cantik
itu, aku hanya melirik sejenak sambil melepas senyum, ia pun membalas senyum tipis saya…
Ayahnya menyodorkan piring "ayo, anak lebih dahulu," kebiasaan di kampung jika ada tamu,
sering dipersilahkan lebih dahulu, dan yang terakhir makan biasanya pemilik rumah.
Malam itu kami akhiri dengan senyum dan bahagia bisa bersama-sama, makan
bersama keluarga sederhana yang pernah memberikan aku warna. Rembulan menembus dari
balik dinding, suara jangkrik saling menyahut seakan mereka tahu apa yang aku rasakan.
Beberapa hari aku lalui, dengan hal-hal yang membahagiakan, pagi hari aku harus bangun
dan melihat kegigihan keluarga sederhana melakukan aktivitas tanpa pernah ada rasa
mengeluh. Di jalanan telah penuh masyarakat dengan memikul cangkul, sesekali
melemparkan senyum ke arahku sambil meneruskan perjalanan ke ladang mereka. Entah
kenapa pagi itu udara terasa dingin, mungkin karena di daerah perbukitan.
Di dapur, ibu telah sibuk mempersiapkan makanan sarapan pagi, sedang bapak
sedang mempersiapan cangkul dan beberapa alat perkebunan lainnya, aku berusaha mencuri
pandang sambil bertanya dalam hati dimana perempuan manis itu, atau mungkin masih di
kasur? Aku mencoba untuk mencarinya dan ketika aku memalingkan wa
gadis manis itu sedang memikul dua buah ember dipenuhi dengan air, aku menatap dari
kejauhan sembari berpikir, jika harus sepagi inikah pekerjaan yang harus ia kerjakan,
biasanya anak-anak perkotaan apalagi seumuran seperti dia, tentunya pagi hari seperti ini
pasti masih di atas kasur atau sibuk dengan handphone, chatingan atau main game. Rasa
sayangku semakin bertumbuh saat aku menatap wajahnya dan kegigihannya dalam
mengarungi kehidupan dunia ini dengan tetap terbalut dalam kesederhanaan. (Bersambung)