Kakak pertamaku bernama Meira Zacky, kakak keduaku bernama Dessy Zacky, dan aku bernama Marry Zacky.
Kak Meira putus sekolah dan pergi ke Kota Yale. Kak Dessy putus sekolah dan terlibat dalam siaran langsung. Sementara itu, aku berkuliah di Universitas Tatsuya.
Satu-satunya adik laki-laki kami membeli ijazah perguruan tinggi dan berpacaran dengan wanita modis. Tiba-tiba, dia mengatakan bahwa dia ingin membeli rumah.
Ayahku berkata, "Kita mana mampu membeli rumah di Jakarta?"
Ibuku berkata, "Ketiga kakak perempuannya tidak membiayai pendidikan adik laki-laki mereka, jadi seharusnya membiayai pernikahannya!"
Setelah itu, orang tuaku pun membawa adikku dari Desa Serebia ke Kota Jakarta.
1
Namaku Marry Zacky. Desa Serebia adalah kampung halamanku. Aku memiliki dua kakak perempuan.
Ayah dan ibu kami sangat menginginkan seorang putra. Mereka sangat berharap dan bahkan wajib memiliki seorang putra.
Sebelum aku berusia tujuh tahun, mereka memperlakukanku dengan baik.
Suatu malam, ketika aku berusia tujuh tahun dan menyelinap keluar untuk bermain, aku melihat ayah dan paman sedang mengunyah kuaci di halaman.
Aku diam-diam mendekati mereka dengan niat ingin menakut-nakuti mereka.
"Kalau tidak bisa, aku akan memberikan anak ketigaku pada kalian. Kamu tidak boleh putus keturunan."
Aku kembali dan memberi tahu Kak Meira, "Kak, ayah bilang kita akan memiliki adik laki-laki!"
Ekspresi Kak Meira sontak menjadi kaku. "Marry, pergilah menulis. Hanya gadis terpelajar yang memiliki masa depan."
Aku selalu mengingat kata-kata tersebut hingga diterima di Universitas Tatsuya. Ketika sekolah asalku memintaku untuk meninggalkan pesan, aku langsung menulis kalimat itu tanpa berpikir.
Hanya gadis terpelajar yang memiliki masa depan.
2
Ketika ibu meneleponku, aku sedang menghadiri rapat.
Itu adalah rapat penilaian kinerjaku.
Penilaian kinerjaku berjalan dengan baik. Atasan langsung dan direktur wilayah sangat puas denganku.
"Marry, kamu benar-benar salah satu wanita terbaik yang pernah aku temui."
Ibu telah menggangguku selama setengah tahun terakhir. Dia mengatakan bahwa ayahku sudah tua dan tak bisa lagi bertani sehingga kami harus memberikan mereka enam juta setiap bulan.
Aku berada di ruang konferensi yang sepi sendirian. Ketika hendak menghubungi mereka kembali, aku malah melihat panggilan masuk dari adik laki-lakiku.
Dia berbicara dengan nada tidak sabar dan sinis, "Kami telah tiba di Jakarta! Siapa suruh kalian bertiga mengabaikan kami dan tidak membelikan rumah untukku. Kami terpaksa datang untuk mencari kalian!"
3
Aku menelepon mereka dan meminta mereka untuk menunggu di tempat.
Setibanya di hotel, aku membantu mereka untuk mengurus prosedur penginapan. Aku bertanya berapa lama mereka akan tinggal.
"Mengenai kunjungan kami kali ini, Marry, kami ingin melihat bagaimana putri-putri kami berjuang di Jakarta."
Ibu menggenggam tanganku. Begitu merasakan kulit kasar di telapak tangannya, hatiku pun terasa sakit.
"Selain itu, kami ingin melihat kondisi rumah di Jakarta. Kita harus memastikan bahwa kamu memiliki tempat tinggal yang layak. Kamu sudah besar dan hampir berusia 28 tahun, 'kan? Kalau tinggal di desa kita, kamu seharusnya sudah memiliki dua anak."
Aku menghela napas dalam hati.
Melihat aku tidak merespons, ayah pun marah, "Meira anak sialan! Dia bahkan tidak mau menerima panggilan. Apakah dia mengira boleh mengabaikan orang tuanya setelah menikah? Siapa yang memberinya keberanian itu?"
"Selain itu, si Dessy. Gadis baik-baik malah sibuk melakukan siaran langsung. Dia selalu berpose mesra di hadapan pria. Dasar murahan!"
Ayah mana yang akan menyebut anak perempuannya sendiri murahan dan mencelanya?
"Ayah, bukankah perkataanmu terlalu kasar? Kak Dessy adalah seorang influencer kecantikan. Pengikutnya adalah wanita. Dia mendapatkan uang dari kemampuannya. Itu lebih baik daripada tidak melakukan apa pun dan hanya meminta uang dari orang tua, 'kan?"
Aku mengernyit. Amarah dalam hatiku makin memuncak.
"Aku hidup dengan baik dengan mengandalkan kemampuan sendiri, jerih payahku, dan bekerja tanpa mengenal lelah. Kalau kalian hanya ingin melihat keadaanku, kalian sudah melihatnya. Aku sangat sibuk belakangan ini. Kalian bisa berjalan-jalan sendiri, lalu pulanglah."
Setelah mengucapkan itu, aku ingin pergi. Namun, ibu malah menahanku. "Marry, kami tidak berencana pulang kali ini."
4
Bagaimana mungkin aku tidak mengetahui alasan mereka datang kemari?
"Ayah, ibu, kalau kalian berbicara soal membeli rumah di Jakarta, maaf sekali. Aku tidak mampu membelinya. Tidak ada yang perlu dikatakan lagi tentang hal ini."
"Tidak mau beli juga tidak apa-apa. " Ayahku duduk di tempat tidur tanpa melepas sepatu sehingga mengotori seprai.
"Berikan uangmu sebanyak dua miliar. Setelah itu, kami akan segera pulang."
Benar saja, tujuan orang tuaku datang mencariku hanya ada satu, yaitu meminta uang.
Aku tersenyum dengan gaya profesional. "Aku telah memperpanjang waktu menginap di hotel selama seminggu. Pikirkanlah dengan baik. Aku memang tidak punya uang. Kalaupun kamu menjualku, itu pun tidak akan menghasilkan dua miliar."
Dalam perjalanan pulang, lampu merah terus menyala di sepanjang perjalanan. Hal ini sangat menggambarkan kesulitan dari hidupku.
Ketika aku berusia tujuh tahun, aku sangat senang akan memiliki seorang adik laki-laki, meskipun dia diberikan oleh paman.
Dengan memiliki adik laki-laki, ibu tidak akan lagi dihina tidak berguna oleh nenek.
Dengan memiliki adik laki-laki, ayah akan sedikit lebih bahagia. Dia tidak akan diolok-olok saat minum dan bermain kartu.
Kak Meira sering kali mengingatkan aku dan Kak Dessy, "Kalian harus ingat. Keluarga ini hanya untuk adik laki-laki. Tidak peduli dari mana asalnya, semua ini akan menjadi milik adik laki-laki. Kalian harus berprestasi, harus belajar dengan baik."
Pada hari kedua tahun baru Imlek, ada tamu yang datang ke rumah. Aku diam-diam mendengar mereka sedang membicarakan pernikahan untuk Kak Meira.
Lantaran aku yang paling muda, orang dewasa tidak terlalu curiga padaku. Jadi, diutus oleh Kak Dessy untuk memata-matai situasinya.
Ternyata mereka ingin menikahkan Kak Meira yang masih bersekolah di SMA dengan anak keluarga bisu dan lumpuh di desa sebelah. Mereka akan memberikan tiga ratus enam puluh juta sebagai mas kawin. Uang itu akan kita gunakan untuk membiaya sekolah adik laki-laki.
Setelah itu, aku baru tahu bahwa Kak Dessy telah membujuk Kak Meira. Dia menyuruh Kak Meira pergi mencari putra bungsu dari keluarga kepala desa dan memohon padanya untuk membawanya pergi.
Setelah Kak Meira pergi ke daerah selatan, dia menulis surat untuk Kak Dessy.
Kak Meira berkata, "Kalian harus belajar dengan baik. Saat ini, Kakak sedang bekerja keras mencari uang. Nantinya, Kakak akan kembali bersekolah."
Kak Meira juga mengatakan, "Kalau tidak ada uang dari rumah, pergilah ke kota untuk membuka rekening. Aku akan menyetor uang di dalamnya."
"Ingat, tidak ada yang boleh menyebutkan tentang kartu dan uang ini!"
5
Ketika adik laki-laki berusia 5 tahun, dia menjadi preman kecil di desa kami.
Dia berkelahi, memanjat pohon, mencuri uang. Dia memiliki banyak kemampuan, kecuali belajar.
Kak Dessy telah masuk SMA, tetapi nilai-nilainya tidak memuaskan. Dia berkata padaku bahwa dia merasa belajar bukanlah satu-satunya jalan keluar.
Dia mengajukan untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Hal itu membuat orang tuaku sangat senang.
Melihat keluarga kami, hatiku pun merasa sedih.
Aku mulai belajar lebih giat lagi, tanpa henti, dan mengerjakan latihan sampai enek.
Akhirnya, aku diterima di SMA unggulan di kota. Ayah tidak ingin aku ke sana, tetapi kepala sekolah datang dua kali dan menawarkan pembebasan biaya sekolah dan beasiswa.
Aku merayu ibuku. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku akan membantu pekerjaan pertanian. Adik laki-lakiku memukuli dan mengumpatku, tetapi aku hanya tersenyum dan menahan diri.
Melalui tindakan ini, aku memberitahunya bahwa aku sangat mencintainya. Aku sangat mencintai keluarga ini ini adalah rumahku.
Aku menyembunyikan ini dari keluarga. Teman-teman sekelasku membantuku. Guru juga membantuku sehingga aku berhasil mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.
Universitas Tatsuya memberiku kesempatan untuk meninggalkan desa kecil ini dan mengubah nasibku. Aku menelepon Kak Meira. Dia sangat bahagia dan menangis.
Pada saat itu, dia telah berhasil membuka toko daring di Kota Yale dengan usaha yang keras.
Dia memberitahuku bahwa dia sudah membeli rumah, memiliki pacar, dan bersiap untuk menikah.
Aku merasa agak khawatir karena kartu identitasnya masih ada di tangan orang tua kami.
Dia tertawa di telepon, lalu berkata, "Marry, jangan khawatir. Kakak tidak akan membiarkan mereka menyiksa kalian."
6
Kak Meira pulang saat liburan musim panas sebelum aku pergi ke Universitas Tatsuya.
Begitu mobil sedan baru masuk ke desa, semua anak kecil di desa langsung keluar untuk melihatnya.
Kak Meira mengenakan gaun dan syal modis, serta topi pantai yang besar.
Dia langsung menyumbangkan uang untuk merenovasi kuil desa. Ayah kami tiba-tiba menjadi sangat bangga.
Di malam hari yang sunyi, aku mendengar Kak Meira sedang berbicara dengan ibuku. Dia berhasil mendapatkan kartu identitas dari ayah dan ibu setelah meyakinkan mereka.
Kak Meira mengambil kartu identitasnya sendiri dan memberikan kartu identitasku hati-hati. "Pindah ke sekolah, jangan kembali lagi!"
Aku tidak makan apa pun malam itu dan hanya merasa lelah.
Aku membuka keran air dan membiarkan air mengalir deras. Kemudian, aku diam-diam melontarkan kekesalan hari ini.
Mereka tahu bahwa aku tidak punya uang, tapi sengaja mengungkit Kak Meira.
Mereka pasti ingin memaksaku menyerahkan kartu identitas, lalu memaksa Kak Meira untuk memberikan uang.
Kami tidak bisa bertengkar dengan mereka.
Sebab, mereka sudah berjaga-jaga dan masih memegang kartu identitas Kak Dessy.