Arjeno Widya Tomo, sering mendapat julukan Wiwid ketika di sekolah dasar lalu berubah menjadi Widya ketika sekolah menengah. Jengah? Tentu saja! Masa’ iya cowok tampan sepertinya dipanggil Widya-seperti perempuan saja! Tapi, berhubung Jeno adalah orang yang sabar, tabah, dan pasrah-ia biarkan saja teman-teman sekolahnya tetap memangilnya Widya.
Jeno alhamdulillah masih punya orangtua lengkap, dengan seorang kakak laki-laki dan seorang lagi perempuan. Sebagai anak bontot, Jeno memiliki julukan yang unik di rumahnya, yaitu Ajen. Jangan berpikir mereka ada keturunan Sunda atau bau-bau kota Bandung. Satu keluarga asli Jawa mereka itu. Nyatanya, panggilan itu hanya bentuk malas saudara-saudaranya-bahkan orangtuanya-untuk memanggil nama indah Jeno. Lagi, Jeno hanya bisa tersenyum pasrah.
Lain di rumah, lain di sekolah, lain juga di lingkungan tetangga. Di komplek perumahannya, Jeno memiliki satu orang sahabat yang sangat dekat dengannya. Sebenarnya bukan dekat, tapi orang itu saja yang dekat-dekat dengan Jeno. Umurnya lebih muda dari Jeno, dan jenis kelaminnya pun berbeda, tapi nakalnya ‘menuju tak terbatas dan melampauinya’ kalau kata Jeno.
Ketika Jeno pulang sekolah, merasa capek dengan panggilan Widya untuknya, gadis kecil itu sudah berdiri di depan gerbang rumahnya dengan topi kebalik depan belakang, kaos oblong, dan jin belel selutut-yang dulunya milik Jeno.
“Abang udah pulang?” Ya. Lain tempat, lain orang, lain panggilan. Namun bedanya, gadis kecil itu satu-satunya yang memanggil Jeno dengan panggilan ‘Abang’. Keluarga mereka saling kenal-tentu, karena itu keluarga gadis kecil tadi memanggil Jeno dengan sebutan Ajen juga. Dan karena Jeno juga tidak mempermasalahkan masalah tersebut (bohong dia!), maka Jeno ikut-ikut saja mau dipanggil apa.
“Tadi Pak Tono katanya mau panen mangga manis yang pohonnya depan rumah itu! Ayo kesana! Siapa tahu dikasih gratis ‘kan lumayan!” Gadis kecil itu menarik-narik tangan Jeno. Pertanyaan basa-basi tadi bahkan belum Jeno jawab, tapi gadis kecil itu sudah nyerocos begitu saja. Tak ada masalah dengan itu sebenarnya. Pada saat bersama gadis kecil itulah, Jeno merasakan hidupnya berbeda. Ia yang seorang anak bungsu, seseorang yang biasanya bergelayut manja, merajuk jika tak dituruti, kini merasakan apa yang orang lain rasakan ketika ia berlaku seperti itu. Dan itu bukannya membuatnya kesal, ia malah semakin membutuhkan gadis kecil tadi untuk memberinya pengalaman-pengalaman baru.
Jeno menarik kedua sudut bibirnya ke atas, matanya menyipit bentuk lengkung sabit yang indah, lalu berujar dengan riang, “Tunggu sebentar, oke? Aku ganti baju dulu!”
“Pak Tono bilang mangganya besar-besar, lho, Bang!” Gadis kecil tadi masih belum lelah berceloteh. Kini mereka tengah berjalan menuju rumah Pak Tono yang berada dekat pintu kompek bagian belakang. Jeno sudah berganti pakaian. Tak jauh beda dari gadis kecil tadi, hanya sebuah kaos dan celana bahan sedikit di atas lutut. Ia kembali memperhatikan jalan setelah tadi memberi perhatian pada si gadis kecil ketika ia berbicara. “Bukannya seram kalau kita ikut memanen? Bagaimana kalau mangganya ngejatuhin kita?” tanya Jeno yang kini mulai khawatir. Ia tidak hanya mengkhawatirkan dirinya, melainkan juga si gadis kecil yang kini menggeleng keras. “Nggak, Bang! Tadi Adek liat Pak Tono udah siap-siap pakai galah yang ada capit sama jaringnya gitu!” Ujar gadis itu menggebu dengan tangannya yang tidak digandeng Jeno membuka menutup seperti mempraktikkan bentuk capit. “Jadi nanti pas mangganya jatuh langsung hap!” tangan si gadis kecil mengatup tiba-tiba, “Nyangsang di jaringnya, Bang!” Jeno tertawa melihatnya.
Setelah sampai di tempatnya, ternyata benar Pak Tono sudah menyiapkan sebuah galah besar dengan capit dan jaring di ujung atasnya. “Lho, Adek? Nak Jeno? Udah sampai, to? Maaf baru lihat. Kalau gitu kita mulai saja, ya, metik mangganya?” “Ayo!!” Gadis kecil tadi memekik heboh. Genggaman tangannya pada Jeno lepas karena ditinggal berlari mendekati Pak Tono yang sudah memegang galah. Jeno berjalan pelan mendekati-ingin menjaga imagenya sebagai siswa menengah pertama.
“Nak Jeno bisa manjat, tidak? Pohonnya anti hama alias aman dipanjat, kok,” tawar Pak Tono tanpa menoleh kepada Jeno yang mendongak menatap Pak Tono. Baru saja mau menjawab, sudah didahului celetukan kurang ajar dari sebelah lain Pak Tono. “Abang nggak bisa manjat pohon, Pak! Bisanya manjat gerbang sekolah soalnya sering telat!” Jeno melotot mendengar perkataan gadis kecil tadi, sedangkan Pak Tono sudah tertawa lepas. “Ada-ada saja kamu, Nak Jen! Masa’ manjat gerbang bisa, tapi manjat pohon tidak bisa,” ujar Pak Tono masih dengan tertawa. Kini Pak Tono beralih tempat mencari tempat mangga matang lainnya-membuat Jeno dan gadis kecil tadi kini bisa melihat satu sama lain. Si gadis kecil memeletkan lidah lalu mengikuti Pak Tono yang sudah berada di sisi lain pohon.
Ya begitulah mereka berdua. Kadang bisa saking dekatnya sampai kemana-mana gandengan, kadang bisa saking jahilnya sampai marahan dua hari tidak bertemu-berakhir Jeno yang mengalah karena gadis kecil tadi jatuh sakit di hari kedua mereka marahan.
Merasa tidak terima dengan olokan yang lebih muda, Jeno nekat saja langsung memanjat pohon tanpa bilang pada Pak Tono ataupun si gadis kecil yang berada di seberang pohon. Ketika sudah sampai di atas, Jeno sudah akan berteriak bangga kalau ia bisa memanjat pohon. Namun, karena Pak Tono tidak melihat Jeno sebelumnya, Pak Tono tidak sengaja menyenggol kaki Jeno yang sedang dominan menopang berat Jeno. Akibatnya, keseimbangan Jeno oleng dan jatuh ke tanah tidak terhindarkan.
Pak Tono dan si gadis kecil tentu saja terkejut ketika tiba-tiba saja Jeno jatuh dari atas. “HELAHH, ABAAANNGG!!” Pekik si gadis kecil sembari berlari mendekati Jeno yang masih terduduk sembari memegangi bokongnya yang ngilu. Pak Tono juga ikut mendekat setelah memastikan letak galahnya tidak membahayakan. “Kamu gimana bisa sampai atas sana to, Nak Jeno? Katanya tidak bisa manjat pohon?” Pak Tono menanyakan ada bagian yang sangat sakit tidak, dan Jeno menjawab di bokong. “Saya itu bisa manjat pohon, Pak! Saya Cuma mau buktikan itu saja,” ujar Jeno sembari mengaduh ketika Pak Tono memijat bokongnya terlampau kencang. Sibuk mengeluh, membuat ia melupakan eksistensi si gadis kecil yang ternyata masih setia di sampingnya. Tapi, ketika Jeno arahkan pandangannya pada wajah si gadis kecil, Jeno terkejut. “Lho, Dek?! Kamu ke-“ “ABAAANNGG, SIHH!!” Lho? Kok Jeno lagi? Dan seperti itulah mereka berdua, kadang saking sayangnya sampai jika yang satu sakit, yang menangis lainnya.
Cerpen Karangan: Sekar Pinestri
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com