Adeline adalah seorang gadis remaja yang dikenal sebagai anak periang, namun agak sedikit garang. Adeline bukanlah gadis yang memiliki paras cantik seperti gadis-gadis lain. Tapi setidaknya, Adeline memiliki paras yang manis dan murah senyum. Ia pun juga bukan seorang yang kaya yang memiliki rumah dengan harga miliyaran juta. Adeline hanya seorang gadis yang hidupnya bisa dikatakan sudah sangat berada.
Di sekolah, Adeline tidak membedakan sikap kepada teman-temannya. Sebisa mungkin, ia bersikap adil kepada mereka. Kecuali dengan teman-teman dekat Adeline. Tidak ada salahnya jika Adeline bersikap lebih spesial kepada mereka. Jean, Peter, Sonia, Raquel dan Tris. Kelima teman Adeline inilah yang selalu menemani hari-harinya saat berada di sekolah. Mereka jugalah tempat Adeline berbagi cerita tentang seorang laki-laki yang sedang ia segani saat ini. Yaitu Schneider.
“Astaga, Adeline. Apa kau yakin? Kau benar-benar tertarik dengan laki-laki itu? Apa yang membuatmu sampai menyukainya? Hanya modal tampan saja kau sudah terpikat. Huh dasar,” kata Raquel memutar kedua bola matanya dan memasukan sebulat bakso kemulutnya. Adeline yang sedang duduk di depan Raquel tersipu malu. “Entahlah. Seperti sudah menjadi takdirku untuk mencintainya,” jawab Adeline percaya diri. Raquel masih menguyah sisa baksonya dan memasukan bakso lain ke dalam mulutnya sambil menggelengkan kepala. “Ada-ada saja kau ini.”
—
Sepulang sekolah, Adeline bersama dengan dua orang sahabatnya, Jean dan Peter mereka bertiga berencana untuk pergi mencari makan siang diluar. Sonia, Raquel, dan Tris akan menyusul setelah yang lain menentukan tempatnya.
“Ayo Jean! Kau kan, yang paling sering keluar rumah. Apakah tidak ada rekomendasi tempat makan enak?” tanya Peter. Jean berkacak pinggang. “Ada saja. Restoran ini cukup mewah, rasanya lezat. Namun, harganya masih terjangkau. Sayangnya, tempatnya cukup jauh. Tidak dekat sekolah.” “Memangnya dimana?” tanya Adeline sambil asyik memakan camilannya. “Kalau masih di dalam kota sih, aku tidak ada masalah untuk pergi kesana. Asalkan ada transport aku pasti ikut,” lanjutnya sambil menyeringai. Peter langsung mengetuk kepala Adeline dengan pelan. “Bilang saja kau tidak ingin rugi kan?” Adeline memanyunkan bibirnya dan melempar sepotong cheeps pada Peter sambil berkata, “Seenaknya saja kalau bicara. Jika aku tidak ingin rugi, aku tidak akan mau ikut kalian makan diluar.”
“Sudah, sudah. Untuk masalah itu serahkan padaku saja. Sekarang apa kalian sudah izin orangtua masing-masing?” tanya Jean. “Tenang saja. Mereka sudah tau, jika aku pulang telat. Aku ada acara dengan teman-temanku,” jawab Peter. Adeline membuang sampah plastik bekas camilannya itu dan berkata, “Jangan khawatirkan aku juga. Mereka sedang pergi hari ini dan pulang nanti malam.” “Baiklah. Kalau begitu, kita berangkat sekarang.” Mereka pun berjalan menuju mobil jemputan milik Jean. Lalu, mereka masuk ke mobil dan duduk berjajar tiga. Dalam perjalanan, mereka asyik bercerita.
“Hey! Menurutmu, apakah Kay tau soal perasaanku ini? Aku penasaran, mengapa belakangan ini dia bersikap beda denganku? Seperti… lebih memperhatikan dan suka mencari perhatian begitu.” Adeline yang duduk di sebelah kanan Peter menyenggol lengannya dan menjawab, “Dia memang tau perasaanmu, Peter. Aku sudah katakan itu padamu. Kau tidak percaya padaku.” “Tapi darimana dia bisa tau kalau aku menyukainya? Dekat pun juga tidak seberapa.” “Mungkin saja, kau pernah bercerita dengan orang lain dan dia mengatakannya pada Kay,” imbuh Jean. Peter terlihat berpikir. “Mm.. apa Schneider yang melakukan?” tanyanya. Sontak, Adeline langsung memukul pipi Peter dengan cukup keras. Hal itu membuatnya meringis kesakitan dan Peter mengusap pipinya yang sakit. “Selalu saja! Kau bicara seenaknya. Tadi mengata-ngataiku, sekarang Schneider. Lalu siapa lagi? Menyebalkan!” kata Adeline kesal dan melipat kedua tangannya. Suasana hening selama beberapa saat.
“Aku rasa bukan dia,” kata Jean memecah keheningan canggung itu. “Apa kau pernah bercerita dengan orang lain selain Schneider?” Peter berpikir lagi dan tiba-tiba ia refleks memukul paha Adeline. “Oh iya!” “Aaaargh!” seru Adeline, lalu mengetuk kepala Peter untuk kedua kalinya. “Kenapa kau memukulku?! Kau pikir pahaku ini guling? Yang bisa kau pukul seenak jidatmu sendiri tanpa rasa sakit?! Dasar menyebalkan!” omelnya dengan suara nyaring. “Ssssh! Tidak usah berteriak-teriak di dalam mobil, Adeline. Suaramu sangat menganggu, tau tidak?!” ucap Jean. “Siapa suruh dia memukul paha kakiku? Apa dia pikir tidak sakit?” “Maaf Adeline. Aku refleks memukulmu karena teringat sesuatu itu. Aku tidak–” “Sudah, sudah!” potong Jean. “Lalu siapa orang yang kau maksud Peter?”
“Dia itu… Caroline.” Jean dan Adeline terkejut dan berseru kompak, “Apa?!” “What?! Kenapa kau bercerita padanya? Dia kan berlidah panjang Peter. Seharusnya kau tau itu dan aku sudah memberitahumu, bukan?” sambung Adeline. “Bukankah dia dekat dengan Kay? Apa dia tidak–” lanjut Jean. “Tapi aku belum memiliki bukti kuat untuk meng-klaim bahwa Caroline yang membocorkannya pada Kay.”
Jean meletakan jari telunjuknya di bawah bibir sambil melihat keluar jendela. “Mungkin saja memang dia. Karena secara logika, kau menceritakannya pada Caroline yang adalah teman sepermainan Kay. Hal-hal yang berhubungan dengannya sudah pasti diceritakan. Apalagi urusan perasaan seperti ini.” Adeline menjentikkan jarinya dan mengangguk. “Masuk akal. Benar apa yang dikatakan Jean.” Peter mengangguk. “Begitu ya. Oh ngomong-ngomong, kau sendiri bagaimana dengan kekasihmu Jean? Apa kalian baik-baik saja?” Adeline langsung bersemangat ingin mendengarkan. “Eh iya! Apa kabar laki-laki berototmu itu? Siapa namanya?” “James,” jawab Peter. “Oh iya! James. Apa kabar kalian?” Jean tersenyum ketika nama kekasihnya disebutkan. “Baik-baik saja. Senang dan bahagia,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana denganmu Adeline? Apa dia sudah menunjukan tanda-tanda padamu?” tanya Jean mengalihkan topik pembicaraan. Kini, giliran Adeline yang tersipu malu. Ia tertawa, lalu menjawab, “Tanda-tanda apa yang kau maksud? Aku tidak mengerti.” Peter menyenggol lengan Adeline dan menunjuk ke wajahnya. “Kau benar-benar tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti? Tanda-tanda..” Hal itu membuat Adeline makin tersipu malu sampai tidak bisa menjawab. Pipinya terlihat merona dan senyumnya makin melebar. Peter dan Jean terkekeh melihat hal itu.
Asyik bercerita, hingga tak terasa mereka sudah tiba di tempat tujuan. Mobil Jean berhenti di depan sebuah restoran. Mereka turun dari mobil yang dikendarai oleh supir Jean, lalu masuk ke dalam melewati sebuah pintu yang terbuat dari kayu.
Ketika melihat bagian dalam restoran itu, Peter dan Adeline berhenti di tempat mereka berdiri dan melihat sekeliling. Keduanya sampai ternganga melihat suasana dalam restoran itu. Ruangannya didekorasi sedemikian rupa seakan mereka dibawa pada kehidupan kota jaman dahulu. Indah sekali.
“Ayo! Duduk di ruangan kota Berlin saja. Tempat favoritku,” ajak Jean berjalan mendahului mereka. Peter dan Adeline mengikuti di belakang. “Wow. Benar-benar seperti di kota Berlin jaman dahulu ya. Aku ingin melihat-lihat ke ruangan lain. Apa kau ingin ikut Jean?” tanya Adeline. Jean tersenyum dan menggeleng. “Aku sudah sering datang ke tempat ini. Kau dan Peter saja jika ingin mengunjungi ruangan lain. Mumpung masih sepi.”
Mereka berdua pun berjalan ke tempat yang berbeda. Adeline memilih tempat di dekat pintu masuk dengan suasana kota Belanda jaman dahulu. Sedangkan Peter memilih tempat yang tidak jauh-jauh dari Berlin, yaitu suasana di kota Paris jaman dahulu.
Jean pun segera memberitahu Sonia, Raquel, dan Tris untuk segera menyusul. Ketika sedang asyik mengetik pada keypad ponselnya, seseorang tiba-tiba duduk di hadapan Jean dan membuat Jean terkejut saat meletakan ponselnya di atas meja.
“Schneider? Apa yang kau lakukan disini?” tanya Jean masih mengusap dadanya. Schneider terkekeh. “Maaf jika aku mengejutkanmu. Aku kebetulan ingin makan disini dan ternyata ada kau. Jadi aku menghampirimu,” jawabnya. “Kau sendiri mengapa masih pakai seragam sekolah kemari?” “Oh iya. Aku dan teman-temanku berangkat langsung sepulang sekolah tadi. Karena nanti akan terlalu lama jika harus kembali ke rumah.” Schneider mengangguk mengerti. “Siapa saja yang ikut denganmu?” tanya Schneider. Jean menunjuk Peter dan Adeline dari jauh. “Peter dan Adeline. Teman-temanku yang lain sedang dalam perjalanan.” Lagi-lagi Schneider mengangguk sambil melirik mengikuti arah jari Jean.
Tidak lama kemudian, Peter kembali dan terkejut melihat Schneider tiba-tiba ada disana. Langsung ia menghampiri Schneider dan merangkul pundaknya. “Hey! Kebetulan sekali bertemu denganmu disini, kawan,” kata Peter. Schneider hanya tersenyum simpul. “Apa kau sudah memesan makanan? Kalau belum, gabung saja bersamaku dan yang lain. Bagaimana? Kau kesini sendirian, bukan?” Schneider terlihat berpikir dan akhirnya menjawab, “Baiklah. Aku bergabung saja.”
Jean menekan sebuah tombol di ujung ruangan dan tidak lama setelah itu, seorang pelayan wanita datang dengan pakaian wanita Berlin jaman dahulu membawa secarik kertas dan bolpoin. Nametag yang terpasang pada bajunya bertuliskan “Berlin’s Old City Girl”.
Ketika Jean akan menyebutkan pesanan, tiba-tiba Adeline datang. Sama seperti Jean dan Peter, Adeline juga sama terkejutnya melihat Schneider ada disana. Bedanya, Adeline terkejut bahagia karena pujaan hatinya ada di tempat ini juga ternyata.
Beruntung, Adeline bisa mengendalikan perasaannnya saat berada di dekat Schneider sehingga tidak sampai salah tingkah. Adeline pun juga mengingatkan teman-temannya agar mereka menjaga sikap saat bersama Schneider. Jangan sampai ada sesuatu yang mencurigakan.
“Schneider? Kau.. disini juga?” tanya Adeline. Schneider tersenyum dan mengangguk. Lalu Adeline mengambil posisi tempat duduk di samping Jean, berhadapan dengan pujaan hatinya.
Pelayan itu masih berdiri disana menunggu. Jean pun mulai menyebutkan pesanannya dan pelayan itu pergi setelah Jean selesai memesan. Selama menunggu, mereka saling bercerita dan bercanda hingga tempat itu mulai dipenuhi banyak orang. Sonia, Raquel, dan Tris pun sudah bergabung bersama mereka, tepat ketika pesanan itu datang.
Mereka ada di tempat itu sekitar satu jam. Kemudian, mereka mulai meninggalkan tempat makan tersebut. Jean sudah menelepon supirnya untuk menjemput. Ketika sedang menunggu itu, Adeline berusaha mencari kesempatan bersama dengan Schneider. Ia berusaha mengajak Schneider bicara.
“Kau kesini sendiri?” tanya Adeline. Schneider lagi-lagi hanya tersenyum dan mengangguk. Suasana hening beberapa saat. Kemudian, Jean berdiri dari tempat duduknya. “Peter, Adeline. Mobilku sudah di depan. Maaf, Schneider. Kami harus pamit untuk pulang. Terima kasih sudah ikut bergabung makan siang dengan teman-temanku.” “Schneider. Aku pamit pulang. Kau hati-hati di jalan. Sampai besok di sekolah ya,” tambah Adeline. “Ya.” jawab Schneider singkat.
Lalu, mereka bertiga keluar dari restoran itu dan masuk ke mobil. Dalam perjalanan, mereka kembali bercerita. Kali ini terlihat Adeline dengan wajah berseri dan senyum yang sedari tadi tidak bisa hilang dari wajahnya.
Jean yang duduk di samping kiri Adeline menepuk pelan jidatnya sambil berkata, “Dasar perempuan genit.”
Adeline terkekeh. “Kau tau, bisa bersama dengannya seperti tadi saja sudah membuatku sangat bahagia. Walau hanya sepatah dua patah kata aku berbicara, kuanggap itu sebuah keajaiban. Laki-laki dingin seperti Schneider bisa ada di tempat itu bersamaku adalah suatu keajaiban besar.” “Sepertinya, dia menyukaimu Adeline,” imbuh Peter. Adeline berdecak pelan. “Kau bisa menyimpulkan begitu atas dasar apa Peter?” “Kalau tidak untuk apa dia memperhatikanmu sejak tadi? Kau tidak tau hal itu, karena dia berusaha mencurinya darimu. Saat kau sibuk menikmati makanan dan bercanda dengan yang lain, disitulah ia mulai memperhatikanmu dengan senyumnya yang manis itu. Namun, saat kau berpaling menatapnya atau melihatnya, dia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Atau seperti tadi, dia mengajakku bicara dan sedikit berusaha menciptakan lelucon yang bisa membuat kita tertawa mendengarnya. Tidak hanya sekali dia seperti ini. Berulang kali bahkan setiap kali dia mencuri pandang dan memperhatikanmu. Percayalah Adeline. Dia itu menyukaimu. Hanya saja, dia butuh waktu untuk meyakinkan dirinya.”
Mendengar penjelasan Peter yang demikian, membuat Adeline jadi memikirkannya. Dia melihat keluar jendela sambil membayangkan jika suatu saat Schneider bisa mengatakan perasaannya, sebelum mereka lulus dari SMA.
“Hey!” seru Jean sambil menjetikkan jarinya di depan wajah Adeline. “Sudah. Jangan menghayal yang berlebihan.”
Adeline pun bertopang dagu diatas kedua pahanya. “Mengapa aku bisa sangat menyukainya seperti ini ya? Bahkan menyayanginya. Aku akui dia memang tampan. Namun apa hanya karena tampan saja aku menyukainya? Atau ada alasan lain? Aku masih belum bisa memahaminya. Yang aku tau yang aku rasakan saat ini adalah aku benar-benar menyayanginya.” “Dasar! Kau ini benar-benar romantis atau sok romantis sih?” tanya Peter, lalu tertawa. “Kisah cinta dalam putih abu-abu. Tidak akan bisa aku lupakan. Apalagi jika aku mengalami semua ini bersama kalian. Para sahabat terbaikku.”
Cerpen Karangan: Amanda Putri Blog / Facebook: Anastasia Amanda Oke readers, ada yang masih inget sama cerita pertama author yang terbit di website ini? Buat yang belum tau bisa dicari dengan judul Arti Cinta Part 1 karangan Amanda Putri
Buat kalian yang masih inget, author ingin memberikan informasi sekaligus permintaan maaf kalau ceritanya tidak bisa berlanjut karena author sudah kehilangan inspirasi. Tapi, inspirasi baru muncul dan author tuangkan dalam cerita ini. Cerita ini akan terdiri dari beberapa bagian dan semoga author bisa bikin lanjutannya ya.
Terima kasih cerpenmu.com yang sudah berbaik hati meloloskan moderasi cerita author tahun lalu. Semoga cerita kali ini bisa diloloskan lagi:)
By the way, author umurnya udah nambah satu taun lho XD