Sebuah persahabatan antara adek tingkat dan kakak tingkat sekaligus berstatus teman satu alumni Pondok Pesantren telah terjalin sejak sama-sama menjadi mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Saat sama-sama menjadi santri, tidak ada kedekatan. Hanya saling tau nama masing-masing. Barulah setelah satu kampus, terjalin persahabatan yang sangat baik pada awalnya. Kemudian 1 tahun setengah berjalan muncul konflik yang rumit.
“Mbak Afrina…”. Sapa seorang wanita menggunakan pakaian formal khas Mahasiswa saat Aku sedang di lantai 1 Perpustakaan Kampus. “Lohh… Dea?. Kok disini?” “Iya mbak. Aku diterima di jurusan yang sama dengan Mbak” “Wahhh… Selamat Dek…” Ucapku dengan sangat bahagia.
Seorang teman satu Pondok yang saat mendaftar ke perguruan tinggi sering chat Aku. Mengetahui kabar baik secara langsung Dia diterima di Perguruan Tinggi yang menjadi tempatku menimba ilmu, Aku sangat bahagia.
Persahabatan terjalin lebih jauh ketika saling menyimpan nomor Whatshap. Awal perbincangan lebih ke perkenalan, dan nostalgia selama menjadi santri di Pondok Pesantren. Barulah di setengah tahun persahabatan, muncul perbincangan tentang seorang pria yang tidak lain seorang asisten dosen di jurusanku.
Kondisi awal perbincangan tentang seorang asisten dosen itu, Aku masih sangat biasa dan belum kenal jauh dengan asisten dosen. Selain itu pada waktu yang bersamaan Aku juga sedang masa menyelesaikan perdebatan dengan seorang pria yang pernah Aku cinta.
Perbincangan terus berlanjut terkait berbagai hal dari perkuliahan, cinta, menjadi santri dan prestasi. Menjadi bagian yang menyenangkan dilakukan saat di media sosial maupun diluar media sosial. Terkait seorang asisten dosen, setelah Aku mengambil mata kuliah yang ternyata di dalamnya ada asisten dosen yang sering diperbincangkan dengan adek tingkat itu, perbincangan menjadi lebih seru. Hal ini di sebabkan Aku dan adek tingkat tersebut sama-sama menjadi mahasiswanya.
4 bulan menjadi mahasiswa di kelas seorang asisten dosen tersebut dengan banyak perbincangan terkait kekaguman dan rasa lebih Dea ke asisten dosen tersebut, Aku mulai takut jatuh cinta dengan asisten dosen tersebut yang bernama Pak Revan. Disisi lain pada saat itu Aku juga sedang takut terhadap cinta setelah disakiti dengan banyak kata kasar dari seorang yang pernah Aku cinta yang baru berjalan 2 bulan berakhir hubungan di berbagai lini media sejak kenal Pak Revan.
“Dekk… udah ya membicarakan Pak Revan. Aku baru takut jatuh cinta. Ayoo kita bicarakan prestasi saja” “Okee mbak… Boleh ajarin Aku nulis?” “Boleh banget dek…”
Setelah itu perbincangan mulai mengalir ke prestasi. Sharing ilmu kepenulisan dimulai. Akan tetapi itu tidak berjalan lama, perbincangan tentang Pak Revan kembali lagi. Meski sudah Aku beritau kalau Aku takut jatuh cinta, tetap dilanjutkan. Hingga Aku muncul penasaran dengan Pak Revan. Muncul keinginan tau tentang kebenaran Pak Revan yang dibicarakan Dea.
Keinginan tau berujung pada pencarian terkait tentang Pak Revan di berbagai media sosial. Akibatnya Aku sungguh menjadi jatuh cinta dengan Pak Revan. Ketakutan jatuh cinta kepada Pak Revan muncul sangat kuat. Ini masalahnya Aku jatuh cinta dengan seorang asisten dosen yang sudah jelas memiliki kedudukan penting dan berbahaya kalau sampai hancur hubungannya karena cinta.
Usahaku berhenti jatuh cinta dari Pak Revan terasa sia-sia karena Dea yang sangat sering membicarakan Pak Revan saat di Whatshap maupun saat bertemu langsung. Sampai pernah teleponan via Whatshap 2 jam penuh membicarakan isinya sebagian berisi terkait Pak Revan. Aku yang capek, tetap berusaha menanggapi baik-baik meski sudah larut malam. Sebab saat itu sudah lama tidak bertemu Dea.
Chatku dengan Pak Revan yang awalnya formal antara asisten dosen dan mahasiswa, menjadi perlahan berubah bersifat antara asisten dosen dan seorang mahasiswa yang mencintai asisten dosennya. Kondisi seperti itu sungguh berusaha Aku kendalikan semaksimal yang Aku bisa. Sebab kalau tidak dikendalikan dengan maksimal, Aku pasti akan sangat sering chat Pak Revan. Itu bahaya. Sayangnya hal itu tidak didukung oleh Dea. Pembicaraan dengan Dea terus berlanjut terkait Pak Revan meski sering Aku peringatkan kalau Aku capek membicarakan Pak Revan terus-terussan.
Akhir semester, bertepatan juga Aku semester 7. Semester saat Aku sangat sibuk dengan berbagai kewajiban di perkuliahan. Aku menjalani dengan bahagia, meski tetap ada sisi psikis yang butuh ketenangan. Masa itu juga menjelang Aku seminar Proposal.
3 hari menjelang seminar proposal. “Ini Afrina ya?. Aku calon istrinya Revan. Kamu kan mahasiswa yang dekat dengan Revan, jaga baik-baik Revan ya. Jangan bilang Revan kalau Aku chat ini ke kamu” Jlebbb… Rasanya psikisku menjadi kacau, tanpa pikir panjang, Aku kirim ke Pak Revan. Sekaligus menjelaskan kalau Aku sedang masa harus tenang sebab akan seminar proposal. Chatnya hanya dibaca Pak Revan.
Debat dengan calonnya terjadi. Hingga… “Yeeee… Mbak Afrina kena Prank. Ini Aku Dea Mbak” Haaa… padahal Aku udah kirim ke Pak Revan. Semuanya… ternyata itu hanya prank dari Dea. Padahal Aku mau nanggepin di tengah berbagai kewajibanku. Ada yang terbengkalai juga kewajibanku. Kemudian chat itu ke Pak Revan. “Tidakkkkkk”. Teriakku dalam hati. Khawatir dengan berbagai hal, psikisku terganggu. “Dekk… Itu udah Aku kirim ke Pak Revan. Cuma dicuekin. Tanggung jawab napa” “Lo… Aku kan udah bilang dari awal kalau jangan beritau Pak Revan. Gimana to mbak?. Ya itu salahnya mbak” Lanjut berbagai chatku dengan Dea yang nggak pernah Aku sangka, Dea akan seberani itu ke Aku. Membentak juga. Menyudutkan Aku juga. Meski sudah Aku bilang kalau Aku baru beneran sibuk, tetap dilanjut, bilang Dea juga sibuk.
Capek chat dengan Dea, kemudian Aku cuekin, dengan Aku akhiri chat penjelasan ke Dea ditengah berbagai pikiranku yang kacau. Harapanku itu chat terakhir. Kenyataan salah, hari selanjutnya Aku lihat chatku itu nyasar ke Pak Revan. Belum dibaca juga sama Pak Revan. Membuat kondisi psikisku terguncang hebat.
“Dea… itu jadi salah kirim ke Pak Revan” “Salah mbaknya lah. Bukan Aku” Berbagai debat terus berlangsung. Membuat Psikisku semakin kacau. Akhirnya Aku menyerah. “Aku blokir ya Instagram dan nomor Whatshap nya Dea. Wassalamu’alaikum” Setelah itu nomornya Dea Aku blokir.
Sudah Aku blokir, dampaknya terus berlanjut. 1 hari menjelang seminar proposal, depresi akibat ulah Dea terus berlanjut. Hingga seminar proposal, Aku menjadi semakin kacau. Hasilnya seminar proposalku tidak maksimal. Pikiranku saat seminar proposal ke berbagai hal termasuk ke masalah dengan Dea. Selesai seminar proposal, psikis terasa sangat sakit. Sampai 1 minggu sulit tidur. Air mata sering keluar. Aku terluka berat.
Psikis yang sakit di masa banyak kewajiban yang harus Aku selesaikan, membuat Aku harus segera menyembuhkannya. Aku coba ke berbagai tempat yang membuat Aku bahagia. Seperti ke Pantai, tempat menjadi relawan dan perpustakaan. Akhirnya 1 minggu berlalu dari perdebatan dengan Dea, Aku mulai pulih dan Aku buka blokiran nomornya Dea. Memberi kesempatan ke Dea untuk berhubungan baik denganku lagi.
3 bulan kemudian… Dea chat Aku lagi. Waktu itu rasa cinta kepada Pak Revan telah hilang dari diriku sebab Aku yang capek dengan rasa cinta tidak jelas ke Pak Revan. Nomor Baru: “Assalamu’alaikum Maaf sebelumnya aku minta maaf, lupakan yang lalu mbak” Afrin : “Wa’alaikumsalam Iya siapa ya?” Nomor Baru: “Aku Dea. Boleh minta nomor Whatshap-nya mbak Rina?” Afrina: “Boleh” Kemudian chat panjang lebar lagi. Aku menahan perih di hati.
Nomor Baru: “Mbak… Aku udah pacaran sama Mas Rio sejak 4 bulan lalu. Mbak kan teman satu kelasnya waktu SMA, boleh tanya-tanya terkait Mas Rio?” Ini lagi. Ketakutan menyerbuku. Aku takut. Akan tetapi Aku berusaha ramah, lama-lama Aku capek juga dengan usahaku yang tetap ramah di chat ke Dea padahal aslinya Aku sangat tidak nyaman ke Dea. Akhirnya Aku cuekin chat dari Dea.
“Mbak Afrina masih dendam sama Aku ya?. Nggak baik lo dendam” Dichat terus. Aku cuekin, diteruskan. Lanjut juga di status Whatshap yang menyindir Aku habis-habissan. Sampai isi chat dengan temannya yang membela Dea. Seolah Dea paling benar. Padahal Aku yang terluka berat. Sindiran pertama datang dari chat Dea dengan Rio yang membicarakan dengan berbagai ciri kalau itu Aku sampai Rio mengatakan kalau Aku orang nggak beres. Rio juga menyarankan Dea memblokir Aku. Sindiran kedua dari adek tingkat yang juga temannya Dea. Adek tingkat yang Aku kenal baik. Isinya mencirikan Aku juga dengan isi menyuruh Dea menyakiti Aku dengan sadis. Semuanya Aku screenshot. Setelah itu Aku chat Dea. “Ooo gitu. Itu jelas buat Aku. Okee… sekarang aja Dea blokir Aku. Silahkan…” Jawaban selanjutnya dari Dea membuat Aku sakit lagi. “Mbak nggak baik lo dendam. Aku aja nggak dendam kok. Aku kan udah maafin. Mbaknya aja yang salah faham. Dendam lagi” “Aku nggak dendam. Aku juga udah maafin. Akan tetapi luka itu masih terus ada sampai sekarang. Belum terhapus. Butuh waktu lagi buat menghapus luka dari Dea” Lanjut chat lain. Aku capek. Aku semakin sakit. Psikisku semakin kacau lagi. “Blokir Aku Dea. Aku baru banyak urusan” Kemudian Dea chat. “Mbaknya itu jangan Su’udzon. Nggak baik” Nggak fikir panjang, nomornya Dea langsung Aku blokir. Begitu juga Dea yang terlihat ikut memblokir Aku. Setelah itu barulah Aku chat Rio dan temennya Dea yang menyarankan untuk Dea menyakiti Aku.
Afrina: (Screenshoot status Rio dengan Dea) “Rio… Aku faham ini untuk Aku. Baguslah nyakitin Aku juga… hahaha” Rio: “Aku minta maaf Afrina” Afrina: “Oke” Temannya Dea Aku chat mirip dengan Rio, malah langsung memblokir nomorku.
1 tahun kemudian Wisuda S1 telah berlangsung, Aku mengikuti wisuda dengan bahagia. Kembali ke fakultas Aku lakukan, saat itu juga Aku menemukan Dea sedang berbincang dengan teman-teman satu kelasnya. Aku di lobby fakultas, Dea di taman Fakultas. Aku tersenyum ke arah Dea yang dibalas anggukan datar. “Mbak Afrina…” ucap semua teman sebelahnya Dea yang juga kenal Aku. Mereka menghampiriku tanpa Dea. Melakukan hal biasa saat wisuda. Foto paling utama.
Dea… Aku dengar kabar Dea sudah putus dengan Rio. Aku dengar juga Dea sudah banyak berubah menjadi jauh lebih baik. Prestasi sudah mulai diraih Dea. Aku bahagia mendengar kabar baik itu. Meski Aku pernah dilukai oleh Dea, tapi Aku tetap bahagia mendengar kabar baik dari Dea.
Pelajaran sikap terbaik itu dari pengalaman buruk yang mau diambil hikmahnya. Kemudian diterapkan di kehidupan sebagai perbaikan.
End
Cerpen Karangan: Nur Hanifah Ahmad Blog / Facebook: Nur Hanifah Instagram: @nur.hanifah.ahmad