Rega dapat predikat cumlaude untuk kejombloan yang ia pertahankan selama seumur hidupnya, ga tau kenapa dengan muka ganteng dengan prestasinya yang membludak dan seantrean cewek-cewek kece yang mau jadi pacarnya ga menumbangkan statusnya itu. Memang sih dia agak gila dan cuek orangnya dan masih memegang teguh prinsip kepatuhan terhadap orangtua. Itu malah bikin dia jadi imej goodboy di sekolah. Tipe cowok idola, kan. Sedangkan gue, ga cantik-cantik amat yang selalu ada di samping Rega apapun yang terjadi, dimana ada Rega disitulah gue.
“selamat pagi goodboy”, aku menyapanya dari jendela rumahku yang bertetangga dengan kamarnya. Dia menjawab sekenanya dengan masih berkutat dengan buku pelajaran. Kami sudah hidup bertetangga cukup lama, mungkin sebelum kami ada kurasa. Soalnya mama kami bersahabat. Seperti hari-hari lainnya, bertemu sapa tiap hari, bertetangga dengan baik dan benar. Dan jadilah kami sahabat baik dan mungkin sedikit gila dan sering juga ngambek-ngambekkan.
Kami sekarang udah kelas 3, ujian sudah di depan mata. Ga terasa waktu cepat banget dan gue bertekad buat memecahkan rekor cumlaude Rega jadi jomblo sebelum kelulusan, ga mungkin kan pas prom night dia datang sendiri ga bawa pasangan. Dan kali ini harus berhasil, soalnya Dinaara, udah lama suka sama Rega dan bagusnya sih mereka jadian aja.
Aku mendengar pintu depan terbuka, dari lantai dua dekat tangga aku bisa melihat siapa yang datang dan itu adalah rega. Semua orang sedang keluar dan aku pasti harus meladeninya Ia menatapku dari bawah, auranya berbeda malam ini. Ada yang salah kupikir. Aku bisa merasakannya dari jauh, jantungku serasa mencelos saat ia mulai naik tangga. Aku memperbaiki dudukku, pura-pura sibuk membaca majalah.
Ia berdiri di sampingku dan hening sesaat, aku memberanikan mengawali percakapan. “kenapa??”, tanyaku ragu-ragu. Aku tak ingin menatapnya, aku seperti akan dapat amarah besar malam ini. “loe tau maksud gue datang kesini!!”, jawabnya dingin. Ia menyibak majalah yang pura-pura kubaca. Aku masih tak menatap matanya. Aku tahu masalahnya dan sepertinya aku terlalu terburu-buru dengan tindakanku. Sepertinya malam ini ia sudah tahu niatku untuk menjodohkannya dengan Dinaara. “maksud loe apa, ngingkarin janjian kita?, Katanya mau nonton, dan maksa gue suruh duluan ke sana, gue telponin loe ga dijawab, terus tiba-tiba Dinaara ada di bioskop mau nonton Film yang sama, seakan-akan dia udah tau kalo gue bakal kesana”. Suaranya bergetar, seakan ia menahan amarah. Oh my god, apa yang sudah gue lakuin. Jantungku berdetak cepat, gue masih tahan jika diomeli Mama, tapi kalo Rega bikin gue ga bisa berkutik. Tapi malam ini gue harus berani, gue harus bisa berhadapan dengannya.
“Emang apa yang salah kalo ada Dinaara disana, bisa aja kan kebetulan?”, sergahku. “loe ga usah bohong, gue masih maklum soal Dinaara belajar bareng, makan di kantin atau apalah sama kita? Tapi loe ngelanggar janji kita buat nonton film !!!”, selanya. “itu kan Cuma film, toh besok-besok bisa nonton lagi, loe sensi banget sih. Soal Dinaara disana gue ga tau kalo dia ada disana!!”, bohongku. Alasanku cukup wajar, meski wajahku mungkin di matanya sudah terlihat bohongnya, aku memang tak bisa berbohong padanya. Mendengar penejelasanku, ia mendecih, wajahnya terlihat kecewa ia ingin berkata sesuatu namun ditahannya. “gue tahu loe sekarang bohong sama gue, tapi udah cukup loe mau jodoh-jodohin gue, loe ga berhak ngatur perasaaan gue suka sama siapa!!!”, ia berbalik pergi. “loe bener, gue bohong tapi loe mau tau kenapa gue ngejodohin loe?”, akhirnya kata-kata itu meluncur juga dariku. Sudah lama aku ingin membahasnya mungkin sudah waktu yang tepat. Ia berhenti namun tetap membelakangiku. Mungkin ingin memberiku kesempatan untuk menjelaskan. “loe tahu, semua anak-anak di sekolah ngomongin kalo kita pacaran lah saling suka lah, karena kita selalu bareng. Loe tau kan gue ga suka denger itu, karena kita selalu temenan gue ga mau omongan itu bikin kita nanti renggang. Loe selalu jadi sahabat terbaik gue”, keluhku.
Hening sejenak, seakan suara-suara lain tenggelam dalam suasana suram ini, aku tahu Rega sangat marah padaku tapi aku punya alasan. Kami akan selalu jadi sahabat dan pembicaraan tentang pacaran membuatku marah dan merasa mengkhianati persahabatan ini.
Ia berbalik padaku, menunduk sambil berkacak pinggang lalu mendesah ke langit-langit ruangan. Seperti ingin meluapkan kekesalannya. Ia mengambil beberapa langkah mendekatiku, semeter lagi mungkin ia sudah berada di depanku. “gue ga pernah berpikir, bisa-bisanya loe punya pikiran sepicik ini tentang kita dan sejak kapan loe ngedengerin omongan orang, loe bukan kayak orang yang gue kenal!”, jawabnya dingin. Hatiku seakan tercambuk dengan perkataannya, picik!! Aku tak sadar sejak kapan pikiranku sepicik ini. Ia berbalik pergi menuruni tangga. Aku mengejarnya, sebenarnya ada perasaan yang masih menjanggal dan aku harus menuntaskannya malam ini.
“Rega..!!!!”, teriakku, ia berhenti di ujung tangga bawah dan aku diujung tangga atas. Ia menatapku, seperti biasanya tatapan itu. “gue sebenarnya takut!!”, sergahku. “kayaknya gue ga bisa memandang loe lagi sebagai anak tengil tetangga sebelah yang bisa gue jahilin atau recokin atau sekedar teman main selamanya, soalnya… ada perasaan lain yang gue ga tahu apa!! Dan gue takut itu bakalan ngerusak persahabatan kita, mungkin dengan loe pacaran atau apalah gue bisa ngilangin perasaan aneh ini”, jujurku. malam ini, gue bukanlah gue. Kenapa gue jadi senti mentil gila kayak gini. Tapi gue jujur ini memang dari hati gue. Dan malam ini malam terakhir gue dianggap sahabat oleh Rega. Intinya gue ngungkapin suka gue sama dia. kayaknya pipiku udah merah deh.
Ia menatapku dari bawah, aku tak tahu ekspresi apa yang kuperlihatkan antara malu atau kecewa. Selamat tinggal sahabat.. Ia tersenyum dan malah tertawa khasnya itu antara meremehkan atau menganggap perkataanku hanya candaan. “sama…!!!”, jawabnya. Suaranya cukup keras hingga aku bisa mendengarnya. Ehhh, maksudnya apaan, sepertinya aku memasang tampang bego lagi. “gue juga udah lama punya perasaan yang sama kayak loe bilang dan gue udah lama nyimpen itu rapat-rapat takut “ngerusak persahabatan kita!!”, ia menekankan kata itu dengan tanda kutip di udara. “tapi akhirnya kita kayaknya udah punya perasaan yang sama sekarang!”, jawabnya.
Apa-apaan dia, kenapa jawabannya begitu santai seakan aku baru memecahkan soal kelas 1 SD kalo 1 + 1 = 2. Tapi aku juga sadar ia juga tak bercanda. Aku menatapnya lekat-lekat seakan mengirimkan telepati untuknya kalo yang ia bilang sungguhan dan ia membalasnya, mengangguk kecil seakan menjawab pertanyaan yang ada di kepalaku. Oh my god, jadi…
“hmm… Halo… kalian udah selesai, kan. Bisa gue naik ke atas?. Gue mau ngambil barang nih..?”, celetuk seseorang, suara pria. Acara pandang-memandang kami berakhir setelah suara Mas Dion memecah keheningan. aku beralih memandang orang-orang yang ada di bawah, Ayah-Bunda, Mbak Dinda, dan Mas Dion, lengkap. Sejak kapan mereka ada disini, jangan bilang mereka dengar semua. Oh my god, wajahku mungkin sudah merah menyala karena malu. Aku langsung melarikan diri dari tatapan orang-orang, masuk kamar dan menghempaskan badanku ke kasur. Aaarrgghh… apa-apaan malam ini.
Paginya, aku harus turun ke bawah meski tak ingin, ritual sarapan pagi adalah kewajiban. Aku terus menunduk, tak ingin bertatapan dengan mereka. Rasanya malu sekali. “akhirnya, adek gue udah ada yang suka, yah meski ujung-ujungnya Rega, sih. Kasian banget sih dia, kok bisa yah suka makhluk absurd kayak kamu!!”. “Dion..!!! kok gitu sih sama adeknya..!!”, sela bunda. “emang mas Dion ga absurd apa…?”, Mbak Dinda juga ikutan. “memang kenapa, anak Ayah kan cantik gitu, masa dibilang absurd”, bela ayah.
Aku buru-buru menghabiskan sarapan pagiku, menghindari percakapan lebih lanjut. Meski mereka melanjutkannya tanpaku. Aku melirik ke sebelah rumah Rega, berharap ia sudah berangkat. Tapi ia sudah parkir di depan rumah dengan motor matic Fino-nya, “yukk!!”, ajaknya seperti biasa. Seperti tak ada yang terjadi semalam. Apaan sih, ga bisa liat situasi yah.
Aku terus berjalan dan ia terus mensejajariku dengan motornya. “kenapa sih, kok mukanya cemberut??”, tanyanya masa bodoh. Dahiku mengkerut, heran apa cowok emang sebegitu gampangnya melupakan moment dramatical kayak semalam. “maksud loe apa sih, kenapa reaksi loe kayak ga ada apa-apa sih?”. “lah terus, maunya apa gue udah bilang gue suka sama loe dan loe suka sama gue. So..??”,. Serasa mau jitak nih cowok satu. Aku memasang wajah ngambekku dan terus berjalan. “sekolah jauh loh, mending naik motor?”, tawarnya. Aku berhenti dan segera naik karena ga ada pilihan.
“jadi status kita sekarang apa??”, teriaknya di depan, mengalahkan gemuruh motor yang lalu lalang di sebelah kami. “loe maunya apa, emang kita udah komitmen apa kemarin.?” “eoh… belum yah… ok.. jadi, gue suka sama loe mau ga jadi pacar gue?” “gampang banget loe ngomongnya..”, setengak berteriak. “jadi maunya gimana??” “gimana persahabatan kita, mau dikemanain, nanti kalo ada masalah di depan, gue ga mau kehilangan sahabat gue”. “tenang, kalo ada masalah, gaplok gue aja biar sadar dan gue bakalan jadi sahabat loe selamanya, tapi kayaknya susah deh, soalnya udah kepalang cinta, ga bisa diselamatin kayaknya hati gue. Nanti gue nanya sama ortu lo biar jodohin kita aja yah…”
Gue ga bisa berkata apa-apa dan gue baru nyadar perasaan Rega selama ini, gue terlalu bego untuk paham dan terlarut dengan status persahabatan kami. Aku tersentuh ternyata sahabat gue udah bener-bener gila dan gue bener-bener suka sama dia.
“gue mau jadi pacar loe…!!!”, teriakku “jadi status kita sekarang apa??”, teriaknya lagi. “MY BOY + FRIEND..!!!”, teriakku. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang di tengah jalan. Anak SMA teriak di jalanan ga jelas.
Soal Dinaara, nanti gue pikiran, mungkin dia bakalan kaget setengah mati, liat gue sama Rega jadian tapi gue sadar udah lama memang suka sama nih bocah, so sorry gue udah “taken contract” duluan. “Eveline dyah Gantara, MY GIRL + FRIEND…!!”, teriaknya. Yup, dia akan jadi cowok gue sekaligus sahabat terbaik gue. Dan satu hal penting gue punya pasangan pas prom nanti.. asiikkk…!!!
Cerpen Karangan: Rika A. Blog / Facebook: Rika Anggari