“Haniyn, nanti istirahat ke rumahku ya, aku mau nunjukin sesuatu” – Miftah “Mau nunjukin apa? Oke deh” aku yang sedang fokus mendengar penjelasan materi pembagian seketika langsung penasaran dengan apa yang akan ditunjukkan Miftah.
Miftah adalah sahabat terdekatku sejak aku menginjakkan kaki di jenjang SD. Rumah Miftah sangat dekat dengan SD kami, hanya butuh 5 menit untuk sampai di rumahnya. Ia tinggal di perumahan polisi karena ayahnya yang berprofesi sebagai polisi. Miftah seorang anak yang manis, ceria, mudah berteman, selalu tersenyum dan selalu bisa membuatku yang pendiam menjadi tertawa. Aku memang sering berkunjung kerumahnya di jam istirahat.
“Haniyn, ayo ke rumahku” ajak Miftah sambil menarik tanganku. Akupun hanya mengikutinya, aku penasaran hal apa yang ingin ditunjukkan Miftah sehingga membuatnya begitu terburu-buru.
Kami berlari menuju rumahnya. Setelah sampai di rumahnya, kami menyalami orangtuanya yang sedang berbincang di teras rumahnya. Miftah langsung mengambil surat kabar yang sedang dibaca Ayahnya. Aku semakin penasaran apa yang ingin ia tunjukkan. Ia langsung membuka halaman demi halaman surat kabar itu sambil mencari-cari sesuatu.
“Nah ini, Haniyn coba lihat ini” – Miftah Aku membaca judul tulisan yang ditunjuk Miftah “Modus penipuan Melalui Jaringan Telfon”. Aku semakin tidak mengerti, ini hanya berita tentang modus penipuan yang memang pada tahun itu sedang marak terjadi di lingkungan kami. “Iya terus kenapa” tanyaku tak mengerti. “Aku pernah dengar dari orang-orang, katanya ada nomor berbahaya yang kalau ditelfon dan kita angkat, nanti kita bakal meninggal pas dengar suaranya” jawabnya memberi tahuku informasi yang ia dengar.
Untuk bocah usia 8 tahun pastinya aku akan langsung percaya ketika Miftah memberi tahu hal tersebut. seketika aku takut jika orangtuaku yang menerima telepon itu, hal yang tak diinginkan akan terjadi. Miftah pun memberitahuku bahwa dia juga takut orangtuanya akan menjadi korban.
Kami kembali ke sekolah setelah 15 menit dengan pembahasan “Nomor Berbahaya” tersebut. Isu itu masih hangat hingga beberapa hari kemudian kami diberi penjelasan oleh guru bahwa rumor itu ternyata hanya tipuan belaka.
Aku dan Miftah selalu menghabiskan waktu bersama. Aku senang berteman dengan Miftah karena dia adalah anak yang pintar dan ceria. Setiap jam istirahat, jika kami tidak pulang ke rumahnya, kami akan bermain bola bekel atau lompat tali bersama teman-teman lain. Miftah selalu menemaniku menunggu jemputan ketika pulang sekolah. Berbeda dengannya yang hampir setiap hari pergi dan pulang sekolah sendiri karena rumahnya yang dekat.
Pada masa itu, anak seusia kami belum diperbolehkan menggunakan handphone. Jika jam pulang sekolah dipercepat, maka aku harus menunggu dijemput sampai jam pulang seperti biasanya. Dan Miftah selalu dengan setia menemaniku atau ia akan mengajakku pulang ke rumahnya sembari menunggu dijemput. Setiap pagi, ketika aku sampai di sekolah orang pertama yang aku cari adalah Miftah, begitupun dia. Sedekat itu pertemanan kami.
“Miftah, besok kamu datang ke sekolah kan?” tanyaku sehari sebelum pembagian rapor. “Datang dong, kamu juga datang kan” – Miftah “Hmm, iya datang”
Seperti biasa, sesampainya di sekolah, orang pertama yang akan aku cari adalah Miftah. Tapi anehnya Miftah belum datang padahal 5 menit lagi pembagian rapor akan dimulai. Tapi, tak lama kemudian ia sampai tepat sebelum guru masuk ke kelas. “Huft, untung belum mulai pembagian rapornya” – Miftah “Tumben telat” tanyaku yang hanya dibalas dengan senyuman.
Pembagian rapor berjalan dengan lancar. Kami sama-sama mendapat peringkat 10 besar. Setelah pembagian rapor, aku menunggu orangtuaku menjemput. Tidak seperti biasanya, Miftah langsung pamit pulang setelah pembagian rapor. Ia minta maaf karena tidak bisa menemaniku. Aku pun memilih bermain bersama teman-temanku yang lain. Kami bermain lompat tali di tempat biasanya kami bermain.
Tiba-tiba, Miftah kembali ke sekolah bersama Ayahnya. Aku heran dan langsung mengikuti motornya sampai di parkiran sekolah kami. “Kenapa kamu ke sekolah lagi? Katanya buru-buru” tanyaku penasaran. “Hmm, gimana ya…” jawabnya ragu-ragu. Aku semakin penasaran. Setelah memarkir sepeda motor, Ayahnya langsung berjalan ke arah ruang guru dengan satu surat di tangannya.
“Kenapa Miftah?” tanyaku tak sabaran. “Aku harus pindah. Ayahku pindah tugas. Sebenarnya aku juga gak mau pindah. Tapi aku terpaksa harus pindah. Kamu gak apa-apa kan?” jelasnya. “Hmm, kamu pindah kemana? Berarti kita enggak bisa ketemu lagi dong, memang pindah kemana?” jawabku sambil menahan air mata. Aku terkejut sekaligus sedih, kenapa perpisahannya harus terjadi secepat ini. “Aku juga belum tau pindah kemana. Tapi hari ini mungkin hari terakhir kita ketemu” – Miftah
“Haniyn!!” panggil seseorang dari kejauhan. Ternyata itu Bundaku. “Aku pulang dulu ya” kataku pada Miftah. Sungguh di hati yang paling dalam, aku belum mau berpisah dengan sahabatku ini. “Iyaa, hati-hati ya. Semoga kita bisa ketemu lagi” jawabnya, lalu kemudian ia menuju ruang guru mengikuti Ayahnya.
Kriiingggg… kriiinngggg… Aku membuka mata, kulihat jam di handphoneku menunjukkan pukul 05:30 pagi, tanpa kusadari air mataku telah membasahi pipiku. Sudah 3 hari aku memimpikan hal yang sama. Setiap membuka mata, air mata selalu menetes di pipiku. Hari terakhirku bertemu Miftah 12 tahun lalu, hari pembagian rapor di parkiran SD ku.
Untuk sahabat kecilku yang aku rindukan, dimana pun kamu berada. Aku sungguh merindukan mu, keceriaanmu, semangatmu setiap pagi, masa-masa kita berlari menuju rumahmu, bermain ketika jam istirahat. Aku tak tau kapan kita akan bertemu lagi, tapi jika kita ditakdirkan untuk bertemu lagi, aku sungguh tidak sabar menunggu pertemuan itu.
Cerpen Karangan: Raihanul Muhsan Blog / Facebook: haniynaihas.blogspot.com / Raihanul Muhsan Raihanul Muhsan, kerap disapa Rehan, gadis 20 tahun asal Aceh yang tulisannya masih jauh dari kata sempurna dan menulis sambil menyelesaikan studi nya. @rhn05 instagramnya, siapa tau ada yang mau berteman 🙂