Memilikinya adalah suatu kebahagiaan untukku. Padahal dia bukan tipeku, bukan pula kriteriaku, apalagi terdaftar sebagai cowok idaman dalam kamus percintaanku. Benar-benar tidak pernah terbesit dalam benak, bahwa dia telah mencuri hatiku. ‘Stop engkau mencuri hatiku, hatiku’, seperti lagu Dewi Persik saja.
Perkenalanku memang sudah sangat lama dengannya, bahkan jauh dari itu. Semua tentang hidupnya, tentang cintanya dan bahkan semua daftar nama-nama mantan pacarnya, berapa jumlahnya, semuanya ku tau. Ketidakmungkinan bahwa aku akan mencintainya. Bukankah semua yang ada pada dirinya, benar-benar aku benci?.
Namun semua itu tidak jadi masalah bagiku, untuk tetap berteman bahkan bersahabat dengannya. Karena setiap orang punya haknya masing-masing, untuk melakukan sesuatu yang disuka yang dianggapnya lumrah. Dan aku sudah menerima semua itu dari dirinya, sebagai sesuatu perbedaan. Ya suka tidak suka harus terima.
“Sya, besok mau ikut gak?” Ajak Radit “Kemana?” Tanyaku penasaran. “Kita jalan-jalan ke pantai yu?” “Sama siapa?” tanyaku lagi “Sama temen gue, banyakan pokonya” “Em, gak akh. Besok gue pulang ke rumah” “Gue antar ya, tapi lo harus ikut gue dulu!”. Bujuk Radit membuatku bertanya-tanya. “Gak akh, pengen banget lo gue ikut?”. Aku bingung sama Radit, gak biasanya dia ajak aku jalan, apalagi sama temen-temennya.
“Angin dari mana lo, tumben-tumbenan ajak gue?” Tanyaku lagi. “Em sebenarnya gue mau jalan sama pacar gue?” Jelas Radit “Terus kenapa ajak gue?” potongku “Gini, pacar gue punya temen. Terus temennya itu pacar gue juga” “Dasar lo, itu sih DL. Lagian punya pacar banyak, temen pacar lo aja lo embat. Dit Dit?” Aku sampe geleng-geleng kepala.
“Masalahnya, temen pacar gue sekaligus pacar gue juga, mereka berdua akan ikut juga” “Terus apa gunanya gue lo ajak?” “Ya lo jadi pacar bohongan gue lah!”. “Diiiiih amit, kalau gue ditampar sama cewek-cewek lu gimana?” “Kan ada gue Sya?”. “Ogah ah, malu-maluin gue aja entar. Tar pacar gue tau gimana, lo mau tanggung jawab?” Jelasku.
“Lo tinggal ikut aja sama gue, urusan sama pacar lo gimana nantinya gue yang atur!” “Gak ahk, dosa-dosa lo, masa gue yang nanggung?” “Ayolah Sya, bantu gue kali ini aja. Gue bakal antar lo pulang, kalau lo mau gue bayar. Mau ya?” Bujuk Radit. “Enggak ah” aku tetep gak mau, kali nanti malah aku yang kena getahnya.
Keesokan harinya secara biasa, kita suka nongkrong di depan rumah Radit pas malam sekedar curhat yang memang sudah kebiasaan kita. “Gimana kemaren Dit?” Tanyaku ingin tau. “Biasa, mereka malah berantem”. “Terus-terus?” Tanyaku penasaran. “Mereka saling ngata-ngatain. Gini *lo ya, udah rebut cowo gue* yang satunya lagi *lo yang berebut cowo gue, bukannya gue* pokoknya seru kalau lo liat Sya!”. Radit ceritain semuanya, yang membuatku ketawa ngakak.
“Hahahaha, bener-bener lucu” aku tidak tahan menahan tawaku lagi. “Kalau gue ni ya, kalau jadi mereka. Gue tabok aja lo nya, gak harus berantem segala sama temen sendiri”. Kataku lagi. “Haha iya ya” Radit ikut ketawa juga. “Iya lah, bego aja tuh ceweknya. Berantem cuman gara-gara cowo” “Iya ya bego?, ha-ha-ha” Radit malah melanjutkan tertawanya yang membuatku enek.
“Ihh dasar ya lo, malah ketawain mereka. Seharusnya lo sadar, gara-gara lo. Dua anak orang berantem cuman ngerebutin lo. Kalau gue ogah banget, apa sih yang mereka suka dari lo?” Tanyaku sewot “Gue kan cakep, ya pantas lah mereka rebutin gue”. Jelas Radit dengan PD nya. “Dih, cakep dari Hongkong? Kalau gue jadi cewe, gue gak bakalan suka atau cinta sama lo” ucapku. Padahal aku sendiri cewe, ya biarlah. Karena semua yang ada pada dirinya benar-benar aku benci.
Sebuah kesedihan yang teramat dalam untukku, pertama kalinya aku merasakan patah hati dalam hidupku. Yaitu mengalami putus cinta untuk yang pertama kalinya, benar-benar membuatku sedih. Dua tahun lebih hubunganku dengan Dito kandas begitu saja, tak banyak alasan, karena Dito telah mengkhianatiku. Membuatku tak bisa mempertahankan hubungan ini lagi, memutuskannya adalah satu-satunya cara terbaik. Karena aku benci pengkhianat, sungguh benci.
“Udah Sya, jangan sedih lagi!” Bujuk Radit padaku. “Tau apa lo tentang perasaan gue?” Bentakku pada Radit. “Ya tau, itu lo sedih?” Ucapnya lugu “Kalau lo tau, kenapa lo slalu nyakitin cewek? Emang ya cowok itu sama aja, gak punya perasaan” ucapku kesal. “Masa?” Tanya Radit lagi. “Tau ah, gue lagi gak mood ngomong sama lo”.
Kegalauanku membuatku jarang nongkrong bersama Radit. Akhirnya liburan panjang akhir semester tiba, waktunya untuk pulang ke rumah. Sejenak memulihkan perasaanku, mungkin itu yang terbaik. Lama-kelamaan aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumahku, meskipun sangat jauh ke kampus dibanding tempat kosanku yang berada dekat dengan kampus sekaligus rumah Radit. Tak apalah yang penting aku tidak sedih lagi, dengan berada dekat sama orangtua.
Setengah tahun sudah, aku terbiasa di di rumah tanpa nongkrong secara biasanya bersama Radit. Hal konyol yang biasa kita lakukan, kini benar-benar sudah tidak ada lagi dihidupku. Rutinitasku hanya pergi ngampus, selepas itu langsung pulang karena takut kemalaman, karena rumahku memang sangatlah jauh. Terpaksa setiap hari selalu begitu.
Perasaanku kian hari kian membaik, tak ada kesedihan atas perpisahanku dengan Dito yang sekarang entah dimana. Akupun tak mau tau itu, yang jelas aku benar-benar telah menerima perpisahan ini. Kupikir inilah yang terbaik. Entah apa yang membuatku begitu bahagia ketika melihat Radit, aku melihatnya pas lagi pulang ngampus.
“Meisya?” Sapa Radit, terlihat kaget saat melihatku. “Aaaaaaaaah, apa kabar lo?” Girangku dengan menjabat tangannya. “Baik, lo sendiri gimana kabarnya?” “Baik juga” ucapku “Iiih kangen lo tau gue, sekarang gak ada yang bisa gue ajak curhat lagi” ucap Radit. “Haha gue juga”. “Gimana perasaan lo sekarang, udah baikan?” Bahas Radit.
“Em baik, seperti yang lo lihat, eh Dit. Gue pulang dulu ya, keburu sore. Tar gue kemalaman lagi di jalan!”. “Syukur deh kalau lo baik-baik aja, oh iya. Eh Sya, mana nomor lo?” “Oh iya, nih?” Ucapku buru-buru. “Tar gue telpon ya malem?”. “Iya” jawabku sambil berlalu meninggalkan Radit.
Sejak pertemuan itu, aku dan Radit biasa curhat tentang kehidupan kami masing-masing. Meskipun hanya lewat telepon, tapi tak kalah serunya dengan dulu yang biasa curhat sambil nongkrong. Bahkan tanpa terasa kita menghabiskan waktu teleponan sampai tengah malam. Entah apa yang membuat kita begitu bahagia, padahal kita curhat cuman menceritakan hal-hal konyol.
Lalu waktu lama membuat perubahan semakin terlihat dari Radit. Semakin perhatian dan entahlah, mungkin hanya sebuah perhatian sahabat. Kupikir hanya itu, tidak lebih. Terdengar kabar bahwa Radit putus dengan pacarnya, ya meskipun terdengar biasa bagiku. Tidak aneh lagi hubungan Radit memang selalu begitu, tapi mengapa sekarang ada yang berbeda dari dia.
“Sya gue putus sama pacar gue” dengan wajah sedihnya, membuatku heran. Tidak seperti biasanya. “Biasanya juga lo fine-fine aja kalau putus, itupun bukan satu atau dua kali aja, malah hampir 100 kali lo ngalamin putus cinta. Tapi lo baik-baik aja, kenapa sekarang lo sedih?” Tanyaku heran.
“Itu kan dulu Sya, sekarang gue serius. Seperti yang lo kata gue harus setia. Eh pas gue mau serius malah gue yang dikhianati, sakit tau Sya”. “Emang karma gak akan kemana, cup-cup-cup lo gak boleh nangis ya?” Hiburku. “Gak lah, gue cuman sedih doang Sya. Kalau sampai nangis ogah amat. Sekarang gue baru tau gimana rasanya sakit hati” jelasnya “Bagus deh, berarti lo sekarang mulai tau apa itu cinta. Gue harap lo gak berubah kaya dulu lagi ya?!” Saranku. “Iya deh” jawab Radit pasrah.
Cerpen Karangan: Siti Nurlaeli Blog / Facebook: Siti Nurlaely Nama Siti Nurlaeli, Tempat/Tgl Lahir di Lebak, 10 Desember 1997.