Jadi, seperti apa aku menyangkalnya lagi, Jika bukti penguat sudah dilampirkan?
Semuanya bermula ketika awal masuk SMP. Saat itu, aku yang memang tipe orang ‘introvert’ berkendala seperti penderita lainnya, kurang atau bahkan sangat sulit beradaptasi di lingkungan baru. Kala itu, waktu MOS terselenggara tujuh hari telah usai, dan pembelajaran materi sudah dimulai. Ketakutan untuk mencari teman semakin sulit kulakukan.
Namun, dia, Alesya, si gadis imut dengan pipi chubby, rambutnya agak sedikit Curly di bagian bawah, matanya membinarkan keceriaan, mengajakku untuk sebangku dengannya. Karena aku juga kesulitan mencari teman, tanpa berlama-lama aku mengiyakan ajakanya, siapa tahu nantinya aku bisa meniru pembawaannya yang easy going. Dan memang benar, semakin lama, aku semakin bisa mengubur introvertku. Lingkup pertemananku juga meluas, terbukti dengan Arka menjadi sahabat keduaku setelah Alesya.
Persahabatan kami tembus tiga tahun, lalu kami berjanji akan selalu dan selamanya akan bersama.
Tepat di pesta kelulusan, aku tahu ada yang tidak beres dengan persahabatan ini. Ketika kami dulu menghabiskan malam Minggu bertiga, sekarang hanya kulewati bersama Arka. Ketika kami belajar bersama, sekarang hanya aku dan Arka yang yang melakukannya. Kami sadar, garis pendar persahabatan ini tidak sehat. Aku bisa saja nantinya akan melupakan Alesya. Jadi kuputuskan untuk tidak selalu hanya melihat Arka.
Masa SMA itu menghampiri kami, seiring dengan pijakan kaki, langkah kami terisi dengan persahabatan yang membuat orang lain iri. Di awal masa SMA itu kedekatanku dan Arka meninggi. Saat itu, Arka lagi lagi mengajakku tanpa Alesya ke kantin. Tanpa pernah aku duga, disana dia menuturkan jika dia memiliki perasaan kepadaku. Kemudian Alesya datang, bersama wajahnya yang garang, siap menerjang. Aku tahu ini salah, tetapi entah mengapa kedatangan Alesya sangat tidak aku harapkan saat itu, karena dengan datangnya dia, Arka izin ke toilet sebentar. Hal yang membuatku terasa jauh saat ia berjalan memunggungiku.
“Hayo! Liatin Arka mulu! Nanti aku sampein deh, kalau calon pacarnya udah kangen, padahal cuman ditinggal ke toilet!” Sentak Ale menyadarkanku dari lamunan kosong. Aku terlupa satu hal. Alesya lahir kembar dengan Arka. Jadi, aku tidak perlu memikirkan jika Alesya juga mencintai Arka, kan?
“Kamu udah tahu, rencana Arka? Kenapa kamu nggak cegah?” Tanyaku, mencoba menilik isi hati adik Arka itu. “Kenapa dicegah? Toh, kalian juga saling mencintai. Nggak usah khawatirin restu, adiknya Arka ini sudah menerima dikau sebagai kakak ipar hamba.” Ucapnya mendramatisir. Entah mengapa aku puas dengan jawaban adik iparku itu. Eh?
Keesokkannya, hubunganku dengan Arka semakin dekat. Kami menghabiskan waktu bersama setiap harinya. Seolah, tiada hari esok untuk kita habiskan. Kedekatan kami semakin menyatu. Dengan hati yang menyatu, kami saling percaya pada waktu, tanpa pernah tahu, kehilangan itu menjadi saksi bisu.
Di penghujung kelas sebelas tepatnya. Saat rasa yang aku miliki untuk Arka, tersimpan besar di dada. Mengerubungi hingga aku tidak bisa bernapas saat itu juga.
“Alesya besok mau terapi, tentu saja aku harus pergi. Kamu tetap disini ya, tunggu Alesya ada. Sebagai gantinya sepulang sekolah nanti, kita habiskan waktu berdua.” Aku mengangguk. Membiarkan Arka memelukku hangat. Kehangatan yang tidak bisa aku dapatkan ditempat lainnya. Karena, yang kuanggap ‘rumah’ telah pergi menetapkan gelisah. Mulai dari ayah yang menghilang, ibu yang nggak tahu ada dimana. Sekarang aku benar benar sendiri, tetapi itu dulu. Sekarang Arka ada bersamaku, dan tidak pernah aku biarkan semesta merengkuhnya kembali.
Kami menghabiskan waktu pulang sekolah itu dengan suka cita. Kami menapaki jalan yang mengarah ke danau sebagai tempat terakhir hari itu. Setelah mobil yang kami kendarai berhenti, Arka mengajakku duduk di kap mobil. Sambil menjelajah air tenang yang memantulkan cahaya cakrawala.
“Apa yang paling kamu benci?” Arka memulai obralan kami. “Ditinggalkan?” Jawabku agak ragu. “Ditinggalkan tanpa selamat tinggal.” Entah mengapa aku teringat kepergian ibu dan ayahku dulu. Secara tidak langsung, Arka bertanya tentang perpisahan. Lalu keheningan merajai kami. Setelahnya, Arka mengantarkanku pulang tanpa memberitahu tujuan percakapan kami. Dan entah darimana pula, kehilangan Arka menguasai otakku. Yang membuatku sesak ketika menjelajahnya.
Di pagi itu, hari yang paling aku nanti, atau tidak sama sekali? Pertanyaan retoris itu muncul begitu saja dari frame otakku. Setelah sarapan, aku berangkat sekolah dengan lesu. Mengingat hari ini tidak ada Arka sebagai penyemangatku. Kata teman sekelasku, aku sudah terkena virus bucin.
Sesampainya di ambang kelasku, Vina, teman sekelasku, menyodorkan seuntai surat berpita biru kesukaannya. Katanya, dari Alesya sebagai pengirimnya. Kuputuskan untuk membaca setelah pulang sekolah di taman, sambil memakan eskrim.
Dan pulang sekolah aku benar benar kesana. Dengan membawa surat yang aku dag dig dug membukanya. Saat itu, seluruh sarafku berhenti bekerja. Ribuan batu menghantam dadaku, hingga tubuhku kehilangan fungsinya. Rasa itu masih sama. Tidak mau hilang meski belasan tahun lamanya. Rasa yang sangat ia benci ketika mengingatnya, namun sekarang mencekiknya: sakit hati, kesepian, pemicu introvertku. Luapan luapan emosi menghunusku, seirama kaset yang bergerak. Maju. Mundur. Maju. Mundur.
Ayah yang hanya pulang untuk memukulku, ibu yang pergi karena sikap ayah. Dan aku yang kesepian karena mereka.
Saat ini yang aku sadar. Arka-nya pergi meninggalkannya, dengan berdalih Alesya yang akan menjalani terapi. Rasa cinta itu tidak tumbuh, hanya sebatas rasa sebagai sahabat. Dan ia akan menunggu, dan membantu Alesya untuk sembuh. Meninggalkan pelik masai yang menghantuinya. Entah itu satu, dua, tiga, atau sepuluh tahun lagi. Aku akan tetap menunggu sahabatku; Alesya.
TAMAT
Dari Alesya/ arka.
Aku, Alesya atau Arka yang tidak menentu jenis orang seperti apa. Aku yang berbeda raga, satu jiwa, dan satu tubuh. Menderita sendirian hingga melahirkan sosok orang lain dari tubuhku. Berkelana di setiap ujung malam. Tanpa pegangan, juga arah tujuan. Terombang-ambing sendirian. Menimbulkan sisi lain di tubuhku.
Dia Arka, sisi lain tubuhku. Jiwa kami tidak bisa bersama, antara aku atau dia yang mati. Karena tubuh ini hanya satu. Arka, lahir di ingat yang memantul di cermin. Keluar disaat tidak terduga, disaat semuanya sudah akan berakhir.
Maaf Maafkan aku. Menciptakan sisi lain yang kubilang kembaranku, Yang dengan sengaja sisi lain itu menyukaimu.
Namun, dia bilang tidak akan kembali. Memberikan seluruhnya kepadaku. Jiwa, raga, dan tubuh. Dia berhenti, tidak mau menyakitiku lagi. Dia berkata ini sebelum pergi. “Maafkan aku, dan semoga Ale bisa lebih bahagia kedepannya”
Selepasnya, sisi lain itu benar-benar tidak kembali. Alter ego itu sudah pergi. Semoga keputusan ini benar. Untuk memberikan segalanya untukku. Bantu aku berjuang ya.
— Alesya&Arka yang sedang terapi —
Cerpen Karangan: Shintafi Blog / Facebook: Shinta Fitriani