Seberkas cahaya terang dihiasi semburat jingga yang melintang, seolah sedang menyapa salam keindahan kepada para pengagum mereka. Dengan anggun, sang surya perlahan bergerak menenggelamkan dirinya, memberi ucapan selamat tinggal kepadaku yang kini tengah terduduk di atas kursi roda dengan tangan yang menggenggam sebuah buku catatan kecil berwarna pink lusuh.
Pikiranku melayang. Mengingat masa lalu, yang pantas untuk dikenang. Perlahan mataku tertunduk, menatap sebuah benda yang melingkar manis di pergelangan tanganku sambil kuusap benda itu seolah menyalurkan kerinduan yang belum sempat tersampaikan.
Kapan waktu akan mempertemukan kami kembali? Kapan waktu akan membiarkan kami mengukir sebuah cerita lagi, dan melanjutkan setiap bait aksara yang bisa kami tuliskan dalam buku catatan kecil ini?
—
“Hey kau!” teriak seorang lelaki yang tampak seumuran denganku membuatku menoleh. Aku melihat dirinya berjalan menghampiriku dengan senyum tipis yang terukir di bibir manisnya. “Perempuan Senja.” sambung lelaki itu kala ia telah sampai tepat di sampingku.
Ia kemudian melemparkan pandangannya ke arah langit senja yang tengah tersenyum hangat kepada kami sebelum ia benar-benar akan pergi menghilang, dan tenggelam ditelan awan yang kian menghitam.
“Kau suka sekali dengan senja ya?” tanya lelaki itu yang membuatku tersenyum. “Itu namaku.” Sebelah alisnya terangkat. Mungkin ia heran dengan penuturanku, dan memintaku untuk menjelaskan apa maksudnya. “Pelita Senja, itu namaku.”
Lelaki itu diam, kemudian tersenyum. Rautnya menunjukan keterpesonaan mendengar penuturanku. “Sangat cantik.” pujinya.
Ia kemudian duduk di atas pasir, berusaha menyejajarkan posisiku. “Perempuan, senja, dan sebuah buku catatan kecil. Kau pasti penyuka sajak, benar?” Tebakan lelaki itu kujawab dengan anggukan. “Kau benar.” Terlihat ia puas karena tebakannya benar.
“Oh aku lupa! Aku belum mengenalkan siapa diriku.” “Panggil aku Laskar.” Aku menoleh, menatap kedua manik mata milik lelaki itu yang membuatku terdiam seolah terhipnotis. “Senja?!” panggilan Laskar membuatku tersadar.
“Apa yang kau lihat?” cepat-cepat aku menggeleng dan berusaha menetralkan perasaan gugupku. “Laskar.” ucapku bergumam, yang membuat Laskar menoleh. “Ada apa?” tanya nya dengan alis terangkat.
Sungguh detik itu juga aku membenci ekspresinya yang membuatku semakin terhipnotis oleh wajahnya yang manis dan dengan alis terangkat seperti itu semakin menambah kesan karismatik dirinya.
“Tidak apa.” “Hanya saja.. Namamu–” “Jangan bilang kalau namamu itu seperti sebuah lagu. Laskar Pelangi?” tebakanku yang tiba-tiba membuat Laskar tertawa. “Kau ini lucu Senja!” Laskar menghentikan tawanya. Ia terdiam seolah tengah memikirkan sesuatu. “Um.. Tapi bisa saja!” Kini giliranku yang terdiam berusaha mencerna ucapan Laskar. Apa maksudnya?
“Kau bisa menjadi pelangiku Senja. Aku Laskar, dan kau — Pelangi dalam hidupku.” ujarnya lembut dengan senyuman yang manis membuatku ingin meleleh dihadapannya seketika. Sial! Pria ini pandai sekali membuat jantungku memompa lebih cepat.
Melihatku yang hanya diam, Laskar kemudian menatapku dengan senyum. “Jangan diambil hati ucapanku Senja, kita teman oke?” “Sejak kapan kita berteman?” tanyaku mencoba meledek Laskar. Tampak sekali raut wajahnya yang berubah murung. Oh ayolah, itu sangat lucu. Aku tidak tahan ingin tertawa melihat ekspresinya bak anak kecil yang tengah merajuk.
“Semenjak aku melihatmu disini Senja. Kau tahu? Hampir setiap sore aku duduk di ujung sana, dekat pohon besar itu demi menunggumu datang kesini. Jadi, semenjak saat itulah kita berteman.” Keningku mengerut. “Kenapa baru sekarang kau menghampiriku, Laskar?” “Kau tahu? Aku sangat kesepian kala itu. Hanya bisa terdiam di bibir pantai, sambil menunggu ayah pulang dengan hanya bertemankan senja yang bahkan tak bisa ku ajak bicara.” “Aku selalu sendiri dan selalu kesepian Laskar.” ucapku sendu kala mengingat betapa menyedihkannya bertemankan sepi. “Aku bahkan berharap memiliki seorang teman yang bisa kuajak bermain, dan selalu ada bersamaku kapan pun. Tapi aku sadar, dengan kondisiku yang seperti ini mana mungkin aku punya seorang teman?” Aku menunduk menatap kedua kakiku yang kaku, dan menatap kursi roda yang selalu setia menopang tubuhku.
“Senja, kau tak boleh berkata seperti itu.” Terdengar helaan nafas Laskar yang begitu berat. “Maafkan aku Senja, saat itu aku belum berani menemuimu. Aku malu Senja,” Ucapan itu membuatku kembali mendongak menatapnya. “Sungguh?”
Laskar mengangguk. “Saat itu aku hendak menghampirimu, tapi — aku takut kalau kehadiranku akan mengganggumu.” Aku terkekeh mendengar pengakuan Laskar. “Lantas bagaimana bisa seseorang dikatakan berteman, bahkan saling kenal pun tidak?” Terlihat Laskar menggaruk tengkuknya. Mungkin ia sedang mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaanku?
“Ah.. Sudahlah Senja, yang penting sekarang kita berteman Senja. K i t a . B e r t e m a n !” ucapnya penuh penekanan. Kemudian jari kelingking Laskar terulur dan ia menyatukannya dengan jari kelikingku. “Nah sekarang, kita resmi berteman.” ucap Laskar girang dengan senyum manis yang tulus membuatku ikut tersenyum terbawa suasana.
Laskar melanjutkan obrolan basa-basinya. Menceritakan tentang pengalaman liburannya disini, dan perbedaan antara kondisi lingkungan tempat tinggalnya dengan lingkungan ini. Aku hanya menjadi pendengar setia dengan sesekali tertawa akibat ucapan Laskar yang membuat perutku tergelitik.
“Ah Senja, kurasa waktu memisahkan kita hari ini.” ucapnya sambil menoleh ke arah sang surya yang sudah tak terlihat dan hari semakin gelap. Dari kejauhan tampak seorang lelaki paruh baya yang menggendong jala dengan sebelah tangannya menenteng ember berisi ikan hasil tangkapannya.
“Pelita, mari pulang.” ajaknya setelah sampai dihadapanku. Laskar memandangku dan lelaki itu bergantian, menatapku lekat seolah meminta penjelasan.
“Laskar, dia ayahku.” “Dan ayah, dia teman baruku, namanya Laskar.” Ayahku menoleh menatap Laskar kemudian tersenyum. “Terimakasih sudah menemani Pelita.” Laskar mengangguk semangat. “Tentu paman!”
“Senja, besok kita main lagi disini ya, sampai jumpa!!” Laskar melambaikan tangannya kepadaku sebelum pergi. Aku mendongak menatap ayah yang juga tengah menatapku, kugerakan kursi rodaku sambil menggandeng tangan ayah.
“Ayah, aku bahagia memiliki seorang teman.” ucapku di sela-sela perjalanan pulang. “Semoga dia bisa mengobati rasa sepimu.” aku mengangguk lantas tersenyum mendengar penuturan ayah.
Hari demi hari Pelita lewati bersama Laskar. Mereka menghabiskan waktu bersama, sembari menunggu kepulangan sang ayahanda Pelita. Terkadang pagi-pagi sekali Laskar berkunjung ke rumah Pelita untuk menemaninya dan terkadang pula Laskar membantu pekerjaan rumah Pelita. Hingga tepat di hari ke tujuh kebersamaan mereka hari ini. Dengan tempat yang masih sama, Pelita menunggu kedatangan Laskar.
Sudah 30 menit berlalu, namun Laskar tak kunjung datang. Terbesit rasa khawatir dalam dirinya. Biasanya, Laskar akan datang menemaninya lebih awal dan mengajaknya ke pantai untuk menikmati senja seperti biasa. Namun hari ini, Laskar belum menampakkan batang hidungnya dan itu membuat Pelita semakin khawatir.
Senja di sore hari ini tampak meredup, tak secerah biasanya. Seolah mereka mengerti tentang perasaan Pelita yang dilanda kekhawatiran akan seseorang yang selama ini mengisi hari-harinya. Beberapa kali Pelita tengokan kepalanya ke kanan, kiri, dan ke belakang, berharap Laskar datang — namun nihil. Pelita hanya bisa tertunduk lesu. Menatap buku pink lusuh yang setiap hari selalu setia bersamanya.
“Senja.” panggil seseorang yang membuat Pelita mendongak. Pelita mendapati Laskar yang tertunduk menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Kau kenapa?” tanya Pelita yang justru malah membuat Laskar semakin murung. Laskar mengalihkan tatapannya ke arah sang surya yang semakin tenggelam. “Waktu kita tidak lama lagi Senja,” ungkapnya sendu. Tentu hal itu mengundang tanda tanya besar bagi Pelita. “Ceritakan padaku, ada apa denganmu?” “Aku — aku harus.. A-aku harus pulang Senja.” jawab Laskar lesu. Ia tundukkan pandangannya lagi, menatap kedua manik mata Pelita yang mulai berkaca-kaca mendengar penuturan Laskar.
“Aku berjanji! Aku akan menemuimu kembali. Aku tidak akan melupakanmu Senja! Aku.. Aku–” “Pulanglah Laskar, aku mengerti.” Pelita berucap lembut sambil tersenyum.
“Senja..” panggil Laskar dengan suara parau. “Jangan khawatirkan aku. Aku sudah terbiasa sendiri, bertemankan sepi.” “Tidak! Kau tidak sendiri Senja, ada aku yang selalu disisimu, disini.” Laskar menunjuk hatinya. Tentu hal itu membuat Pelita tersenyum. Dalam hati, ia juga membenarkan ucapan Laskar.
“Terima kasih, satu minggu yang telah kau lewati bersamaku. Terima kasih telah hadir di dalam hidupku. Membantuku mengisi cerita dengan bait-bait aksara dalam buku ini.” ucap Pelita sambil menunjuk bukunya.
Laskar mengulurkan tangan, menggenggam tangan Pelita dan membukakan telapak tangannya. Terlihat Laskar yang meletakan sesuatu di atas sana, kemudian kembali menutupkannya dengan jari-jari mungil Pelita. “Pakailah ini. Kenanglah aku melalui gelang ini, dan jangan lupakan aku. Ingat Senja! Aku akan datang menemuimu kembali.” “Aku harap ucapanmu bukan hanya sekedar untuk menghiburku.” Laskar menggeleng kuat. “Tidak Senja, aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku itu.” Pelita hanya tersenyum. Tidak tau harus merespon bagaimana lagi. Ia sekuat tenaga menahan air matanya agar tak luruh dari pelupuk mata yang sudah terasa memenuhi kapasitas.
“Laskar!” panggil seorang wanita paruh baya dari kejauhan membuat Laskar dan Pelita menoleh serempak. Sepertinya itu ibunda Laskar — pikir Pelita.
“Hati-hati Laskar.” lirih Pelita. “Jaga dirimu baik-baik Senja, aku pasti merindukanmu.” “Dan satu lagi. Kau harus membawa gelang ini kemana pun kau pergi. Pakailah, dan jika kau merindukanku, tatap gelang itu. Rasakan seolah aku berada di sampingmu.” “Lihat!! Aku pun memakai gelang yang sama, Senja.” Senja mengangguk. Laskar menghela nafas. “Selamat tinggal Pelita Senja. Sampai jumpa di lain waktu, dan semoga takdir kembali mempertemukanku denganmu.”
Laskar pergi, benar-benar pergi. Meninggalkan Pelita yang terdiam membisu. Hingga bulir air mata yang sedari tadi ia tahan sekuat tenaga agar tak lolos begitu saja kini berhasil tumpah membobol benteng pertahanan Pelita. “Aku pasti merindukanmu, Laskar.” ucap Pelita lirih sambil menatap nanar punggung Laskar yang semakin menjauh.
Tiba-tiba usapan lembut membelai kepalanya. Pelita menoleh, didapatinya sang ayahanda yang tersenyum sendu kepadanya. “Ayah, semua orang yang kusayang kembali meninggalkanku.” suara parau Pelita membuat sang ayah menatap sendu ke arahnya. “Tidak semua, karena ayah masih disini bersamamu, dan akan terus menjagamu.”
Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata segelintir kenangan tiga tahun lalu itu masih tersimpan manis dalam ingatan. Jariku bergerak perlahan, mengelus gelang pemberian Laskar berharap sang empu yang memberinya juga turut merasakan. Ah semesta, rasa itu timbul dalam sekejap. Namun dalam sekejap pula kau harus merenggut kembali kebahagiaanku dengan memberi jarak diantara kami. Mungkin memang takdirku berada dalam kesepian, kesenyapan, dan perginya orang-orang disekitarku yang kusayang.
Aku paham perihal tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi, bisakah aku meminta rentang waktu yang cukup lama untuk bersama? Aku pun ingin merasakan kebahagiaan, layaknya orang-orang di luar sana yang bisa bebas tertawa dengan orang-orang terkasihnya.
Netraku kembali menatap langit senja sembari bergumam. “Laskar, mungkin kehadiranmu hanya sebatas penghiburku di waktu tertentu. Karena kini aku kembali menunggumu di tempat ini dalam keadaan sunyi, namun kenihilanlah yang kudapat dari penantian panjang selama ini.”
“Ternyata aku benar, bahwa ucapanmu kala itu hanya sebagai penghibur sekaligus penenang. Agar aku tak terlalu terpukul dengan kepergianmu, dan kau menghadirkan rasa harap yang membuatku tenggelam tanpa kepastian.”
“Terima kasih semesta, sudah pertemukan aku dengan dia. Terima kasih pula, sudah menghadirkan perasaan yang aku sendiri pun tak tau ini apa. Tapi yang pasti aku menyayanginya, dan aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya. Sampai waktu kembali mempertemukan kita. Entah dengan perasaan yang sama seperti harapanku, atau dengan keterasingan yang sangat aku takutkan jika hal itu terjadi padaku.”
Baiklah, sudah cukup. Kembali mengenangnya akan membuatku semakin lemah tak berdaya. Aku kembali menghela nafas. Kenangan tiga tahun lalu membuatku tersadar. Bahwa seindah apapun pertemuan pasti akan disusul dengan perpisahan yang memilukan. Cepat atau lambat, semua itu akan terjadi sesuai hukum alam.
Cerpen Karangan: Nurul Atikah Blog: lenteraaksarakata.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com