Pada tengah malam, ponselku menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal, "Ibu, selamatkan aku! Cepat, selamatkan aku!"
Aku melihat ke ranjang di sebelah. Di situ, terbaring putriku yang sedang tidur dengan napasnya yang tenang.
Siapa yang mengirim lelucon seperti ini?
Aku tak bisa menahan tawa dan langsung memblokir nomor tersebut.
1
Betty suka menggambar. Beberapa hari yang lalu, aku mengajaknya berwisata ke pedesaan. Namun, di tengah perjalanan, kami terjebak dalam hujan deras. Akibatnya, Betty pun masuk angin dan demam tinggi. Aku benar-benar terkejut.
Namun, ketika aku hendak keluar, aku secara kebetulan
melirik ke arah cermin.
Di sana, terdapat jejak darah yang terus mengalir.
"Ibu, bunuh dia! Dia bukan aku. Dia datang untuk membunuhmu!"
Aku terkejut.
Dalam keadaan gemetar, napasku menjadi terengah-engah. Ketika hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara pelan dari belakangku.
"Ibu."
Entah sejak kapan Betty bangun. Dia memandangiku dengan kepala sedikit miring tanpa bergerak sedikit pun.
2
Entah mengapa, saat itu aku merasa putriku berbeda dari biasanya.
Pupil hitam matanya sangat besar dan menakutkan, seolah-olah tidak berfokus. Dia menatapku dengan tajam, entah itu karena cahaya atau bukan. Ekspresinya juga sangat pucat dengan benda kecil yang samar-samar berwarna hitam.
"Ibu, kenapa Ibu memandangiku seperti itu?" Betty duduk perlahan, lalu menginjakkan kakinya ke lantai. "Ibu, tadi Ibu melihat ke cermin, lalu menutup mulutmu. Kenapa Ibu begitu?"
"Ibu, apa yang kamu maksud adalah cermin ini?" Betty berkata, "Di dalamnya, seakan-akan ada seorang gadis kecil yang persis seperti diriku."
Kalimat itu benar-benar membuatku terkejut.
Aku mengira mungkin Betty sedang linglung karena demam sehingga buru-buru keluar untuk mengambil termometer.
Namun, suara Betty terus terdengar di belakangku.
"Ibu, sepertinya dia menangis."
3
Kejadian aneh ini masih berlanjut.
Aku mencari-cari termometer di laci ruang tamu. Aneh sekali, sebelumnya aku selalu meletakkannya di sana. Baru saja beberapa hari yang lalu, aku sempat menggunakannya. Namun, mengapa hari ini tidak bisa kutemukan.
Hingga bola karet kecil jatuh di lantai.
Itulah mainan kesukaan Betty. Bola itu melompat-lompat di lantai. Aku membungkuk untuk mengambilnya, tetapi pada saat aku menyentuhnya, bola itu tiba-tiba berubah bentuk.
Seperti air yang menyebar, bola itu pun meleleh di lantai.
Air tersebut berubah menjadi merah darah, seperti mengeluarkan tangan, lalu bergerak-gerak dan berjuang di lantai. Rasa ketakutan melanda hatiku. Aku memandangi tulisan yang menari-nari di lantai dengan huruf yang sangat berantakan dengan ngeri.
"Ibu! Jangan kembali ke kamarmu! Dia akan membunuhmu langsung malam ini!"
Tulisan yang sangat mengejutkan itu bergerak liar seakan-akan penulis di baliknya menderita rasa sakit yang parah dan berusaha keras untuk memberi tahu aku sesuatu ....
Tiba-tiba, tangan yang dingin menyentuh bahuku.
"Ibu, apa yang sedang Ibu lihat?"
3
Bisa-bisanya Betty berjalan tanpa suara!
Secara naluri, aku kembali melihat ke bawah. Namun, aku hanya melihat bola karet melompat dan tulisan berdarah tadi menghilang begitu saja.
"Betty, kapan kamu datang?" Jantungku berdetak kencang. Ketika melihat kaki telanjangnya, hatiku hampir berhenti. "Kenapa kamu tidak mengenakan sepatu saat berjalan di lantai? Jangan sampai kedinginan."
"Ibu, aku merasa takut sendirian di kamar. Temani aku tidur di kamar, ya?" Wajah Betty menempel di leherku, lalu kedua tangannya terpaut erat dalam pangkuanku.
Tiba-tiba, aku teringat dengan perumpamaan. Seolah-olah ada laba-laba besar yang melekat di tubuhku.
Aku tertawa sendiri dengan pemikiran itu.
"Baiklah, ibu akan tidur bersamamu." Aku mengelus punggung putriku, lalu menggendongnya menuju kamar tidur.
Namun, saat aku sampai di depan pintu kamarnya, langkahku terhenti.
Aku melihat dengan jelas ada sepotong lengan putih di bawah ranjang. Di tengah lengan itu, ada tahi lalat hitam yang familier.
Itu adalah Betty!
Jika orang di bawah ranjang adalah Betty, orang di pelukanku ini ....
Napasku pun menjadi berat.
Sementara itu, orang di pelukanku merasakan ketakutan yang kurasakan. Dia berbalik, lalu membelalakkan matanya dan menatapku. Mata hitamnya sangat menakutkan.
"Ibu, kenapa Ibu diam saja?" Suaranya bahkan membuatku ketakutan.
"Ibu tampak sangat takut. Apa yang Ibu lihat?"
4
Kali ini, aku yakin bahwa ini bukanlah sugesti. Orang yang kugendong benar-benar terasa asing bagiku. Dia bukan putriku!
Gawat, kenapa aku sepertinya aku tidak bisa melepaskannya?
Dia seakan-akan melekat pada diriku!
"Ibu, apa yang Ibu takutkan?" Gadis di pangkuanku makin membelalakkan matanya. Ketika hidungnya hampir menyentuhku, dia tiba-tiba tersenyum dengan lebar.
"Aku tahu. Kamu sedang takut padaku, 'kan?"
Kemudian, gadis itu langsung menggigit leherku. Dia mengisap darahku dengan gila-gilaan. Aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa lengan tanganku berubah menjadi selembar kulit yang tipis.
"Aahhhh!"
Aku terbangun dengan keringat bercucuran di atas sofa.
Sebuah pesan masuk dari nomor asing, "Ibu, tolong selamatkan aku! Tolong selamatkan aku segera!"
5
Mimpi nyata yang mengerikan tadi tiba-tiba muncul dalam pikiranku.
Mungkinkah yang berbaring di ranjang sekarang bukanlah putriku, melainkan penggantinya yang tampak persis seperti dia?
Lalu, di mana putriku berada?
Kepalaku menegang. Aku hampir saja patah semangat. Aku segera membuka pesan tersebut dan membalas, "Siapa kamu dan di mana kamu sekarang?"
Namun, setelah pesan dikirim, aku tak mendapat respons apa pun.
Tiba-tiba, aku sadar bahwa suara mendengkur dari dalam kamar sepertinya sudah berhenti sejak tadi.
Aku menyadari sesuatu, lalu perlahan mendongak.
Aku melihat sebuah wajah menempel pada kaca pintu dan menatapku tanpa berkedip!
Suara putriku terdengar melalui kaca ke telingaku.
"Ibu, tadi kamu sedang mengirim pesan kepada siapa?"
6
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca dan berkata, "Ibu, kamu sudah tidak mau Betty hanya karena satu pesan, ya?"
Aku memeluknya erat-erat. "Ibu salah, Betty. Maafkan Ibu. Bagaimana mungkin Ibu tidak mengiginkan Betty? Ibu bukanlah kucing kecil ...."
"Apa itu kucing kecil?"
Satu kalimat yang dilontarkan oleh sosok yang kupeluk membuat hatiku terasa berat.
Kucing kecil adalah lagu anak-anak yang kami ciptakan bersama.
"Kucing kecil jahat. Ibu tidak menginginkanku, tapi mau si kucing kecil ...."
Betty sempat menolak tidur selama beberapa saat, kecuali jika kami menyanyikan lagu itu bersama-sama sebelum tidur. Namun, "putri" yang kupeluk sekarang justru bertanya padaku apa itu kucing kecil?
Aku mencoba bertanya dengan penuh keraguan, "Betty, apakah kamu lupa? Ini adalah lagu anak-anak yang diajarkan gurumu di taman kanak-kanak."
Suasana pun hening beberapa detik.
Dia berkata, "Aku ingat, dulu aku bisa mempelajarinya dengan cepat. Guru juga memuji aku."
Rasa takut yang intens merayap ke hatiku.
Layaknya memeluk monster yang mengerikan, dia berpenampilan seperti anak perempuan dan memiliki suara anak perempuan. Namun, entah mengapa dia tidak tahu rahasia apa pun antara aku dan Betty.
Dia bukanlah putriku!
Tiba-tiba, gadis itu merangkak dan meraih leherku. Dia memelukku erat-erat, lalu tawa aneh pun terngiang di telingaku. Hal itu dilanjutkan oleh sensasi menusuk yang tajam. Suara seperti meneguk minuman terdengar dari tubuhku.
Aku pun mulai kehilangan kesadaran.
7