Cuaca pagi ini tertutup mendung, sepertinya akan turun hujan. Hari ini bukanlah hari keberuntungan bagiku, hari yang begitu menyakitkan dan membuatku harus tinggal beberapa hari di rumah sakit. Karena kesalahanku sendiri terburu-buru berangkat sekolah hingga akhirnya terjadi hal yang tidak diharapkan. Aku terjatuh dan lumayan luka parah di tepi jalan, mendung yang mengikutiku membuatku trauma karenanya.
Ketika aku membuka mataku, aku melihat wajah khawatir mengerumbuniku, dengan mata yang berkaca-kaca, penuh tanda tanya. “Meitaa..”, suara yang selalu membuatku tenang dengan jutaan kehalusan yang dapat menenangkan keadaan. “Apa yang kamu rasakan, meita..?”, tanya seorang laki-laki disamping tempat berbaringku. Aku hanya terdiam, aku coba mengingat apa yang telah terjadi padaku, aku menyengir kesakitan merasakan luka-luka lecet yang ada di tubuhku, dan luka dalam yang kurasakan di bagian kakiku.
“Meita jawab pertanyaan dokter, apa yang kamu rasakan.?”, pinta ibuku dengan penuh kesabaran. Akhirnya aku tesadar bahwa laki-laki itu bertanya padaku,” Aku merasakan sakit di bagian kaki dan luka lecet di tubuhku.” jawabku. Aku tak menyadari bahwa laki-laki itu seorang Dokter, karena masih terlihat seumuranku. Kulihat nickname yang berada di bajunya dengan rasa penasaran. Sesebentar kulupakan rasa sakit di tubuhku, kutatap dia dengan rasa kagum karena kepandaiannya, menjadi dokter dalam usia yang masih terlalu muda.
“Meita, jangan banyak bergerak ya, istirahat yang cukup dan minum obatmu dengan teratur, agar kamu cepat pulih!!.”, pintanya kepadaku. Aku mengangguk paham apa yang telah dikatakan kepadaku. “Ya sudah Meita saya tinggal dulu, mari ibu.. ”, katanya smbil tersenyum pada ibuku.. Setiap hari selalu aku nanti kedatanganya untung mengecek kesehatanku.
Tiga hari berlalu, aku merasakan keadaan yang cukup membaik. Karena suasana ruang kamar yang membuatku merasa bosan, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman yang berada di belakang kamar. Aku melakukanya juga untuk melakukan proses pemulihan luka dalam pada kakiku. Aku berjalan dengan membawa infus yang menempel di tanganku, aku berjalan sendiri menyusuri lorong menuju taman. Aku berhenti ketika melihat seorang laki-laki yang duduk di pojok lorong, aku penasaran dengannya dan entah apa yang dilakukan di tempat yang sepi itu. Kulihat air mata membasahi wajahnya yang lesu, isak tangisnya yang semakin lama. Aku mendekatinya
“Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu tidak apa-apa kan?”. Tanyaku dengan ragu. Dia memandangku dengan tatapan tajam yang mampu membuatku dapat merasakan apa yang dia rasakan. “Kamu sudah lama sakit ya?” tanyaku. “Kamu siapa? Kenapa kamu medekatiku? Kamu tidak takut denganku?” jawabnya dengan cepat. “Apa yang kamu katakan, aku benar-benar tidak mengerti”. Dia terdiam dan menunduk, aku duduk di sampingnya dengan merapikan makananya. “Kamu sudah lama ya dirawat disini?” tanyaku dengan ramah. “Dari mana kamu tau? Dan siapa kamu sebenarnya?” jawabnya. “Terlalu mudah untukku mengetahuinya. Aku juga pasien disini, tiga hari yang lalu kecelakaan membuatku harus di sini”. Dia mulai mengangkat sedikit kepalanya dan menatapku, “Iya aku pasien lama disini, aku mengidap penyakit yang serius di dalam ginjalku, sehingga menyebabkan aku tidak bisa sekolah, punya teman banyak, dan menikmati indahnya kehidupan di luar sana”. Dia lagi-lagi menangis, membuatku bingung apakah aku salah bertanya ini kepadanya. “Maaf aku tidak tau, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih, jangan menangis aku mau menjadi teman kamu.” Dia tersenyum padaku, sejak saat itu aku mempunyai teman baru dan dia juga mempunyai semangat baru.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore, Dokter Riski yang mengecekku datang dengan membawa lembaran cantik berukuran besar, kulihat wajahnya sangat berseri-seri dan berjalan penuh kebahagiaan, kubalas dengan senyuman ringan. “Meita, bagaimana kamu senang hari ini.?” Tanyanya. “Ada apa dok..?” jawabku cepat. “Kamu sudah boleh pulang hari ini, bisa kembali bersekolah, dan makan yang enak-enak”. Aku terseyum dan mentap ibu yang duduk di kursi. Ibu tidak memberitahuku sebelumnya. Tapi aku merasa sangat senang mendengarnya.
“Meita ini ada sesuatu buat kamu, mungkin kamu akan suka”. Kata Dokter dengan menyodorkannya ketanganku. “Apa ini dok?” aku bertanya. “Ini sebuah kenang-kenangan untuk kamu Meita, Agar kamu tetap ingat bahwa kamu pernah saya rawat, saya yakin kamu aank yang baik, jadi saya berikan ini untuk kamu, semoga kamu senang ya Meita.” jelasnya kepaku. “Bilang apa mei, kalau dikasih?”, Canda ibu melihat aku dan dokter Riski. “Iya, terimakasih Dok, Meita senang bisa bertemu dengan dokter sebaik dokter Riski”. “lain kali hati-hati ya mei” pesannya. Dokter Riski meninggalkan ruang kamar, dan meminta ibu untuk ikut dengannya.
Aku teringat teman baruku. Bagaimana dengan dia. Kalau aku pulang siapa temanya siapa yang akan menyemangatinya lagi. Dia butuh penyemangat, orangtuanya sibuk mencari uang untuk biaya Rumah Sakitnya. “Mei, apa yang kamu lamunkan, ayahmu sudah menunggu di depan”, ibu memaggilku. Aku segera bergegas untuk pulang.
Hari yang paling aku tunggu ketika kembali bersekolah, bertemu dengan teman-teman dan menghabiskan waktu bersama. Aku duduk di kelas XI IPA, karena sebuah cita-cita yang ingin kuraih berhubungan dengan pertumbuhan manusia. Yaitu bagaimana manusia bisa bertumbuh dan mengembangkan diri mereka, hingga mereka menjadi manusia seperti yang mereka harapkan.
“Me-me..”, kudengar suara tak asing lagi yang memanggilku dengan panggilan sayang, kulihat di seberang jalan sekolah. Yaitu Lina Angelia, dia teman pertama yang kutemukan awal masuk di sekolah ini. “Hai Lin..”, Kusambut Lina dengan senyum lebar. “Alhamdulillah me kamu sudah masuk hari ini, aku senang melihatnya.”, Sambil memeluk erat tubuhku yang mungil. Lina lebih religius dan teman yang berbeda dari yang lain. Dia selalu mempunyai prinsip dalam hidupnya, tidak ada satupun hari yang dia sia-siakan. Hidupnya selalu dihiasi dengan karya-karya barunya. Novel yang berjudul “Prahu papan” menjadi karya pertamanya. Buku catatan kecil, bolpoin, dan air minum tidak pernah ketinggalan dibawanya, kemanapun dan kapanpun selalu ada di dalam tas ransel kecilnya.
“Iya Lin, aku senang bisa kembali bersekolah lagi, sudah lama tidak bertemu dan mendengar kata-kata mutiara darimu yang dapat memotivasiku untuk menjadi orang yang lebih baik.”, Lina memang teman seumuranku tapi dia mempunyai segudang kata-kata yang dapat mengajarka arti kehidupan, tak heran jika Lina sudah banyak dikenal di sekolah sebagai gadis yang penuh kata-kata mutiara kehidupan. ”Apa sih kamu Me.. Ayo kita cepat masuk sebentar lagi bel akan berbunyi.” Dengan wajah merah Lina mengajakku masuk gerbang sekolah. Dia adalah teman yang sangat pemalu, apabila mendapat pujian sedikit saja wajahnya berubah menjadi merah dengan perilaku yang aneh.
Sepulang dari sekolah aku dan Lina pergi ketempat biasa kita kunjungi, salah satu tempat makan yang disana juga menyediakan beberapa buku untuk kita baca. Jadi kita bisa makan sambil membaca. Teringat dalam pikiranku tentang teman baruku yang masih dirumah sakit. Aku menceritakan tentang dia kepada Lina dan meminta solusi bagaimana aku bisa tetap berteman dengannya untuk menyemangati dia dalam melawan penyakitnya. Hingga akhirnya aku menganmmbil keputusan dari saran yang diberikan Lina.
“Kamu sudah makan..?” tanyaku kepada teman baruku. Sore ini aku menjenguknya bersama Lina. Dia kelihatan sangat senang dengan kedatanganku, seperti biasa dia selalu duduk di pojok lorong dengan posisi yang sama. “Aku menunggu kamu datang, aku ingin kita makan bersama”.
Sejak saat itu setiap pulang sekolah aku menyempatkan waktu untuk menjenguknya. Dia juga memintaku untuk mengajarinya pelajaran yang sudah aku dapat, agar dia tidak ketinggalan saat melanjutkan sekolah nanti.
Bulan telah berganti bulan, berlalu dengan cepat, secepat karbondioksida yang kita kelurkan dari tubuh kita. Hingga pada akhirnya ada kabar baik yang membuat aku dan teman baruku sangat bahagia mendengarnya. Dokter yang selama ini menangani teman baruku, mengatakan bahwa teman baruku boleh pulang tetapi harus tetap mengikuti terapi rutin setiap minggu. Hal ini juga permintaan teman baruku, dari dulu dia ingin kembali sekolah dan hidup di dunia luar.
Sejak saat itu dia memutuskan untuk melanjutkan di sekolahku. Setiap pagi aku menjemputnya, kita berangakat bersama-sama. Kita menikmati hari-hari dengan penuh cerita. Kita selalu menuliskan setiap apa yang kita lakukan. Menulis menjadi hobi keseharianku karena aku ingin menuliskan setiap kisah yang kulakukan bersamanya. Hingga pada suatu hari dia mengajakku ke suatu tempat. Tempat yang sebelumnya belum pernah aku kunjungi, disana banyak sekali burung-burung dan tumbuhan kering. Seperti sebuah taman yang tidak ada kehidupan, tetapi tempatnya bersih tertata rapi. Aku tidak tau tempat apa ini sebenarnya, disini sangat sepi hanya ada satu atau dua orang yang berlalu lalang dengan pakain yang dekil.
“Mei, sebelumnya aku ingin minta maaf sama kamu, aku sudah membawa kamu ke tempat yang seperti ini, aku ingin berbicara sesuatu padamu mei..” Aku melihat matanya yang memberi isarat padaka bahwa dia akan berbicara sesuatu hal yang sangat serius. Aku mulai merasa penasaran, hatiku berdebar seperti ada sesutu yang akan membuatku terkejut. Aku tidak pernah melihatnya seserius ini, tidak seperti biasa ketika dia ingin berbicara sesuatu kepadaku. “Jangan minta maaf, Aku senang disini sebelumnya aku tidak tau tempat ini. Karena kamu mengajakku kesini, akhirnya aku mengetahui tempat ini.” Jawabku santai. Dia semakin memasang wajah serius, aku semakin berfikir yang tidak-tidak. Apa dia sudah tidak mau berteman lagi denganku. Apa aku sudah berbuat kesalahan padanya, wajahku berubah menjadi cemas, menjadi takut dengan temanku sendiri.
“Teman, Dengarkan aku!” dengan suara yang lembut dia meminta padaku. Aku menatapnya seolah-olah kita akan memutuskan sesuatu hal yang sangat besar. “Teman, Terimakasih, kamu telah membantuku melawan penyakitku, peduli dengan kedaanku walaupun kamu belum pernah mengenalku sebelumnya. Lihatlah tempat ini, seperti inilah sebenarnya keadaanku, Hidupku akan kering dan sepi tanpa kamu. Kamu datang membawa kehidupan baru dalam diriku. Mengisi dan membuat cerita indah di sisa umurku, aku minta kamu jangan ninggalin aku, aku butuh penyemangat sepertimu ”. Aku meneteskan air mata, aku bersandar pada bahunya “Kamu harus tetap kuat menjalani ini semua, aku berjanji akan selalu bersamamu”, dia tersenyum kecil padaku.
Keesoakan harinya aku datang seperti biasa ke rumahnya untuk mejemputnya, tapi yang kulihat keramaian disana. Aku merasa cemas ada apa sebenarnya, hatiku tak menentu seperti ada sesuatu yang membuatku gelisah. Kulihat satu persatu orang yang ada disana, mereka menangis, mereka bersedih, dan mereka… Ada apa ini sebenarnya, tidak mungkin ini terjadi. Apa ini semua kehendakmu Tuhan, mengapa engkau begitu cepat mengambilnya dariku. Aku sangat menyayanginya. Aku masih ingin membuat cerita-cerita lagi bersamanya.
Aku hanya bisa terdiam di belakang keramain merasa tidak percaya akan yang kulihat saat itu. Mengingat dia ketika sendiri, menangis, dan tak tau harus berbuat apa. Ribuan air mata menjadi laut yang menjadi pelabuhan terakhir kita. Tapi inilah takdir yang harus terjadi antara aku dan dia. Hingga waktu yang memisahkanku dengan teman baruku yang selama ini tak aku ketahui siapa namanya.
Cerpen Karangan: Intan Fatihatul Blog / Facebook: Intan Fatihatul Husna