Musim kemarau akan berakhir. Sudah hampir 4 bulan aku duduk di taman ini menunggu sang pujaan hati yang tak kunjung tiba dan sekarang aku juga sedang menunggu hujan yang sebentar lagi sepertinya akan tiba. Ini adalah bulan ke lima aku duduk di bangku taman. Selalu teringat dengannya jikalau aku duduk di bangku taman ini. Teringat bagaimana aku bertemunya setahun yang lalu. Pahit dan manisnya kami pernah kami lalui di sini, bermain di sini, bercanda tawa di sini dan menghabiskan waktu kami di taman ini. Selalu teringat ketika aku menunggunya untuk membelikan ketoprak di dekat taman dan membawa teh botol kesukaan kami berdua. Aku selalu rindu akan dirinya, yang kini masih juga belum mengunjungiku. Kami selalu berkomunikasi dengan lancar menggunakan teknologi yang canggih.
Kini langit tampak mendung aku masih tetap setia untuk menunggumu di sini. Dia berjanji akan menemuiku sekarang. Namun apa? Dia tidak ada.
Aku duduk di sini sendiri melihat anak-anak bermain seluncuran sambil tertawa dan mengayunkan ayunan dan ada juga yang bermain jungkat-jungkit. Aku rindu, rindu bermain bersamanya walau seperti kanak-kanak namun aku jamin jika kalian rasakan itu pasti seru seakan-akan beban kalian pergi namun tidak pergi secara permanen, beban itu hanya pergi sementara. Aku masih tetap duduk di sini sambil menggerakkan jari-jariku untuk mengetik ditambah dengan minuman coklat ditambah es kesukaan kami berdua juga.
“San, udah ayok pulang ini udah mau turun hujan.” Aku mendengar suara itu dari belakang, ternyata itu Rena, tetangga sekaligus sahabat yang selalu tau apa aja yang aku inginkan, namun dia bukan peramal, dia saja masih merasa bingung dengan keadaanku sekarang.
“ngapain masih di sana? Mending ikut aku aja.” Ucapnya lagi dan dia langsung menarik tanganku. Aku menutup laptopku dan membawa segelas coklatku. Aku tidak tau persis, dia akan membawaku kemana, namun aku mengikutinya saja.
Rena menyetir mobilnya menulusuri jalan raya ditambah dengan langit yang gelap dan angin kencang, tampak dari mobil daun-daun pohon beterbangan, dan sampai detik ini aku masih belum tau apa maksudnya dia untuk membawaku berjalan.
Sampai akhirnya kami sampai di toko yang menjual bunga. Aku kembali teringat tentangnya, dia selalu membawaku kesini. Membelikanku bunga setiap minggunya.
“cepet pilih bunganya, keburu hujan San” ucap Rena “iya sebentar, gue bingung Ren.” Jawabku.
Aku melihat-lihat bunga-bunga itu dan langsung memilihnya kemudian kubawa ke kasir. setelah dari toko bunga, Rena kembali membawaku berjalan menelusuri jalan raya. Langit sangat mendung tanda bahwa hujan akan datang membasahi bumi.
Rena memberhentikan mobilnya di suatu tempat pemakaman. Aku semakin tidak tau apa maksudnya untuk membawaku kesini.
“Ren, lo kenapa? Lo mau pesan tanah?” “buat siapa?” “jangan buat takut deh, ntar sahabat sekaligus tetangga gue yang paling rusuh gak ada lagi.” “gini nih kebanyakan makan micin Pakde yang jual bakso di depan rumah.” Ucapku padanya
Namun dia terdiam menatapku dengan mimik muka yang setengah tersenyum dan ingin menangis.
“lo kenapa? Serem ih” tanyaku padanya. “lo yang kenapa San!” Rena membentakku dan dia langsung berjalan memasuki pemakaman umum itu. Sambil mencari-cari sebuah tempat pemakaman.
Lalu Rena berhenti di salah satu tempat makam dan berbalik badan ke arahku. Kemudian ia menatapku lagi. “kenapa san? Lo gak pernah sadar? Liat ini san!” ucapnya, sambil menunjuk ke makam tempat ia berhenti Aku berjalan mendekatinya. Kemudian kulihat nama makam itu “Ravel Andra”. Seketika air mataku langsung menetes melihat nama itu. Aku hanya bisa diam dan menatap makam itu.
“udah 5 bulan dia pergi San! Dan lo? gak pernah bisa terima, gue sedih liat lo San gini terus, melamun terus, diam terus kayak gak ada tujuan hidup.”
Aku berlutut di samping makam itu sambil memegang bunga yang kubeli. Menatap makam itu sambil menangis. tangisan ini dari dulu tak bisa kutahan. “Dia” adalah Reval, kini aku ada di hadapannya, di hadapan makamnya.
“gue mohon banget sama lo San, lo terima semua ini ya, buat lembaran hidup lo yang baru. Lo gak bisa kayak gini terus” “kalau lo bahagia, Reval bakal bahagia San.”
Aku hanya bisa mendengar ucapan-ucapan Rena, tak bisa menjawab ucapan itu. Tangisanku semakin kencang, air mataku semakin deras keluar. Ketika Rena mengucapkan sebuah kata-kata yang membuatku tak henti menangis
“San Reval udah pergi jauh, dia gak bakal kembali.” “gue yakin kalau lo udah terima keadaan ini, Reval tenang.” “Reval selalu sayang sama lo San” “dia bakal selalu jagain lo. Walau dari jauh” “masa depan lo masih panjang San” “hidup dengan lembaran baru dan terima semua dengan ikhlas.”
Aku memeluk makam Reval dengan air mata yang mengalir membasahi pipiku dan kemudian hujan pun turun dari atas langit.
Kami menyukai hujan, kami selalu bersama bermain hujan. Dulu Reval selalu memberikanku sebuah pertanyaan “menurut kamu makna hujan yang turun apa?” aku selalu menjawab “kebahagiaan”. Reval selalu tidak setuju dengan jawabanku, dan sampai sekarang aku belum bisa mengetahui apa makna hujan yang turun itu. Namun kini kami tidak bisa bersama bermain hujan.
“Sania, udah yok, hujan San udah ayokk ke mobil.” Ucap Rena dan Rena menarik tanganku namun aku melepaskan tarikkan itu. Rena pergi meninggalkanku. Sedangkan aku masih di makamnya.
Hujan semakin deras.
Akhirnya… Kini aku memutuskan untuk menerima keadaan ini, bahwa Reval telah pergi untuk selamanya. Aku meletakkan bunga yang kubeli tadi dimakamnya. Kemudian aku mengucapkan selamat tinggal padanya dan berdoa agar dia diberi kebahagiaan selalu di sana. Aku berdiri dan mengejar Rena yang belum jauh dari tempat makam.
“RENA!” teriakku. Kulihat Rena berhenti dari jalannya. Aku langsung lari ke tempatnya lalu memeluknya.
“Ren makasih lo, udah sabar hadapin gue dan bantuin gue hadapin semua masalah hidup, lo sahabat terbaik, sekali lagi terima kasih lo udah buat gue sadar dan ikhlas hadapi ini semua.” ucapku padanya.
Rena membalas pelukku dan kemudian kami sama-sama berlari menuju mobil.
Selamat tinggal Reval, aku yakin kini kau sudah bahagia. Aku juga tau kau pasti mengirim hujan ini untukku, agar aku bisa menerima keadaan dengan ikhlas. Kita harus tetap berkomunikasi melalui “hujan”. Kini aku telah mengetahui makna hujan turun yang sesungguhnya, hujan yang turun adalah keadaan dimana kita harus jujur dan harus menerima segalanya dengan ikhlas, setelah kita menerima segalanya dengan ikhlas barulah kita berbahagia.
“Terima kasih Reval”
Cerpen Karangan: Jessica Silviani Blog / Facebook: jessica silviani Tempat/tgl lahir: Pekanbaru, 21 September 2001