Sore ini aku dan kedua sahabatku menikmati senja di bawah pohon tepi pantai. Keindahan air pantai sore ini masih terasa hampa tanpa kehangatan matahari yang tak kunjung jua terbenam. Angin sore terasa begitu hangat menemani penantian kami di sudut bibir pantai. Ya, menunggu sang matahari terbenam merupakan sebuah hal menarik tersendiri bagiku.
Pernah sebuah khayalan muncul di benakku andai kata kau berada di tempat ini menatap matahari yang kunjung terbenam sambil menampakkan wajah bahagia nan lepas. Tapi itu hanyalah sebuah harapan yang mustahil. Tak apa, setidaknya aku bisa bercanda ria bersama kedua sahabatku di senja sepi ini. Tapi biar bagaimana pun aku berusaha menutupinya, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal, pikiranku kosong menatap lurus pemandangan yang ada di hadapanku.
Untuk kesekian kalinya, hembusan angin membuatku larut dalam pikiranku. Aku memejamkan kedua mataku, membiarkan angin mengalun dan menemaniku di senja ini. Pikiranku terasa tenang dan dengan sendirinya aku mengingat kembali kejadian delapan tahun lalu …
Saat kita duduk di bangku yang sama di sekolah, kau tampak begitu cuek dan dingin. Entah bagaimana bisa seorang bocah sepertimu bisa mempunyai sikap yang begitu kaku. Tapi di suatu sisi ketika aku melihatmu bermain dengan seekor kucing di pinggir lapangan bola saat sedang beristirahat, kau tampak berbeda dari biasanya. Kali ini kau tampak imut seperti bocah lain pada umumnya. Sejak saat itu juga kita mulai bergaul, mungkin ini didasari oleh hal yang sama-sama kita sukai.
Saat-saat belajar di kelas, itu merupakan hal yang menyenangkan menurutku. Kita selalu bersaing untuk mendapat juara ‘membaca tercepat’ di kelas. Aku sangat suka saat itu, saat-saat ketika kita tak mau kalah melontarkan ejekan satu sama lain, tapi walaupun hal tersebut hanyalah sebuah candaan, kau tetap meminta maaf padaku dan pada akhirnya kita berbaikan lagi.
Kita masih sama-sama kecil, tapi sejak saat itu aku mulai menyukai dirimu, aku menyukai apa pun hal-hal yang kau lakukan, aku menyukai saat aku melihatmu bermain bola dengan semangat, dan aku menyukai saat kita bermain bola kasti di lapangan sekolah. Hingga dua tahun setelahnya, aku dan keluargaku memutuskan pindah keluar kota. Sebenarnya aku masih tak ingin pindah, aku masih suka bersekolah di tempat yang sama denganmu. Jadi aku betul-betul memanfaatkan tahun terakhirku untuk bisa terus bermain denganmu. Ya, kau adalah teman masa kecilku, teman yang sangat aku sukai.
Hingga pada saat ini di tahun 2017, jarak kita sudah betul-betul jauh. Mustahil aku bisa melihatmu duduk di pinggir lapangan bola lagi atau setidaknya melempar sebuah ejekan untukmu. Asal kau tahu, hingga pada saat ini pun aku masih mengingat sosok dirimu dengan sangat jelas, dan aku berharap di kemudian hari ketika kita dipertemukan kembali, kita masih bisa melakukan hal-hal lucu seperti yang kita lakukan saat kecil.
Aku kembali tersadar saat kedua sahabatku menepuk kepalaku. Tak terasa matahari sudah betul-betul terbenam. Angin sore telah berganti dengan angin malam yang dingin dan menyengat. Aku kembali menatap lurus ke cahaya lampu kapal-kapal yang berlayar. Pemandangan ini begitu indah, hingga aku sendiri pun enggan untuk menyudahi malam ini. Tapi biar bagaimana pun, aku tidak boleh terlalu terlarut dalam rasa rinduku. Karena semua orang berhak untuk bangkit kembali dan mulai membuka lembar hidupnya yang baru.
Aku menarik napas dalam dan melepasnya secara gusar. Kami akhirnya menyudahi malam kebersamaan kami di pinggir pantai dan beranjak pergi meninggalkannya.
Tuhan adil, menciptakan suatu pertemuan dengan berujung pada suatu perpisahan, karena terkadang kita perlu mengingat kembali ke masa lalu dan kemudian mengenangnya, tetapi jangan berlarut-larut karena kita harus tetap menjalani hidup dengan pemikiran yang lebih dewasa.
Cerpen Karangan: Dian Kartika