Ressiana Nuryana, putri kedua dari pasangan yang alhamdulillah masih akur dengan anak pertamanya yang juga seorang perempuan. Jarak antara Ressi dan kakaknya cukup jauh, karena sebenarnya Ressi ‘jadi’ karena ketidaksengajaan. Kedua orangtuanya sudah akan mantap hanya punya satu anak. Namun, karena sudah ‘kebobolan’, ya sudah nambah satu lagi ketika yang lebih tua sudah masuk kelas lima sekolah dasar.
Sejak kecil, panggilan ‘Adek’ sudah melekat pada Ressi. Namun, panggilan itu tidak berlaku di sekolah. Hanya beberapa teman yang memang benar-benar dekat dengan Ressi yang menggunakan panggilan akrab tersebut. Dan suatu ketika, Ressi menemukan seseorang yang sangat pas menyebutnya dengan sebutan ‘Adek’. Seseorang itu lebih tua darinya, tinggi, tampan, dan indah dengan senyum yang sampai pada matanya. Karena hanya mempunyai kakak perempuan, Ressi nekat mendekati orang tersebut. Memanggilnya ‘Abang’, sebuah panggilan yang sedari dulu ingin ia ucapkan untuk sosok seorang kakak laki-laki. Beruntungnya, orang itu tak keberatan-bahkan kini keduanya sudah seperti benar-benar ‘abang-adek’ kandung.
“Pageeee semueeee,” teriak Ressi ketika memasuki rumah seseorang yang ia panggil ‘Abang’ tadi. Tentu saja si abang tidak tinggal sendirian. Namun, Ressi tahu jika jam segini, di rumah hanya ada kedua kakak dari si abang-dan si abang sendiri tentu saja.
“Ngapain sih lu pagi-pagi dah nongol! Mana ini hari Sabtu pula!” Seseorang menggerutu dari arah kamar di lantai satu. Seorang laki-laki-tapi bukan si abang-berjalan keluar dengan mata yang masih terpejam dan selimut yang menyangkut di pundak kanannya. “Baunya masih dingin banget pula,” gumam si lelaki sambil mendudukkan diri di sofa ruang tengah lalu menaikkan kedua kakinya. Ressi menggeleng melihat tingkah anak tertua keluarga tetangganya ini.
“Kak, ini udah jam sepuluh. Masih dingin soalnya di luar lagi gerimis,” ujar Ressi masih berdiri di tempatnya tadi. Mengamati reaksi dari si lelaki ketika Ressi menyebutkan jam sekarang. “Sial udah jam sepuluh aja! Mana rapatnya dimajuin jadi sembilan tigapuluh lagi.” Si lelaki itu masih bergumam lirih dengan otaknya yang sedang memproses informasi. “Jam sepuluh… sembilan tigapuluh… sepuluh… sepul-SEPULUH?!” Si lelaki yang kini tersadar 100% itu menatap Ressi terkejut. “Sekarang jam sepuluh beneran?!” tanya si lelaki yang mendapat jawaban berupa mimpi buruk baginya. “ANJIR DONG TELAT!!” Si lelaki tadi kembali masuk ke kamarnya-meninggalkan selimut coklat hangatnya di sofa. Ressi mengambilnya lalu memakai selimut tadi.
“Kakak kenapa, Ress?” Suara lembut seorang perempuan muncul dari dapur. Ressi tersenyum sembari melambaikan tangan. “Biasa, telat rapat.” Ressi mengamati penampilan si perempuan tadi. “Kakak dari tadi di dapur?” tanyanya kemudian yang dijawab anggukan. “Aku tadi denger sapaan kamu, aku jawab lirih doang. Kukira kamu mau ke tempat Ajen,” jawab si perempuan sembari melepas celemeknya. “Kamu kalau mau naik, naik saja. Ajen belum turun lagi kok habis sarapan tadi. Btw, itu selimut Kakak ‘kan?” Ressi nyengir kuda. “Habisnya selimut ini tuh anget banget, nggak kaya yang punya kayak es batu!”
“HEH! Gue dengar, ya!” Celetuk si lelaki tadi sembari terburu menggunakan sepatu kemudian berlalu dengan motor ninja miliknya. Meninggalkan kedua perempuan di ambang pintu dapur memandangnya dengan tatapan berbeda; yang satu iba, yang satu datar.
“Tadi Kakak udah bangun pas sarapan, jadi kukira tidak perlu dibangunkan. Lagian, aku juga tidak tahu jadwalnya.” Si perempuan tadi bergumam sendiri, padangannya lalu mengarah pada Ressi yang menatapnya biasa. “Sudah sana naik. Nanti…” si perempuan menengok waktu di jam ruang tengah, “jam sebelas turun, ya? Aku tadi habis coba bikin brownies. kamu ‘kan suka, jadi kamu harus tester dulu! Oke?!” Ressi tertawa canggung. Lagi-lagi ia jadi korban masakan ajaib si perempuan. Ia hanya mengangguk lalu segera naik ke lantai dua dengan selimut coklat membungkus tubuhnya.
“Apa aku bikin resep lain mumpung Ressi di sini dan shift mulai nanti habis maghrib?” Ressi bergidik mendengar gumaman itu dan mempercepat langkahnya ke kamar di ujung lorong lantai dua.
Kamar bernuansa hijau gelap ini menjadi favorit Ressi dibanding kamarnya sendiri. Mungkin karena kamar ini lebih rapi, lebih wangi, dan lebih bersih dibanding kamarnya, makanya Ressi lebih nyaman menghabiskan waktu di sini setiap pulang sekolah dan akhir pekan. Dan kalau ada jadwal menginap atau kesempatan itu ada, hal yang sangat Ressi sukai adalah langit-langit kamarnya.
“Kangen banget liat bintangnya nyala. Nggak mau tahu, nanti malem mau nginep!” “Terserah, nanti malem gue free kok!” Celetukan dari arah kamar mandi membuat Ressi bangkit dari posisi rebahannya. Aroma mint apel menguar lembut seiring pintu kamar mandi yang terbuka dan si pemilik kamar yang berjalan mendekat-menuju lemari.
“Btw, itu selimut Kakak?” Lagi, pertanyaan itu yang keluar. Ressi mendecak. “Kenapa dari tadi pada nanyain kalau udah pada tahu, sih??!!” Dasar si sumbu pendek, diuji begitu saja sudah mencak-mencak. Si pemilik kamar tertawa. “Jangan galak-galak! Nanti Revo nggak betah lagi.” Si pemilik kamar kini menghampiri Ressi yang masih setia di atas kasur dan memberinya sebuah handuk kecil. Ressi memandang kesal lawan bicaranya yang sekarang sedang memakai hoodie untuk menghalau hawa dingin dari gerimis di luar. “Bantuin keringin rambut, dingin banget!”
Si pemilik kamar sudah duduk di samping bawah kasur sembari menancapkan pengering rambut. Ressi mendecih-lagi. “Keringin pake handuk dulu, matiin itu. Boros banget!” Ressi berujar galak yang dibalas tawa lawannya. “Iya-iya, Dek! Galak banget sih! Lagi PMS, ya?” tanya si pemilik kamar asal, tapi jawabannya serius seiring geplakan di kepala belakangnya yang terasa nyata.
Ressi bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa dan mulai mengeringkan rambut lelaki di depannya. Si pemilik kamar yang sadar sesuatu sengaja menggumam dengan keras. “Lha, beneran lagi dapet.” Dan ia dapat satu lagi geplakan.
“Ajen, anterin Kakak ke supermarket ayo!” Si pemilik kamar yang sedang rebahan sudah akan menjawab, tapi tiba-tiba ada tangan mungil yang membekap mulutnya-melarangnya bicara. “Nggak usah, Bang! Jangan mau! Nanti kalau Kak Sela bikin macem-macem gue yang jadi korbannya!” Ujar Ressi lirih, tapi penuh penekanan. Si pemilik kamar menahan tawa dibalik tangan Ressi yang ada di mulutnya. “Ya sana bilang sendiri kalau gue nggak bisa. Lu mau kasih alesan apa?” Tantang si pemilik kamar membuat Ressi menatap melas. “Please lah bantuin gue, Bang! Gue ‘kan udah kenalin Abang sama Nikita Willy, iya masa’ nggak ada balas budi sama adek sendiri. Pleaseee…”
Si pemilik kamar melepas bekapan tangan Ressi lalu bangkit. “Lah, Bang! Mau kemana?!” cegah Ressi dengan gugup-takut ditinggal. Namun, si pemilik kamar tetap diam. Ressi hanya bisa memandangi gugup. Ketika si pemilik kamar membuka pintu, terdengar suara teriakan. “ADEK, NIH! NGGAK MAU DITINGGAL ABANG KESAYANGAN, JADI AKU NGGAK BISA NGANTERIN, KAK! MAAF, YA!” See, keluarga tetangganya memang seaneh ini. Dan lebih aneh lagi bagi Ressi karena menemukan nyaman di sini.
Cerpen Karangan: Sekar Pinestri
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com