Hey jam berapa ini? Apa sudah tanggal 11? Astaga, hari ini ulang tahunku dan terra! Aku beranjak dari tempat tidur, suasana hatiku sedang bagus, aku melakukan rutinitas seperti biasa, dan sekarang aku akan bersiap untuk pergi ke rumah terra. Tahun ini sedikit berbeda, biasanya kami merayakannya bersama di rumah pohon.
Saat aku baru akan melangkah keluar, aku baru ingat aku meninggalkan kadonya di kamar. Aku berlari menuju kamar dan “Eh?” aku tiba tiba terbangun tetapi eh apa yang baru saja terjadi? Bukankah tadi aku sedang bersiap untuk ke rumah terra? Kenapa aku tidur lagi? Eh apa tadi cuma mimpi? Ribuan pertanyaan membanjiri benakku Tapi itu tak penting sekarang, aku berusaha bangun, tapi tak bisa, seperti ada sesuatu yang menarikku untuk kembali tidur. Aku mulai panik, jika memang benar apa yang kupikirkan benar benar terjadi, aku ingin marah, tak bisakah tuhan memberiku 1 detik lagi setidaknya untuk memberi ucapan ulang tahun untuk orang yang sangat berarti dalam hidupku.
Astaga aku berhasil bangun, tapi kurasa, tak benar benar bangun. Lihatlah gadis berambut panjang itu sedang tidur sambil memeluk bungkusan kado berbentuk balok yang belum selesai itu. Aku menangis dalam diam. Bahkan disaat terakhirku aku tak bisa melihat orang orang yang sangat berarti dalam hidupku. Kulirik jam dinding, pukul 10 pagi. Pintu kamar terbuka, mama seperti biasa mengomel kalau aku bangun siang, oh ayolah ma, ini hari minggu, tapi sayangnya, ini hari minggu terakhirku, mari kita lihat, berapa lama mama akan sadar.
Tiba tiba aku merasa aneh, tak bisa dijelaskan perasaan apa ini, namun tiba tiba gelap. Tak lama aku bangun dan aku kaget setengah mati, yah sudah mati sih, tapi aku benar benar bingung, ini aneh sekali, sekiranya 1 menit yang lalu aku masih di kamar dan sekarang, lihatlah ada banyak orang berkumpul di depan batu nisan, nisan itu bertuliskan namaku, aku juga melihat terra menangis sambil memeluk kado yang belum selesai kubungkus kemarin, syukurlah setidaknya aku sempat menuliskan bahwa kado itu memang untuk terra.
—
Aku berjalan gontai meninggalkannya, rasa penyesalan itu menyelimutiku. Bahkan di saat saat terakhirnya aku belum sempat meminta maaf atau sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Ini jadi hari ulang tahun terburukku, mungkin ulang tahun terburuk kami. Aku melihatnya sekali lagi, nisan itu kokoh berdiri, terdapat namanya disana. Aku memutuskan pulang.
Aku berlari ke kamar, melemparkan tubuhku ke atas kasur.Aku terdiam, masih berharap ini cuma mimpi. Rasa egois, iri, cemburu mengahcurkan semuanya. Mataku beralih ke sebuah kotak kado yang sepertinya belum usai di bungkus. Aku mengambilnya.
Kutarik pita yang mengikat bungkusan itu. Ada kertas kecil disitu. “Selamat ulang tahun terra” air mataku menetes lagi. Ada surat juga disana, setelah membacanya aku merasa seperti orang paling jahat di dunia. Bahkan aku tak menyiapkan apapun untuknya. Aku merobek sisa kertas kado yang menempel, lihatlah sebuah buku, sejak kapan dia memberi buku? Biasanya dia akan memberiku boneka kodok, dia benar benar tahu aku. Saat aku membukanya, buku itu menghadap kebawah, jadi aku otomatis melihat bagian belakang terlebih dahulu, bagian sinopsis.
“Untuk bumi yang tak bisa bertahan tanpa satelitnya juga sebaliknya” – bulan
Singkat sekali, tapi aku tahu pasti apa maksudnya. Aku membalik buku itu, sampul biru gelap dengan gambar bulan dan bumi yang dikelilingi jutaan bintang terpampang, juga judul dari buku itu sendiri “Satelit” Eh? Lia menang? Kenapa aku tak tahu?
Aku membuka halaman pertama buku itu “Untuk bumi yang telah membuat buku ini bisa jadi nyata. Untuk sang bumi yang telah mewujudkan mimpi sang bulan” Ah aku mengerti sekarang, lia sedang membicarakan kami dengan nama samaran, bumi dan bulan. Diambil dari arti nama kami. Terra yang berarti bumi dan delia yang berarti bulan. Aduh yang benar saja lia, dulu kau bilang itu hanya filosofi konyol karangan mamanya, dan sekarang ia malah mengangkatnya menjadi buku, ada ada saja.
—
Halaman terakhir baru saja selesai kubaca, air mataku terus mengalir sedari tadi. Tokoh utama dalam buku ini adalah aku. Bagaimana bisa lia berfikir akan menjadikan aku sebagai tokoh utama dalam bukunya. Sama sekali tak pernah kuduga. Dan ternyata setelah halaman terakhir masih terdapat 1 lembar halaman lagi.
Terdapat gambar ilustrasi 2 anak perempuan sedang duduk di rumah pohon kecil. Salah satunya membawa boneka kodok dan yang satu memakai syal rajut berwarna kuning. Dan diatasnya terdapat tulisan “Bumi” dan diberi tanda panah kearah anak perempuan yang memeluk boneka kodok itu, serta tulisan “Bulan” yang diberi tanda panah kearah anak ber-syal kuning.
Aku ingat foto ini, ini aku dan lia di hari ulang tahun kami yang ke 10, lia memberiku boneka kodok–seperti biasa dan aku memberi syal kuning itu. Syal itu dirajut sendiri oleh mama, aku juga membantu pastinya Aku memeluk erat buku itu, terdapat ungkapan ungkapan dari sang bulan kepada sang bumi yang belum sempat tersampaikan, teryata aku tak benar benar mengenalnya sedalam itu.
—
Usiaku kini 17 tahun, 3 tahun berlalu setelah lia pergi. Tahun ini aku harus fokus dengan banyak ujian dan try out untuk bisa masuk universitas idamanku. Aku bergabung dengan klub menulis di daerahku. Terkadang aku kelelahan karna sulit membagi waktu antara belajar dan menulis. Akhir akhir ini aku memang terlalu santai dengan ujian ujian itu. Karena otakku selalu berkata “Untuk apa mati matian belajar matematika, toh nantinya aku hanya akan menulis, menulis, dan menulis” Akibatnya try out-try out ku tak mendapat nilai maksimal. Tapi entah kenapa aku yang dulunya sangat ambisi untuk mendapat peringkat pertama sekarang malah sebaliknya. Aku sedang mulai menulis sebuah cerita yang nantinya akan diterbitkan. Aku bahkan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis dibanding belajar. Rencananya bukuku yang satu ini akan terbit di hari ulang tahunku, itu mungkin akan jadi hadiah terbaik.
Besok adalah ulang tahunku, dan bukuku juga akan terbit besok. Aku tak sabar menanti hari esok.
Setiap ulang tahun kami, aku selalu mengunjungi makam lia. Tak ada yang kuucapkan saat aku tiba disana, hanya memegangi nisan dan meminta maaf juga mengucapkan selamat ulang tahun dalam diam. Tahun ini tentunya aku juga akan mengunjungi makam lia, tapi hari ini, lia pasti ikut senang melihatnya dari atas sana.
Aku duduk di tepi makam. Kupandangi lamat lamat nisan itu, hari ini akhirnya aku bisa mengatakan sesuatu selain ucapan ulang tahun. “Lia, kamu ga akan percaya, tapi lihat apa yang kubawa” ucapku seraya mengangkat buku bersampul abu muda “Aku baru saja menerbitkan karya pertamaku! Dan istimewanya lagi, buku ini adalah buku balasan untuk bukumu waktu itu. Aku sengaja menentukan tanggal terbit di hari ulang tahun kita. Terima kasih telah menjadikanku tokoh utama di bukumu. Kini, kamu adalah tokoh utama dalam buku, sekaligus dalam hidupku. Sungguh, aku sangat berharap kamu bisa membacanya.” Waktu terus berjalan, aku harus segera pergi. Aku beranjak dari dudukku sambil mengibas-ngibas rokku yang kotor. “Selamat ulang tahun lia” “Selamat ulang tahun aku”
—
Buku bersampul abu muda tiba tiba saja terletak diatas tempat tidurku. Aku sama sekali tak mengenalinya. Aku mengambil buku, menatapnya sebentar, dahiku mengkerut. Bukunya polos, tak ada judul atau apapun, hanya sampul berwarna abu muda. Aku membukanya. Kosong. Tak ada apapun disana. “Aneh..” gumamku. Aku tak terlalu menghiraukan buku aneh itu yang entah darimana asalnya. Aku memejamkan mata, mecoba tidur, tapi nihil, perasaanku sangat aneh, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal pikiranku, tapi apa? Aku menarik selimut dan berusaha tidur lagi.
Aku berada di ruangan serba hitam yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tiba tiba aku mendengar suara seperti anak perempuan, tak hanya satu, suaranya sahut menyahut, mungkin dua? Aku berlari mencari sumber suara itu. Lihat! Darimana datangnya cahaya itu, seingatku aku berada dalam ruangan tertutup. Aku berlari menuju sumber cahaya, semakin dekat, suara anak-anak itu semakin jelas. Aku merasakan dejavu, suara itu sangat familiar. Ah rupanya ini sumber cahaya itu, di depanku terpampang cantik sebuah taman yang luas dengan danau di pinggirnya, juga ada rumah pohon tua disana.
Kepalaku mendadak sakit. Pernahkah aku ke tempat ini sebelumnya? Sepertinya tidak, aku tak ingat apapun tentang tempat ini, tapi anehnya aku merasa sangat familiar. Tunggu sebentar, dimana dua anak tadi? Kenapa suaranya tak terdengar lagi di indra pendengaranku?
Aku mendongakkan kepala ke rumah pohon tua itu, kelihatannya masih kokoh, tapi kayunya lapuk. Kuputuskan untuk naik. Danau itu tampak sangat indah dari atas sini. Kupandangi lamat lamat rumah pohon ini, lalu tak sengaja mataku menangkap sebuah buku yang kelihatannya masih baru. Aku mengambilnya, hey! Bukankah ini buku yang sama dengan buku aneh tadi? Ya ini sama persis, tapi buku ini tidak polos seperti sebelumnya, ada tulisannya. Kubuka acak lembarannya, aku menatapnya puas, ada tulisannya, lantas buku aneh tadi apa?
Aku menelusuri setiap sudut dari buku itu. Sampulnya berwarna abu muda–persis seperti yang tadi. Judulnya “Tellus” terdapat tulisan kecil dibawahnya “Balasan untuk ‘satelit’ ” Dahiku semakin berkerut. Satelit? Ah siapapun tolong jelaskan apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba aku merasa pernah melihat atau mengenal semua hal yang bahkan sepertinya tak pernah kualami.
Kubuka halaman pertamanya, terdapat tulisan “Buku balasan untuk satelit” dicetak dengan tulisan bersambung. Aku langsung longkap ke halaman terakhir, terdapat semacam pesan atau apapun itu dari penulisnya. “Kuhadiahkan buku pertamaku ini untukmu si pemilik inisial ‘d.C.L.’ selamat ulang tahun, sudah 17 tahun kita saling mendampingi, meski tak selamanya sealam. Salam rindu kusampaikan melalui buku ini untuk sang bulan yang cahayanya tak pernah redup menyinari gelapnya malam di bumi.” “D.C.L? Itukan inisial namaku. Asataga lia, jangan terlalu percaya diri, kamu cuma satu dari sekian juta dengan nama itu.” aku bermonolog.
Kucoba membacanya. Ah.. Aku mengerti sekarang, buku ini berisi tentang kisah dua sahabat yang diceritakan sebagai sang bumi dan sang bulan. Penulisnya diibaratkan sebagai bumi dalam buku ini, sedangkan sahabatnya sebagai bulan yang tak lain merupakan penulis buku satelit, namun ia telah tiada. Tak terasa telah sampailah aku di halaman terakhir ceritanya. Penulisnya menyampaikan permintaan maaf kepada ‘sang bulan’ karna tak bisa berada di sampingnya pada saat saat terakhirnya juga sifat egoisnya akhir akhir itu. “Aku jadi ingin membaca buku yang ditulis sang bulan..” gumamku
Tiba-tiba kepalaku terasa pusing sekali, melebihi sebelumnya, pandanganku mulai kabur, dan akhirnya terjatuh. Aku bangun dari tidurku “Astaga! Mimpi macam apa itu!” rasa pusing itu berlanjut, aku tak ingat apapun setelahnya, dan saat aku bangun, aku masih di kamarku, rasa sakit itu telah pergi. Teringat dengan mimpi anehku semalam, aku langsung berlari menuju meja tempat aku meletakkan buku bersampul abu muda itu. “Yang benar saja! Semalam kuletakkan disini, kemana dia pergi?”
Seketika aku tak bisa menggerakan apapun, aku mematung di kursiku. Setelah sadar aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menyadarkan diri. “Apa itu tadi..” aku terdiam sejenak berusaha mengingat-ingat.
Aku ingat sekarang, ya aku ingat! Aku ingat! Tak terasa air mataku jatuh membasahi pipi pucatku. Itu air mata bahagia, memoriku dengan ‘sang bumi’ terputar di kepalaku. Aku berjalan mendekati jendela dan menatap keluar.
“Terra.. Apa kabar disana?”
Cerpen Karangan: Asyira Kusuma