Minggu. Hari Minggu, dengan rasa penasaran yang mengusik, Ana kembali ke kafe Lena. Namun tidak ia temukan Lena bekerja. Kata staff di sana, hari Sabtu-Minggu Lena tidak bekerja. Malamnya, Ana bercerita kepada Fariz tentang apa yang terjadi pada hari Sabtu. Fariz tidak mampu menanggapi apapun, sebab Fariz juga masih merasa misterius atas sosok Lena.
Seminggu sebelumnya, Fariz telah mengunjungi kafe itu. Justru, ia mengajak Ana ikut ke kafe setelah ia tahu bahwa kafe itu menyediakan kue red velvet sebagai salah satu menunya. Keesokan harinya, Fariz dan Lena bertemu di kelas yang sama. Lena menyapanya karena ia mengingat betul wajah Fariz. Sama seperti Ana, Fariz sedikit takjub akan kemampuan Lena mengingatnya di antara banyaknya pengunjung yang datang dan pergi di kafenya. Karena watak ramah Fariz, mereka menjadi akrab karena beberapa kali bertemu di kelas. Di minggu berikutnya, Fariz mengajak Ana ke kafe itu bersama, namun Lena tidak menyapanya sama sekali layaknya orang yang tak saling kenal. Itulah mengapa Fariz hanya bisa diam memperhatikan Lena dari tempat duduknya.
Mereka kembali bertemu di kelas keesokan harinya, kemudian Fariz berinisiatif menyapa Lena terlebih dahulu. “Apa kabar?” tanya Fariz pada Lena. “Kemarin aku ke kafemu, bersama pacarku,” ia berharap Lena tidak melewatkannya. “Aku ingat, pacarmu membeli kue red velvet. Apa kabar?” Lena tersenyum manis. Namun Fariz sedikit bingung. Tingkah laku Lena seperti menunjukkan bahwa pertemuan pertama mereka adalah kemarin, saat Fariz bersama dengan Ana. Padahal, mereka telah akrab sebelum itu. Ana mencoba memecahkan misteri kecil itu perlahan, hingga pening terasa di kepalanya. Tak lama, ia cemberut dan terlihat lesu. “Aneh.. padahal dia orang yang baik dan asik. Walaupun cuma seminggu bertemu, aku sudah menganggapnya teman. Tiba-tiba saja dia begitu..” ujarnya lemas. “Oh! Apakah dia mengenali namamu?” tanyanya tiba-tiba. “Hmm, kalau diingat.. benar juga. Lena tidak pernah bertanya atau memanggil namaku,” Ana mengernyitkan dahi, berusaha keras berpikir lagi. “Ah, pusing!” Ana merasa sedikit kesal jika mengingat lagi kejadian hari Sabtu. Tapi, rasa kesalnya tidak mampu mengalahkan rasa penasarannya. Tapi, rasa kesal itu tidak membuatnya membenci Lena, malah membuat Ana semakin ingin mengetahui sosok Lena lebih dalam.
Hari Senin kembali terulang. Fariz sempat berpapasan dengan Lena di koridor kampus, tapi Lena bahkan tidak meliriknya. Sorenya, Fariz dan Ana mencoba mengunjungi kafe Lena kembali. Saat memesan, Ana berharap Lena terlebih dahulu yang menebak pesanannya, seperti hari-hari kemarin. Tapi kali ini tidak. Lena tersenyum manis di hadapan mereka berdua sembari menanyakan menu yang ingin mereka pesan.
Ana kecewa dan hanya bisa duduk lesu. Sesekali ia memperhatikan Lena dari tempat duduk pelanggan, namun ia hanya bisa menghela nafas. Dua hari berikutnya, Ana kembali ke kafe Lena dengan penuh kesal. Ia hanya diam menatap Lena dengan kerutan di dahinya.
Dengan lembut, Lena berkata. “Red velvet?” Ana terkesiap. “Lena! Kamu ingat itu!” “Dua hari yang lalu kamu ke sini bersama pacarmu,” kata Lena dengan senyum kecil. Lena kemudian memasukkan pesanan persis dengan apa yang Ana pesan dua hari lalu. “Betul! Ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kamu dingin sekali kepadaku. Tidak pernah menyapaku, bahkan di kampus! Kepada Fariz juga begitu,” Ana cemberut. “Kampus…? Kenapa aku harus menyapamu? Fariz? Siapa itu Fariz?” Lena kembali bersikap ketus. “Kita bahkan pernah jalan-jalan bersama ke mall kemarin Sabtu! Kamu ini kenapa? Oh, aku dengar dari Fariz, kamu bahkan tidak tahu namanya? Kamu juga tidak tahu namaku, kan? Aku Ana! Aku heran kepadamu. Kenapa kamu sangat baik, tetapi kamu tiba-tiba menjadi dingin. Kemudian sekarang kamu mengingatku dengan jelas lagi. Kamu tidak ingat? Aku bahkan mengunggah foto-foto kita di Instagram!” Ana buru-buru mengambil HP-nya dari dalam tas untuk menunjukkannya.
“Aku tidak percaya foto. Sebaik apapun foto itu, sebahagia apapun aku terlihat di sana. Aku tidak mau tahu. Semua itu bisa dimanipulasi. Aku tidak tahu apa yang telah kita lakukan di hari Sabtu, atau hari apapun sebelumnya. Cuma dari foto, aku tidak tahu apakah itu kenangan baik atau buruk.” Dengan tenang, Lena seperti berisyarat untuk menghentikan Ana menunjukkan foto-foto itu.
Semakin Ana penasaran, semakin rumit untuk dipecahkan. Lena memang banyak menyembunyikan misteri, tapi bukan tanpa tujuan. Semakin orang tahu serpihan demi serpihan tentang dirinya, semakin orang tidak akan mempercayainya. Hari-hari telah berlalu semenjak kebingungan Ana terhadap Lena. Pada suatu titik, Ana merasa dikhianati. Walaupun Lena selalu melukis senyum di wajahnya, namun Ana merasa telah dilupakan dan tidak dianggap. Di lain sisi, Lena terkadang mengingat hal-hal kecil yang Ana lakukan sehari-dua hari yang sebelumnya. Berulang-ulang hal itu terjadi. Hati Ana terpermainkan. Berminggu-minggu ia merasa dilupakan, lalu diingat lagi, kemudian dilupakan lagi. Ana mencoba berdamai dengan keadaan seperti itu.
Setelah selesai dengan kesibukan proyek timnya, Fariz mencoba mendekati Lena. Hari itu hari Senin. Fariz mengunjungi kafe Lena dan memesan layaknya pengunjung biasa. Lalu, ia datang lagi pada hari Selasa. Datang lagi pada hari Rabu. Dan seterusnya, hingga Lena merasa akrab lagi dengan Fariz. Hari Minggu saat kafe sedang sepi, Fariz mengajak Lena berbincang di meja pelanggan bersamanya. Fariz mulai menanyakan hal-hal tentang Lena, termasuk tentang lukisan yang terpajang.
“Aku hanya percaya pada diriku sendiri. Bukannya tidak mau percaya pada orang lain, tetapi dengan kondisiku seperti ini, aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri. Termasuk jemariku. Jemariku melukis wajah-wajah orang yang baik, sehingga aku tidak lupa,” jelas Lena kala itu.
Fariz menyadari bahwa ingatan Lena terhadap hal-hal kecil seseorang sangatlah kuat, hingga membuat siapapun takjub, termasuk dirinya dan Ana. Namun ingatan itu dan ingatan terhadap orang-orang yang pernah mengisi hari-harinya akan hilang pada hari Senin. Sedalam apapun Fariz berbincang dengan Lena pada hari Minggu itu, Lena telah melupakan sosok Fariz pada keesokan harinya. Lena hanya percaya pada lukisan yang dibuatnya sendiri. Ia tidak percaya pada perkataan orang lain, bahkan apabila dibuktikan dengan foto. Lena tidak akan pernah tau apa yang terjadi dalam foto itu, meskipun ia tampak tersenyum lebar. Lena pun tidak akan pernah tahu kejahatan seperti apa yang pernah orang lain lakukan kepadanya—dan bisa saja di hari Senin berikutnya orang itu akan berbuat baik padanya. Hal itulah yang membuat Lena langsung membenarkan pernyataan Ana, bahwa tidak ada teman yang tulus di dunia ini. Padahal, Ana hanya ingin bercanda saat itu.
Lena enggan menanyakan nama seseorang. Lena tahu dirinya pasti terlihat sombong apabila di hari Senin ia tak mengenali seseorang yang pernah mengisi hari-harinya. Lena enggan pula menganggap seseorang sebagai teman. Baginya, mereka hanyalah orang yang datang lalu pergi dalam hidupnya. Lena tidak memberikan nomor telepon kepada siapapun. Jika Lena mendapatkan panggilan dari temannya di minggu lalu, maka ia tidak bisa mengenalinya. Lena tidak pernah tahu kenangan apa yang pernah orang lain buat untuk hidupnya, namun hal yang pasti ia ketahui; siapa saja bisa memanfaatkannya, dan Lena akan dengan mudah melupakan keburukannya di hari Senin.
Ana duduk lesu di samping Fariz. Antara percaya dan tidak percaya, tetapi itu benar yang ia rasakan selama berminggu-minggu mengulang adegan dengan Lena yang tak kunjung ada akhirnya. Hati kecil Ana yang baik tumbuh hasrat ingin membuat Lena bahagia, meski hanya satu minggu saja. Setiap hari Senin, Ana ingin memulai kembali pertemanan tanpa berharap Lena mengingat kenangan minggu sebelumnya.
Pertemanan dan kasih sayang yang tulus sejatinya tidak pernah mensyaratkan imbalan. Lena telah berdamai dengan keadaan yang menimpa dirinya, dan Ana juga ingin menemani Lena dalam menghadapinya. “Siapa tahu, suatu hari nanti aku berhasil mendapatkan hatinya dan dia mau melukiskan wajahku untuk dipajang di kafenya!” Fariz tersenyum mendengarnya. Namun, rasa kasihan menyelimuti hatinya melihat kekasihnya begitu berusaha untuk berteman dengan Lena. Padahal, Lena masih sama. Ia tidak pernah menganggap siapapun sebagai temannya. Bagi Lena, Ana hanyalah pengunjung kafe yang ia layani.
Cerpen Karangan: Adinda Kidung Kirana
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 April 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com