Sore itu, aku dan teman-temanku sedang asyik bermain bersama Farhan dan teman-temannya juga. Kami sedang bermain sepeda. Tiba-tiba Nadia terjatuh, ia tampak kesakitan. Saat aku mencoba membantunya, ia menolak dan buru-buru menaiki sepedanya lagi menuju ke rumahnya. Awalnya aku merasa ganjil dengan sifat aneh Nadia. Tapi teman-temanku bilang, Nadia hanya malu dan ingin istirahat. Karena saat terjatuh, anak laki-laki sempat mentertawakannya.
“Ah kamu sih” “Ya kamulah, ngapain coba ngetawain?” “Lho.. kamu yang ngetawain duluan juga” “Udah jangan main salah-salahan” Farhan mencoba melerai teman-temannya yang saling menyalahkan. “Lala.. coba besok kamu temui Nadia ya. Soalnya besok kan Minggu, kalau nunggu Senin kan kelamaan buat nemuin dia di sekolah. Jadi kamu dan teman-temanmu coba temui dia di rumah aja ya” Farhan memberi instruksi panjang lebar dan hanya aku balas dengan anggukan. “Ya memang agak aneh sih, ngga biasanya dia begini” ucap Tiara. “Ah.. ya udahlah. Jangan dipikirkan terus. Kita pulang aja yuk, udah mulai gelap nih” ucap Anggun yang langsung kami setujui. Dan akupun pulang dengan perasaan yang sangat mengganjal.
Keesokan harinya, saat aku di kamar aku mendengar suara Siti dan Nabila memanggil namaku. Akupun menemui mereka di luar rumahku. “Ada apa?” tanyaku. “Nadia La, Nadia kritis” jawab Siti panik. “Kok bisa? Emang dia kenapa?” tanyaku yang sangat terkejut. “Ceritanya panjang, mending sekarang kamu sama Nabila ke rumah Tiara dan aku ke rumah Anggun. Nanti kita kumpul di rumah aku. Ayah aku sama perangkat desa lainnya mau ke rumah sakit sekarang, jadi kita bisa ikut” Siti memberi instruksi panjang lebar. Lalu aku dan Nabila segera menemui Tiara di rumahnya yang tidak jauh dari rumahku.
Setelah semuanya berkumpul, termasuk ayah Siti selaku kepala desa dan perangkat desa lainnya. Kami langsung bergegas ke rumah sakit tempat Nadia di rawat dengan menggunakan mobil milik ayah Siti. Dalam perjalanan, aku tak henti-hentinya berdo’a untuk keselamatan Nadia.
Dan ayah Siti pun mulai bercerita tentang keadaan Nadia saat ini. “Jadi, kemarin Pakde ke rumah Nadia, untuk memastikan keadaannya bagaimana. Karena dengar-dengar dari warga, Nadia sakit keras. Dan Ibunya membenarkan itu, katanya sakit kanker otak” terang ayah Siti kepada kami. Seketika itu, rasanya pelupuk mataku sudah mulai basah. “Selama ini Nadia sudah melakukan kemoterapi, tapi sel kankernya masih terus berkembang. Intinya, sampai sekarang Nadia semakin parah” lanjut ayah Siti. “Tapi kenapa selama ini Nadia ngga pernah bilang ke kita?” tanya Tiara. “Mungkin karena Nadia ngga mau membuat kalian khawatir, jadi kalian jangan salahkan Nadia ya. Karena dari tindakan Nadia itu, pasti dia punya alasan yang kuat” jawab Ibu Siti. Dan kali ini aku lebih memilih untuk diam, karena aku yakin apa yang dikatakan Ibunya Siti memang benar.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Orangtua Nadia yang tampak gelisah, kami pun menghampiri mereka. “Tante, keadaan Nadia gimana?” tanyaku. “Dia sedang diperiksa oleh dokter” jawab ayah Nadia singkat. Terlihat sekali dari raut wajahnya, bahwa beliau sangat cemas.
Tiba-tiba dokter dan beberapa perawat keluar dari ruangan dimana Nadia dirawat. “Orangtua dari Nadia harap ikut ke ruangan saya, karena kami akan melakukan tindakan yang cukup berisiko dan kami membutuhkan persetujuan dari Anda” ucap dokter itu, lalu Orangtua Nadia pun mengikuti dokter itu ke ruangannya. Saat aku dan teman-temanku ingin masuk ke ruang rawat Nadia, seorang perawat melarang kami. Perawat itu mengatakan bahwa Nadia butuh istirahat.
Sekitar 10 menit berlalu dan akhirnya dokter yang tadi menangani Nadia kembali ke ruang rawat Nadia dan beberapa perawat juga mengikuti dokter tersebut beserta orangtua Nadia. Wajah mereka terlihat tegang sekali. Tak lama, Nadia yang berada di sebuah ranjang dibawa keluar menuju ruang operasi. Entah kenapa, perasaanku tidak enak. Sejak Nadia dibawa keluar, aku hanya diam. Sedangkan teman-temanku yang lain menangis dan saling menenangkan satu sama lain. Orangtua Siti mencoba menenangkan orangtua Nadia.
“Nadia.. sebetulnya ada apa denganmu?” tanyaku dalam hati.
Kami menunggu cukup lama, hingga lampu ruang operasi padam. Dokter yang bertugas mengoperasi Nadia keluar dan langsung berbicara dengan orangtua Nadia. Entah apa yang disampaikan oleh dokter, yang jelas setelahnya Ibu Nadia menjerit histeris. Dan entah ada dorongan darimana, tiba-tiba aku langsung masuk ke ruang operasi dan menerobos beberapa perawat. Kulihat wajah pucat Nadia. Aku menangis, betul-betul sedih. Tanpa diberitahu pun, aku sudah dapat membaca situasi ini. Dan.. kenapa ini terjadi sangat cepat? Apa betul ia adalah Nadia?
Kakiku sudah tak sanggup menahan tubuhku, hingga akhirnya aku roboh dan tidak sadarkan diri. Setelahnya, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Yang dapat kuingat, aku sudah ada di rumah dan semua teman-temanku berada di sekelilingku. Aku mencoba mengingat kembali apa yang sedang terjadi, dan hal itu semakin membuatku semakin melemah. Aku baru bisa ke makam Nadia 2 hari kemudian. Karena aku benar-benar tak sanggup untuk ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Kejadian 10 tahun lalu kembali menaungi pikiranku. Setelah mengambil beberapa foto dari kegiatan anak-anak yang sedang bermain bola, aku kembali teringat ke masa kecilku bersama Nadia dan yang lainnya. Dan tanpa terasa air mataku sudah menetes dan membasahi pipiku.
“Nadia.. kenapa cepat seklai?” gumamku. “Alasanmu itu konyol. Sengaja membuat kami tertawa dengan ide gilamu, tapi ternyata kamu diam-diam punya misi untuk dirimu sendiri. Agar yang lain tertawa diatas kepedihanmu. Dengan melihat yang lain tertawa, kamu pun ikut senang? Konyol. Itu konyol Nadia. Itu hal yang palin bodoh yang pernah ada” ucapku entah kepada siapa. Aku menggenggam erat buku harian Nadia. Ya.. buku itu selalu aku bawa kemana-mana. Atas persetujuan yang lainnya, buku itu memang aku yang membawanya. Untuk barang-barang lainnya milik Nadia, seperti gantungan kunci, pakaian, dan lainnya juga dibawa oleh Siti, Tiara, Nabila, dan Anggun. Kami sudah membaginya rata dan sesuai kenangan masing-masing bersama Nadia. Semisal buku ini, dulu buku harian ini pernah hilang dan aku yang berhasil menemukannya.
Dengan perasaan kalut ini, tak terasa hari mulai sore. Sang surya tampak melangkah menjauh menuju ufuk Barat. Aku terdiam sesaat, hari ini batal lagi. Tiba-tiba ada yang menepuk pundahkku. “Farhan?” “Maaf ya terlambat banget, aku tadi ada praktikum dan itu berlangsung lama banget” ucap laki-laki bertubuh jangkung yang kini telah berada di hadapanku. Ya.. ia adalah Farhan. “Ah.. kamu selalu PHP” ucapku kesal. “Yah.. maaf banget, aku janji besok-besok ngga gini lagi deh” ia tampak memelas. “Iya, iya yang calon dokter. Memang selalu sibuk” aku memanyunkan bibirku seketika, mengingat seberapa lamanya aku menunggunya. “Duh, jangan gitulah. Aku udah berusaha supaya bisa nepatin janji. Tapi ya memang gini keadaaanya” jelasnya yang sudag mulai pasrah. “Kan yang mau ke makam Nadia kamu. Kamu yang minta temenin aku, kamu yang buat janji, dan kamu juga yang melanggar janji” “Iya, iya. Aku minta maaf” ucapnya memohon.
Suasana lengang seketika setelah Farhan meminta maaf, aku hanya mengacuhkannya. Dan tak lama suara ledakan tawa sudah terdengar lantang. Kali ini aku sudah benar-benar tak sanggup untuk tak menahan tawa. Wajahnya tampak sangat sedih dan gelisah, aku sampai tak tega melihatnya sekaligus geli.
“Kok malah ketawa?” tanyanya. “Tolong wajahnya dikondisikan” jawabku asal dan membuatnya tersenyum kikuk. “Duh.. kamu bikin panik aja” ucapnya dan aku hanya tertawa geli melihat eksspresi wajahnya. Setelah tawaku mereda aku kembali menatapnya.
“Kenapa kamu ngga jadi pemain bola aja sih?” tanyaku serius. “Aku mengubur mimpiku itu, karena satu orang. Yaitu, Nadia. Lagian juga selama beberapa tahun terakhir aku lebih suka sains daripada olahraga” jawabnya. “Tunggu, Nadia katamu? Kenapa dia?” tanyaku bingung. “Kalau main bola, aku sering ingat betapa konyolnya dia. Dan alasan yang terpenting adalah, aku mau jadi dokter yang bisa menyembuhkan Nadia-Nadia yang terluka di luar sana” jawabnya sambil menatap langit. Aku berkaca-kaca mendengar jawabannya. Benar-benar luar biasa tujuannya.
Tiba-tiba Farhan menatapku sambil tersenyum. “Yuk kita makan, aku yang traktir deh” ucapnya dan aku mengangguk.
Sore itu kami makan bersama, disusul oleh yang lainnya. Memang rasanya tidak lengkap tanpa kehadiran Nadia dan ide-ide konyolnya. Tapi sebagai bentuk rasa sayang kami kepadanya, kami tetap bersama dan akan selalu bersama. Bahagia bersama untuknya. Sama seperti misinya yang ingin melihat kami bahagia bersamanya.
Cerpen Karangan: Danvi Sekartaji Blog / Facebook: Danvi Sekartaji