Senin. Ana menghela nafas panjang sebelum membenturkan dahi mungilnya di atas meja. Seorang pria yang duduk bersandar di hadapannya hanya diam tak menghiraukannya, sembari menatap layar handphone di genggamannya. Tanpa melirik Ana pun, helaan nafas Ana sudah membuat pria itu mengerti apa yang terjadi padanya. Adegan itu telah menjadi sebuah film pendek yang ditayangkan berulang-ulang bagi pria itu. Sudah jelas yang ia keluhkan itu adalah permasalahan kuliah: dosen yang killer, tugas yang terlalu banyak, serta pertemanan palsu selama masa kuliah.
“Permisi,” seorang perempuan menghidangkan sepotong kue red velvet, secangkir americano, dan segelas es kopi susu. Dengan cepat, Ana mendongakkan kepalanya dan duduk tegak, sebelum perempuan itu pergi. “Red velvet! Dari dulu aku penasaran bagaimana rasa kue kesukaanku di kafe ini. Terima kasih atas traktirannya, Pak Fariz!” Ana segera menggeser sepiring kue tersebut ke sisinya.
Ana mempunyai impian kecil: mencoba seluruh kue red velvet di seluruh kafe yang ada di kotanya. Semenjak Fariz memberikan kue itu di hari ulang tahunnya yang ke-18, Ana menyimpulkan bahwa kue red velvet bagai penghapus penat. Ia menggemari warna merah pada kue yang menggugah rasa, diselingi dengan krim keju pada lapisannya. “Manis, tapi tidak seberapa manis. Menurutku kue ini sempurna!” Sejak saat itu, Ana sering mengunjungi kafe-kafe terdekat untuk mencoba kue tersebut, kemudian membanding-bandingkannya.
“Fariz?” Ana mengkerut. Ia memergoki Fariz tengah menatap perempuan tadi dari tempat ia duduk. “Fariz!” Ana semakin mengkerut. Fariz menggerakkan kepalanya cepat ke arah Ana, lalu tergelak setelah sadar apa yang telah ia lakukan. Ana mencubit lengan Fariz. “Ampun, ampun. Aku cuma melihat-lihat lukisan yang dipajang di dinding itu.” ujarnya sambil tertawa.
Sore itu, mereka menghabiskan waktu bersama seperti biasanya. Tanpa disangka-sangka, kafe kecil dan sederhana itu membawa kebahagiaan lebih pada Ana. Mata Ana terbelalak setelah mencicipi suapan red velvet pertamanya. Dan lagi, panjang lebar Ana mendeskripsikan cita rasa kue tersebut dengan detail dan bersemangat. “Hari ini, red velvet favoritku berubah lagi!”
Selasa. “Fariz!” Ana berlari kecil menuju Fariz yang tengah bercakap dengan seorang perempuan di lobi gedung kuliahnya. Ia menghentikan langkahnya tepat di sebelah Fariz, sembari menatap wajah perempuan yang ada di hadapannya. Tampak familiar… “Kalau begitu, aku duluan ya.” Segera, perempuan itu pergi setelah melambaikan tangannya pada Fariz, seakan-akan Ana tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Fariz tersenyum kepadanya sebelum perempuan itu melewatinya. Ana membesarkan matanya, merasa tidak dihormati. “Hei—” Ana mencoba menghentikannya, namun perempuan itu tetap berjalan menjauh tanpa sedikit pun memberikan lirikan. Ana cemberut. “Itu siapa, Riz? Dia cantik…,” sejenak ia tertegun. Rambutnya lurus panjang dengan sedikit kecokelatan. Badannya ramping, tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak pendek. Perempuan itu mengenakan kemeja putih, rok merah muda selutut, dan sepatu hak berwarna cokelat susu. Kulitnya putih dan wajahnya berias natural. Fariz tertawa kecil melihat tingkah Ana yang kekanak-kanakan. “Cuma teman. Kebetulan kami ada di kelas yang sama, jadi tadi aku menyapanya,” jelasnya. Ana mengangguk paham. “Mungkin dia sering jalan-jalan di sini. Entah kenapa, seperti pernah bertemu sebelumnya kalau melihat wajahnya.” “Begitu pun kamu masih tidak sadar.”
Rabu. Aku masih ada proyek tim. Nanti aku kabari lagi. Hari ini, Ana terpaksa pergi ke kafe sendirian. Semenjak menjalin hubungan dengan Fariz, mereka selalu menyempatkan diri untuk bersua walaupun sebentar. “Komunikasi adalah kunci dari sebuah hubungan.” Itulah kata-kata yang selalu Ana percaya. Namun, pertemuan dan waktu tidak selalu dapat dipaksakan. Seperti hari ini, Ana pergi mengunjungi kafe kemarin tanpa ditemani.
Ana melangkahkan kakinya pada kafe kecil itu. Dekorasinya sederhana, namun enak dipandang. Jika memalingkan pandangan pada arah kasir dan daftar menu yang terpajang di atasnya, terdapat lukisan-lukisan wajah digantung di dindingnya. Kafe itu seperti memberikan pengalaman berada dalam pameran sederhana.
“Red velvet?” “Red velvet—” hampir bersamaan mereka mengucapkan hal yang sama. “Oh?” Ana terkejut, menatap perempuan di hadapannya yang sedang bertugas melayaninya. Perempuan yang kemarin! Jadi, yang Fariz sapa kemarin adalah perempuan yang bekerja di kafe ini? Berarti, dua hari yang lalu mereka baru saja bertemu? Tidakkah seharusnya perempuan ini juga mengenaliku kemarin? “Aku mengenalimu, hanya saja kamu tidak menyapaku. Tidak juga berbicara apapun kemarin,” ia tertawa manis. “Red velvet dan es kopi susu?” kemudian ia memasukkan pesanan pada monitor tanpa mengonfirmasinya terlebih dahulu. “Tiga puluh lima ribu rupiah. Nah, silakan.” Ia menyodorkan nomor pesanan untuk dibawa ke meja sembari tersenyum ramah.
Setelah sekian detik, Ana bangun dari pikirannya yang berlari kemana-mana, mencoba memecahkan misteri kecil sore ini. Tak lama, ia membayar pesanannya dan tersenyum ke arah perempuan itu. “Ingatanmu sangat kuat!” Mendengarnya, perempuan itu menghapus senyum. “Biar kuingat namamu juga. Kita kan satu kampus! Jadi, namamu… Aleana? Aleana.” ujar Ana, sambil mencoba melihat tag nama di dada Lena. “Silakan duduk terlebih dahulu.”
Hal-hal kecil selalu dapat mengubah muka hati Ana. Kemarin, Ana merasa sebal karena ia tak disapa oleh Lena. Esoknya, Ana merasa bahagia sendiri karena Lena mengenalnya dengan sangat tepat. Ana segera menceritakan hal tersebut pada Fariz. Menurutnya, ingatan Lena luar biasa, jika mengingat banyaknya pengunjung yang datang dan pergi di kafe itu. Fariz setuju, ia bahkan tidak berekspektasi Lena akan mengenali Fariz saat ia menyapanya di kampus.
Kamis. “Pacarmu itu kemana?” Lena tersenyum sembari menghidangkan pesanan Ana. “Makin sibuk sepertinya. Aku jadi sendirian ke sini sejak kemarin.” Ana tersenyum balik. Ia melarikan pandangannya luas ke arah meja-meja kosong di kafe itu. “Mungkin karena sudah maghrib ya, jadi tidak ada orang di sini. Biasanya juga begitu?” tanyanya. Lena mengangguk. “Kalau maghrib selalu sepi,” Lena kemudian menarik kursi di hadapan Ana dan duduk. Sikunya menempel ke meja, telapak tangan menopang dagunya. “Gimana, kue red velvet itu? Salah satu resep yang aku banggakan dari kafe ini. Kayaknya kamu suka sekali, ya.”
Percakapan mereka mengalir ke sana-kemari saat kafe sedang sepi. Ana mulai terbuka pada Lena dan menceritakan segala hal yang ia ingin keluhkan, persoalan kuliah, pertemanan, keluarga… dan Lena tetap kalem menghadapinya. Ia tersenyum tipis saat membalas celotehan Ana.
“Omong-omong, lukisan siapa itu di dinding?” tanya Ana. Dengan gerakan yang sedikit lamban, Lena menoleh sebentar ke arah lukisan tersebut. Mukanya tak begitu senang dengan pertanyaan Ana. Lena perlahan menyandarkan punggungnya. “Itu lukisan-lukisan orang baik. Dari sebelah kiri, ada Papa. Agak gemuk dan berkumis. Kemudian ada Mama. Tidak begitu gemuk, rambutnya pendek, dan berkacamata. Yang dua terakhir itu adik-adikku. Kami tidak begitu mengenal satu sama lain, karena aku tinggal terpisah dengan mereka.”
Lukisan yang Lena buat merupakan lukisan dengan cat minyak yang dibingkai dengan rapi dan bersih. Lukisan itu menunjukkan jelas wajah-wajah yang ia lukis. Katanya, ia hanya melukis orang-orang yang baik supaya ia mengingatnya. Meskipun begitu, tak ada lukisan dari wajah keluarganya yang membawa kebahagiaan yang sempurna setiap ia memandanginya. Tidak ada teman yang setia, kata Ana pada Lena saat Ana mengeluhkan soal dunia kampus yang begitu kejam dalam persaingan. Siapa yang dekat denganmu, barangkali dialah yang hanya akan memanfaatkanmu. Lena tidak menolak pendapat itu. Bahkan saat Ana dengan tawanya mengatakan bahwa semua teman itu palsu, dengan serius Lena menatapnya. Jemari Lena menjadi saksi bahwa orang-orang yang ia lukis bukanlah orang jahat, bukan juga orang yang hanya ingin memanfaatkannya. Jika tidak ia lukis, Lena tak akan pernah mau menganggap orang tersebut sebagai orang yang ia pernah kenal.
Ana telah larut dan jauh lebih dalam pada obrolan petang itu. Menurutnya, Lena adalah sosok yang cantik, tetapi misterius. Sikapnya anggun dan ramah, tuturannya pelan dan kalem, namun tidak membosankan. Pada satu titik, Ana mulai merasa nyaman bersama dengan Lena dan tertarik untuk terus bercakap dengannya, termasuk membahas lukisan di kafenya. Hanya sampai seorang pelanggan lain datang, Lena harus meninggalkan meja Ana.
Jumat. “Jangan bilang kamu berencana ke sini setiap hari,” Lena tertawa kecil sambil membawakan pesanan red velvet dan es kopi susu untuk Ana. “Pacarmu lagi jumatan, ya?” Ana tersenyum pada Lena. “Ya, dan aku masih harus mengerjakan beberapa tugas. Kurang enak kalau mengerjakan sendiri di rumah atau perpus,” ujarnya. Lena mengangguk. “Len, hari Sabtu sore masih kerja, nggak? Jalan-jalan sama aku, yuk!” “Boleh,” Lena tersenyum. “Kalau begitu bertemu di sini jam 16.00, bagaimana?” Ana menjadi girang seperti anak kecil. Akhir-akhir ini ia merasa mendapatkan satu teman baru. Hal kecil selalu saja bisa membuatnya lebih bersemangat, termasuk pertemuan tidak sengaja antara dirinya dengan Lena. Selama ini, Ana hanya punya Fariz sebagai kekasih dan sahabatnya.
“Boleh minta nomor HP-mu? Aku akan mengabarimu lagi nanti,” kata Ana. Lena beraut datar. “Lebih baik jangan. Itu privasiku.” balasnya cepat, kemudian Lena segera meninggalkan meja tersebut dengan dingin. Dengan canggung, Ana mengalihkan pandangannya.
Sabtu. Seperti janji kemarin, Lena dan Ana bertemu di kafe. Kemudian mereka berdua setuju untuk jalan-jalan ke mall terdekat dengan taksi. Mudah ditebak, Ana senang tiada tara. Mereka menghabiskan sore itu dengan bercanda tawa, berkeliling mall, dan berbelanja sesuka mereka layaknya sepasang saudara yang sangat akrab. Ana seringkali mengeluarkan HP-nya untuk berswafoto dengan Lena. Ana terbiasa memotret momen-momen yang ingin dia ingat di dalam HP-nya.
Sore menjelang malam, perjalanan mereka pun terhenti di salah satu restoran Cina yang besar dan luas untuk mengisi perut sejenak. Dengan semangat, Ana berlari kecil memasuki restoran Cina itu. HP Lena bordering, sehingga ia tidak sempat memperhatikan Ana dari belakang.
Seusainya Lena menutup telepon, Ana telah berjalan agak jauh di depannya. “Hei!” Lena berusaha memanggil dengan suara yang dikeraskan. Namun, Ana tidak menoleh sampai ia menduduki tempat duduk pilihannya. Ana segera menaruh barang-barang belanjaannya di meja, kemudian ia tersadar bahwa Lena memanggilnya barusan.
Lena mempercepat langkahnya kemudian duduk di hadapan Lena. “Kenapa tidak memanggil namaku, Lena? Aku tidak tahu kalau aku jalan terlalu cepat.” tanya Ana. Lena menyandarkan punggungnya dan terdiam. Tiba-tiba, Ana terkesiap dan membesarkan matanya. “Kamu kan belum tahu namaku! Aku tahu namamu dari membaca tag nama saat kamu bekerja di kafe. Kenapa kamu tidak bertanya, sih!” Ana tertawa lepas dengan kejadian yang menurutnya konyol ini. “Memangnya harus tahu namamu, ya?” Ana berhenti tertawa. Lena menyibakkan rambutnya. “Tentu saja.. kita kan teman?” balas Ana dengan canggung. “Teman? Siapa yang bilang? Tidak pernah aku tahu kalau kita ini teman. Petang itu kamu katakan padaku bahwa tidak ada teman di dunia ini. Semua hanyalah teman palsu, yang hanya akan memanfaatkan kita,” Ana kembali tersenyum canggung. “Ah, itu.. aku hanya bercanda! Mana mungkin aku serius tentang hal itu. Aku memang suka bercerita dan terkadang nyeloteh saja. Waktu itu aku membicarakan teman-teman jahat yang pernah aku temui, dan aku terbawa suasana..” “Kenapa mengkhianati omonganmu sendiri? Kamu sendiri yang mengatakannya. Jadi.. tidak perlu menganggapku teman,” Ana terdiam sejenak, memikirkan apa yang mungkin membuat Lena bersikap dingin seperti itu. “Lena, aku tidak memanfaatkanmu…” katanya dengan takut. “Hari ini hari Sabtu. Sejak hari Senin hingga hari ini, kamu baik sekali. Kutebak ini pertama kalinya kamu bertemu denganku? Suatu saat, kamu akan tahu. Kamu akan melihatku sebagai perempuan angkuh dan sombong, dan saat itu pula kamu tahu bahwa kamu bisa memanfaatkanku, atau jika kamu cukup baik, kamu hanya akan menjauh dariku.”
Hingga perjalanan pulang, semua terasa dingin bagi Ana. Dalam benaknya, Ana mencoba mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia tidak mampu menemukan jalan keluar. Saat turun dari taksi dan berpisah di depan kafe yang telah tutup, Ana masih mencoba tersenyum dengan canggung. Namun Lena berbeda. Lena tampak biasa, kalem, walaupun tuturnya berubah menjadi lebih dingin.
Cerpen Karangan: Adinda Kidung Kirana
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com