“Menyebalkan, sekolah lagi sekolah lagi” “Ngapain sih dia ngajak aku ngobrol?” “Ah, dia hari ini cantik banget” Di dalam kelas XI C terdapat beberapa murid yang sedanng mengobrol. Aku dapat mendengar obrolan mereka. Juga apa yang mereka pikirkan. Aku dapat membaca pikiran orang lain. Huh, kemampuan yang menyebalkan. hidupku tidak tenang. Suara-suara ini begitu mengganggu. Apalagi untuk seorang anti sosial sepertiku. Aku berharap kemampuan ini segera menghilang.
“Halo Salfar” seorang gadis menyapaku. “Hai” balasku singkat “Ck, Ketus seperti biasanya. Sedang memikirkan apa sih? Pagi-pagi mukanya sudah kusut” Risa, Teman sekelasku yang ceria. Ia cukup manis dan terkenal dikalangan laki-laki. dia memiliki kekurangan, sikap cerobohnya menyebalkan. Namun, murid laki-laki menganggap hal tersebut adalah sikap Risa yang menggemaskan.
“Aku berharap kemampuan ini segera menghilang,” Aku berkata seakan aku sedang berdoa. “kemampuan membaca pikiranmu?” Tanya Risa “Memangnya kemampuan yang mana lagi?” Balasku kesal. “Bukankah menyenangkan memiliki kemampuan itu? Bisa tahu apa yang diinginkan dan apa yang dipikirkan orang lain.” Risa memang mengetahui kemampuanku ini. Dia adalah sahabatku. Kami sudah saling mengenal sejak MOS (Masa Orientasi Siswa). Kebetulan kami memiliki hobi yang sama, yaitu membaca buku. Kami banyak membicarakan hobi kami, tanpa sadar aku sudah dekat dengan Risa.
“Ngapain Salfar deket-deket sama Risa?” “Gak cocok dia sama Risa” “Selera Risa rendah ya” Suara-suara itu kembali terdengar olehku. Aku menyapu seisi kelas dengan tatapanku, ada beberapa murid laki-laki yang melihatku dengan tatapan permusuhan. Inilah kenapa aku tak menyukai kemampuan ini. Aku jadi mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak aku ketahui.
“Risa, tolong jangan bicara denganku saat di kelas?” “Eh, Kenapa?” Risa terlihat tidak setuju “Kamu tahu’kan kalau kamu populer. Jika kamu dekat-dekat denganku, popularitasmu akan jatuh” “Hmm… Tak masalah bagiku” “TAPI ITU MASALAH BAGIKU,” Teriak pikiranku. “Ya sudah kalau kamu tidak senang aku ada di dekatmu. Tapi pulang sekolah aku tunggu di tempat biasanya yah,” setelah itu Risa pergi, mengobrol dengan teman-temannya.
Setelah pulang sekolah, aku menuju perpustakaan, di sanalah Risa menunggu. perpustakaan seperti basecamp bagi kami. Tak banyak orang di sana. Aku bisa sedikit tenang dengan kemampuanku. Ketika memasuki perpustakaan, aku melihat Risa sedang duduk membaca buku.”Hai, sudah lama di sini?” Aku menyapanya. “Lumayan, sudah setengah jam aku di sini,” Risa menjawab tanpa menoleh padaku.
Aku mengeluarkan buku dari dalam tasku dan mulai membaca di sebelah Risa. Beginilah kegiatanku sehari-hari. aku membaca buku di perpustakaan bersama Risa. Menjalani keheningan yang menenangkan selama berjam-jam. Entah kenapa hanya Risa yang tidak dapat aku baca pikirannya. Kadang aku penasaran dengan gadis itu, apakah dia memiliki masalah, bukankah berat menjadi seorang yang populer, bagaimana tanggapannya tentang diriku. Berbagai macam pertanyaan mengalir di kepalaku. Aku mulai tidak fokus membaca.
“Ugh, capek juga yah membaca itu. Padahal hanya duduk dan melihat tulisan,” Aku meregangkan tubuhku. “Hahaha… Benar juga kamu,” Risa pun sepertinya mulai lelah membaca. Risa memasukkan bukunya ke dalam tas “Sudah mau pulang?” Tanyaku “Ya, tubuhku sudah mulai pegal. Aku duluan yah,” Setelah itu Risa pergi meninggalkanku sendirian di dalam perpustakaan.
“Ah, Males banget dapet tugas jaga perpustakaan, padahal hari ini aku ingin bermain game,” Aku menoleh ke meja penjaga perpustakaan seorang murid sedang membaca buku di sana. Aku terkekeh dalam hati, kadang kemampuan ini memberiku hiburan. “Hei,” Sebuah suara yang tidak kukenal menyapaku. Aku menoleh ke belakang. Seorang muri laki-laki yang bertubuh tinggi berkulit coklat dan memakai topi menangkap seluruh perhatianku. “Uhm, ya?” “Kamu harus berhati-hati dengan gadis yang bernama Risa itu.” “Hah?” Apa maksud laki-laki ini, tiba-tiba muncul di belakangku dan berkata aku harus waspada terhadap Risa. “Uhm, apa kita pernah bertemu sebelumnya? Mungkin kamu salah orang.” “Salfar dari kelas XI C, pokoknya kamu harus waspada terhadap gadis yang bernama Risa itu,” Setelah itu dia pergi meninggalkan perpustakaan. “Aneh,” gumamku. “Aku tak dapat membaca pikiran laki-laki itu”
Keesokan harinya aku masuk kelas seperti biasa. Rasa penasaran akan laki-laki tersebut memenuhi diriku. Sebenarnya siapa dia. “Selamat pagi Salfar,” Suara yang sangat kukenal menyapaku. Aku hanya diam, tak menjawab salam tersebut, “Eh, kamu tidak membalas salamku?” Risa mendekatiku. “Bukankah sudah kubilang jangan berbicara denganku saat di kelas?” Aku berbisik kepadanya. “Oh iya, maaf. Aku lupa” Saat Risa hendak pergi meninggalkanku, aku menahannya. “Tunggu Risa, ada yang ingin aku tanyakan padamu” “Eh,” wajah Risa terlihat kebingungan. “Apa kamu kenal dengan laki-laki bertubuh tinggi, berkulit coklat dan memakai topi, kemungkinan anak kelas XII” Risa terlihat berpikir. Tak lama setelah itu dia menjentikkan jarinya, sepertinya dia sudah tahu siapa yang aku maksud. “Mungkin dia adalah Deni. Anak terpintar kelas XII, aku sering melihatnya di perpustakaan, memangnya ada apa?” “Tidak, hanya ingin bertanya saja. Aku juga sering melihatnya di perpustakaan tapi tidak tahu namanya,” Risa hanya ber-Oh lalu pergi mengobrol dengan teman-temannya.
Sepulang sekolah aku kembali menuju perpustakaan. Risa sedang duduk sambil membaca. Aku melihat seisi perpustakaan, berharap bertemu dengan laki-laki yang kata Risa bernama Deni tersebut. Tak ada, perpustakaan sepi, hanya ada aku dan Risa. Entah kemana penjaga perpustakaan saat ini. Aku mendekati Risa. “Ris, kamu lihat Deni tidak?” Risa menoleh padaku. “Nggak, memang ada apa kamu sama kak Deni Sal? Dari pagi bertanya tentang dia terus.” Risa meletakkan bukunya, berharap mendengar cerita dariku. Melihat wajah penasaran Risa, aku menyerah dan mulai menceritakan kejadian kemarin. Wajah Risa yang penasaran memang menjadi kelemahanku, karena itu pula lah aku menceritakan kemampuanku padanya.
Sepuluh menit aku bercerita, Risa mendengar dengarkan dengan serius. Dia menunduk setelah mendegar ceritaku. “Oh, begitu” katanya singkat. “Apa kamu kenal dengan Deni, Ris? Kenapa dia sampai memintaku untuk waspada terhadapmu?” “Aku… Pernah bicara beberapa kali dengannya,” Risa menolehkan matanya, mencoba menghindar dari tatapanku. “Terus, apa yang kalian bicarakan?” Aku semakin penasaran dengan laki-laki yang bernama Deni tersebut. “Aku memintanya untuk pulang,” Tiba-tiba Deni muncul di belakangku dan Risa. Aku refleks berdiri dan menjaga jarak karena kaget. “Hei, jangan tiba-tiba muncul seperti itu dong! Bikin orang jantungan saja” Namun Deni tidak membalas teguranku. Dia hanya menatapku sebentar lalu menoleh kepada Risa. “Risa, apa Salfar belum tahu siapa sebenarnya dirimu?” Eh, apa maksud dari perkataannya itu? Tiba-tiba dia muncul dan berkata seperti itu. Dasar laki-laki aneh. “Apa maumu Deni? Kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?” Tanyaku padanya. “Salfar, kurasa kau harus tahu yang sebenarnya terjadi,” Deni menunjuk Risa yang masih merunduk dari tadi. “Dia bukan makhluk bumi. Dia tidak berasal dari sini” “Eh, Ap… Apa maksudmu?”
Cerpen Karangan: M Salim Faroghy Blog / Facebook: M Salim Faroghy