Davin, pria berperawakan sedang dan berkulit bersih, sobatku yang bekerja satu kantor denganku, dulunya ia satu divisi denganku tapi sekarang ia pindah ke divisi lain, sesuai panggilan hati katanya.
“Han, kebetulan ketemu disini, nanti sore jalan yuk?” tanyanya. “Tumben ngajak jalan, ngapain?” selidikku. “Ya jalan aja, malamnya temenin gue ke party ultah temen gue!” “Engga ah, kenapa ngga ngajak pacar lo aja sih?” “Dia ngga bisa, hari ini dia ada acara keluarga katanya” “Aduh, sori ya Vin, bukannya gue ngga mau, gue ngga berani, pacar lo itu kan galaknya kan ampun banget…” “Urusan gue itu sih, lagipula nanti kita pergi berempat, Jaya diundang juga dan dia ngajak Evi!” “Oh gitu, tapi gue ngga bawa baju ganti, masa ke party pake baju ginian, males banget…” “Cuek aja, lagian party biasa, santai aja. Bener mau ya? besok kan weekend, bisa puas rehat…” “Iyaa… tapi kalau pacar lo sampe marah gimana, lo juga kan yang repot? terus pulangnya lo harus antar gue sampe tempat kos, gue ngga berani pulang sendiri kalau kemaleman!” “Soal Tania ngga usah lo pikirin… soal anter pulang? OK ngga masalah, mau diantar sampe dalam kamar juga gue ikhlas” jawab Davin sambil tertawa nakal. “Gue yang ngga ikhlas…” kucubit pinggangnya tapi ngga kena. Davin hanya tertawa renyah melihatku merengut.
Sore hari menjelang petang waktu pulang kantor, aku menunggu Davin di lobi kantor di lantai dasar. Kulihat Evi keluar dari lift dan diikuti Jaya dibelakangnya. Tak lama berselang Davin keluar dari lift yang satunya. Mereka melihatku dan tersenyum.
Kami berempat sudah cukup lama sohib-an, kami sering ngobrol dan saling curhat dan sesekali jalan-jalan atau hang out bareng, walau begitu hanya Davin yang kurang terbuka membicarakan masalah pribadinya. Davin, Jaya, dan Evi sudah punya pacar, hanya aku yang betah ngejomblo. Setelah ngobrol sebentar, kami berempat langsung keluar menuju tempat parkir motor.
Karena acara party masih nanti malam, kami berempat sepakat untuk jalan-jalan dulu di mal, sekalian mengantar Evi yang mau membeli assesoris. Aku pergi berboncengan dengan motor besar Davin, sedangkan Evi berboncengan dengan Jaya.
Hari makin gelap, jalan-jalan sudah, party sudah, semua berjalan biasa saja, tak ada yang istimewa. Davin mengantarku pulang ke tempat kos. Setibanya di tempat kos, aku langsung berterima kasih padanya dan pamit masuk. Davin mengiyakan dan tersenyum.
Senin harinya di kantor, aku bertemu Davin dan kulihat ada bekas cakaran di wajah dan tangannya (lagi). Hal itu sudah beberapa kali terjadi semenjak ia berpacaran dengan Tania, gadis berwajah ayu tapi hobi main tangan kalau sedang marah. Kasihan Davin, aku tak tega melihatnya, ada masalah apa lagi antara dia dengan Tania? Apa karena kita jalan bareng kemarin lusa? Baiknya memang ditanyakan langsung.
“Vin, kenapa itu?” tanyaku sambil menunjuk dua garis goresan di wajahnya. “Tania…?” tanyaku lagi. Davin hanya tersenyum ngga menjawab tanyaku, berarti benar karena Tania, pikirku. “Karena kita jalan kemarin itu bukan?” tanyaku penasaran. “Engga… bukan kok” katanya “Biasa Han, pasti karena ada kemauannya yang ngga diturutin Davin itu…, ya kan Vin?” Tiba-tiba suara Jaya menyahut dari belakang kami. Aku menengok ke Jaya sesaat lalu beralih ke Davin lagi. “Bener itu Vin? Kenapa yang kayak gini dibiarin sih Vin?” “Davin itu kalau deket sama cewe emang begitu Han, bucin banget… emang Tania udah ngasih apa sih ke lo Vin?…” tanya Jaya ke Davin sambil senyum-senyum. Yang ditanya diam saja. “Dia menyesal kok sama perbuatannya, dia udah minta maaf… udahlah gaes, engga usah dibahas, gue ngga papa kok… yok kerja… kerja” Davin beranjak pergi dan masih sempat tersenyum. Aku dan Jaya hanya saling pandang melihat kelakuan Davin begitu. Yah begitulah Davin, terlalu sabar dan selalu menutupi kejelekan pacarnya itu. Kami memang tidak mengenal dekat Tania, tetapi apa yang sudah dilakukannya pada sohib kami membuat kami ikut gemas dan geram.
Bulan berikutnya, Davin memberitahu kami bahwa selepas hari raya tahun ini ia mau menikah dengan Tania. Itu artinya tiga bulan lagi. Dan Jumat sore ini kami berempat berencana jalan bareng lagi, Evi akan mentraktir kami makan di restoran seafood untuk merayakan ultahnya yang sebenarnya jatuh pada hari rabu kemarin.
Sekali lagi aku menumpang motor Davin, kami tiba dan langsung mencari kursi kosong untuk empat orang di dalam restoran. Makanan dan minuman telah dipesan, kami ngobrol santai sembari menunggu makanan datang.
“Vin, lo serius mau nikah sama Tania?” tanya Jaya. “Ya iyalah serius” jawab Davin santai “Engga gitu, maksud gue, udah lo pikir mateng-mateng belom?, secara… baru pacaran aja doi udah maen tangan begitu, gimana kalo udah nikah bro… gue mah ogah punya bini kek gitu biar cakep juga” lanjut Jaya. “Ya, siapa tahu nanti sehabis nikah dia berubah…” Davin menjawab dengan ringan. Davin memang selalu positive thinking. “Berubah gimana Vin, udah sering kan Tania kasar ke elo, abis minta maaf juga besoknya diulang lagi.. ck..ck..ck… segitu cintanya ya lo sama Tania?” Evi yang menanggapi.
“Hmm, gimana ya, gue pacaran udah lama, udah kenal sama keluarganya juga, terus sekarang ini bapak ibunya udah pingin ngelihat anak sulungnya menikah” Davin menjawab. “Berarti lo nikah karena terpaksa dong bro, sebenarnya lo bener cinta ngga sih sama Tania?” Jaya menimpali. “Ya gue cinta lah sama Tania dan dia juga cinta ama gue” jawab Davin datar. “Kalau dia bener cinta elo, mestinya sih ngga akan pernah nyakitin ya…” kata Evi lagi. Aku yang sedari tadi diam saja menyimak dan memperhatikan ekspresi wajah Davin, merasa ada sesuatu yang disembunyikan Davin, entah apa ngga berani kutanyakan.
“Ya udahlah temen-temen, niat Davin baik, kita doain aja Davin dan Tania bahagia…” timpalku. “Aamiin…” mereka serempak menjawab.
Hari H pernikahan Davin tiba, kami bertiga mengikuti acara pernikahan sohib kami itu sejak pagi. Siangnya di acara resepsi, Tania terlihat mengenakan pakaian adat Sumatera Selatan dan dalam balutan pakaian itu ia terlihat sangat cantik, rona kebahagiaan pun memancar di wajahnya. Di sisi lain Davin terlihat gagah di singgasananya namun rona wajah terlihat tanpa antusias, aku tak bisa melihat kebahagiaan di wajah Davin. Walaupun ia tersenyum di hadapan tamu undangan, aku bisa merasakan ada beban yang mengganggu pikirannya.
Vin, kenapa kau sembunyikan masalahmu dari kami sih? kami kan sohibmu, meski mungkin kami ngga dapat membantumu, setidaknya jika kau ceritakan, beban di hatimu bisa sedikit berkurang Vin. Doa kami untukmu, semoga kau bahagia dalam pernikahanmu, jodohmu panjang, dan jika pun ada goncangan pernikahan, kalian selalu dapat menghadapi dan melewatinya bersama-sama. Semoga SAMAWA.
Cerpen Karangan: Zusan W
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 14 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com