*Bruk* “Arghhh..” seorang anak laki-laki terdengar mengerang kesakitan. Aku yang tengah asyik berjalan santai terkejut melihat pemandangan di depanku. Tak jauh dari tempatku berdiri, ada seorang anak laki-laki terjatuh dari sepeda, sepertinya ia baru saja menghindari lubang yang ada di tengah jalan dan ia justru menabrak batuan besar yang ada di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, aku langsung membantunya.
“Dik.. kamu tidak apa-apakan?” tanyaku khawatir. “Engga kok. Aku baik-baik aja. Maaf ya kak, tapi aku bisa sendiri” jawabnya saat aku mencoba membantunya bangkit. Dan beberapa saat kemudian ia langsung menaiki sepedanya dan bergegas pergi.
Aku mengejar anak laki-laki itu karena penasaran. Ternyata ia ingin bermain bola dan sudah banyak teman-teman yang menunggunya, tak terkecuali seorang gadis cilik yang tampak berdiri di tengah lapangan. “Mau apa anak perempuan itu?” tanyaku pada diri sendiri. Gadis cilik itu tiba-tiba berteriak. “Ayo mulaiiii” Seketika aku terdiam. “De javu” gumamku. “Tidak. Ini memang pernah terjadi” aku teringat kembali kejadian itu. Sahabatku, pengalamnku, kenanganku, semua ada padanya.
“Kali ini kita mau main apa?” tanyaku pada teman-temanku, Nadia, Anggun, Nabila, Siti, dan Tiara. “Main dokter-dokteran aja yuk” ajak Nabila. “Ah… kita kan baru main itu kemarin Bil” ucap Anggun. “Kita main bola aja yuk. Kita ajak tanding anak-anak cowok, siapa tau mereka kalah sama kita. Hehe” Nadia tampak menggebu-gebu dengan ide yang ia sebut ‘ide brilian’, padahal jelas sekali itu ‘ide mengerikan’. “Kamu laper atau lagi sakit sih? Kok ngajaknya aneh-aneh banget. Aku nggak setuju” aku jelas menentang ide tak masuk akal itu. “Oke, Lala ngga ikut. Trus siapa yang mau ikut main sama aku?” tanya Nadia dan aku menatapnya tak percaya. Tampak semuanya terdiam dan aku mulai tersenyum senang karena pasti semuanya menolak ide tersebut. “Kenapa ngga kita coba dulu aja, buat senang-senang aja” ucap Tiara memecah keheningan dan kali ini aku benar-benar tak habis pikir. “Ya ampun.. kalian ini lagi kenapa? Duh.. kayaknya kalian harus ke dokter deh. Kalian semua lagi nggak sehat” “Ngga apa-apa La, sekali-sekali kita main sama anak-anak cowok. Biar ngga bosen. Hehe” Siti menimpali. Dan akhirnya saat ini kami sedang berada di tengah-tengah lapangan bersama dengan anak laki-laki. Sebenarnya aku tidak mau ikut, tapi teman-temanku memaksaku hingga menarik-narik tanganku.
“Jadi kalian mau main bareng kita?” tanya seorang anak laki-laki yang bernama Farhan. Ia bertumbuh tinggi, besar, dan kulit sawo matang. Yang baru aku ketahui bahwa dia dikenal sebagai kapten tim. Haha.. lucu sekali, padahal hanya bermain-main biasa, tapi harus ada kapten yang menyebalkan seperti orang itu. “Kalian yakin bisa melawan kami?” tanya Farhan mengejek. Ingin sekali aku melempar wajahnya dengan batu yang ada di pinggir lapangan. “Paling juga kalau kalah nanti mereka nangis. Trus ngadu ke orangtua mereka” ucap seorang anak laki-laki berambut plontos. Dan ucapanya itu, membuat yang lainnya tertawa. Aku dan teman-temanku merasa direndahkan. “Stoooooopppp” suaraku membelah lapangan, aku berteriak amat keras. “Kami ngga takut melawan kalian, kami janji ngga akan nangis dan mengadu ke orangtua. Dan yang jelas, kami ngga akan kalah. Paham?” kesepakatan itu tiba-tiba mengalir dalam alunan nada tegas yang aku tuturkan di hadapan semua orang yang ada di lapangan. Awalnya, tim anak laki-laki tampak mengejek. Tapi beberapa saat kemudian mereka tampak serius dan hal itu membuatku sedikit ketakutan.
“Oke. Kami siap” ucap Farhan. Aku menelan ludah saat Farhan mengulurkan tangannya. Dan tanpa terasa tanganku ikut terulur untuk menjabat tangannya. “Siap-siap menghadapi kekalahan” Farhan sedikit berbisik tapi nada suaranya sangat menakutkan seperti monster yang akan menerkam mangsanya.
Sebelum bertanding, kami menuju ke pinggir lapangan untuk berdiskusi. Tepatnya Anggun yang menarik tanganku. “Kamu gimana sih La? Kok malah nantangin gitu? Kalau kita kalah gimana coba?” tanya Anggun bertubi-tubi. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Pasrah. “Habis gimana lagi, aku ngga suka kalau diejek gitu” jawabku seadanya. “Udahlah, yang penting kita main aja nanti yang serius” Nadia menimpali. “Main yang serius gimana coba? Kita aja ngga pernah main bola” Siti juga mulai gelisah. “Kita itu cuma mau main-main aja kan niatnya, jadi ya udah, jalani aja. Kalau kita kalah itu wajar, justru kalau kita menang yang malah ngga wajar” Nabila menengahi.
Dan pada akhirnya kami sepakat untuk bermain bola bersama anak laki-laki. Aku mencoba santai, tapi tetap saja sulit. Karena akulah penyebab suasananya menjadi tegang. Nadia ditunjuk sebagai kapten tim kami, dan Anggun sebagai pemain cadangan. Ia maju ke tengah lapangan bersama dengan Farhan menuju ke arah wasit. Sama halnya seperti permainan bola biasa, mereka menentukan siapa yang akan mengoper bola pertama. Dan ternyata, tim kami yang beruntung bisa mengoper bola pertama. Tapi menurutku sama saja, karena kami tidak bisa bermain bola dengan benar. Hingga tim Farhan berhasil merebut bola yang kami mainkan.
Tapi pertandingan ini cukup menyenangkan. Karena hingga 15 menit pertandingan, belum ada gol yang diciptakan baik dari timku maupun tim lawan. Wasit mengatakan, kami menggunakan peraturan permainan futsal. Jadi waktunya hanya 40 menit. Dan aku tidak tahu menahu soal hal itu, yang aku tahu adalah, aku hanya harus berlari dan mencetak gol.
Babak pertama telah usai dan kami sangat kelelahan. Sebetulnya lelah karena terlalu banyak tertawa, sejak peluit dibunyikan tim kami selalu menghalalkan segala cara agar kami bisa menang. Mulai dari berteriak, pura-pura jatuh, dan kami bermain sesuka kami tanpa mempedulikan wasit. Benar-benar menyenangkan. Tim Farhan pun juga terlihat menikmati, mereka tidak terlihat lelah dan kesal menghadapi kami.
Babak kedua berlanjut dan dimenit-menit awal timku sudah tidak kuat. Anggun menggantikan Nabila yang mulai terlihat lemas. Dan saat Anggun mulai masuk lapangan, ia melakukan hal-hal konyol. Ia sampai harus berguling-guling di tanah agar bisa merebut bola. Dan yang lebih lucu adalah saat Tiara merebut bola dengan tangan karena ia tidak sabaran. Sepanjang babak kedua ini, kami betul-betul dibuat sakit perut karena kekonyolan-kekonyolan kami sendiri.
Tapi tim Farhan berhasil mencetak gol di menit-menit akhir. Tim Farhan yang ternyata juga sangat konyol, tidak mau kalah dengan timku. Ia melakukan selebrasi unik dengan saling bertindih-tindihan satu sama lain. Farhan berada di paling bawah, ia terlihat kesulitan bernapas. Kami dibuat tertawa karena hal itu.
Pertandingan kembali dilanjut, dan belum ada 2 menit tim Farhan sudah kembali menjebol gawang timku. Karena sudah mulai kelelahan, Siti terlihat merangkak sambil tertawa untuk merebut bola. “A..akhu.. haahaaahaaa.. nggaaaa.. kuathhh.. haahaahaaaa…” ia mulai memegang perutnya yang kesakitan karena terus-terusan tertawa. Hingga peluit panjang dibunyikan, kami masih terus tertawa. Kami terus tertawa, karena kami bermain sesuka kami dan tak mempedulikan siapapun. Aku dan timku kembali ke pinggir lapangan. Siti dan Anggun masih saja merangkak, karena mereka tak kuat berjalan.
“Kalian ini, ngga bisa main tapi terus aja lari dan mengincar bola. Padahal kalian melanggar peraturan” ucap Farhan menghampiri aku dan teman-temanku. Teman-teman Farhan pun juga menghampiri kami, mengajak kami bersalaman. Awalnya kami bingung, tapi ternyata memang begitulah ritual setelah bertanding dan kami menyambut uluran tangan mereka dengan senang hati. “Lain kali, kita tanding lagi ya. Seru banget main sama kalian” ucap salah seorang teman Farhan yang berkulit putih. “Iya, boleh. Tapi kami mau latihan dulu, biar ngga malu-maluin kayak tadi” timpal Nabila sambil tersenyum malu. “Halah.. ngga usah latihan, yang tadi juga udah baik kok. Baik dalam menghibur. Hahaha” ucap teman Farhan yang disambut gelak tawa oleh semua orang yang ada di lapangan, termasuk aku. “Tapi bolehlah, sekali-kali kami diajak main congklak, bekel, atau masak-masakan” ucapan Farhan tersebut kembali kami sambut dengan gelak tawa. “Haaahh.. ideku cemerlang kan? Brilian banget?” tanya Nadia dan aku menanggapi dengan anggukan kepala.
Ya.. hal aneh yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, telah dicetuskan oleh teman sekaligus sahabatku yang bernama Nadia. Kami jadi sering bermain dengan anak laki-laki. Permainannya seperti basket, balap sepeda, bahkan dokter-dokteran dan yang terpenting adalah bermain bola. Kami bertanding sebulan sekali dan permainannya masih tetap konyol dan menyenangkan. Dan mulai dari sanalah, kami mulai kompak dalam berbagai hal. Kami selalu antusias dalam berbagai lomba atau apapun acara yang ada di desa kami. Aku benar-benar tak melewatkan sedikitpun masa kecil yang menyenangkan ini bersama teman-temanku.
Kupikir ini semua karena Nadia. Meskipun aku tau, ia adalah orang aneh dengan segudang ide konyol tapi semua itu mampu membuat siapapun senang. Tanpa ada yang tahu, bahwa sebenarnya ia mengalami masa-masa sulit selama ini. Aku yang sangat dekat dengannya pun tidak tahu apa-apa tentangnya. Ia terlalu pintar dalam menyembunyikan kesedihan dan kesakitannya. Ternyata, saat ia membuat orang lain tertawa dengan ide konyolnya, di saat itulah ia sedang menghibur diri dan melupakan segala keluh kesahnya. Aku benar-benar merasa aku bukan sahabat yang baik, benar-benar bukan.
Cerpen Karangan: Danvi Sekartaji Blog / Facebook: Danvi Sekartaji