Deni mendengus pelan, mungkin dia sebal dengan ketidak pahamanku atas pernyataannya. “Intinya Risa itu Alien” “Al… Alien?” Aku masih bingung dengan apa yang diucapkan oleh Deni. “Jangan bercanda! Mana ada hal yang seperti itu? Kau terlalu banyak membaca buku fiksi ilmiah Deni,” bagaimana mungkin aku percaya dengan hal tersebut dari orang yang tiba-tiba muncul seperti itu. “Jika kau tidak percaya dengan apa yang kukatakan, coba tanyakan saja pada Risa,” tantang Deni padaku. Aku menoleh pada Risa, dia terus merunduk diam dari tadi. Tidak seperti biasanya, apa bila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, Risa pasti akan berbicara. Tapi sekarang, dengan semua omong kosong yang diucapkan oleh Deni, kenapa Risa tidak berkata apa pun?
“Risa, coba kamu katakan sesuatu pada si maniak fiksi ilmiah itu,” Risa tidak merespon permintaanku. Aneh sekali. “Ris?” Risa mengangkat kepalanya, air mata menggenang di ujung matanya. Siap jatuh kapan saja. “Sal…” Risa memanggilku dengan suara tertekan. “Apa yang dikatakan… Oleh Kak Deni itu… Benar” Mendengar hal tersebut, aku menjadi semakin bingung. Ada apa ini? Apa Risa juga seorang maniak fiksi ilmiah? Atau mereka bersekongkol untuk menjahiliku. Intinya, aku tidak dapat menerima perkataan bahwa Risa adalah alien.
“Nah, orangnya sendiri sudah mengakui. Sekarang kamu percayakan Salfar?” Deni terlihat puas dengan pernyataan Risa. “Mana mungkin aku percaya dengan hal seperti itu. Kalian pasti berusaha menjahiliku,” Aku tetap teguh dengan pendirianku. “Baiklah kalau kamu tidak percaya Salfar. Akan aku tunjukkan sesuatu padamu,” ucap Risa.
Risa berjalan mendekati rak buku. Memegangnya dengan satu tangan, lalu mengangkatnya dengan sangat mudah. Aku tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat, rak tersebut memiliki ratusan buku di dalamnya dan terbuat dari kayu jati. Tidak mungkin ada yang bisa mengangkatnya hanya dengan satu tangan, apalagi dia seorang gadis.
“Ta… Tadi kamu… mengangkat rak itu… dengan satu tangan?” “Sekarang… kau percayakan Salfar?” Risa meletakkan kembali rak buku tersebut, layaknya meletakkan kotak mainan anak kecil. “Aku… Aku…” Aku mengatur nafas, mencoba menenangkan diriku. “Baiklah, coba jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” Aku sudah mulai tenang dan siap mendengarkan penjelasan apa pun.
“Oke, dengarkan aku baik-baik Salfar,” aku menegakkan tubuhku. bersiap mendengarkan Risa.”Aku memang seorang alien, aku datang ke sini untuk mempelajari kehidupan yang ada di sini. Gravitasi planetku dan pelanetmu berbeda, itulah kenapa aku dapat mengangkat rak buku tersebut dengan mudah,” Risa terdiam sesaat. “Saat aku datang ke sini. Yang pertama kali aku pelajari adalah literatur dan kesastraan, aku langsung jatuh cinta dengan semua itu. Aku sangat senang membaca, komik, novel, artikel, ensiklopedia atau apa pun itu. Dunia ini begitu indah dengan berbagai keberagamannya. Aku yang seharusnya hanya sementara berada di sini mulai merasa nyaman dengan dunia ini dan mulai mengenalmu.”
Risa mulai mengeluarkan air mata, melihat hal tersebut membuatku bingung dengan arah pembicaraannya. Apa sebenarnya yang akan diucapkan oleh Risa. “Aku merahasiakan identitasku. Membaca di perpustakaan layaknya seorang remaja biasa planet ini. Aku senang ketika ada orang yang memiliki hobi yang sama denganku, tanpa kusadari aku terlalu banyak menghabiskan waktu bersamamu Kamu terkena efek resonansi sinyal yang dipancarkan oleh tubuhku yang berdampak pada sistem di otakmu sehingga kamu dapat membaca pikiran orang lain. Maafkan aku Salfar, kemampuan yang kamu miliki saat ini, Berasal dari diriku.” Risa mengusap air matanya dan sesekali terisak.
Ia berusaha melanjutkan ceritanya. “Kak Deni yang merupakan murid paling jenius Di sini menyadari adanya sinyal aneh yang berasal dariku. Ia menciptakan Topi yang dapat menahan resonansi sinyalku. Itulah kenapa kamu tidak dapat membaca pikirannya dan aku tak dapat mengelabuinya.”
Aku masih memproses semua informasi yang dikatakan oleh Risa. Tak tahu bagaimana harus merespon semua ini. “Jadi, Deni memintamu untuk kembali ke planetmu?” Risa mengangguk. “Bagaimana caranya kamu kembali?” Tanyaku pada Risa. “Planetku telah menciptakan gerbang dimensi yang dapat menjemputku saat aku mengirimkan sinyal pada mereka.” Jawab Risa. “Jangan pulang!” Risa dan Deni menoleh padaku. Aku mengepalkan tanganku, tak terima dengan semua ini. “Memangnya kenapa kalau Risa bukan berasal dari bumi? Memangnya kenapa kalau gravitasi planet kita berbeda? Memangnya kenapa dengan resonansi sinyal-sinyal itu? Aku tak peduli dengan semua itu. Bagiku kau adalah Risa sahabatku, teman sehobiku, tak ada yang dapat menggantikanmu. Maka dari itu, jangan pergi Risa. Tetaplah tinggal, aku tak masalah dengan kemampuan ini apabila ini berasal darimu. Aku siap mengorbankan ketenangan hidupku demi keberadaanmu,” Risa menutup mulutnya, aku bisa merasakan perasaan bahagia membuncah dari dalam dirinya.
“Sayang sekali Salfar,” Deni tiba-tiba merogoh sakunya dan mengambil sebuah alat benbentuk kotak dengan tombol merah di tengahnya. “Aku menciptakan alat yang dapat mengirimkan sinyal Risa langsung ke planetnya, dia akan segera dijemput setelah aku menekan tombol ini” “Apa katamu? Sudah kubilang aku tak masalah dengan keberadaan Risa,” aku merasa jengkel melihat sikap Deni. “Mungkin kau tidak masalah, tapi bagaimana dengan orang lain? Penduduk bumi yang lain? Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Alien dari planet lain’kan? Sebaiknya dia segera dipulangkan.”
Ketika Deni hendak menekan tombol itu, aku menerjang kearahnya dan mendorong tubuh Deni. Deni terjatuh kebelakang, alat itu terlepas dari tangannya, terpental sekitar 3 meter dari tempat kami berdiri. Aku mencoba secepat mungkin mendapatkan alat tersebut. Deni segera bangkit setelah melihatku. Tinggal sedikit lagi aku bisa mendapatkan alat itu, namun seseorang bergerak dengan cepat mengambil alat itu sebelum aku sempat melakukannya. Aku melihat orang tersebut, Risa.
“Hentikan ini Salfar! Deni!” Risa berteriak menghentikan kami. “Jika keberadaanku membuat masalah bagi kalian, maka aku lebih baik pergi,” Risa menekan tombol alat itu. Seketika muncul lingkaran berwarna biru di belakang Risa dengan diameter setinggi orang dewasa. Kurasa itu yang dinamakan gerbang dimensi. “Risa, apa yang kau lakukan?” Aku tak percaya Risa memilih untuk pulang setelah aku membelanya untuk tinggal. “Aku akan pulang Salfar,” Risa membalikkan tubuhnya, bersiap memasuki gerbang dimensi. “Jangan pulang Risa! Siapa yang akan menemaniku membaca buku di perpustakaan? Siapa yang akan menyapa seorang anti sosial sepertiku setiap pagi? Siapa yang akan aku ajak bicara tentang buku-buku yang sedang populer? Tolong tinggal lah Risa!” Risa meneteskan air mata. “Aku tahu ini berat bagimu Salfar, begitu pula bagiku. Namun Deni benar, bagaimana jika keberadaanku berbahaya bagi makhluk bumi? Aku tak bisa membayangkan diriku merusak tempat yang indah ini. Jadi, selamat tinggal Salfar,” Risa berjalan memasuki gerbang dimensi. “RISA!” Aku hendak menahan Risa pergi, namun gerbang tersebut seakan memiliki daya untuk mendorongku, mencegahku mendekati Risa Risa telah sempurna masuk ke dalam gerbang dimensi. Seketika itu gerbang tersebut mengecil.
“Risa!” Aku tahu dia mendengar suaraku namun enggan menoleh padaku. “Risa, apakah aku dapat bertemu denganmu lagi?” Risa diam, tak merespon pertanyaanku. ketika gerbang dimensi hampir tertutup, Risa berbalik menunjukkan wajahnya yang basah oleh air mata. “Selamat tinggal Salfar, terima kasih,” Gerbang dimensi tertutup dengan suara seperti laser ditembakkan, menghilangkan keberadaan Risa di hadapanku. Rasa sakit memenuhi dadaku, beginikah rasanya kehilangan seseorang yang penting bagiku.
“Fiuh, seharusnya kau senang Salfar. Kemampuanmu untuk membaca pikiran yang menurutmu itu mengganggu akan segera hilang” Deni terlihat santai dengan apa yang baru saja terjadi. Ingin kupukul saja rasanya wajah laki-laki itu. Namun hal tersebut tak akan mengubah kenyataan bahwa Risa telah pergi. Ketenangan yang selama ini kuinginkan, harus dibayar dengan harga yang sangat mahal.
Cerpen Karangan: M Salim Faroghy Blog / Facebook: M Salim Faroghy