Aku kembali berada di ruang ujian masuk universitas dan berlari keluar dengan panik seperti orang gila. Setelah ujian Bahasa Inggris, pengawas ujian akan berubah menjadi zombi dan dunia ini akan kiamat!
Dalam waktu dua jam ujian Bahasa Inggris, aku harus mengumpulkan persediaan yang cukup, mencari tempat persembunyian yang aman, dan bertahan selama tujuh hari pertama yang penuh kekacauan dan bahaya.
1
Aku duduk di ruang ujian sambil menatap kertas soal Bahasa Inggris yang baru saja dibagikan. Saat itu, jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore dan seluruh tubuhku gemetar tidak terkendali.
Aku yakin aku baru saja memutar waktu.
Dua jam lagi, tepat saat aku menyerahkan kertas jawaban, pengawas ujian akan mengalami kejang-kejang, lalu membuka mulutnya yang berlumuran darah dan menerkam seorang gadis, teman sekelasku yang duduk di baris depan, Yohana Sasmita.
Di kehidupan sebelumnya, aku berlari tanpa tujuan di tengah kekacauan dan menjadi salah satu orang yang beruntung karena bisa selamat dari lautan zombi dan bertahan hidup selama tiga tahun di tengah kehancuran dunia.
Namun, aku terkepung oleh sejumlah zombi dan melompat dari gedung. Aku mengakhiri hidupku sendiri, tetapi malah kembali ke tempatku berada saat ini, yakni di ruang ujian masuk universitas saat ujian mata pelajaran terakhir.
Tiga tahun bertahan hidup di tengah kehancuran dunia membuat mentalku kuat. Setelah terkejut sebentar, aku pun segera merencanakan langkah-langkah pelarian.
Pertama, aku harus mengumpulkan persediaan yang cukup sesegera mungkin, paling tidak untuk bertahan selama tujuh hari. Tujuh hari pertama adalah periode terburuk pecahnya wabah yang paling kacau dan berbahaya. Hampir setiap orang yang terjebak di luar akan digigit dan berubah menjadi zombi.
Kedua, aku harus mencari tempat perlindungan yang bisa melawan para zombi. Aku tidak boleh berlarian tanpa arah seperti yang kulakukan di kehidupan sebelumnya. Aku memang beruntung waktu itu, tetapi kali ini, aku tidak bisa hanya mengandalkan keberuntungan.
Tanpa membuang waktu, aku berdiri sambil memegangi perutku. "Pak, perut saya sakit!"
Setelah itu, aku berlari menuju supermarket dan berteriak, "Pak, tolong dua dus air mineral!"
2
Supermarketnya tidak terlalu besar, jadi persediaannya juga tidak terlalu banyak. Aku lebih banyak mengambil makanan ringan, seperti sosis, biskuit, paha ayam, sayap ayam, dan dendeng sapi.
Aku menggunakan tabungan hidup yang sudah lama kukumpulkan untuk membeli semua yang bisa kubeli. Pemilik toko mencarikan sebuah kardus besar dan mengisinya dengan barang-barang tersebut, bahkan kardus besar itu pun sampai penuh.
Aku meminta pemilik toko untuk menyiapkan kardus lagi dan melanjutkan berbelanja.
Dia membawakan kardus lagi dan aku mulai mengambil barang-barang kebutuhan sehari-hari, termasuk pembalut, cairan disinfektan, tali, gunting, dan lain-lain.
Aku juga membeli sebilah pisau untuk memotong semangka yang panjangnya setengah meter.
Saat ini, aku tidak ada waktu untuk mengambil persediaan dengan rakus karena waktuku sangat terbatas.
Aku membayar semuanya dan dengan susah payah mengangkat kardus makanan yang sudah terisi penuh, lalu berlari menuju asrama.
Ketika sampai di gedung asrama wanita, penjaga asrama memandangku dengan tatapan heran.
Ketika sampai di gedung asrama wanita, penjaga asrama memandangku dengan tatapan heran.
"Aku bekerja di supermarket. Ada teman yang meminta bantuanku untuk mengantarkan barang ke asrama, katanya untuk perpisahan," kataku sambil sedikit menunduk supaya penjaga asrama tidak melihat wajahku dengan jelas.
Aku naik ke lantai dua dengan keringat bercucuran, mengeluarkan kunci dan membuka pintu, lalu meletakkan barang-barang yang sudah kubeli di dalam. Setelah itu, aku bergegas kembali ke supermarket.
Setelah bolak-balik sebanyak tiga kali, akhirnya aku berhasil memindahkan semua persediaan ke dalam asrama.
Pintu akan aku kunci dari dalam karena aku tidak berniat membiarkan siapa pun masuk. Di kehidupan sebelumnya, aku menyaksikan sendiri betapa jahatnya manusia terhadap satu sama lain. Kali ini, aku tidak akan dekat dengan siapa pun.
Setelah mengunci pintu dan menutup jendela, aku mendorong tempat tidur untuk mengganjal pintu dan pisau panjang tadi kuletakkan di atas tempat tidur.
Semua itu selesai saat jam menunjukkan pukul 16:59.
Sesaat kemudian, bel sekolah pun berbunyi.
Aku mendengar suara sorak-sorai, langkah kaki, dan suara mengobrol, kemudian disusul dengan teriakan, ratapan, dan tangisan ....
Sekolah sedang di ambang kehancuran. Seluruh dunia akan berada di ambang kehancuran!
3
Aku mendengar suara jeritan menyayat hati di luar, tetapi hatiku berangsur tenang.
Aku sudah terbiasa.
Siapa pun yang mati di depan mataku, aku tidak akan merasakan getaran emosi apa pun.
Tiba-tiba, aku mendengar suara kunci. Ada orang yang mencoba membuka pintu!
"Tidak bisa dibuka! Siapa yang mengunci pintu dari dalam? Ada orang di dalam!" Aku mendengar suara yang familier sekaligus asing pada saat yang sama.
Itu suara Quinna Dara, ketua kelas dan pengurus asrama. Dia memang punya kunci.
Para anak laki-laki diam-diam menjulukinya primadona sekolah. Ditambah dengan prestasi akademik yang luar biasa, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa dia adalah bintang paling bersinar di sekolah.
Akan tetapi, dia sangat jahat padaku. Aku masih ingat saat dia meludahiku di toilet perempuan dan menginjak wajahku. Bisa dibilang, prestasiku menurun akibat intimidasi yang kuterima darinya.
Aku bahkan masih mengingatnya setelah tiga tahun hidup dalam pelarian. Itu adalah bukti betapa besar kebencianku padanya.
Aku bersandar pada tempat tidur, menekan pintu kuat-kuat. Aku hanya perlu menunggu sebentar. Ketika para zombi mengejar mereka, mau tidak mau mereka akan pergi dari sana.
Aku menutupi jendela dengan baju. Akan tetapi, satu baju jatuh pada saat itu dan mereka bisa melihat sebagian tubuhku.
"Celine Clarista!"
Aku ketahuan.
4
Quinna melihat ke arahku dengan nyalang dan menghardik, "Celine, kamu sudah gila? Buka pintunya!"
Aku mengernyit. Andai saja mereka tidak melihatku, mungkin mereka akan pergi. Sayangnya, mereka melihatku dan jadi punya harapan sehingga mereka tidak mungkin pergi begitu saja.
Begitulah manusia.
Aku menggerutu dalam hati, tetapi tidak baik jika terus seperti ini. Kalau sampai pintu dibobol, semuanya akan berakhir.
"Jangan membobol pintu. Kalau sampai rusak, tidak akan ada tempat untuk bersembunyi lagi!" kataku dengan tegas. "Coba kalian saling periksa. Siapa pun yang terluka, luka apa pun itu, tidak boleh masuk!"
Aku melanjutkan, "Orang yang digigit atau dicakar akan berubah menjadi zombi. Sebaiknya kalian periksa dengan teliti. Kalau tidak, kita semua akan mati!"
Seorang gadis dengan ragu-ragu berkata, "Kaki ketua kelas berdarah."
Dia mengangkat dan melihat bagian belakang kakinya dan tampak jelas ada luka di sana.
"Quinna, kamu tidak boleh masuk, yang lain boleh masuk." Aku pun membuat keputusan.
"Quinna, ayo pergi," kata seorang murid laki-laki secara tiba-tiba. Entah dari mana dia datang.
5
"Levin, kamu .... " Quinna tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki itu menarik Quinna dan keduanya pergi dari sana.
Aku sangat takut pintu akan rusak, tetapi aku tahu Quinna pasti tidak pergi. Dia hanya berusaha mengelabui aku.
"Masuk." Aku mendorong tempat tidur dan membuka pintu dengan ekspresi cemberut.
Namun, begitu aku membuka sedikit celah, pintu langsung ditendang kuat-kuat dari luar. Aku tidak siap dan terbentur. Hidungku berdarah dan aku terjatuh ke lantai, serta pisau panjang untuk memotong semangka itu terlepas dari tanganku.
Aku memegangi hidung sambil menatap laki-laki yang baru saja menendang pintu. Sekarang aku ingat siapa dia.
Dia pernah menjadi teman sebangkuku saat di SMA, Levin.
Pada saat itu, nilai-nilainya buruk dan aku membantunya belajar. Teman-teman mulai bergosip dan mengatakan bahwa kami berpacaran.
Saat itu, Levin selalu membantah. Dia bahkan mengatakan bahwa dia pasti sudah gila kalau sampai suka padaku.
Kami saling menjauh setelah itu. Dia makin bersinar dan punya hubungan dengan Quinna. Sementara itu, Quinna sepertinya masih khawatir soal aku dan mulai memperlakukanku dengan kejam. Dia mengintimidasi aku dengan berbagai cara, membuatku menjadi siswa yang tidak punya prestasi, dan tidak mungkin lagi memiliki hubungan dengan Levin.
Mereka melihat persediaan di dalam kamar dengan wajah semringah. "Bagus, ada makanan di sini!"
Aku merasa sangat tidak rela. Sekarang, ada delapan orang di kamarku. Mereka makan dan minum dengan rakus. Kalau begini, makanan tidak mungkin bertahan sampai tujuh hari.
Aku mencoba berdiri. Orang yang menahanku sudah tidak lagi memegangiku dan hendak minum air.
Sayang sekali, pisau semangka milikku ada di tangan seorang murid laki-laki.
"Ketua kelas, ada disinfektan!" seorang gadis menemukan barang lain di kotak persediaanku.
Quinna tampak berbinar. "Cepat bersihkan lukaku."
Selama tiga tahun di tengah kehancuran dunia, aku sudah membunuh setidaknya lima puluh orang. Akan tetapi, hari ini aku justru terjebak dalam situasi yang menjatuhkan harga diriku.
6
Quinna menyuruhku membersihkan lukanya. Tidak diragukan lagi, dia hanya ingin menginjak harga diriku, seperti yang selalu dia lakukan sebelumnya.
Aku diam-diam melirik pisau semangka milikku. Pisau semangka itu dipegang oleh seorang laki-laki berambut pendek yang kini sedang menonton TV.
"Celine, kamu yang salah karena terlalu egois. Bagaimanapun, kamu sudah menyiapkan makanan, jadi kami bisa menerimamu. Sebaiknya kamu bersihkan luka Quinna dan minta maaf padanya. Setelah itu, kami akan melupakan masalah ini," ujar Levin dengan acuh tak acuh sambil menatapku.
"Baiklah, aku minta maaf." Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mendekati Quinna dan membungkuk untuk membersihkan lukanya.
Tentu saja, aku pura-pura membersihkan lukanya. Sebenarnya, aku mau memeriksa luka yang dia dapatkan dari serangan zombi.
Luka itu masih berdarah, jadi aku harus melihatnya dari dekat.
Setelah aku menuangkan cairan disinfektan dan membersihkan darahnya, barulah luka itu terlihat jelas. Dalam lukanya sekitar setengah sentimeter, sepertinya dia terkena cakaran zombi.
Dia sudah tidak bisa diselamatkan.